Alfredo M. Bonanno
Kegembiraan yang Dipersenjatai
Introduksi
Buku ini ditulis pada tahun 1977 dalam suatu momentum perjuangan revolusioner yang terjadi di Italia, yang situasinya kini sangat jauh berbeda, sangat perlu untuk disimpan dalam ingatan kita. Pergerakan revolusioner termasuk di dalamnya gerakan anarkis, sepertinya mengalami fase perkembangan, dan segala hal mungkin dapat saja terjadi, meskipun secara umum meluas menjadi pemeberontakan bersenjata.
Namun yang penting adalah menghindari bahaya munculnya spesialisasi dan militerisasi, yang membatasi minoritas para militan yang berniat untuk memaksakan ribuan kamerad, dengan segala sumber daya yang dimilikinya berusaha menentang represi dan usaha negara—yang agak lemah dalam mengungkapkan kebenaran—kemudian menata kembali pola manajemen kapital.
Semua itu adalah situasi yang pernah terjadi di Italia, namun sesuatu yang serupa tengah berlangsung di Jerman, Paris, Britania Raya, dan di tempat-tempat lain.
Sepertinya merupakan hal yang esensial guna menghalangi berbagai aksi yang dilakukan setiap harinya oleh para kamerad terhadap orang-orang dan berbagai struktur kekuasaan, yang kemudian menggiringnya ke dalam logika terencana seperti yang diamini oleh partai bersenjata seperti Red Brigade[1] di Italia.
Semangat inilah yang ingin diperlihatkan oleh buku ini. Untuk menunjukkan bagaimana praktek pembebasan dan penghancuran dapat muncul dari logika perjuangan penuh kegembiraan, bukan dalam kekakuan skematis dan mematikan seperti yang terdapat dalam kanon-kanon pra-kekuasaan dari kelompok yang ada di bawah kendali.
Beberapa masalah seperti ini tidak lagi eksis pada saat sekarang. Masalah-masalah seperti ini telah dipecahkan melalui pengalaman yang sangat keras dalam sejarah terdahulu. Kolapsnya sosialisme riil dengan segera membentuk kembali dimensi para Marxis yang begitu ambisius. Di lain pihak tendensi tersebut, yang mungkin masih berkobar, belum memadamkan hasrat kebebasan dan para anarkis-komunis yang menyebar di segala tempat, terutama di antara para generasi muda. Dalam banyak hal, tendensi tersebut sama sekali tidak memiliki jalan lain selain mengarah pada simbol-simbol tradisional dari anarkisme, slogan-slogan, dan teori-teori yang dimilikinya juga dikenal lekat dengan berbagai bentuk pemahaman yang ada, tetapi penolakannya yang berani itu tidak disertai oleh keberanian untuk menolak pengaruh ideologi.
Buku ini kembali menjadi topik pembicaraan, tapi dalam cara yang berbeda dari sebelumnya. Bukan sebagai kritik terhadap struktur monopolistik yang tak lagi eksis, namun karena buku ini bisa menunjukkan potensi-potensi yang dimiliki berbagai individu (baik pria maupun wanita), yang dengan penuh kegembiraan ingin menghancurkan segala yang menindas dan membatasi mereka.
Sebelum mengakhirinya, saya perlu mengingatkan bahwa buku ini sangat ingin dimusnahkan di Italia. Pengadilan tinggi Italia mengeluarkan perintah untuk memusnahkannya. Seluruh perpustakaan yang memiliki salinan buku ini menerima surat edaran dari Kementerian Dalam Negeri yang memerintahkan untuk memusnahkan buku ini. Lebih dari satu pustakawan menolak untuk membakar buku ini, karena mereka menganggap bahwa tindakan semacam itu tak ada bedanya dengan tindakan Nazi atau pun inkuisisi, akan tetapi melalui jalan hukum, isi buku tersebut tak dapat lagi dinegosiasikan lebih lanjut. Untuk alasan yang sama, buku ini sama sekali tak dapat didistribusikan secara legal di Italia dan banyak salinan buku ini yang dimiliki para kamerad di Italia disita dalam penggerebekan besar-besaran.
Saya sendiri dijatuhi hukuman selama 18 bulan penjara karena telah menulis buku ini.
Alfredo M. Bonanno
Catania, 14 July 1993
I
“Di Paris, 1848, revolusi adalah hari libur yang tak memiliki permulaan atau pun akhir.”
– Bakunin
Ada apa gerangan anak-anak yang begitu dikasihi ini memutuskan untuk menembak Montanelli[2] tepat di kakinya? Tidakkah lebih baik jika anak-anak tersebut menembaknya tepat di mulutnya?
Tentu saja itu pasti lebih baik. Namun tindakan itu juga hal yang sangat sulit dilakukan. Tindakan tersebut lebih bermakna sebagai bentuk balas dendam dan penuh dengan kesuraman. Melemahkan seekor binatang buas seperti itu dapat menjadi sesuatu yang kaya akan makna, mendalam, dan melampaui tindakan balas dendam semata. Lebih dari sekedar penghukuman untuk menagih bentuk pertanggung-jawaban, sehubungan dengan posisinya sebagai para jurnalis fasis dan antek para majikan.
Untuk melemahkan dan membuatnya pincang, serta membuatnya mengingat kembali apa yang telah dilakukannya. Lebih dari itu, melemahkan adalah jauh lebih menghibur dibanding menembaknya di mulut hingga bagian otaknya muncrat keluar dari matanya.
Para kamerad yang menghadapi kabut di pagi hari dan berjalan memasuki atmosfir pabrik atau pun kantor yang menyesakkan, hanya untuk melihat wajah-wajah yang sama: Para mandor, pencatat waktu, pengawas, Stakhanovite[3] —dengan tujuh anak yang juga harus dicukupi kebutuhannya—pastinya merasa butuh akan sebuah revolusi, perjuangan dan bentrokan yang sifatnya fisik, meski itu nantinya akan menjadi sesuatu yang sifatnya abadi. Akan tetapi selain itu semua dia juga hendak membawa dirinya ke dalam suatu kegembiraan saat ini. Dia memelihara kegembiraan ini dalam fantasi yang dimilikinya saat ia berjalan menembus kabut, menghabiskan waktu di kereta-kereta atau pun trem-trem, tercekik di dalam kantor atau pun di tengah-tengah situasi yang terus menjadikan dirinya layaknya sekrup tak berguna, dimana pada saat yang sama hanya berfungsi untuk memelihara berbagai mekanisme kapital yang tak berguna.
Kegembiraan yang terbayar, libur di akhir pekan atau cuti tahunan yang diberikan para majikan terlihat layaknya membayar seseorang untuk bercinta. Semuanya seolah sama namun tetap saja ada sesuatu yang kurang di dalamnya.
Ratusan teori yang menumpuk memenuhi setiap buku, pamflet, dan selebaran-selebaran revolusioner, menganjurkan kita untuk melakukan ini, melakukan itu, memandang segala hal dalam cara yang seperti dikatakan oleh tokoh ini atau dikatakan oleh tokoh yang itu, karena mereka yang namanya diberi huruf kapital dan memenuhi volume-volume klasik yang begitu menyesakkan itu adalah penasfir sejati atas hal yang pernah terjadi di masa lalu. Bahkan kebutuhan untuk tetap menyimpannya seolah menjadi “ibadah” yang wajib, tidak memilikinya dapat membawa pertanda buruk, membawa kecurigaan tertentu. Adalah bermanfaat untuk tetap menyimpannya dengan mudah dalam hal apa pun. Memandangnya sebagai tugas yang berat hanya akan membawa kita dalam masalah. Ini bukanlah sesuatu yang baru, meskipun demikian perlu ada suatu penegasan atas validitas dari berbagai teks revolusioner yang ada di masa lalu (dan tentunya di masa kini).
Sama sekali tak pernah ada sesuatu yang berhubungan dengan kegembiraan di berbagai buku-buku besar tersebut. Ketegangan dari mereka yang terisolir tak perlu mencemburui atmosfir yang tercium di dalam setiap halaman mereka. Para penulis dan pendeta dari revolusi balas dendam dan penghakiman, menghabiskan waktu mereka untuk terus menimbang kesalahan serta ganti rugi.
Terlebih lagi, orang-orang “suci” yang berbalutkan jeans tersebut telah mengambil sumpah suci, sehingga mereka juga sangat mengharapkan dan memaksakan hal tersebut. Mereka ingin diberi hadiah atas segala pengorbanannya. Pertama, mereka telah meninggalkan segala kenyamanan kelas mereka, kemudian mereka menggunakan kemampuannya dalam membuang segala hak warisnya. Mereka telah menumbuhkan kebiasaan untuk menggunakan kata-kata yang tidak mereka miliki dan menempatkannya di atas taplak meja kotor dan tempat-tempat tidur yang belum dirapikan. Sehingga, pada akhirnya mereka berharap seseorang mungkin mau mendengarkan mereka.
Mereka memimpikan suatu revolusi yang tertata, dengan rapi menegaskan berbagai prinsip-prinsip yang ada, suatu anarki tanpa disertai dengan pergolakan. Jika segala sesuatunya terjadi dalam cara yang berbeda, mereka mulai meneriakkan provokasi, berteriak dengan lantang agar setiap polisi dapat mendengarkannya. Para revolusioner ini merupakan orang-orang alim. Dan revolusi bukanlah peristiwa yang identik dengan ke-alim-an.
II
“Saya menyebut kucing dengan kucing.”
– Boileau
Kita semua sangat peduli dengan masalah revolusioner, bagaimana dan apa yang akan diproduksi dari proses itu, namun tak seorang pun mampu menunjukkan bahwa produksi merupakan masalah yang revolusioner. Jika produksi merupakan akar dari eksploitasi kapitalis, maka mengubah mode produksi semata-mata hanya akan mengubah pola eksploitasinya saja.
Seekor kucing, sekali pun kau mengecatnya dengan warna merah, tetaplah seekor kucing.
Para produsen adalah mahkluk suci. Angkat tanganmu!!! Sucikan pengorbanannya dalam nama revolusi, dan selanjutnya… les jeux sont faits. [4]
“Jadi, apa yang akan kita makan?” orang-orang yang peduli akan hal itu pun mulai bertanya. “Roti dan benang,” kata para realis, dengan satu mata tertuju pada pot dan yang lain pada senjata mereka. ‘Ide-ide’ memporak-porandakan kerangka para idealis, dengan sebelah mata tertuju pada buku-buku mimpi dan sebelahnya tertuju pada spesies manusia. Siapa pun yang menyentuh ranah produktivitas pasti akan memilikinya.
Kapitalisme dan para penentangnya duduk berdampingan satu sama lain di atas bangkai para produsen, namun proses produksi harus terus berjalan. Kritik politik-ekonomi merupakan rasionalisasi pola produksi disertai upaya keras yang masih tersisa (tentunya dari mereka yang menikmati keuntungan dari segala hal tersebut). Orang-orang lain, yakni mereka yang menderita karena adanya eksploitasi, mesti hati-hati dalam melihat setiap kekurangan yang ada. Sebaliknya jika demikian adanya, lalu bagaimana kita akan hidup?
Ketika muncul menuju terang, sang anak kegelapan takkan melihat apa pun ketika ia mulai beranjak untuk meraba-raba dalam kegelapan. Kegembiraan telah membutakan matanya. Kegembiraan itu telah membunuhnya. Kemudian ia akan mengatakan bahwa itu hanya halusinasi dan mulai mengutuk hal tersebut.
Para borjuis gemuk bersenang-senang dan memanjakan diri dalam kekayaan. Sehingga kegembiraan menjadi hal yang berdosa. Hal itu dapat bermakna saling berbagi sensasi yang sama seperti yang dilakukan oleh para borjuis dan mengkhianati para proletariat yang selama ini telah menghasilkan segala sesuatunya.
Para borjuis akan menempuh perjalanan panjang guna terus menjaga proses eksploitasi yang tengah berlangsung. Ia juga akan merasa tertekan dan takkan pernah menemukan waktu untuk bersenang-senang. Penjelajahannya adalah alasan yang mendorongnya untuk mencari ruang-ruang investasi baru sambil berjalan beriringan dengan pasukan yang bertugas mendapatkan informasi dari para kompetitor.
Dewa produktivitas bahkan rela untuk membunuh muridnya yang sangat setia. Memutar kepala mereka hingga tak menyisakan hal apa pun selain air bah penuh sampah yang akan ditumpahkannya.
Mereka yang kelaparan memperburuk landasan keinginan balas dendam saat ia memandang orang-orang kaya yang dikelilingi oleh rombongan pengiring mereka yang bergerak lincah. Musuh mesti dihancurkan mendahului yang lainnya. Namun selamatkan terlebih dulu hasil rampasannya. Kekayaan mestinya jangan dihancurkan, ia harus digunakan. Tak peduli apa pun itu, apa pun bentuknya atau prospek pekerjaan apa yang menyertainya. Hal yang perlu dipertimbangkan adalah merebut siapa pun yang mempertahankan diri padanya di saat bersamaan, sehingga siapa pun dapat memiliki akses terhadap hasil rampasan tersebut.
Setiap orang? Tentu saja, itu berlaku bagi setiap orang.
Dan bagaimana hal itu akan terjadi?
Dengan kekerasan para revolusioner…!!!
Jawaban yang bagus. Akan tetapi, apa yang akan kita lakukan setelah kita telah memotong banyak kepala yang selama ini telah menjerumuskan kita dalam kebosanan? Apa yang akan kita lakukan saat tak ada lagi tuan tanah, bahkan jika kita mencarinya dengan lentera sekali pun?
Kemudian masa itu akan menjadi tatanan revolusi. Masing-masing menurut kebutuhannya, masing-masing berdasarkan kemampuannya.
Tetaplah berhati-hati kamerad. Terdapat aroma pembukuan disini. Kita berbicara mengenai konsumsi dan produksi. Segalanya masih berada dalam dimensi produktivitas. Aritmetika membuatmu seolah merasa aman. Dua ditambah dua adalah empat. Siapa yang akan membantah ‘kebenaran’ ini? Angka-angka telah menguasai dunia. Jika mereka telah melakukannya hingga sekarang, mengapa mereka tidak melanjutkannya saja?
Kita semua membutuhkan sesuatu yang jauh lebih padat dan tahan lama. Batu-batu kokoh untuk membangun tembok guna menahan berbagai impuls yang mulai mencekik diri kita. Kita semua membutuhkan objektivitas. Para majikan bersumpah atas nama dompet mereka, para petani dengan cangkul mereka, para revolusioner dengan senjata mereka. Biarkanlah cahaya redup kritisisme dan seluruh anak tangga turut berjatuhan bersamanya.
