Title: Merebut Kontrol: Klub Sepakbola dan Kaum Anarkis
Topics: football, organizing
Language: Bahasa Indonesia
Publication: Kolektif Anarkis.org
Date: 2008
Source: https://anarkis.org/2016/04/01/merebut-kontrol-klub-sepakbola-dan-kaum-anarkis/
Notes: Teks aslinya berjudul Fan Controlled Football Club dari majalah ORGANIZE! edisi 71.

Ada tradisi lama yang beredar di kalangan sebagian kaum anarkis dan Marxis, yang memandang bahwa olahraga pertandingan adalah salah satu “candu masyarakat”, mirip dengan agama, yang dipakai untuk mengalihkan perhatian kaum pekerja dari hal-hal yang harusnya perlu mereka perjuangkan.

Gagasan ini bisa diperluas lagi ke berbagai hal lain mulai dari gosip selebriti, koleksi benda seni dan perangko, hingga puisi, drama dan film. Sikap sebagian kaum anarkis pada olahraga pertandingan (dan kadang juga terhadap seni, musik, dan puisi kacangan) mencerminkan pandangan filsafat utilitarianisme John Stuart Mill, yang berpendapat, meski hiburan secara intrinsik adalah baik selama tidak menimbulkan bahaya, tetap ada beda nyata antara kesenangan yang “berkualitas tinggi” dan yang “kacangan”. (On Liberty, 1859, London: Penguin Books). Pandangan itu menyatakan bahwa olahraga pertandingan, terutama sepakbola adalah tak memiliki guna, dan menikmatinya sama halnya dengan membudakkan diri dan tunduk pada tuntutan kaum borjuis elit. Hal ini selanjutnya memunculkan perdebatan apakah olahraga pertandingan nantinya masih diperbolehkan ada dalam masyarakat anarkis masa depan. Tentu saja jawabannya adalah “ya”, karena kebutuhan kita pada kesenangan bukanlah kegiatan mencari untung, sehingga membuat kita perlu membahas masalah olahraga pertandingan ini di dalam kerangka pandangan anarkis.

Olahraga pertandingan adalah saat dimana rakyat dari berbagai ras, budaya, maupun gender berkesempatan untuk berinteraksi secara sukarela dengan individu lain di luar lingkungan kerja, dalam suasana luang. Sama halnya dengan seni dan musik, ada beragam cara untuk ikut terlibat dalam olahraga pertandingan, baik selaku pemain maupun penonton. Daripada memandang rendah olahraga pertandingan, kaum anarkis mestinya perlu memandang olahraga pertandingan sebagai kesempatan untuk bisa bertemu dengan kaum kelas pekerja lain dan untuk mengorganisasikan diri sendiri bagi perubahan. Artikel ini selanjutnya akan menunjukkan kisah-kisah bagaimana kaum pekerja telah berhasil mengorganisasikan klub-klub sepakbola independen di lingkungan dimana klub-klub umumnya dikelola secara dominan oleh perusahaan-perusahaan besar.

Pada tahun 1992 klub-klub Divisi Satu Liga Sepakbola Inggris berubah nama jadi Liga Primer FA, menggantikan yang terdahulu selaku eselon tertinggi dari liga profesional Inggis, membawa serta 22 klub pendiri (dikurangi jadi 20 mulai musim 1995/96). Putusan itu terkait dengan gelontoran besar uang hasil penandatanganan kerjasama yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan stasiun TV, Sky Sports, milik Rupert Murdoch. Sejak 16 tahun setelah itu, segi bisnis dan kepopuleran Liga Primer menjadi melambung. Klub-klub top seperti Manchester United, Arsenal, Liverpool dan yang datang belakangan seperti Chelsea mampu menghitung fans mereka dalam angka ratusan juta orang.