Dalam objektivitasnya yang begitu berat, dunia keseharian telah mengkondisikan dan mereproduksi diri kita. Kita adalah anak-anak dari banalitas keseharian. Bahkan saat kita berbicara mengenai sesuatu yang ‘serius’ seperti revolusi, mata kita masih saja tertuju pada kalender. Para majikan sangat takut akan revolusi karena hal itu akan memisahkan mereka dari kekayaannya. Para petani akan mengambil bagian tanah mereka, sementara para revolusioner akan menguji teori-teori mereka.
Jika masalah yang ada dilihat berdasarkan berbagai terminologi ini, maka takkan ada bedanya dompet, tanah, dan teori-teori revolusioner. Berbagai objek tersebut merupakan sesuatu yang imajiner, seluruhnya hanya merupakan cermin-cermin dari ilusi manusia. Hanya perjuangan yang sesungguhnya nyata. Itu akan membedakan antara majikan dengan para petani dan menghubungkan antara apa yang terjadi belakangan dan para revolusioner itu sendiri.
Bentuk-bentuk organisasi produksi yang ditempuh adalah kendaraan ideologis untuk menyembunyikan ilusi identitas individual. Identitas ini terproyeksikan ke dalam ilusi konsep nilai secara ekonomis, suatu kode yang menentukan interpretasinya. Para majikan mengendalikan bagian dari kode ini, sebagaimana yang kita lihat dalam konsumerisme. Teknologi perang psikologis dan represi total juga memberi kontribusi terhadap penguatan ide bahwa kondisi yang dialami seseorang adalah dihasilkan dari kondisi manusia yang lain.
Bagian lain dari kode tersebut dapat dimodifikasi. Mereka tak dapat menjalani perubahan revolusioner, namun hanya menyesuaikan diri dari waktu ke waktu. Sebagai contoh, cobalah berpikir mengenai konsumerisme massif yang telah menggantikan konsumerisme mewah di tahun-tahun yang telah berlalu. Kemudian muncul pula bentuk-bentuk yang telah diperbaharui seperti kontrol swa-manajemen atas produksi, yang tak lain adalah komponen berbeda dari kode eksploitasi. Dan demikian seterusnya. Setiap orang yang memutuskan untuk mengorganisir kehidupanku takkan pernah menjadi kawanku. Jika mereka mencoba untuk membenarkan hal ini dengan alasan bahwa seseorang itu harus ‘memproduksi’ atau dengan kata lain kita semua akan menghilangkan identitas kita sebagai umat manusia dan dikuasai oleh ‘alam buas dan kejam’, kami tegaskan bahwa relasi terpisah antara manusia dan alam merupakan produk dari Marxis borjuis yang tercerahkan. Mengapa mereka hendak mengubah pedang ke garpu? Mengapa manusia secara terus-menerus berusaha keras untuk membedakan dirinya dari alam?
III
“Manusia, jika mereka tak dapat meraih apa yang diperlukan, melelahkan diri mereka sendiri dengan segala yang tak berguna sama sekali.”
– Goethe
Manusia membutuhkan banyak hal. Pernyataan ini seringkali diambil untuk mengartikan bahwa manusia memiliki kebutuhan yang perlu untuk dipuaskan.
Dengan cara ini orang-orang mengalami transformasi yang mulanya ditentukan secara historis dalam suatu dualitas (cara dan tujuan secara bersamaan). Mereka menyadarinya melalui pemuasan kebutuhan-kebutuhan mereka (melalui kerja) sedemikian rupa sehingga menjadi instrumen realisasi mereka.
Siapa pun dapat melihat banyaknya mitologi yang tersembunyi dalam berbagai pernyataan semacam itu. Jika manusia membedakan dirinya dari alam melalui kerja, bagaimana ia memenuhi pemuasan berbagai kebutuhannya? Untuk melakukan hal ini ia telah menjadi ‘manusia’, demikian pula dengan pemenuhan atas berbagai kebutuhannya, yang berarti ia takkan perlu untuk bekerja.
Komoditas memiliki kandungan yang sangat simbolik. Komoditas telah menjadi titik acuan, suatu unit takaran serta nilai pertukaran. Di titik ini Spectacle[5] pun dimulai. Berbagai peran diberikan dan mereproduksi diri dalam jumlah yang tak terbatas. Para aktor terus memainkan peranan mereka tanpa adanya perubahan khusus.
Pemuasan terhadap kebutuhan mereka tak lebih dari bentuk refleks, suatu efek yang sifatnya marjinal. Hal yang menjadi masalah di sini ialah hadirnya proses transformasi masyarakat ke dalam ‘benda’ dan berbagai hal lain yang mengiringinya. Alam pun dianggap sebagai ‘benda’. Ia digunakan, dirusak, dan diiringi pula oleh rusaknya insting-insting vital manusia sehingga jurang yang memisahkan alam dan manusia pun terbuka begitu lebar. Ia mesti diisi, dan ekspansi komoditas pasar telah mengarah pada hal tersebut. Spectacle telah berkembang ke titik yang melahap dirinya sendiri bersama dengan berbagai kontradiksi yang menyertai keberadaannya. Panggung dan para audiens memasuki dimensi yang sama, memposisikan diri demi meraih level tertinggi dari spectacle yang sama, terus berkelanjutan seolah takkan pernah berhenti.
Siapa pun yang melarikan diri dari kode komoditas tidak hanya menjadi objek dan terlempar ‘keluar’ dari area dunia tontonan, mereka justru diarahkan dan dikelilingi oleh kawat berduri. Jika mereka menolak untuk ter-kodifikasi[6], mereka akan dicap kriminal (terkriminalisasi) atau bahkan dianggap gila. Adalah hal yang sangat terlarang untuk menolak ilusi dalam dunia yang mendasarkan kenyataan pada ilusi.
Kapital menata dunia tontonan berdasarkan pada hukum-hukum akumulasi. Namun tak satu pun yang dapat berakumulasi secara tak terbatas, bahkan kapital sekalipun. Proses kuantitatif dalam bentuknya yang absolut adalah ilusi, suatu ilusi kuantitatif yang sangat presisi. Para majikan memahami hal ini dengan sempurna. Eksploitasi mengadopsi berbagai bentuk dan model-model ideologis yang berbeda. Hal ini tentu untuk memastikan berlangsungnya akumulasi ini dalam berbagai cara berbeda secara kualitatif, semenjak hal tersebut tak dapat berlanjut dalam aspek kuantitatif tak terbatas.
Kenyataan bahwa keseluruhan proses itu telah menjadi paradoks dan mengilusi bukanlah masalah berarti bagi kapital, sebab hal tersebut telah mengekang dan menguasai secara menyeluruh. Jika semua proses itu diperlukan untuk menjual ilusi akan realitas dan segala hal yang dapat menghasilkan uang, maka mari memikulnya tanpa perlu bertanya banyak. Adalah mereka yang tereksploitasi yang memijakkan diri pada tagihan rekening. Maka semuanya bergantung pada mereka untuk melihat trik dan merasakan kecemasan dalam mengenali realitas. Bagi kapital segala hal adalah menyenangkan sebagaimana mestinya, sekalipun semua hal didasari oleh pertunjukan permohonan yang terhebat di dunia.
Orang-orang yang tereksploitasi nyaris merasakan nostalgia dari tipu daya ini. Mereka memandang rantai yang membelenggu diri mereka sebagai hal yang biasa dan terkait erat dengannya. Saat ini dan di esok hari mereka berfantasi tentang pemberontakan mengagumkan yang bermandikan darah, lalu membiarkan diri mereka terbawa oleh pidato-pidato para pemimpin politik yang baru. Partai revolusioner memperluas dimensi ilusi dari kapital hingga ke kaki langit yang takkan pernah dapat mereka raih, dan ilusi kuantitatif pun menyebar luas.
Mereka yang tereksploitasi turut bergabung, memunculkan diri, serta menarik kesimpulan mereka sendiri. Berbagai slogan menjadikan jantung para borjuis kehilangan denyut. Makin besar jumlah slogannya, makin besar pula tuntutan yang mereka inginkan dan para pemimpin pun berjingkrak dengan begitu arogannya. Mereka mengusung berbagai program besar demi menaklukkan kekuasaan. Kekuatan yang baru ini telah siap untuk menyebar ke program-program tua yang masih eksis dan menjadikan jiwa Bonaparte pun tersenyum puas.
Tentunya, perubahan-perubahan mendalam telah terprogram dalam kode-kode yang mengilusi. Akan tetapi segalanya harus tunduk pada simbol akumulasi kuantitatif. Tuntutan terhadap revolusi makin meningkat seiring bertumbuhnya kekuatan-kekuatan militan. Dengan cara yang sama, tingkat profit secara sosial yang menggantikan keuntungan privat mesti terpelihara. Dengan cara demikian, kapital telah memasuki fase baru yang mengilusi dan begitu spektakuler. Kebutuhan lama terus menerus menekan di bawah label-labelnya yang baru dan “Dewa” produktivitas pun terus menguasai tanpa dapat tertandingi.
Begitu sempurnanya nilai-nilai itu bagi diri kita, hingga mampu menguatkan diri kita. Serikat-serikat buruh menganggapnya sangat berarti. Partai-partai menghitung jumlah partisan mereka, para majikan melakukan yang sama, demikian pula dengan kita. Saling bersahutan satu dengan yang lainnya.
Dan ketika kita berhenti berhitung, kita mencoba untuk memastikan bahwa segalanya masih tetap seperti sedia kala. Jika perubahan tak dapat dicegah, kita akan mengusungnya tanpa mengganggu orang lain. Sungguh begitu mudahnya momok seperti ini berpenetrasi.
Hari demi hari politik menjadi yang terdepan. Kapital seringkali menciptakan solusi-solusi yang sangat cerdas. Lalu kedamaian sosial menghantam diri kita tanpa diketahui, menebar ilusi ke dataran yang diabsorbsi oleh dunia tontonan hingga nyaris menarik seluruh kekuatan yang ada, tanpa suara, lalu menyusul segala yang telah rusak beserta kemonotonan dari mis-en-scene[7] yang ada di dalamnya. Memunculkan tabir di setiap situasi yang tak terduga.
Mesin-mesin para kapitalis mulai berjalan tersendat. Keterlibatan secara revolusioner mulai menampilkan sosoknya. Itu terjadi pada tahun 1968 di Paris, dimana setiap orang seolah terperanjat dengan peristiwa itu. Setiap orang terlihat begitu buas, berbagai leaflet tersebar di mana-mana. Bergunung-gunung leaflet, pamflet, paper, dan buku tersebar di waktu itu. Perbedaan ideologis di masa lampau berjejer layaknya tentara kaleng. Bahkan para anarkis pun kembali menemukan jati dirinya. Dan mereka melakukan semua itu secara historis, berdasarkan kebutuhan yang ada pada saat itu. Setiap orang seolah cukup bodoh dalam memandang segala sesuatu. Demikian pula dengan para anarkisnya. Sebagian besar orang mendadak terbangun dari tidurnya yang begitu spektakuler dan mencari ruang serta udara di sekelilingnya untuk bernafas, mencari para anarkis yang berkata dengan lantangnya pada diri mereka sendiri, pada akhirnya… Inilah apa yang saya inginkan…!!!
Akan tetapi mereka dengan segera menyadari kekeliruannya, segala sesuatunya ternyata tidaklah berjalan seperti yang diharapkan. Terlampau banyak kebodohan dan spectacle di sana. Karena itulah mereka melarikan diri, menutup diri, tercerai-berai, dan mulai mengamini permainan kapital. Dan jika menolaknya mereka akan dibuang, bahkan oleh para anarkis sekali pun.
Mesin-mesin 68’ telah menghasilkan para pelayan sipil terbaik dari sebuah negara techno-birokratis. Namun fenomena tersebut juga turut menghasilkan penangkalnya, yaitu menjelaskan proses ilusi kuantitatif. Di satu pihak ia menerima ‘darah segar’ guna membangun cara pandang baru terhadap komoditas dunia tontonan, tapi di sisi lain terdapat pula kecacatan di dalamnya.
Begitu nyata terlihat bahwa konfrontasi pada tataran produksi adalah sesuatu yang tidak efektif. Mengambil-alih berbagai pabrik, tanah, sekolah, dan ke-tetangga-an serta menjadikannya swa-manajemen, seperti yang diproklamirkan oleh para revolusioner anarkis yang kolot. Kita hendak menghancurkan kekuasaan dalam segala bentuknya, tetapi sama sekali tak pernah bersentuhan dengan akar permasalahan. Sekalipun sadar dengan daya gravitasi, yang justru cenderung untuk diabaikan, yang menempatkan harapan mereka pada spontanitas-kreatif sebuah revolusi. Tapi di saat yang bersamaan mereka juga tetap ingin memelihara kontrol atas produksi. Apa pun yang terjadi, apa pun bentuk kreatif revolusi yang mungkin terekspresikan, kita mesti mengambil-alih sumber daya produksi. Akibatnya musuh pun mampu mengalahkan kita pada tingkatan itu dan membuat kita menerima segala jenis bentuk kompromi. Mereka berakhir dengan bentuk yang lain, sesuatu sangat mengerikan, yakni spectacle.
Ilusi spektakular memiliki aturannya sendiri. Siapa pun yang ingin mengarahkannya mesti tinggal bersamanya. Mereka harus mengetahui, mempergunakannya, serta disumpah olehnya. Mula-mula produksi mempengaruhi segala hal, jika kau tak memproduksi maka dirimu bukanlah manusia dan revolusi bukanlah untukmu. Membuat kita bertanya-tanya, mengapa kita mesti memberikan toleransi terhadap parasit ini? Perlukah kita bekerja di dalam tempat yang dibolehkan olehnya? Haruskah kita memandang penghidupan mereka seperti kita memandang penghidupan kita sendiri? Di samping itu, tidakkah orang-orang dengan idenya yang masih abstrak itu, yang menyatakan akan melakukan apa yang mereka mau, tidak akan berbalik secara objektif menjadi kontra-revolusi?
Lalu kita pun mulai berpikir untuk menyerangnya secara langsung. Merasa tahu siapa yang menjadi musuh, siapa saja sekutu kita. Jika kita mulai ketakutan, kita memikulnya bersama, berorganisasi dalam cara yang sempurna, dan takkan membiarkan seorang pun menaruh kaki mereka di atas meja atau membiarkan celana panjang mereka melorot. Kita pun mulai menata organisasi yang sifatnya spesifik, melatih para militan yang memahami teknik-teknik perjuangan di tempat-tempat produksi. Para produser akan membuat suatu revolusi sementara kita hanya akan berada di sana untuk memastikan bahwa mereka takkan melakukan sesuatu yang keliru.
Tidak, semua itu adalah keliru. Bagaimana kita dapat menghentikan mereka untuk tidak melakukan kesalahan? Pada tataran spektakuler organisasi terdapat beberapa orang yang mampu membuat kecerobohan melebihi yang lain. Dan mereka memiliki cadangan nafas yang mencukupi, berjuang di tempat produksi demi mempertahankan kerja, untuk mempertahankan produksi. Kapankah kita akan menghancurkan lingkaran itu? Kapan kita dapat berhenti untuk menggigit ekor kita sendiri?
IV
“Pria yang senantiasa berubah akan selalu menemukan cermin-cermin yang menjadikannya terlihat tampan.”
– De sade
Kecintaan terhadap kerja sungguh adalah suatu kegilaan..!!!
Dengan begitu indahnya kecerdikan kapital telah berhasil menjadikan mereka yang tereksploitasi mencintai kondisi hidupnya, manusia tergantung dengan tali yang menjerat lehernya sementara para budak dengan rantai yang membelenggu dirinya.
Idealisasi atas kerja telah mematikan revolusi hingga saat ini. Pergerakan dari orang-orang yang tereksploitasi telah dirusak oleh moralitas borjuis (yaitu produksi), yang tak hanya asing baginya, tapi juga bertentangan dengannya. Bukanlah suatu kebetulan jika serikat pekerja menjadi sektor pertama yang dirusak olehnya, lebih tepatnya karena kedekatan mereka pada manajemen spectacle produksi.
Saatnya untuk mempertentangkan estetika non-kerja dengan etika kerja. Kita harus menentang kepuasan atas kebutuhan spektakuler yang dipaksakan oleh masyarakat konsumer melalui pemuasan kebutuhan alamiah manusia sebagai suatu kebutuhan esensial, yaitu : kebutuhan akan komunisme.
Dengan cara ini evaluasi secara kuantitatif atas berbagai kebutuhan akan dijungkir-balikkan. Kebutuhan atas komunisme akan mentransformasikan segala jenis kebutuhan lainnya beserta segala tekanannya terhadap manusia.
Kemiskinan manusia, sebagai konsekuensi atas eksploitasi, telah dipandang sebagai pondasi bagi munculnya ‘penebusan’ di masa yang akan datang. Kristianitas dan segala gerakan revolusioner berjalan seiring sepanjang sejarah. Kita harus menderita demi menaklukkan surga atau untuk mendapatkan kesadaran kelas yang akan membawa kita pada revolusi. Tanpa etos kerja maka ide para Marxis mengenai ‘proletariat’ takkan berarti apa-apa, akan tetapi etos kerja juga adalah produk dari rasionalisme borjuis yang akan memungkinkan para borjuis untuk menaklukkan kekuasaan.
Korporatisme muncul kembali ke permukaan melalui pertautan internasionalisme proletarian. Setiap orang berjuang di dalam sektor mereka sendiri. Paling sering dilakukan adalah dengan mengontak kelompok yang sama di daerah lain. Multinasional yang monolitik berhadapan dengan serikat buruh internasional yang juga monolitik. Mari membuat suatu revolusi namun selamatkan mesin-mesin, peralatan kerja, segala objek mistis yang mereproduksi sifat historis dari para borjuis, sekarang juga..!!! Di tangan proletariat…!!!
Warisan revolusi ditakdirkan untuk menjadi konsumer dan aktor utama dari spectacle kapitalis di esok hari. Teridealisasi di tataran berlawanan sebagai penerima warisannya di kemudian hari, kelas revolusioner pun menghilang dalam idealisasi proses produksi. Ketika mereka yang tereksploitasi turut masuk ke dalam pembagian kelas, segala elemen spektakuler pun bermunculan, tepat ketika mereka mengalami hal yang sama, yaitu menjadi orang-orang yang kemudian mengeksploitasi.
Satu-satunya jalan bagi orang-orang yang tereksploitasi untuk menghindari proyek peng-globalisasian dari kapital adalah dengan melakukan penolakan terhadap kerja, produksi serta ekonomi politik.
Dalam suatu masyarakat yang didasari oleh hal terakhir tadi, penolakan terhadap kerja haruslah tidak dibuat rancu dengan ‘kekurangan kerja’. Mereka yang termarjinalisasi akan mencari pekerjaan. Dan saat mereka tak mendapatkannya, mereka pun dipaksa masuk ke dalam Ghetto[8] dan mengalami kriminalisasi. Lalu semua itu akan menjadi bagian dari manajemen spectacle yang produktif secara menyeluruh. Para produser dan pengangguran sama-sama sangat diperlukan bagi kapital, namun keseimbangan menjadi pertanyaan yang sangat sulit. Kontradiksi meletus dan menghasilkan berbagai jenis krisis, dan itu terjadi dalam konteks dimana intervensi revolusioner mengambil tempat di dalamnya.
Dengan demikian penolakan terhadap kerja serta penghancurannya merupakan penegasan (afirmasi) dari kebutuhan akan sesuatu yang sifatnya non-kerja. Affirmasi yang dapat direproduksi oleh manusia dan mampu mengobjektivikasi dirinya sendiri dalam aspek non-kerja, melalui berbagai permohonan yang mampu menjadi stimulan bagi dirinya. Ide mengenai penghancuran kerja adalah sesuatu yang absurd jika hal tersebut dilihat dari sudut pandang etos kerja. Namun bagaimana hal itu terjadi? Begitu banyak orang yang sedang mencari pekerjaan, begitu banyak jumlah pengangguran, dan kau berbicara tentang penghancuran kerja? Hantu para Luddite[9] muncul dan menempatkan semua kaum revolusioner—yang telah membaca semua yang klasik—untuk menakuti. Model kaku dari serangan frontal terhadap kekuatan kapitalis pastilah tidak tersentuh. Segala kegagalan dan penderitaan di masa lalu sama sekali tidak relevan ; tidak lebih dari sekedar hal memalukan dan menjadi sebuah pengkhianatan. Maju ke depan kamerad, hari yang lebih baik akan segera datang, teruslah melangkah ke depan..!!!
Cukuplah sudah menunjukkan seperti apakah konsep ‘waktu luang’, suspensi kerja temporer, yang berhenti di masa kini untuk menakuti para proletarian agar segera kembali ke dalam atmosfir stagnan dari organisasi kelas (seperti : partai-partai, serikat buruh, dan para pengikutnya). Spectacle yang ditawarkan oleh organisasi-organisasi waktu-luang yang birokratis dengan begitu bebasnya dirancang untuk menekan sekalipun dalam kondisi suburnya imajinasi. Namun ini tak lebih dari sekedar selubung ideologis, menjadi salah satu dari sekian banyak instrumen perang secara total yang membentuk spectacle secara keseluruhan.
Kebutuhan akan komunisme telah mentransformasikan segalanya. Melalui hal tersebut kebutuhan akan non-kerja bergerak dari aspek negatif (oposisi terhadap kerja) menuju pada sesuatu yang positif, yaitu: individu melengkapi tersedianya hal tersebut bagi diri mereka, suatu kemungkinan untuk bebas mengekspresikan dirinya terbebas absolut, terputus dari segala model, sekalipun itu adalah sesuatu yang fundamental dan sangat diperlukan, seperti halnya produksi.
Namun kaum revolusioner adalah orang-orang yang patuh dan merupakan orang-orang yang takut untuk memisahkan diri dari segala model yang ada, tidak terkecuali revolusi yang telah membentuk halangan untuk merealisasikan konsep tersebut dengan lebih bermakna. Mereka takut akan menemukan dirinya berada dalam kondisi yang tak memiliki peran sama sekali dalam hidupnya.
Tak pernahkah kalian bertemu dengan kaum revolusioner tanpa proyek-proyek revolusioner? Suatu proyek yang didefenisikan dengan sangat bagus serta direpresentasikan dengan begitu jelasnya kepada massa? Apa pun jenis revolusionernya, itu akan menjadi salah satu yang diklaim untuk menghancurkan model serta kemasan yang sangat mendasari suatu revolusi?
Dengan menyerang konsep seperti kuantifikasi, kelas, proyek, model, tugas historis, dan berbagai hal usang semacam itu, seseorang akan menjalani resiko tak memiliki sesuatu untuk dilakukan, yakni berada dalam kondisi yang mengharuskannya untuk bertindak dalam realitas, secara sederhana, sebagaimana orang-orang lainnya. Seperti jutaan orang lain yang membangun revolusi hari demi hari tanpa menunggu adanya tanda-tanda dari deadline yang penting. Dan untuk melakukan hal ini maka yang kau perlukan adalah keberanian.
Dengan berbagai model dan permainan kuantitatif yang kecil engkau masih tetap berada dalam dunia tak nyata, sebuah proyek ilusif dari revolusi, yang menyuarakan spectacle kapital. Dengan memusnahkan etika produksi kau akan memasuki realitas revolusioner secara langsung. Adalah hal yang sulit bahkan untuk membicarakan hal semacam itu, sebab hal tersebut adalah sesuatu yang tak masuk akal untuk disebutkan dalam halaman perjanjian mereka. Untuk benar-benar mereduksi hal semacam ini dan analisis paling akhir pastinya akan luput dari titik tersebut. Hal terbaik dapat saja berupa diskusi informal yang mampu membawa keajaiban paling subtil dari sebuah permainan kata, menjadikannya kontradiksi paling riil dengan membicarakan kegembiraan secara lebih serius.
V
“Malam-malam di musim panas sungguh begitu berat. Sesuatu sedang tertidur tak nyenyak dalam ruangan yang begitu kecil. Dan itu adalah hawa dari Guillotine.”
– Zo d‘Axa
Orang-orang yang tereksploitasi juga menemukan waktu untuk bermain. Namun permainan mereka bukanlah kegembiraan. Permainan mereka adalah ritual menakutkan, sebuah penantian kematian. Sebuah suspensi kerja yang ditujukan untuk menyinari tekanan dari kekerasan yang terakumulasi selama aktivitas produksi. Dalam dunia ilusi komoditas, permainan juga merupakan suatu ilusi. Membayangkan diri sedang bermain, sementara apa yang sebenarnya kita lakukan adalah bentuk pengulangan dari berbagai peran monoton yang ditunjukkan oleh dunia kapital kepada kita.
Saat kita mulai menyadari proses eksploitasi maka sesuatu yang pertama kali kita rasakan ialah rasa balas dendam, sementara kegembiraan adalah hal terakhir. Pembebasan dipandang sebagai keadaan seimbang yang dikacaukan oleh kapitalisme, bukan sebagai datangnya dunia bermain yang menggantikan dunia kerja.
Ini menjadi fase pertama dari serangan terhadap para majikan. Sebuah fase yang mendekati kesadaran. Kita diserang oleh rantai-rantai, cambuk, tembok-tembok penjara, batasan seksual, dan rasial. Semua itu harus diruntuhkan, sehingga kita dapat mempersenjatai diri kita sendiri dan menyerang musuh untuk menagih tanggung jawab mereka.
Sepanjang malam pemenggalan, berbagai pondasi terbentuknya dunia tontonan baru pun ditempatkan. Kapital memperoleh kembali kekuatannya : pertama kepala para majikan yang akan jatuh, lalu menyusul kaum revolusioner.
Adalah hal yang tak mungkin untuk menciptakan revolusi dengan hanya mengandalkan guillotine[10] semata. Balas dendam adalah pondasi bagi kekuasaan. Siapa pun yang berkeinginan untuk menuntut balas dendam pasti membutuhkan seorang pemimpin. Seorang pemimpin yang akan membawanya menuju kemenangan dan memulihkan keadilan yang terluka. Dan siapa pun yang menangis demi balas dendam, memiliki keinginan untuk mengambil semua yang dirampas dari dirinya. Hak atas supremasi abstrak yang diperoleh dari nilai surplus.
Dunia di masa datang pastilah menjadi satu dunia dimana setiap orang akan bekerja. Jika demikian, kita akan memaksakan perbudakan pada setiap orang dengan pengecualian atas mereka yang membuatnya berfungsi dan mereka, jelas demi alasan itu, kemudian nantinya akan menjadi majikan yang baru.
Tak peduli apa pun itu, para majikan harus ‘membayar’ segala kesalahan mereka. Jika demikian!!! Kita akan mengemban etika kristen berkaitan tentang dosa, penghakiman, dan reparasi yang menuju revolusi. Sebagaimana konsep mengenai ‘hutang’ dan ‘pembayarannya’, yang jelas menjadi asal-mula merkantilis. Ini semua merupakan bagian dari dunia tontonan, sekali pun semua itu tidak diatur oleh kekuasaan.
Secara langsung kesemuanya dapat dengan mudah diambil alih. Pertukaran peran adalah satu teknik drama. Mungkin perlu untuk menyerang dengan menggunakan senjata balas-dendam dan penghukuman di berbagai momen perjuangan kelas. Pergerakan mungkin saja menjadi sesuatu yang tak dipunyai oleh yang lainnya. Sehingga itu akan menjadi momen bagi guillotine. Namun para revolusioner mesti berhati-hati terhadap batasan yang dimiliki oleh senjata semacam itu. Semua itu haruslah tidak memperdayai diri mereka sendiri atau pun orang lain.
Dalam bingkai ketakutan terhadap rasionalisasi mesin seperti halnya kapitalisme, konsep mengenai revolusi balas-dendam bahkan dapat menjadi bagian dari dunia tontonan semenjak ia dapat mengadaptasi dirinya secara terus-menerus. Pergerakan produksi tampaknya berterima kasih atas diberkatinya ilmu pengetahuan ekonomi, namun realitas itu didasari oleh ilusi antropologis mengenai pemisahan tugas. Tidak ada kegembiraan di dalam kerja, meski didasari oleh swa-manajemen sekali pun. Revolusi tak bisa direduksi ke dalam re-organisasi kerja yang sederhana. Tidak cukup dengan itu. Tak ada kegembiraan di dalam pengorbanan, kematian, atau pun balas dendam. Sebagaimana tiadanya kegembiraan dalam memperhitungkan diri sendiri. Aritmetika adalah negasi bagi kegembiraan.
Siapa pun yang memiliki hasrat hidup tidaklah memproduksi kematian. Dukungan yang sifatnya fana atas guillotine akan mengarah pada bentuk institusionalisasi. Namun di saat yang sama, siapa pun yang mencintai hidup tidak akan merangkul orang-orang yang mengeksploitasi mereka. Dengan melakukan itu akan menandakan bahwa mereka menentang hidup yang menyokong pengorbanan diri, menghakimi diri sendiri, kerja serta kematian.
Di tanah pemakaman/kerja, eksploitasi yang terjadi selama berabad-abad telah mengakumulasi hasrat balas dendam. Para pemimpin revolusi duduk di atas gunung ini dengan begitu pasif. Mereka belajar cara terbaik untuk menarik keuntungan/profit di dalamnya. Sehingga terjangan tindak balas-dendam pastinya ditujukan terhadap kasta baru dalam kekuasaan, simbol dan benderanya, Berbagai slogan serta analisis yang rumit. Aparatus ideologis akan melakukan segala hal yang dianggap perlu.