Manchester United bisa menyombongkan angka tiga milyar penggemar di seluruh dunia (Man Utd’s 333m fans, Daily Mirror, 8 January 2008). Merek Liga Premier saat ini bisa disebut sebagai liga terbaik di dunia. Sebagai hasilnya, setiap minggunya rangkaian seri pertandingan sepakbola ditayangkan tanpa henti di jaringan TV satelit, menggantikan sinetron. Pertandingan tidak lagi menjadi tempat keluar untuk bertemu dengan teman dan sahabat, tetapi telah berubah jadi tontonan, baik itu dengan klien bisnis di ruang VIP, atau di televisi di rumah anda sendiri. Ruang pusat kota, yang trotoarnya pada zaman dulu secara tradisi jadi pusat berkumpulnya kelas pekerja, telah berubah menjadi ruang kekuasaan kaum kelas atas, dan klub-klub hanya mau menghibur dan melayani mereka di bar-bar dan restoran-restoran mewah di dalam stadion. Bagi kebanyakan fans kelas pekerja, tempat umum yang tersisa untuk bersolidaritas adalah pub-pub, dan mereka menonton pertandingan bola di TV layar lebar di sana.

Kondisi kejiwaan dari pertandingan di lapangan juga berubah secara drastis. Para petinggi klub dan manajer makin memandang para fans sebagai “pelanggan” klub, dibanding sebagai penyemangat atau suporter yang punya hak untuk bersuara pada berbagai permasalahan di klub. Perilaku ini terlihat sekali dalam kasus pengambilalihan Manchester United oleh Malcolm Glazer, seorang investor Amerika yang mewarisi utang klub sebesar 850 juta USD di musim semi 2005. Dalam upaya pengembalian utang, Glazer membebankan kenaikan harga tiket bagi pembeli tiket selama semusim permainan. Peristiwa ini membuat sebuah kelompok fans membentuk klub “tandingan” bernama, FC United of Manchester (FCUM), sebagai protes atas melambungnya harga tiket dan aksi sepihak yang dijalankan oleh klub.

Para pendiri klub membikin manifesto yang berisi penentangan mereka pada komersialisasi Manchester United, Liga Premier, dan olahraga pertandingan secara umum. Mereka melangsungkan pemungutan suara secara demokratis utuk memutuskan nama baru dari klub itu, dimana muncul saran-saran nama dari beragam gaya dan relevansi dengan nama klub yang mereka tinggalkan sebelumnya. Kebijakan FCUM mengenai demokrasi langsung dan pengembangan hubungan dengan komunitas lokal, dan juga upaya tetap bertahan sebagai organisasi non-profit serta menolak mencantumkan nama sponsor di kaos mereka, sungguh menarik perhatian kaum anarkis; “Para anggotalah yang sejauh ini menetapkan harga tiket musim pertandingan, memutuskan seberapa besar biaya keanggotaan, melakukan pemungutan suara tentang sebanyak apa strip para pemain akan diganti dan apakah itu akan mencantumkan lambang sponsor atau tidak” (bagian keanggotaan di website FCU).

FCUM juga mendapatkan tawaran bantuan nasihat dan pendampingan dari AFC Wimbledon, klub pecahan lain yang dibentuk setelah Wimbledon FC diambilalih dan direlokasi ke sebelah utara Milton Keynes. Kesedihan fans Wimbledon tersebar luas lewat majalah fans mereka. Hingga saat ini majalah itu “When Saturday Comes” menolak untuk mengakui klub yang berada di Milton Keynes. Keputusan untuk memindahkan klub tersebut belum pernah terjadi sebelumnya di Liga Inggris (meski klub non-liga, Enfield, pernah direlokasi ke Borehamwood di tahun 2001 gara-gara pembangunan kota Enfield), membuatnya menjadi makin mirip dengan praktek ‘franchising’ (waralaba) yang umum terjadi dalam praktek kehidupan olahraga pertandingan di Amerika, dimana suatu klub bisa dipindahkan ke kota baru jika dirasa tempat baru itu lebih menjanjikan keuntungan finansial. Seperti contohnya klub hoki es NHL Québec Nordiques, yang secara tradisi bersaing tanding dengan dua klub kuat Toronto Maple Leafs dan Canadiens du Montréal, dipindah ke Denver, Colorado, dimana bahkan tak ada satu pun klub hoki sepanjang ratusan mil di sekitarnya.