Adalah etos kerja yang memungkinkan terjadinya hal ini. Siapa pun yang menyenangi kerja dan berkeinginan untuk mengambil alih seluruh sumber daya produksi tidak menghendaki berbagai hal berlangsung secara membabi-buta.
Mereka tahu melalui pengalaman bahwa para majikan memiliki organisasi yang sangat kuat di sisi mereka agar eksploitasi dapat bekerja dengan baik. Mereka berpikir bahwa hanya melalui organisasi kuat dan sempurna yang akan menjadikan pembebasan sebagai sesuatu yang mungkin. Lakukan apa pun dengan segenap kekuatan/tenagamu, maka produktivitas pastinya akan terselamatkan dengan cara apa pun. Sungguh suatu penipuan…!! Etos kerja merupakan etika kristen dalam hal pengorbanan diri, etika para majikan patut berterima kasih pada berhasilnya pembantaian sejarah yang masing-masing datang dengan keteraturan yang mengkhawatirkan.
Orang-orang tersebut tak dapat memahami bahwa adalah hal yang mungkin untuk tidak menghasilkan nilai-surplus apa pun, dan bahwa seseorang dapat pula menolak untuk melakukan hal demikian. Bahwa adalah mungkin untuk menegaskan keinginan seseorang untuk tidak memproduksi, Perjuangan yang demikian menentang struktur ekonomi para majikan dan juga struktur ideologis yang menyerap seluruh pemikiran dunia barat.
Substitusi dari etos kerja dengan estetika kegembiraan tidak berarti akhir dari hidup seperti yang banyak dikhawatirkan oleh para kamerad yang mengamininya. Yang mengarah pada pertanyaan : ‘apa yang akan kita makan?’ seseorang dapat saja dengan mudah menimpali : ‘Apa yang kita produksi.’ Hanya produksi yang tidak lagi menjadi dimensi dimana manusia menentukan dirinya, semenjak hal itu muncul di sekitar lapisan permainan dan kegembiraan. Seseorang dapat memproduksi sebagai sesuatu yang terpisah dari alam, lalu bergabung di dalamnya sebagai sesuatu yang alamiah bagi dirinya sendiri. Jadi adalah mungkin untuk berhenti memproduksi di momen apa pun, ketika segalanya sudah mencukupi.
Hanya kegembiraan yang tak dapat dikendalikan. Kekuatan yang tak dikenali oleh peradaban yang mendiami zaman kita. Suatu kekuatan yang akan melipatgandakan impuls-impuls kreatif dari revolusi hingga ribuan kali. Kekayaan sosial dari dunia komunis tidaklah terukur dalam akumulasi nilai-lebih, sekalipun itu diatur oleh minoritas yang menyebut dirinya sebagai partai proletariat. Situasi semacam ini telah mereproduksi kekuasaan dan mengingkari hal yang paling esensial dari anarki. Kekayaan sosial komunis berasal dari potensi hidup yang muncul setelah revolusi.
Secara kualitatif—bukan kuantitatif—akumulasi harus menggantikan akumulasi kapitalis. Revolusi kehidupan telah berganti menjadi revolusi ekonomi semata-mata, potensi produktif menggantikan posisi dari produksi yang terkristalisasi, kegembiraan menggantikan tempat spectacle.
Penolakan terhadap pasar spektakuler dari ilusi kapitalis akan menciptakan jenis jual-beli lainnya. Dari perubahan khayalan secara kuantitatif ke sesuatu yang nyata secara kualitatif. Sirkulasi berbagai barang tidak mendasarkan dirinya pada berbagai objek dan reifikasi[11] para ilusionis mereka, namun pada makna yang dimiliki oleh objek yang ditujukan bagi hidup manusia. Dan ini pastilah merupakan makna kehidupan, dan bukan sesuatu yang tidak hidup. Sehingga berbagai objek ini akan terbatas pada momen berharga, dimana mereka saling dipertukarkan, dan arti pentingnya akan terus berubah-ubah sesuai dengan situasi dimana hal ini terjadi.
Objek yang sama dapat memiliki ‘nilai-nilai’ berbeda. Hal itu akan diwujudkan. Takkan ada yang berubah dari produksi selama kita tahu bahwa hal itu kini berada dalam dimensi kapital. Pertukaran itu sendiri akan memiliki makna yang berbeda ketika dilihat melalui penolakan atas produksi yang tak terbatas.
Apa yang disebut sebagai pekerja terbebaskan sama sekali tidak ada. Sesuatu yang disebut sebagai kerja terintegrasikan (secara manual maupun intelektual) sama sekali tak ada. Hanyalah pembagian kerja serta penjualan tenaga kerja yang sesungguhnya eksis, yang tak lain merupakan dunia produksi kapitalis.
Revolusi adalah negasi dari kerja dan affirmasi terhadap kegembiraan. Usaha apa pun untuk memaksakan ide mengenai kerja, ‘kerja yang adil’, kerja tanpa eksploitasi, ‘swa-manajemen’ kerja dimana orang-orang yang tereksploitasi menyesuaikan dirinya sesuai dengan seluruh proses produktif tanpa eksploitasi, kesemuanya tak lain merupakan bentuk mistifikasi.
Konsep mengenai swa-manajemen produksi hanya valid sebagai bentuk perjuangan untuk menentang kapitalisme, pada kenyataannya hal ini tak dapat dipisahkan dari ide perjuangan yang berpola swa-manajemen. Jika perjuangan dapat dipadamkan, swa-manajemen akan menjadi sesuatu yang tak lebih dari sekedar swa-manajemen atas penderitaan seseorang. Jika perjuangan berhasil dimenangkan swa-manajemen produksi akan menjadi sesuatu yang tak ada gunanya. karena setelah revolusi, organisasi produksi menjadi sesuatu tak berguna dan kontra-revolusioner.
V
“So long as you make the throw yourself everything is skill and easy winning; only if you suddenly become the one catching the ball that the eternal playmate throws at you, at your centre, with all her strength, in one of those arcs of great divine bridge builders: only then is being able to catch strength, not yours but of a world.”
– Rilke
Kita semua meyakini telah merasakan kegembiraan. Masing-masing orang meyakini telah merasakan kebahagiaan setidaknya sekali dalam hidupnya. Hanya pengalaman kegembiraan ini yang selalu menjadi sesuatu yang pasif. Kita kebetulan saja menikmati hari-hari kita. Kita tak dapat ‘menghasratkan’ kegembiraan, seperti halnya kita tak dapat mengharuskan kegembiraan untuk hadir dengan sendirinya di saat yang diinginkan.
Semua keterpisahan antara diri kita dan kegembiraan bergantung pada keberadaan kita yang terpisah dari diri kita sendiri, terbagi dalam dua bagian melalui proses eksploitasi. Kita bekerja sepanjang tahun untuk merasakan ‘kegembiraan’ di hari libur. Ketika hal-hal ini bermunculan, kita merasa ‘diharuskan’ untuk menikmati kenyataan bahwa kita semua sedang berada dalam suasana liburan. Sebuah bentuk penyiksaan seperti halnya yang lainnya.
Hal yang sama juga berlangsung di hari minggu. Sungguh suatu hari yang sangat mengerikan. Sebuah penghalusan dari ilusi mengenai waktu luang telah menunjukkan kepada kita kekosongan dari merkantilisme dunia tontonan yang sekarang kita hidupi. Tatapan kosong yang sama hinggap pada setengah gelas kosong, layar televisi, pertandingan bola, dosis penggunaan heroin, layar film, kemacetan lalu lintas, lampu neon, bagian-bagian rumah yang terpasang dan menyempurnakan pembunuhan lansekap.
Untuk mencari ‘kegembiraan’ di kedalaman berbagai macam “pertunjukan” spectacle kapitalis pastinya murni suatu kegilaan. Namun hal itu tentunya menjadi sesuatu yang sangat diinginkan oleh kapital. Pengalaman akan suatu waktu luang diprogramkan oleh mereka yang mengeksploitasi kita dengan cara mematikan. Menjadikanmu ingin terus bekerja, memperlihatkan hidup seseorang yang berakhir dengan menghendaki kematian tertentu.
Tak pernah ada suatu kegembiraan yang akan sampai pada kita jika berasal dari mekanisme rasional tindak eksploitasi kapitalis. Kegembiraan sama sekali belum menetapkan aturan untuk memasukkannya ke dalam daftar. Meski demikian, kita harus mampu menghasratkan suatu kegembiraan, jika tidak demikian kita pasti akan kalah.
Oleh karena itu pencarian kegembiraan harus menjadi kehendak yang terwujud dalam tindakan, menjadi suatu penolakan yang tegas atas kondisi yang ditetapkan oleh kapital beserta nilai-nilai yang ada di dalamnya. Hal pertama dari bentuk penolakan ini adalah mengenai kerja sebagai nilai. Pencarian kegembiraan hanya dapat muncul melalui pencarian permainan.
Dengan demikian, bermain memiliki makna yang berbeda dari apa yang biasanya kita mainkan dalam dimensi kapital. Nampak seperti kemalasan menenangkan, suatu permainan yang mempertentangkan dirinya dengan tanggung jawab hidup adalah artifisial, yang mendistorsi imaji sesungguhnya. Tingkat benturan dan kesesakan dalam perjuangan menghadapi permainan kapital saat ini bukanlah merupakan ‘jeda waktu’ tetapi adalah senjata.
Melalui ikatan yang aneh dari ironi, berbagai peran diputar-balikkan. Jika hidup menjadi sesuatu yang sangat serius maka kematian merupakan ilusi dalam artian bahwa selama kita hidup, kematian tidaklah eksis. Kini kuasa kematian, yaitu kuasa kapital, yang mengingkari eksistensi kita sebagai mahkluk hidup dan mereduksi keberadaan kita sebagai ‘benda-benda’, terlihat begitu serius, metodis dan terdisiplinkan. Namun serangan hebat dari bentuk possesif, etikanya yang keras, segala obsesinya terhadap ‘tindakan’ seluruhnya menyembunyikan ilusi yang sangat besar : yaitu kekosongan total dalam komoditas dunia tontonan, akumulasi tak terbatas yang sama sekali sia-sia serta absurditas eksploitasi. Dengan demikian keseriusan dari dunia kerja dan produktivitas secara total menyembunyikan ketiadaan keseriusan.
Sebaliknya, penolakan terhadap dunia yang bodoh ini, pengejaran kegembiraan, mimpi-mimpi, utopia dalam ‘ketiadaan keseriusan’ yang telah dinyatakan, menyembunyikan sesuatu yang sangat serius dalam kehidupan, yakni: penolakan terhadap kematian.
Dalam konfrontasi fisik dengan kapital, permainan dapat mengambil bentuk berbeda meski di sisi yang membatasi. Banyak hal yang masih dapat dilakukan dengan ‘menyenangkan’, melakukannya dengan cara yang ‘sangat serius’ berbekal topeng kematian yang telah kita peroleh dari kapital.
Bermain dikarakteristikkan oleh impuls vital yang senantiasa baru di setiap pergerakan. Dengan bertindak layaknya ketika bermain, kita mengisi tindakan kita dengan impuls ini. Kita membebaskan diri kita dari kematian. Bermain membuat kita hidup. Memberi kita suatu kegembiraan hidup. Dalam model tindakan yang berbeda kita melakukan segalanya seolah-olah itu adalah tugas, seolah kita ‘harus’ untuk melakukannya.
Semua itu ada di dalam permainan yang sesungguhnya baru, sangat bertentangan dengan alienasi dan kegilaan dunia kapital, dimana kita dapat dengan mudah mengidentifikasi kegembiraan tersebut.
Di sini terdapat suatu kemungkinan guna memutuskan diri dari dunia yang telah usang dan mengenal tujuan baru, nilai-nilai serta kebutuhan yang baru pula. Bahkan jika kegembiraan tak dapat mempertimbangkan maksud/tujuan yang dimiliki manusia, maka tak diragukan lagi bahwa dimensi privilege/keistimewaan yang menjadikan pertentangan dengan kapital menjadi berbeda saat semua itu tersebut dikejar dengan begitu bebasnya.
VII
“Hidup begitu membosankan tak ada yang dapat dilakukan selain membelanjakan seluruh upah kita untuk membeli rok atau pun kemeja keluaran terakhir. Saudara-saudara, Apa yang menjadi hasrat kalian yang sesungguhnya? Duduk di dalam apotik, memandang dikejauhan, penuh kekosongan, kebosanan, minum beberapa cangkir kopi yang sama sekali terasa hambar? Atau mungkin menyerangnya atau membakarnya hingga musnah.”
– The Angry Brigade
Dunia tontonan yang paling hebat dari kapital telah menenggelamkan kita semua. Para aktor dan spectator/penonton pun menunggu gilirannya. Kita mengganti berbagai peran yang ada, salah satunya dengan mulai membuka mulut pada yang lain atau menjadikan yang lain memandang ke arah kita. Kita telah menyalakan tabung kaca, sekali pun kita tahu bahwa itu hanyalah sebuah labu. Dongeng yang dilantunkan oleh orang tua telah membohongi kewaspadaan kita yang begitu kritikal. Kini kita harus ikut bermain. Setidaknya, hingga malam hari menjelang.
Kemiskinan dan kelaparan kini masih menggerakkan kekuatan revolusi. Namun kapital makin melebarkan spectacle. Dunia tontonan kini menginginkan aktor-aktor baru untuk naik ke atas panggung. Dunia tontonan yang begitu besar di dunia akan terus menerus mengejutkan kita semua. Selalu menghadirkan sesuatu yang lebih rumit, lebih baik dan terorganisir dengan lebih baik lagi. Para badut yang baru telah siap untuk menaiki mimbar. Spesies baru dari mahkluk buas yang liar akan dijinakkan. Para pendukung kuantitas, para pecinta aritmetika, akan memperoleh giliran lebih dulu dan akan dibutakan oleh cahaya yang begitu menyilaukan, menyeret massa dalam kepatuhan beserta segala ideologi penebusan yang turut menyertai mereka.
Namun satu hal yang takkan mampu dibersihkan adalah keseriusan yang mereka miliki. Bahaya terbesar yang mereka hadapi akan ditertawakan. Dalam spectacle kapital, kegembiraan adalah sesuatu yang mematikan. Segalanya begitu suram dan menyeramkan, segala hal begitu serius dan teratur/tertata, segalanya begitu rasional dan terprogram sangat rapi, lebih tepatnya karena itu semua merupakan suatu kebohongan dan hanya ilusi semata.
Dibalik krisis, dibalik masalah keterbelakangan yang lain, dibalik kemiskinan dan kelaparan, pertarungan akhir yang mesti dijalani oleh kapital, yang merupakan sesuatu yang sangat menentukan, adalah pertarungan menghadapi kebosanan.
Gerakan revolusioner juga harus menghadapi pertempurannya. Bukan hanya pertempuran tradisional dalam menghadapi kapital akan tetapi suatu pertempuran yang jauh lebih baru, yaitu bertempur menghadapi dirinya sendiri.
Kebosanan menyerang gerakan revolusioner dari dalam, hal itu menyebabkan kondisi makin memburuk, menjadikannya begitu sesak serta tak dapat didiami. Mari kita tinggalkan saja mereka yang serupa dengan spectacle kapitalisme itu sendiri. Mereka yang telah cukup bahagia untuk memainkan peran mereka hingga akhir. Orang-orang tersebut berpikir bahwa reformasi dapat mengubah segalanya. Namun hal ini lebih dari sebuah selubung ideologis jika dibandingkan dengan yang lain. Orang-orang tersebut hanya cukup memahami bahwa perubahan yang sedikit merupakan satu aturan di dalam sistem. Dan adalah hal yang berguna bagi kapital untuk memperbaiki sedikit berbagai hal tepat pada waktunya.
Kemudian muncul suatu gerakan revolusioner dimana di dalamnya tidak kekurangan orang-orang yang menyerang kekuasaan kapital secara verbal. Orang-orang ini menimbulkan kebingungan yang sangat berarti. Mereka muncul dengan berbagai pernyataan mereka yang agung namun tidak lagi memberi kesan berarti bagi siapa pun, paling sedikit mereka hanya digunakan oleh kapital sebagai bagian yang sangat lembut dalam spectacle-nya. Ketika kapital membutuhkan pemain tunggal maka ia menempatkan orang-orang ini sebagai performer di atas panggung. Dan hasilnya begitu menyedihkan.
Hal yang sesungguhnya terjadi ialah bahwa mekanisme spektakuler dari komoditas harus dihancurkan dengan memasuki daerah kekuasaan kapital, pusat-pusat koordinasi, tepat di nukleus kapital yang paling inti. Pikirkan betapa mengagumkannya ledakan kegembiraan yang terjadi, betapa hebatnya lompatan kreatif yang akan terjadi, betapa luar biasanya tujuan yang tak berarah itu.
Kesulitan yang ada hanyalah untuk memasuki mekanisme kapital dengan penuh kegembiraan, beserta simbol-simbol hidup yang ada. Perjuangan bersenjata seringkali menjadi simbol kematian. Bukan karena itu membawa kematian bagi para majikan dan orang-orang yang melayaninya, namun karena hal itu hendak memaksakan struktur-struktur kuasa kematian itu sendiri. Memahaminya secara berbeda dapat menjadi suatu kegembiraan tersendiri di dalam aksi, yang mampu menghancurkan kondisi struktural yang dipaksakan oleh komoditas masyarakat dunia tontonan seperti halnya partai militer, pengambil-alih kekuasaan ; yaitu vanguard[12].
Ini merupakan musuh lain dari pergerakan revolusioner, sesuatu yang sulit untuk dipahami. Suatu bentuk penolakan untuk melihat kondisi-kondisi baru dari konflik yang terjadi. Desakan dari model yang dipaksakan di masa lalu kini telah menjadi bagian dari komoditas dunia tontonan/spectacle.
Ketidaktahuan terhadap realitas revolusioner yang baru telah mengarah pada kurangnya teori dan kesadaran strategis dari kapasitas revolusioner pergerakan itu sendiri. Tidaklah cukup untuk mengatakan bahwa ada musuh-musuh yang begitu dekat hingga sangat perlu untuk menghalanginya tanpa melihat sama sekali pertanyaan-pertanyaan mendasar yang sifatnya teoritik. Semua ini menyembunyikan ketidakmampuan dalam menghadapi realitas pergerakan baru dan menghindari kesalahan-kesalahan di masa lalu yang telah membawa konsekuensi sangat serius di masa kini. Dan penolakan ini telah menjadi makanan bagi seluruh jenis ilusi politik para rasionalis.
Berbagai kategori seperti balas-dendam, para pemimpin, partai, vanguard, pertumbuhan kuantitatif hanya memiliki arti di dalam dimensi masyarakat ini dan makna tersebut merupakan bentuk pengabdian pada kekuasaan. Ketika kau melihat segala sesuatunya dari sudut pandang revolusioner, yaitu eleminasi kekuasaan yang benar-benar defenitif, berbagai kategori ini akan menjadi tak berarti.
Dengan berpindah ke utopia yang entah berada dimana, merusak etos kerja, mengubahnya ke dalam bentuk realisasi kegembiraan saat ini juga, kita mendapati diri kita berada di dalam struktur yang sama sekali jauh dari bentuk historis organisasi. Struktur ini berubah secara terus menerus, sehingga mampu terhindar dari proses kristalisasi. Ia dikarakteristikkan dengan bentuk swa-organisasi para produser di tempat kerjanya, dan swa-organisasi dari suatu perjuangan menentang kerja. Bukan menjadi pengambilalihan sumber daya produksi, namun sebagai bentuk penolakan terhadap produksi melalui bentuk organisasional yang berubah secara konstan.
Hal yang sama juga terjadi pada pengangguran dan para pekerja lepas/tidak tetap. Distimulasi oleh kebosanan dan alienasi, struktur pun muncul pada basis swa-organisasi. Pengenalan terhadap tujuan terprogram dan dipaksakan oleh organisasi yang berada di luar akan mematikan suatu pergerakan dan menyerahkannya pada komoditas spectacle.
Sebagian besar dari kita terikat pada ide mengenai organisasi revolusioner semacam ini. Bahkan para Anarkis sekali pun, yang menolak adanya organisasi otoritarian, sama sekali tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang hina. Pada basis seperti ini kita semua mengamini ide bahwa realitas yang kontradiktif dari kapital dapat diserang dengan sumber yang serupa. Kita melakukan hal demikian karena kita meyakini bahwa sumber semacam ini cukup masuk akal, muncul sebagai sesuatu yang berasal dari wilayah perjuangan yang sama seperti halnya kapital. Kita menolak untuk mengakui bahwa tidak semua orang dapat melihat segala sesuatunya seperti kita. Teori kita sangat identik secara praktek maupun dalam strategi organisasinya.
Perbedaan antara organisasi otoritarian dan kita sendiri cukup banyak, namun perbedaan tersebut telah lebih dulu runtuh/kolaps mendahului keyakinan umum terhadap organisasi secara historis. Anarki akan dicapai melalui kerja berbagai organisasi semacam itu (perbedaan substansial hanya muncul dalam pendekatan metode-metode saja). Namun keyakinan seperti ini mengindikasikan sesuatu yang sangat penting, yakni : tuntutan terhadap kultur rasionalis kita secara keseluruhan guna menjelaskan realitas dalam terminologi yang lebih progresif. Kultur seperti itu mendasarkan dirinya pada ide bahwa sejarah adalah sesuatu yang tak dapat diubah, berikut pula dengan kapasitas analitis terhadap ilmu pengetahuan.
Semua hal ini menjadikan kita memandang kondisi saat ini sebagai titik dimana segala upaya keras di masa lalu telah mencapai titik kulminasi, suatu perjuangan dalam menentang kuasa-kuasa kegelapan (dalam hal ini eksploitasi kapitalis). Akibatnya, kita meyakini telah mengalami banyak kemajuan dibanding para pendahulu-pendahulu kita, mampu mengelaborasikan dan menempatkan diri dalam berbagai teori yang terpraksiskan serta strategi-strategi organisasional yang meringkaskan seluruh pengalaman di masa lalu.
Mereka yang menolak interpretasi seperti ini secara otomatis menemukan diri mereka berada di luar realitas, terdefenisikan oleh sejarah, kemajuan dan ilmu pengetahuan. Siapa pun yang menolak realitas seperti itu adalah anti-historis, anti-kemajuan, dan anti-ilmu pengetahuan. Tak lain menjadi bentuk penghakiman tanpa didasari oleh pertimbangan sama sekali. Diperkuat oleh senjata ideologis ini, kita pun mulai melangkah ke jalan. Dari sini kita berlari menuju realitas perjuangan yang terstruktur cukup berbeda, berasal dari stimulus yang berada di luar kerangka analisa kita.
Satu pagi yang indah, sepanjang demonstrasi damai itu polisi pun mulai mengeluarkan tembakan. Struktur yang ada pun bereaksi, para kamerad pun balas menembak, para polisi berjatuhan. Terkutuk !! Itu adalah demonstrasi damai. Karena demonstrasi itu telah merosot menjadi sebuah aksi gerilya individual maka pasti ada provokasi di sini. Tak satu pun yang dapat melampaui sempurnanya kerangka organisasi ideologis kita, bukan hanya menjadi ‘bagian’ dari realitas tapi ‘seluruhnya’ adalah realitas itu sendiri. Apa pun yang melampaui itu adalah suatu kegilaan dan provokasi semata. Berbagai supermarket dihancurkan, gudang pertokoan, makanan dan gudang persenjataan dijarah, berbagai mobil mewah dibakar. Semua itu merupakan serangan pada komoditas dunia tontonan dalam bentuknya yang paling mencolok. Struktur-struktur baru pun bergerak menuju ke arah itu. Dengan segera mengambil bentuk, disertai orientasi strategis yang minimum. Tanpa adanya embel-embel apa pun, tak ada premis analitis, tanpa teori-teori pendukung yang begitu kompleks. Mereka menyerang. Para kamerad mengidentifikasi hal tersebut dengan berbagai struktur semacam ini. Mereka menolak keberadaan organisasi yang memberikan kekuasaan, equilibrium, penantian, dan kematian. Aksi mereka merupakan bentuk kritik terhadap posisi penantian (bunuh diri) yang seringkali diambil oleh bentuk organisasi seperti itu. Terkutuk !! Di dalamnya pasti terdapat unsur provokasi.
Terdapat keterpisahan dari model-model politik tradisional yang menjadi kritik atas pergerakan itu sendiri. Ironi telah menjelma menjadi senjata. Tidak berakhir dalam studi-studi para penulis, akan tetapi seluruhnya berada di jalan-jalan. Tidak hanya para pelayan majikan namun juga para pemimpin politik dari kejauhan dan di masa yang baru berlalu mesti berada dalam kesulitan. Mentalitas dari majikan paruh waktu dan pemimpin kelompok juga berada dalam keadaan krisis. Terkutuk..? Satu-satunya kritik yang masuk akal adalah perlawanan terhadap para majikan dan itu mesti tunduk pada aturan yang telah diwariskan oleh tradisi historis perjuangan kelas. Siapa pun yang menyimpang dari seminari[13] adalah provokator.
Orang-orang telah merasa jenuh dengan berbagai pertemuan, hal-hal klasik, gerakan tanpa tujuan jelas, diskusi teoritis yang terdiri dari beberapa bagian, yaitu : perbedaan tanpa akhir, kemonotonan dan kemiskinan beberapa analisa politik. Mereka lebih suka bercinta, merokok, mendengarkan musik, jalan-jalan, tidur, tertawa, bermain, membunuh polisi, para jurnalis yang bodoh, membunuh para hakim, meledakkan barak-barak. Sungguh laknat..!! Perjuangan tersebut hanya menjadi sesuatu yang logis ketika perjuangan itu dapat dipahami oleh para pemimpin revolusi. Sebaliknya, jika terdapat resiko yang menyiratkan bahwa situasi mungkin saja tidak terkendali, maka di situ pasti ada unsur provokasi.
Bergegaslah para kamerad, tembaklah para polisi, hakim, para majikan. Sekarang, sebelum polisi yang baru datang untuk menghalangimu.
Bergegaslah untuk mengatakan TIDAK..!!, sebelum bentuk represi yang baru berhasil meyakinkanmu bahwa berkata tidak adalah sesuatu yang sia-sia, gila, dan bahwa kau harus menerima keramah-tamahan rumah sakit jiwa.
Bergegaslah untuk menyerang kapital sebelum ideologi yang baru menjadikannya sebagai sesuatu yang sakral bagi dirimu.
Bergegaslah untuk menolak kerja sebelum beberapa kaum sophis mengatakan kepadamu untuk sekian kalinya bahwa “kerja dapat membebaskanmu”.
Bergegaslah untuk bermain. Bergegaslah untuk mempersenjatai dirimu.
VIII
“Takkan ada revolusi hingga Cossacks berhasil ditaklukkan.”
– Coeurderoy
Bermain juga mengandung teka-teki dan kontradiksi dalam logika kapital, yang menggunakannya sebagai bagian dari komoditas dunia tontonan. Bermain memperoleh ambiguitas yang tak ada dalam dirinya sendiri. Ambiguitas ini berasal dari struktur ilusi dari produksi kapitalis. Dengan cara ini permainan bisa dipastikan akan menjadi suspensi dari produksi, parentesis dari ‘kedamaian’ dalam kehidupan harian. Dengan demikian permainan akan diprogramkan dan digunakan dengan begitu mudahnya.
Ketika permainan berada di luar dari kuasa kapital, permainan secara harmonis akan terstruktur melalui impuls kreatifnya sendiri. Permainan tidaklah terhubung dengan performa apa pun yang dibutuhkan oleh kekuatan dunia produksi tapi ia berkembang secara otonom. Hanya dalam realitas seperti inilah bermain dapat menjadi sesuatu yang menyenangkan, akan memberikan suatu kegembiraan. Permainan tidaklah ‘menggantungkan’ ketidakbahagiaan yang koyak dikarenakan eksploitasi tetapi justru merealisasikannya sepenuh mungkin, menjadikannya bagian partisipatif dalam realitas kematian–sekalipun melalui permainan–untuk menjadikan kesuraman semakin berkurang. Para penghancur realitas yang mati sedang berjuang melawan kuasa mistis dari ilusi kapitalis, meskipun kuasa tersebut sangat menginginkan keabadian menggelinding dalam ‘debu’ ketergantungan. Kegembiraan muncul dari permainan aksi destruktif, suatu pengakuan tentang tragedi yang begitu mendalam bahwa hal ini berimplikasi dan menjadi sebentuk kesadaran atas kekuatan semangat yang mampu mematikan jaring-jaring kematian. Ini bukanlah mempertanyakan tentang kengerian yang diperhadapkan dengan kengerian, tragedi dengan tragedi, kematian dengan kematian. Semua itu merupakan bentuk konfrontasi antara kegembiraan dan kengerian, kegembiraan dan tragedi serta kegembiraan dan kematian.