Sistem waralaba juga telah lama berkembang di liga rugbi, dimana pada saat awal musim baru, klub-lub harus lolos kriteria ketat sebelum mereka memasuki Liga Super (Super League). Pada dekade terakhir ini ada rumor kuat tentang akan diberlakukannya syarat itu pada sistem di Eropa daratan. Hanya klub yang paling kaya dan menguntungkan saja yang boleh masuk dalam liga, membuatnya jadi tercerai total dengan tradisi kompetisi lokal klub sepakbola Eropa yang terikat dan dekat dengan para fans. Banyaknya protes menentang praktek waralaba di Liga Super mencerminkan hasrat kuat banyak fans untuk mempertahankan rasa cinta mereka akan permainan.

Seluruh sendi budaya olok-olok antarklub dan rivalitas antartim tumbuh bersama dengan permainan bola, sebagian khas untuk klub tertentu, sebagian tersebar luas pada pertandingan umum. Kemarahan besar terjadi di kalangan para fans saat Manchester United memilih untuk tidak mempertahankan piala FA Cup di tahun 2000, dan lebih memilih mengikuti tantangan di turnamen Piala Dunia di Brazil. Piala FA Cup tetaplah menyimpan aura magis bagi fans Inggris, dan para pemilik klub punya semacam kewajiban untuk mengikuti pertandingan yang dianggap penting oleh para fans meski hal itu bisa berdampak diterapkannya sanksi FIFA bagi mereka. Protes serupa muncul untuk menentang proposal seri ke-39 Liga Primer yang berencana melangsungkan pertandingannya di beberapa tempat di seluruh dunia. Rencana ini juga dicemooh oleh berbagai media Inggris, dan banyak federasi sepakbola menyuarakan penentangan terhadap arogansi Liga Premier ini. Para fans punya kegelisahan mendalam terhadap keserakahan mencari untung dalam sepak bola, dan banyak di antara mereka rindu akan tradisi dan budaya permainan lama, lepas dari kenyataan tentang makin kuatnya cengkeraman kapitalisme global pada permainan sepak bola.

Dalam situasi inilah, klub-klub yang dikelola secara independen oleh para fans mulai bermunculan. Di saat AFC Wimbledon dan FC United memberikan kaum anarkis contoh glamor perjuangan klub-klub yang dikelola para fans, contoh kasus lainnya, semisal AFC Liverpool dan banyak tim liga bawah seperti Exeter City, Cambridge City, Notts County dan Stockport County memberikan contoh yang jauh lebih pragmatis. Terlepas dari protes tanpa henti mereka menentang pemilik Amerika pada klub Liverpool, pembentukan AFC Liverpool di musim semi 2008 dipandang sebagai alternatif yang bisa diterima dibanding membuat klub baru, dan mereka tetap mempertahankan hubungan dengan Liverpool. Seperti halnya FC United, AFC Liverpool dijalankan oleh dan secara sistem keanggotaan dan bersifat nirlaba, namun tetap mengambil jarak dengan retorika anti-kapitalis yang disuarakan FC United dan AFC Wimbledon.

Namun bagaimanapun, keberadaan klub-klub itu merepresentasikan cara alami para fans untuk mengorganisir bentuk alternatif terhadap ‘Big Football’ dari Liga Premier yang tidak lagi mampu dinikmati oleh kelas pekerja. Strategi ini telah membuahkan hasilnya, misalnya Exeter City diambil alih oleh lembaga keuangan yang dikelola para fans, menyusul degradasinya ke Football Conference (liga satu tingkat di bawah Football League). Mereka mengambilalih pengelolaan tim dua tahun kemudian, dan mampu mempromosikan klub kembali ke Football League pada bulan Mei 2008. Kisah yang lebih lebih hebat lagi adalah kebangkitan FC United, yang berangkat sebagai peserta divisi dua North West Counties League—liga tingkat sepuluh di sepak bola Inggris—dan pada musim 2008/09 berlaga di liga tingkat tujuh, Northern Premier League, artinya mereka promosi setiap tahun sejak kemunculannya.