Untuk membunuh polisi kita tidak perlu mengenakan jubah seorang hakim yang telah dibersihkan dari darah vonis terdahulu. Pengadilan dan vonis hukuman akan selalu menjadi bagian dari dunia tontonan kapital, bahkan ketika ia bertindak dengan mengatasnamakan kaum revolusioner sekali pun. Ketika seorang Polisi terbunuh, persoalan tanggung jawabnya bukanlah terkait dengan skalanya. Perlawanan tidak akan pernah menjadi pertanyaan aritmetika.
Seseorang tidaklah memprogramkan suatu visi mengenai hubungan antara pergerakan revolusioner dengan pihak yang melakukan eksploitasi, seseorang memberi respon pada tahapan yang mendekati kebutuhan terstruktur dalam pergerakan revolusioner, suatu kebutuhan dimana semua analisa dan justifikasi terhadap dunia ini takkan pernah berhasil memaksakan keinginannya.
Kebutuhan ini adalah serangan terhadap musuh, pengeksploitasi beserta para pelayannya. Kondisi tersebut makin matang secara perlahan di dalam berbagai struktur pergerakan. Hanya saat kondisi tersebut dapat keluar dan terbuka maka gerakan dapat melewati fase defensif ke fase penyerangan. Analisa dan justifikasi moral sedang mengalir ke hulu dimana ia berasal dan bukan ke arah muara dimana kaki dari mereka yang turun ke jalan, bersikap tenang untuk membuat kaki mereka tersandung. Mereka eksis di abad yang dipenuhi oleh kekerasan sistematis, dimana kapital mengujicobakan hal tersebut terhadap orang-orang yang tereksploitasi. Namun mereka tidak perlu memperjelas bentuk yang sesungguhnya telah sempurna dan siap untuk digunakan tersebut. Hal itu akan menjadi bentuk rasionalisasi atas berbagai tujuan selanjutnya, yaitu mimpi kita yang mengesankan model atas realitas yang sama sekali tidak menjadi bagian darinya.
Biarkanlah Cossacks[14] ini runtuh. Kami sama sekali tidak mendukung peranan reaksi, itu sama sekali bukan untuk kami. Kami menolak untuk menerima undangan ambigu dari kapital. Dibanding menembak para kamerad kita atau saling menembak satu sama lain, akan jauh lebih baik jika itu dilakukan terhadap polisi.
Ada suatu masa dalam sejarah ketika ilmu pengetahuan eksis di dalam kesadaran orang-orang yang sedang berjuang. Pada masa seperti itu maka para penafsir kebenaran sama sekali tidak diperlukan. Kebenaran itu akan muncul dengan sendirinya. Kebenaran itu merupakan realitas perjuangan yang menghasilkan teorinya sendiri.
Lahirnya komoditas pasar telah menandai pembentukan kapital, bagian dari bentuk-bentuk feodal mekanisme produksi hingga ke kapitalis itu sendiri. Dengan adanya pintu masuk produksi menuju ke fase spektakuler, bentuk komoditas telah diperluas hingga ke segala hal yang eksis saat ini : cinta, ilmu pengetahuan, perasaan, kesadaran, dll. Masyarakat spectacle kini telah meluas. Fase yang kedua tidaklah, sebagaimana dalam pandangan para Marxis, mendasari terjadinya korupsi pertama kali. Semua Itu merupakan fase yang berbeda satu sama lain. Kapital telah melahap semuanya, bahkan revolusi sekali pun. Jika yang muncul setelahnya tidak memutuskan diri dari model produksi, jika ia semata-mata hanya menuntut bentuk-bentuk alternatif, kapitalisme akan menelannya ke dalam komoditas dunia tontonan.
Hanya perjuanganlah yang tak dapat ditelan. Beberapa dari bentuknya, terutama yang mengkristal dalam entitas organisasional dapat berakhir dan ditarik ke dalam spectacle. Namun ketika perjuangan tersebut dapat menjauhkan diri dari makna terdalam, yang oleh kapital diberikan pada mekanisme produksi, ini pastinya akan sangat menyulitkan. Dalam fase kedua berbagai pertanyaan mengenai aritmetika dan atmosfir balas dendam akan tidak berarti sama sekali. Jika kesemuanya dapat disebutkan, hal tersebut akan mengambil pola signifikansi yang metaforis.
Permainan ilusif dari kapital (yaitu komoditas dunia tontonan) harus digantikan dengan permainan serangan bersenjata yang sesungguhnya, menghancurkan hal-hal yang sama sekali tak nyata dan menjadi bagian dari dunia tontonan semata.
IX
“Do it yourself.”
– ‘Bricoleur’ Manual
Hal tersebut mudah. Kamu dapat melakukannya sendiri. Sendirian atau dengan beberapa kamerad yang kamu percayai. Sumber daya yang terlalu rumit tidaklah diperlukan, bahkan pengetahuan teknis sekali pun. Kapital dapat dengan mudah diserang, yang kau butuhkan hanyalah keberanian untuk mengambil keputusan. Pembicaraan yang terlalu membebani akan membuat kita tumpul. Ini bukanlah soal mempertanyakan ketakutan. Kita sama sekali tidak takut, hanya terlalu dipenuhi dengan ide-ide terpisah yang sama sekali tak dapat kita lepaskan. Setiap orang yang ditentukan untuk membawa beban atas perbuatannya bukanlah seorang pemberani, mereka hanyalah orang-orang yang mencoba untuk mengklarifikasi ide-ide mereka, individu-individu yang menyadari bahwa usaha keras untuk ambil bagian dalam permainan kapital merupakan usaha tak berguna. Ketahuilah, mereka menyerang dengan kebulatan tekad yang mengagumkan. Dan saat melakukan hal itu mereka menyadari bahwa dirinya adalah manusia, mereka merealisasikan dirinya dalam suatu kegembiraan. Kuasa kematian pun menghilang dalam sekejap mata. Sekali pun mereka menciptakan destruksi dan teror bagi para majikan, dalam hatinya dan di hati orang-orang yang merasa tereksploitasi terdapat kegembiraan dan ketenangan di dalamnya.
Organisasi revolusioner mengalami kesulitan dalam memahami hal ini, sasaran mereka ditentukan berdasar terminologi pertentangan secara frontal. Mereka memaksakan model yang dapat mereproduksi realitas produksi. Nasib kuantitatif telah menghalangi mereka untuk melakukan gerak kualitatif menuju ke tingkat dimensi kegembiraan yang estetik. Organisasi semacam ini juga memandang serangan bersenjata sebagai sesuatu yang sifatnya kuantitatif. Sasaran ditentukan berdasarkan terminologi pertentangan secara frontal. Dengan cara demikian kapital mampu mengendalikan situasi darurat apa pun. Cara tersebut bahkan membolehkan segala kemewahan kontradiksi yang ada, dengan memposisikan sasaran spektakuler, untuk mengeksploitasi efek-efek negatif dari para produsen dengan tujuan untuk makin memperlebar jangkauan dunia tontonan. Kapital menerima pertentangan dalam wilayah kuantitatif, karena di situlah jawabannya. Wilayah tersebut melakukan monopoli atas segala aturan dan menghasilkan solusinya sendiri.
Sebaliknya, kegembiraan terhadap aksi revolusioner dapat menular secara luas. Ia menyebar seperti noda minyak. Bermain menjadi sesuatu yang bermakna ketika ia di dasarkan pada realitas. Namun makna hal ini tidaklah terkristalisasi dalam model perintah dari atas ke bawah. Hal tersebut terpecah-pecah ke dalam ribuan makna, yang seluruhnya bersifat produktif dan tidak stabil. Koneksi internal suatu permainan berfungsi sendiri dalam bentuk aksi penyerangan. Namun secara keseluruhan pengertian bertahan hidup, bermakna bahwa permainan ada bagi mereka yang disingkirkan dan memiliki keinginan untuk menyesuaikan diri dengan permainan tersebut. Mereka yang memutuskan untuk bermain pertama kali dan orang-orang yang ‘mengamati’ konsekuensi kebebasan terhadap permainan merupakan bagian yang paling esensial bagi permainan itu sendiri.
Komunitas yang penuh kegembiraan terstruktur dengan cara ini. Suatu cara spontan untuk saling berhubungan, yang merupakan hal paling fundamental bagi perealisasian makna terdalam dari sebuah permainan. Bermain adalah suatu tindakan/aksi yang sifatnya komunitarian. Bermain jarang menghadirkan dirinya sebagai suatu kenyataan terisolasi. Jika hal seperti itu terjadi, ia seringkali mengambil elemen-elemen negatif dari represi secara psikologis. Bermain bukanlah menerima permainan secara positif sebagai momen kreatif dari sebuah perjuangan.
Adalah makna komunitarian yang dapat mencegah terjadinya kesewenangan dalam memilih hal yang signifikan bagi permainan itu sendiri. Absennya relasi komunitarian menjadikan individu-individu dapat memaksakan aturan dan pemaknaan mereka sendiri yang tidak dapat dipahami oleh orang lain, menjadikan permainan sebagai suspensi temporer dari konsekuensi negatif atas masalah-masalah individual mereka (misalnya masalah kerja, alienasi, dan eksploitasi).
Dalam sebuah kesepakatan komunitarian, permainan diperkaya oleh perubahan berkelanjutan dari aksi-aksi yang hubungannya bersifat timbal-balik. Kreatifitas adalah jauh lebih besar ketika itu muncul dari imajinasi terbebaskan yang telah diverifikasi satu sama lain. Setiap penemuan baru dan setiap kemungkinan baru dapat dihidupkan secara kolektif tanpa menghadirkan model-model yang telah disusun sebelumnya serta memiliki pengaruh yang sangat vital meski diciptakan oleh moment kreatif, bahkan jika hal tersebut menemukan ribuan kesulitan selama proses realisasinya. Organisasi revolusioner tradisional berakhir dengan memaksa para pakar teknis mereka. Organisasi semacam itu cenderung tidak dapat menghindari teknokrasi. Bagian penting yang melekat pada aspek mekanis dari aksi akan mengutuk hal tersebut sepanjang perjalanan proses semacam itu.
Struktur revolusioner yang mencari momen kegembiraan dalam suatu aksi akan mengarah pada penghancurkan kekuasaan dengan mempertimbangkan berbagai perangkat yang digunakan untuk mewujudkan destruksi tersebut, ini berarti bahwa orang-orang yang menggunakan perangkat seperti ini mesti tidak diperbudak olehnya. Demikian pula dengan mereka yang tidak mengetahui bagaimana cara untuk menggunakannya, mesti tidak diperbudak oleh orang-orang yang menggunakan perangkat tersebut.
Kediktatoran dari berbagai perangkat itu merupakan kediktatoran yang terburuk. Senjata para revolusioner yang sangat penting adalah kemampuan mereka untuk memutuskan sesuatu, kesadaran, keputusan untuk bertindak, beserta individualitas mereka. Persenjataan sendiri hanyalah perangkat semata-mata, dan hal semacam itu harus terus melalui proses evaluasi kritis. Adalah hal yang sangat penting untuk membangun kritik atas berbagai persenjataan yang ada. Sudah terlalu sering kita melihat pandangan yang menganggap sakral sub machine gun dan efisiensi militer.
Perjuangan bersenjata tidaklah terdiri atas persenjataan semata. Persenjataan itu sendiri tidak dapat merepresentasikan luasnya dimensi revolusioner. Adalah hal yang berbahaya untuk mereduksi realitas yang begitu kompleks ke dalam satu hal yang tunggal. Pada kenyataannya, permainan juga memiliki resiko seperti ini. Hal tersebut dapat menjadikan pengalaman kehidupan harian menjadi tidak lebih dari sekedar mainan, membalikkannya ke sesuatu yang sifatnya magis dan absolut. Bukanlah suatu kebetulan jika senjata mesin muncul dalam bentuk simbolisme berbagai organisasi kombatan revolusioner.
Kita harus melangkah melampaui hal semacam ini agar dapat memahami permainan sebagai makna terdalam dari suatu perjuangan revolusioner, menghindari ilusi dan berbagai jebakan komoditas dunia tontonan yang terwujud melalui bentuk mistis dan berbagai objek yang dimistifikasi. Kapital mewujudkan upaya terakhirnya saat berhadapan dengan sebuah perjuangan bersenjata. Upaya itu digunakan pada garis batasnya yang paling akhir. Usaha kapital tersebut membutuhkan dukungan opini publik agar dapat beraksi dalam wilayah yang tetap kurang meyakinkan baginya. Dengan begitu upaya tersebut dapat melepaskan jerat psikologis perang dengan menggunakan senjata paling halus, yaitu propaganda modern.
Pada dasarnya, cara yang ditempuh oleh kapital terorganisir secara fisik di masa sekarang, hal itu menjadikannya sangat mudah untuk diserang oleh struktur revolusioner manapun yang mampu memutuskan sendiri waktu yang tepat untuk melakukan penyerangan dan sumber daya pendukung apa saja yang diperlukan. Kapital cukup waspada dengan kelemahan ini dan juga siap untuk mengambil langkah untuk mengimbangi hal ini. Polisi saja tidaklah cukup, bahkan tentara sekali pun. Ia membutuhkan kewaspadaan yang sifatnya konstan dari masyarakat sendiri. Sekali pun itu merupakan bagian yang paling sederhana dari kaum proletariat. Jadi, untuk melakukan hal ini kapital harus memisahkan sektor kelas yang ada. Ia mesti menyebarkan mitos mengenai bahaya organisasi-organisasi bersenjata kepada seluruh orang-orang miskin ; beserta nilai suci negara, moralitas, hukum dan demikian seterusnya.
Kapital secara tidak langsung mendorong berbagai organisasi beserta para militannya dalam mengasumsikan peran-perannya. Sekali berada dalam ‘peran’ seperti ini, permainan tidak lagi memiliki makna. Segala hal akan menjadi sesuatu yang ‘serius’, sangat ilusif ; permainan akan memasuki wilayah spektakuler dan menjadi komoditas semata. Kegembiraan akan menjadi ‘topeng’. Individu menjadi anonimus, hidup di luar dari peranan mereka dan tak lagi mampu untuk membedakan antara tampilan dan realitas.
Untuk dapat menghancurkan lingkaran magis dari teatrikal komoditas ini kita harus menolak berbagai peranan, termasuk menjadi seorang revolusioner yang ‘profesional’. Perjuangan bersenjata mesti tidak membiarkan dirinya menjadi sesuatu yang profesional, lebih tepatnya terkait dengan pembagian tugas yang menjadi aspek eksternal produksi kapitalis yang hendak ditekankan ke dalam perjuangan tersebut.
‘Lakukanlah sendiri.’ Jangan merusak aspek global permainan dengan mereduksinya ke dalam peran-peran tertentu. Pertahankan hak yang kau miliki untuk tetap menikmati hidup. Halangi setiap proyek-proyek mematikan dari kapital. Apa yang muncul selanjutnya hanya dapat memasuki dunia kreatifitas dan permainan dengan mentransformasikan orang-orang yang sedang berperan sebagai “pemain” atau seorang kreator kehidupan menjadi mayat hidup, menipu dirinya sendiri dengan meyakini bahwa dirinya benar-benar hidup.
Adalah hal yang tak berguna lagi berbicara mengenai sesuatu yang berkaitan dengan permainan jika ‘dunia bermain’ telah tersentralisir. Kita mesti dapat menduga kemungkinan bagi kapital untuk mengambil-alih proposal revolusioner ketika kita mengedepankan argumen kita mengenai ‘kegembiraan yang dipersenjatai’. Dan hal yang dapat mewujudkan hal tersebut adalah dengan mengatur dunia permainan dari luar. Dengan menetapkan peran dari para pemain serta permainan yang dimitologikan.
Dalam memutuskan ikatan dengan sentralisasi (dalam hal ini partai militer) salah satu yang mendapatkan hasil dari ide-ide kapital yang begitu membingungkan, telah membiasakan mereka dengan kodifikasi produktivitas dari pasar kuantitatif yang begitu spektakuler. Aksi yang dikoordinasikan melalui kegembiraan adalah suatu teka-teki tersendiri bagi kapital. Suatu kekosongan, tidak disertai oleh tujuan yang tepat, sama sekali tidak akan bersentuhan dengan realitas. Ini dikarenakan esensi, maksud serta realitas dari kapital adalah suatu ilusi, sementara esensi, tujuan dan realitas yang dimiliki oleh revolusi merupakan sesuatu yang kongkrit/padat.
Tanda/kode dari kebutuhan akan sebuah komunisme telah menggantikan kode kebutuhan untuk memproduksi. Dalam cahaya keinginan yang ada dalam komunitas yang sedang bermain, Beragam keputusan secara individual akan jauh lebih bermakna. Karakter tak nyata dari model-model masa lalu yang telah lama mati akan mulai diketahui.
Penghancuran para majikan akan berarti juga penghancuran terhadap dunia komoditas, dan penghancuran komoditas berarti juga penghancuran para majikan.
X
”‘Burung hantu pun mulai mengepakkan sayapnya’ – The owl takes flight.”
– Peribahasa Athena
‘Burung hantu pun mulai mengepakkan sayapnya’. Semoga berbagai aksi yang diawali dengan begitu buruk akan menemui akhir yang menyenangkan. Semoga suatu revolusi, yang digagas oleh para revolusioner sekian lama, akan terealisasikan meski dari residu hasrat terakhir yang begitu mendambakan kedamaian secara sosial. Kapital akan memberikan kata terakhir kepada para kerah putih. Berbagai penjara takkan dapat bertahan lama. Benteng-benteng masa lalu hanya akan bertahan dalam fantasi beberapa reaksioner tua yang begitu diagungkan, mereka akan segera menghilang bersama dengan ideologi yang didasari oleh orthopaedics[15] sosial. Takkan ada lagi narapidana. Kriminalisasi yang diciptakan oleh kapital akan dirasionalisasikan, hal tersebut akan diproses lebih lanjut melalui rumah sakit jiwa. Ketika seluruh realitas adalah sesuatu yang spektakuler, maka penolakan terhadap dunia tontonan juga berarti memposisikan diri di luar realitas. Siapa pun yang menolak kode-kode komoditas adalah orang gila. Penolakan untuk tunduk pada Tuhan komoditas akan ada pada diri seseorang yang dinyatakan masuk ke dalam rumah sakit jiwa.
Di situlah bentuk perlakuan menjadi lebih radikal. Takkan ada lagi cara-cara siksaan yang sifatnya inkuisitoral[16] atau pun darah yang menodai tembok-tembok ; sesuatu yang tentunya akan merusak opini publik. Semua itu dapat menimbulkan keinginan untuk mengintervensi, membangkitkan justifikasi dan dapat menimbulkan kerugian, serta menggangu keberadaan dunia tontonan yang begitu harmonis. Penghancuran total terhadap personalitas, sebagai satu-satunya penyembuhan radikal bagi pikiran-pikiran yang sedang sakit, sama sekali takkan disadari oleh siapa pun. Selama manusia yang berada di jalanan merasa bahwa dirinya dikelilingi oleh atmosfir yang menenangkan dari spectacle kapitalis, ia akan merasa aman dari pintu rumah sakit jiwa yang senantiasa membayangi dirinya. Dunia kegilaan bagi dirinya merupakan sesuatu yang berada di tempat lain, meskipun rumah sakit jiwa akan selalu tersedia di setiap pabrik, berhadapan dengan setiap sekolah, berada di setiap samping bidang tanah yang kecil, dan di tengah-tengah pemukiman real-estate. Dalam tumpulnya sisi kritis kita, kita harus berhati-hati untuk tidak meratakan cara kita dalam memandang pegawai sipil berkerah putih. Kapital telah memprogramkan kode pemaknaan untuk disebarkan pada tingkatan massa. Pada basis kode ini, opini publik akan digunakan untuk melihat mereka yang menyerang cara-cara para majikan dalam meperlakukan segala hal, dapat dikatakan juga sebagai revolusioner, sebagai bentuk kegilaan. Di sinilah muncul kebutuhan untuk memasukkan mereka ke dalam rumah sakit jiwa. Penjara-penjara juga dirasionalisasikan berdasarkan model Jerman. Pertama penjara tersebut akan mentransformasikan dirinya ke dalam penjara-penjara yang dikhususkan bagi kaum revolusioner, menyusul ke dalam model penjara biasa, kemudian ke dalam kamp-kamp konsentrasi sesungguhnya yang ditujukan untuk memanipulasi isi kepala para penghuninya, dan akhirnya, bertransformasi menjadi rumah sakit jiwa yang sesungguhnya.
Perilaku kapital tidak hanya diarahkan oleh kebutuhan mempertahankan diri dari perjuangan orang-orang yang tereksploitasi semata. Kebiasaan itu digerakkan oleh logika dari kodifikasi produksi komoditas. Bagi kapital, rumah sakit jiwa merupakan tempat dimana fungsi-fungsi spektakuler secara global diinterupsi. Penjara dengan begitu putus asanya mencoba untuk melakukan hal ini namun sama sekali tidak berhasil, dihalangi oleh ideologinya yang paling mendasar yakni orthopaedics sosial. ‘Tempat’ dari rumah sakit jiwa, sebaliknya, tidak memiliki awal maupun akhir, tidak memiliki sejarah, tidak memiliki kemampuan untuk mengubah dunia tontonan. Itu adalah tempat yang dipenuhi dengan kesunyian.
‘Tempat’ yang dipenuhi oleh kesunyian yang lain, yaitu pekuburan, memiliki kapasitas untuk berbicara lebih keras. manusia yang mati berbicara. Dan kematian kita berbicara lebih keras lagi. mereka bisa berbicara lantang, dan lebih keras lagi. Karena itulah kapital akan mencoba untuk memiliki sebagian dari hal tersebut. Dan jumlah ‘tamu’ di dalam rumah sakit jiwa akan meningkat seiring dengan itu. ‘Tanah air sosialisme’ memiliki banyak hal untuk ditanamkan di wilayah ini.
Rumah sakit jiwa merupakan ‘terapi’ rasionalisasi atas waktu luang yang sangat sempurna, suspensi terhadap kerja yang tak menghasilkan trauma terhadap struktur komoditas. Kekurangan aspek produktivitas takkan menyisakan penolakan terhadapnya. Orang gila tidak perlu bekerja dan tanpa melakukan hal itu telah menegaskan bahwa kerja adalah suatu kebijaksanaan yang berkebalikan dengan kegilaan. Ketika kita mengatakan bahwa waktu belumlah matang untuk melakukan suatu serangan bersenjata terhadap negara, kita telah memaksakan terbukanya pintu-pintu rumah sakit jiwa bagi para kamerad yang melakukan serangan semacam itu ; saat kita berkata bahwa bukanlah waktu yang tepat untuk melakukan sebuah revolusi, kita malah makin memperketat ikatan straightjacket[17] ; saat kita berkata bahwa aksi-aksi semacam ini secara objektif merupakan bentuk provokasi maka kita memakaikan jubah putih kepada para penganiyaya. Ketika jumlah dari para penentang sudah semakin sedikit jumlahnya, grape-shot pun sudah tidak efektif lagi. Lusinan orang yang mati dapat saja ditolerir. tiga puluh ribu, ratusan ribu, dua ratusan ribu akan menandai sebuah titik balik dalam sejarah, poin referensial revolusioner dari suatu cahaya menyilaukan yang akan mengacaukan harmoni kedamaian spectacle komoditas. Di samping itu, kapital akan jauh lebih licik. Obat-obatan memiliki kemampuan untuk menetralkan segala sesuatu yang tentunya tak dimiliki oleh peluru. Obat-obatan tersebut memiliki alibi untuk menjadi unsur-unsur terapis.
Semoga aturan yang menggilakan dari kapital akan terlempar balik ke wajahnya. Masyarakat adalah satu rumah sakit jiwa yang sangat besar. Semoga semua terminologi dari posisi tandingan akan segera dijungkirbalikkan.
Proses netralisasi secara individual adalah bentuk praktek konstan dalam totalitas reifikasi yang dimiliki oleh kapital. Pemaparan berbagai opini merupakan proses terapis, yang tak ubahnya sebagai mesin kematian. Produksi tak dapat mengambil tempat tanpa adanya pemaparan semacam ini dalam bentuk kapitalisme yang begitu spektakuler. Dan jika penolakan dari semua hal tersebut, yaitu pilihan terhadap kegembiraan dalam wajah kematian, adalah tanda kegilaan maka itulah waktu bagi setiap orang untuk mulai memahami jebakan tersembunyi dalam semua hal tersebut.
Seluruh aparatus tradisi kultural dunia barat merupakan mesin kematian, sebuah bentuk negasi terhadap realitas, kekuasaan dari dunia khayal yang telah berakumulasi di setiap jenis keburukan dan ketidakadilan, eksploitasi dan genosida. Jika penolakan terhadap logika ini dikutuk sebagai suatu kegilaan, maka kita harus dapat membedakan kegilaan di antara kegilaan. Kegembiraan telah mempersenjatai dirinya. Suatu serangan darinya akan mampu mengatasi halusinasi dunia komoditas, mesin-mesin, balas-dendam, pemimpin ; berupa partai dan kuantitas. Perjuangannya adalah kehancuran bagi logika profit, arsitektur dunia pasar, hidup yang terprogram, serta dokumen terakhir dari arsip yang terakhir. Ledakan kekerasan darinya adalah kejatuhan bagi tatanan dependensi/ketergantungan, nomenklatur dari sisi positif dan negatif, kode dari suatu ilusi dunia komoditas.
Namun semua hal ini harus mampu mengkomunikasikan diri. Jalan lintas dari dunia kegembiraan ke dunia kematian tidaklah mudah. Kode-kode yang ada merupakan pergeseran fase dan akan berakhir dengan saling menghapuskan yang lain. Yang dianggap sebagai ilusi dalam dunia kegembiraan adalah kenyataan dalam dunia kematian dan begitu pun sebaliknya. Kematian secara fisik, banyaknya keasyikan dalam dunia kematian, adalah kurang memalukan jika dibandingkan dengan apa yang dijajakan sebagai kehidupan.
Oleh sebab itu kapital memiliki kemampuan untuk memistifikasi pesan-pesan kegembiraan. Sekali pun sisi revolusioner dari logika kuantitatif tidak mampu memahami pengalaman-pengalaman kegembiraan secara mendalam, terkadang pengalaman tersebut dengan ragu-ragu melakukan pendekatan yang tidak signifikan. Pada waktu yang lain pengalaman tersebut akan membiarkan dirinya lepas bersama penghukuman yang sama sekali tidak jauh berbeda dari kapital.
Dalam komoditas dunia tontonan barang-baranglah yang diperhitungkan. Elemen aktif dari massa yang terakumulasi adalah kerja. Tak satu pun yang dapat menjadi sisi positif dan negatif di saat bersamaan dalam kerangka kerja produksi. Adalah mungkin untuk menegaskan non-kerja, bukan sebagai negasi atas kerja namun terhadap suspensinya yang sangat temporer. Dengan cara yang sama adalah mungkin pula untuk menegaskan non-komoditas, yaitu objek yang dipersonalkan, tetapi hanya dalam konteks ‘waktu-luang’ saja. Sesuatu yang diproduksi sebagai hobi, dalam selang waktu yang diberikan oleh laju perputaran produksi. Dengan demikian sangat jelas bahwa konsep-konsep seperti ini, yang terdiri atas aspek non-kerja dan non-komoditas, menjadi bagian fungsional bagi model produksi secara umum.
Hanya dengan mengklarifikasi makna kegembiraan dan menghubungkan makna kematian sebagai komponen-komponen, dari dua dunia yang saling bertentangan satu sama lain, yang memungkinkan elemen-elemen berbagai aksi yang dilandasi oleh kegembiraan dapat terkomunikasikan. Tanpa perlu mengilusi diri bahwa kita dapat menghubungkan semua elemen tersebut. Siapa pun yang sedang memulai kegembiraan, sekali pun dalam perspektif yang tidak terhubung secara langsung pada serangan terhadap kapital, lebih memiliki kemauan untuk menggenggam hal signifikan dari serangan tersebut. Setidaknya melampaui mereka yang masih saja terikat pada visi-visi ketinggalan zaman mengenai adanya suatu pertentangan yang didasari pada ilusi akan kuantitas. Sehingga sang burung hantu masih dapat mengepakkan sayapnya dan terbang tinggi.
XI
“Melangkahlah kalian semua ! Bersama dengan senjata dan hati, kata dan pena, pisau belati dan senapan, ironi dan kutukan, pencurian, meracuni dan pembakaran rumah, mari wujudkan….perang di tengah masyarakat…!!”