Meski demikian, bukan hanya keberhasilan di lapangan saja yang mendorong munculnya klub-klub yang dikelola fans tersebut. Seperti telah diulas sebelumnya, manifesto FC United adalah membangun hubungan dengan komunitas lokal dan dengan kaum pemuda di lingkungan tersebut. Peristiwa terpenting yang mereka selenggarakan adalah kegiatan “Hari Para Fans” yang digelar pada tahun 2008 sebagai bagian dari kampanye anti-rasisme, dimana klub menjual makanan Fair Trade. Klub memberi bukti bahwa kegiatan seperti pekan ‘Kick Out Racism’ menjadi elemen nyata, bukan sekedar simbol belaka. “Kami ingin menekankan kembali sikap anti-rasis dan pendekatan inklusif kami. Kami adalah klub yang masih muda, dan ingin memastikan bahwa hari ini akan menjadi tonggak bagi kegiatan kami selanjutnya.” (seksi People United Day pada website FCUM)

Klub tersebut terus menyatakan sikap penentangan terhadap xenofobia dan homofobia, selanjutnya menyatakan bahwa “Sepakbola, saat ini merupakan pusat dari ide keterlibatan masyarakat dalam berkomunitas dan upaya membangun rasa kepemilikan di kalangan kaum minoritas akan membuat mereka merasa ikut dilibatkan di dalam masyarakat,” (ibid). Secara jelas, klub memiliki harapan untuk bisa terlibat secara aktif dalam perjuangan kelas pekerja, dan fakta bahwa sejumlah wajah suporter klub ditayangkan (menjadi incaran) dalam situs fasis, Redwatch, adalah bukti dari upaya tersebut!

Di saat para fans sepakbola demikian putus asa dengan pengaruh modal pada sepak bola, tumbuhnya klub-klub yang dikelola para fans menjadi bukti bahwa proses demokrasi secara langsung dan nirlaba dalam sepak bola ternyata bisa sukses. Memang belum tiba waktunya klub-klub yang dikelola para fans itu mampu memasuki Liga Premier, mungkin juga Big Football dan modal uang di belakangnya terlampau kuat untuk mampu membuat tim-tim seperti Exeter City dan Notts County secara finansial bisa bersaing mendapatkan pemain kelas dunia. Ambisi klub-klub seperti AFC Liverpool, FC United dan AFC Wimbledon bagaimanapun juga adalah bisa memasuki Football League, dan banyak fans dari pecahan klub-klub sebelumnya bakal senang sekali melawan klub lama mereka dalam pertandingan di Piala FA.

Mimpi ini tentu saja seperti keinginan menang lotere, namun hal itu tak terlalu jauh dari kenyataan. AFC Wimbledon, kemungkinan bisa bermain di liga besar pada tahun 2011. Bagi para anarkis dan fans klub, klub-klub ini merepresentasikan aspek kehidupan nyata sehari-hari yang hendak direbut dari genggaman kaum kapitalis, dan ingin itu kembali dikendalikan oleh rakyat, sebagai cara membangun “masyarakat baru” dalam reruntuhan yang lama. Di luar klub-klub besar Liga Premier, upaya pembentukan sistem pendanaan yang dibuat oleh para suporter yang mampu mencapai mayoritas dalam saham klub serta merubah klub menjadi nirlaba bukanlah angan-angan kosong belaka. Hal itu terbukti sukses pada Cambridge City, Exeter City, Stockport County, Raith Rovers (lepas dari kenyataan bahwa itu berkat bantuan Gordon Brown!—politisi Partai Buruh Inggris) dan Notts County.

Kisah-kisah itu mungkin bentuk yang tidak cukup ekstrim dibanding pendudukan pabrik! Terbentuknya hubungan antara “kontrol oleh fans” dan anarkisme, serta keprihatinan tentang hancur dan rusaknya sepakbola oleh kapitalisme bisa memunculkan semangat anti-kapitalisme di kalangan fans sepakbola yang berasal dari kelas pekerja. Sepakbola dan berbagai bentuk olahraga pertandingan lainnya adalah bagian tak terpisah dari komunitas, dan selaku bagian komunitas, kaum anarkis yang anti pada olahraga pertandingan perlu terlibat dengan para fans tersebut, bukan lantas memandang rendah mereka dan berupaya memaksa mereka untuk ‘memperbaiki diri’ dengan menolak olahraga pertandingan. Klub-klub yang mengidentifikasikan diri sebagai klub alternatif ini saling bersolidaritas satu sama lain dan menjadi penentang kuat kapitalisme, hal inilah yang membuat kaum anarkis semestinya berterima kasih serta mendukungnya