Dejaque
Cukuplah sudah penantian, keraguan, mimpi-mimpi tentang perdamaian sosial, serta sedikit kompromi dan kenaifan. Semua sampah metaforis telah tersedia bagi kita di dalam toko-toko yang menjajakan kapitalisme. Singkirkanlah analisis hebat yang menjelaskan segala hal hingga ke menit-menit yang begitu mendetail, sejumlah besar volume-volume yang diisi oleh berbagai pandangan umum serta ketakutan. Singkirkanlah segala ilusi borjuis dan demokratik mengenai diskusi dan dialog, debat dan pertemuan umum serta kapabilitas tercerahkan yang dimiliki oleh para bos mafioso.[18] Singkirkan kebijaksanaan yang digali melalui etika kerja para borjuis di dalam hati kita. Mari singkirkan berabad-abad kristianitas yang telah mengajari kita untuk memberikan pengorbanan dan kepatuhan. Singkirkan para pendeta, majikan, pemimpin revolusioner, orang-orang yang kurang revolusioner dan mereka yang sama sekali tidak revolusioner. Ayo singkirkan dominasi angka-angka, ilusi tentang kuantitas, serta hukum-hukum pasar. Mari kita duduk sejenak di atas reruntuhan sejarah orang-orang yang teraniyaya, dan bercermin. Dunia itu bukan milik kita. Jika dunia tersebut memiliki majikan yang cukup tolol untuk menghendakinya seperti itu, maka biarkan ia memilikinya. Biarkan ia menghitung setiap reruntuhan di dalam bangunan-bangunan, tanah pekuburan yang ada di berbagai kota, lumpur yang ada di dalam sungai dan kotoran berbau busuk yang terdapat dalam lautan. Trik permohonan terhebat di dunia tak lagi mampu memikat hati kita. Kita akan memastikan bahwa komunitas-komunitas yang dipenuhi kegembiraan akan segera muncul dari perjuangan kita saat ini juga. Dan untuk pertama kalinya hidup akan menjadi pemenang atas kematian.
Catatan Kaki
[1] Red brigade merupakan kelompok Marxist-Leninis yang aktif di Italia pada tahun 1970 dan awal 80-an. Dikenal sebagai ‘Brigate Rosse’(bahasa Italia) dan kadang disingkat BR, tujuan utama mereka adalah memaksa Italia keluar dari aliansi NATO. Awalnya mereka terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok Trento yang memiliki kedekatan dengan pelajar Universitas katolik bagian Sosiologi. Dan kelompok Reggio Emilia, dipimpin oleh Franceschini, yang banyak merekrut pemuda dari kelompok Marxist-Leninis. Pada tahun 1974 Red Brigade melakukan pembunuhan pertama mereka dan menjadi organisasi teroris. Mereka kemudian dikenal luas karena berbagai aksi penculikan dan pembunuhan terhadap Perdana Menteri Italia Aldo Moro di tahun 1978.
[2] Seorang Jurnalis asal Italia yang dikenal luas karena serangkaian ancaman pembunuhan yang ditujukan padanya. Pada permulaan dia menjadi pendukung fasisme Italia, jurnalis yang memiliki nama lengkap Indro Montanelli ini tercatat pernah bergabung dengan National Fascist Party dan membantu kampanye partai tersebut di Abyssina. Pada tahun 1934 dia pernah ditangkap oleh Nazi dan dijatuhi hukuman mati karena artikelnya mengenai Benito Mussolini. Setelah 10 bulan di dalam penjara, dia akhirnya berhasil melarikan diri. Setahun kemudian, dia kembali menghadapi bahaya saat kakinya ditembak oleh kelompok Red Brigade di Milan.
[3] Stakhanovite di ambil dari nama seorang pekerja tambang yaitu Aleksei Stakhanov, yang berhasil menambang 102 ton batu bara dalam waktu kurang dari 6 jam (14 kali lebih banyak dari quotanya). Hal ini kemudian berkembang menjadi sebuah gerakan, yang muncul pada tahun 1935, sebagai bagian dari rencana pembangunan 5 tahun tahap kedua yang merupakan tahapan baru dalam kompetisi negara Sosialis. Gerakan Stakhanovite dengan begitu cepat menyebar ke seluruh sektor industri Uni-Soviet yang diinisiasi oleh Alexander Busygin (Industri Automobile), Nikolai Smetanin (industri sepatu), Yevdokiya dan Maria Vinogradov (industri Tekstil), I.I. Gudov (Industri perangkat mesin), V.S Musinsky (Industri kayu), Pyotr Krivonos (Rel kereta api), Pasha Angelina (terkenal sebagai wanita Soviet pertama yang mengoperasikan traktor), Konstantin Borin dan Maria Demchenko (agrikultur), dll. “Gerakan Staknovite” dapat berarti pengorganisasian buruh dalam cara yang baru, rasionalisasi proses teknologi, pembagian kerja yang tepat, memperbaiki kondisi tempat kerja, meningkatkan pertumbuhan produktivitas buruh secara cepat.
[4] “les jeux sont faits” Secara literal dapat diartikan sebagai “permainan pun dimulai”. Pada tahun 1943, Jean-Paul Sartre pernah menulis sebuah karya dengan judul yang sama dan kemudian dipublikasikan pada tahun 1947. Dalam bahasa perancis kalimat ini menjadi ekspresi idiomatik di arena judi/casino yang mempunyai arti “taruhan telah dipasang”.
[5] Organisasi tampilan yang dibuat eksis melalui cara-cara komunikasi modern (media). Bergerak perlahan dimana imaji-imaji dapat dilekatkan dan dialienasikan dari sumbernya, serta direorganisasi untuk membentuk representasi yang sejalan dengan ideologi kelas yang berkuasa, membentuk dasar-dasar teknis dalam lingkup yang lebih diutamakan dalam spectacle modern, di mana “segala sesuatu yang dulu langsung dihidupi, kini telah tersingkirkan menjadi sekedar representasi atasnya”. Tetapi spectacle bukanlah sekedar sebuah kumpulan imaji, melainkan sebuah relasi sosial antar manusia yang dimediasikan melalui imaji. Relasi nyata antar manusia ditransformasikan ke dalam sebuah relasi antar imaji.
[6] Kodifikasi merupakan proses pereduksian makna ke dalam kode-kode sistematis
[7] “mis-en-scene“ merupakan istilah dalam bahasa perancis yang berarti bentuk ekspresi untuk menggambarkan aspek-aspek desain dalam dunia teater atau pun produksi film, yang secara esensial bermakna sebagai “Tema visual” atau “proses penggambaran cerita”. Secara literal memiliki makna “menempatkan di dalam scene”,sebuah bentuk artikulasi dalam ruang sinematik. Ketika diaplikasikan ke dalam sinema, “Mise-en-scène” merujuk pada segala hal yang muncul mendahului kamera dan rangkaian persiapannya—yaitu komposisi, aktor, kostum dan pencahayaan.
[8] Istilah ini awalnya digunakan di Venice untuk menggambarkan area dimana orang-orang yahudi dipaksa untuk menempatinya. Saat ini “Ghetto” digambarkan sebagai wilayah urban padat penduduk, seringkali diasosiasikan dengan populasi etnis atau pun ras tertentu serta menjadi bagian dari wilayah perkotaan yang ditempati oleh sekelompok orang yang hidup di wilayah itu karena tekanan sosial maupun ekonomi.
[9] Istilah ini di ambil dari nama seorang tokoh yaitu Ned Ludd yang diklaim sebagai pemimpin dari gerakan para Luddites. Gerakan ini merupakan gerakan sosial yang dilakukan oleh para pekerja tangan tekstil di Inggris pada abad ke 19 yang menentang—seringkali dengan menghancurkan alat tenun mekanis—perubahan yang dihasilkan melalui Revolusi Industrial. Para Luddite ini memandang bahwa perubahan yang mengiringi revolusi industrial adalah ancaman bagi pola hidup yang memuaskan mereka, suatu pola hidup dimana mereka masih bisa bercocok tanam, berburu, beternak, serta memiliki sifat komunalitas yang tinggi. Gerakan ini muncul dalam kerasnya iklim ekonomi pada masa perang Napoleon dan menyedihkannya kondisi kerja di pabrik-pabrik tekstil yang baru. Gerakan ini dimulai pada tahun 1811 dan menyebar begitu cepat di hampir seluruh wilayah Inggris. Banyak alat pemintalan wool dan katun yang dihancurkan hingga pemerintah Inggris merepresi habis-habisan gerakan ini. “Penghancuran Mesin” (Sabotase) dengan segera dikategorikan sebagai kejahatan tingkat tinggi dalam “Frame Breaking Act”—aturan legislasi yang sangat ditentang oleh Lord Byron, seorang tokoh terkemuka di masa itu yang membela para Luddite. 17 orang pun akhirnya dieksekusi setelah di adili di York sementara yang lain banyak yang dikirim sebagai tahanan di Australia.
[10] Sebuah alat untuk membunuh seseorang yang telah divonis hukuman mati dengan cepat. Guillotine menjadi terkenal pada Revolusi Perancis, tetapi sebenarnya sebelumnya sudah ada alat seperti ini. Guillotine dinamakan menurut Joseph Ignace Guillotin (1738 – 1814), yang menyarankan supaya memakai alat ini sebagai alat eksekusi. Ironisnya ia sendiri sebenarnya tidak setuju dengan hukuman mati. Ia berharap bahwa alat’nya’ akan menghapuskan hukuman mati. Guillotine dirancang untuk membuat sebuah eksekusi se”manusiawi” mungkin dengan menghalangi sakit sebanyak mungkin. Terdakwa disuruh tidur tengkurap dan leher ditaruh di antara dua balok kayu di mana di tengahnya terdapat lubang tempat jatuhnya pisau. Pada ketinggian 7 meter, pisau dijatuhkan oleh algojo dan kepala terdakwa jatuh di sebuah keranjang di depannya. Pada Revolusi Perancis, dibutuhkan sebuah alat yang mampu mengeksusi para terdakwa secara cepat. Guillotine ini mencukupi persyaratan ini, maka di setiap desa di Perancis di tengah pasar lalu ditempatkan. Pada tanggal 25 April 1792, Nicolas Jacques Pelletier adalah korban pertama guillotine. Secara total pada Revolusi Perancis puluhan ribu orang dieksekusi menggunakan alat. Di Paris sendiri saja diperkirakan 40.000 orang dibunuh dengan guillotine, antara lain Raja Louis XVI dan istrinya Marie Antoinette.
[11] Terminologi Situasionist Internasional, yaitu proses pembalikan secara mental atas berbagai ide-ide yang sifatnya abstrak, begitu pun sebaliknya, subjek-subjek yang riil menjadi objek-objek yang nyata (benda atau dalam hal ini komoditas). Menurut Situasionist, reifikasi adalah cara dan akhir dari kekacauan dunia komoditas. Sebagai contohnya, bank-bank menawarimu bunga 5% jika kamu menjadi nasabahnya, hidupmu takkan terasa lengkap jika tidak memiliki mobil, kendaraan bermotor seolah menjadi alat bagi rasa bosanmu. Sementara itu, berbagai birokrasi serta para peneliti pasar terus-menerus mereduksi manusia beserta kehidupannya ke dalam benda (dapat dihitung, terprediksi, dan dapat dimanipulasi).
[12] Konsep kepeloporan yang banyak diamini oleh para aktivis kiri, konsepsi ini meyakini bahwa kesadaran massa akan kondisinya yang tereksploitasi hanya dapat disuntikkan melalui figur atau pun kepemimpinan partai.
[13] Tempat pendidikan bagi calon rohaniwan Kristiani, entah itu Kristen yang mendidik pendeta atau Katolik yang mendidik pastor. Seminari berasal dari kata Seminarium (bahasa Latin) yang terbentuk dari kata dasar semen, artinya benih. Maka, Seminari berarti tempat penyemaian benih. Maksudnya, benih panggilan rohani yang ada pada seseorang, disemaikan dengan pendidikan di Seminari.
[14] Berasal dari bahasa Turki, yaitu Qazzaq, yang berarti “petualang”, “Orang bebas” atau “prajurit yang berpindah-pindah tempat. Cossacks (dalam bahasa Slavic : Козакъ, Kozak, Ukrainia: Козаки́, Kozaky; Rusia : Казаки́, Kazaki; Polish: Kozacy) adalah kelompok yang sebagian besar terdiri dari orang-orang Slavic timur yang awalnya menjadi anggota kelompok militer di Ukrania dan di wilayah selatan Rusia dan mereka menempati area-area dan pulau yang jarang dihuni orang. Asal mula Cossaks yang pertama masih belum begitu jelas. Historiografi tradisional sempat mencatat kemunculan Cossaks pada abad 14 dan 15. Berbagai teori Non-mainstream menganggap bahwa eksistensi awal mereka adalah pada abad ke-10. Beberapa ahli sejarah menyatakan bahwa orang-orang Cossaks merupakan perpaduan dari berbagai etnis, mulai dari Etnis Turki, Tatars, Rusia, serta ukrania. Pada akhir abad ke-18, Cossak bertransformasi menjadi kelompok yang memiliki keistimewaan secara sosial, mereka berperan dalam menjaga perbatasan nasional dan wilayah internal suku mereka (seperti yang terjadi pada perang Kaukasus) dan secara reguler memberi bantuan tenaga dalam berbagai konflik (seperti konflik Rusia-Turki). Pada gilirannya, mereka menikmati otonomi sosial yang luas dan inilah yang menyebabkan mereka membentuk gambaran stereotipikal imperium dan pemerintahan Rusia abad 19. Sepanjang perang sipil Rusia, wilayah Cossaks menjadi pusat dari gerakan Anti-Bolshevik (White Movement), Dengan berjayanya tentara merah (Red Army), wilayah kelompok Cossaks terpaksa harus menderita kelaparan dan mengalami represi besar-besaran. Selama perang dunia ke-2, Cossaks memberi perlawanan terhadap Uni-Soviet dan Tentara Nazi-Jerman.
[15] Orthopaedic adalah spesialisasi medis yang khusus meneliti dan menangani masalah medis, seperti : luka dan penyakit yang menyerang sistem penggerak tubuh manusia (tulang, otot, dll).
[16] Sistem legal yang memungkinkan pengadilan secara aktif terlibat dalam menginvestigasi fakta sebuah kasus. Sistem inkuisitoral digunakan untuk menentukan bagaimana penyelidikan dan peradilan tindak kriminal akan diselenggarakan. Ciri paling menonjol dari sistem inquisitoral dalam peradilan pidana di Perancis dan negara-negara lainnya yang memiliki sistem sama ialah fungsi hakim investigasi (judge d’instruction).
[17] Pakaian yang bentuknya seperti jacket dengan lengan baju yang dibuat panjang hingga melintang mengelilingi tubuh dan dapat mengikat kedua tangan hingga membuat seseorang sulit untuk bergerak. Jacket/pakaian ini biasanya dikenakan oleh pasien rumah sakit jiwa.
[18] Secara literal berarti “pria terhormat”. Mafia adalah panggilan kolektif untuk beberapa organisasi rahasia di Sisilia dan Amerika Serikat. Mafia awalnya merupakan nama sebuah konfederasi yang melibatkan orang-orang di Sisilia pada Abad Pertengahan, konfederasi ini dibentuk untuk tujuan perlindungan dan penegakan hukum (tentunya dengan menempuh cara mereka sendiri), Konfederasi ini kemudian berkembang lebih jauh lagi dengan melakukan berbagai kejahatan terorganisir. Istilah “mafia” kini telah melebar hingga dapat merujuk kepada kelompok besar apapun yang melakukan kejahatan terorganisir (bandingkan dengan Mafia Rusia, Yakuza di Jepang), dan Triad di China.