Anonim
Para Pembangkang: Sedulur Sikep.
Mungkin kita sudah mengenal istilah Samin atau Saminisme, melalui cerita satu mulut ke mulut lain atau pun berbagai media massa. Namun sejatinya, masyarakat Samin sendiri lebih memilih sebutan Sedulur Sikep. Mereka meyakini bahwa istilah Sedulur Sikep melebihi dari istilah Samin, meski tentunya keyakinan kelompok etnik ini sendiri didasari oleh perjuangan Raden Surowidjojo yang dilanjutkan oleh anak keduanya bernama Raden Kohar, atau yang lebih sering dikenal sebagai Samin Surosentiko.
Sedulur Sikep adalah salah satu kelompok etnik yang masih eksis hingga saat ini, mereka tersebar mulai dari desa tempat kelahiran Samin Surosentiko, di Desa Plosokediren, Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Kemudian semakin meluas ke desa-desa di Kabupaten Blora, antara lain Desa Klopodhuwur, Bapangan, Kedungtuban, Sambong, Jiken, Jepon, Blora, Tunjungan, Ngawen, Todanan, Kunduran, Banjarejo, dan Doplang. Selama satu dasawarsa, Sedulur Sikep menyebar sampai ke luar wilayah Kabupaten Blora, antara lain di Kabupaten Kudus, Kabupaten Pati, Kabupaten Rembang. Pun terdapat di Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Madiun, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Tuban di Jawa Timur.
Sedulur Sikep adalah salah satu kelompok minoritas di Indonesia yang saat ini seolah dilupakan oleh peradaban. Selama ini mereka lebih dikenal dengan istilah orang Samin. Namun instilah Samin sendiri tidak memiliki pandangan seragam karena adanya dua versi pengertian. Pengertian pertama, bermula dari kiratabasa kata Samin, yaitu tiyang sami-sami atau sami-sami amin yang artinya adalah “semua orang adalah sama atau bersaudara”. Oleh karena itu, mereka yakin bahwa menjalani kehidupan yang baik adalah dengan hidup secara kolektif. Selain itu, mereka memiliki sikap egaliter yang terlihat dari sebuah persepsi bahwa jika ada orang non-Samin yang bersedia untuk berinteraksi sosial dengan mereka pun dianggapnya saudara.
Pengertian kedua, berasal dari nama kecil Surosentiko, yakni Samin, orang yang dianggap sebagai pemimpin mereka (Saputra dan Subaharianto, 2008: 203 – 204).
Di sekitar tahun 1800-an, Jawa Timur memiliki sebuah kabupaten bernama Kabupaten Sumoroto. Seperti halnya sebuah kabupaten, mereka juga memiliki bupati yang pernah menjabat di Kabupaten tersebut, diataranya adalah; R.M. Tumenggung Prawirodirdjo (1746 – 1751), R.M. Tumenggung Somonegoro (1751 – 1772), R.M. Adipati Brotodirdjo (1772 – 1802), R.M. Adipati Brotodiningrat (1802 – 1826 ).
R.M. Adipati Brotodiningrat bergelar Pangeran Kusumaningayu, yang artinya adalah orang ningrat yang mendapat anugerah/wahyu kerajaan untuk memimpin negara, beliau mempunyai dua orang anak, yaitu Raden Ronggowirjodiningrat dan Raden Surowidjojo. Raden Ronggowirjodiningrat kemudian berkuasa di Kabupaten Tulungagung Provinsi Jawa Timur sebagai Bupati Wedana pada tahun 1826 – 1844. Namun jejak sukses saudarnya tak serta diikuti oleh Raden Surowidjojo, beliau lebih memilih bergabung dengan masyarakat dan meninggalkan kadipaten, lalu bekerja sebagai bromocorah untuk kepentingan orang miskin di Kabupaten Bojonegoro.
Rasa prihatin terhadap masyarakat yang hidup dalam kesengsaraan adalah alasan beliau meninggalkan Kabupaten Sumoroto. Sejak kecil Raden Surowidjojo dididik untuk menjadi manusia dan mencintai keadilan. Oleh karena itu, ketika keserakahan pemerintah kolonial Belanda semakin menjadi, beliau memutuskan untuk membantu masyarakat dengan cara merampok para pejabat kolonial Belanda beserta antek-anteknya. Hasil rampokannya dibagikan kepada masyarakat miskin yang menjadi korban dari berbagai kebijakan penjajah pada masa itu, sebagian lagi digunakan untuk mendirikan kelompok yang akhirnya diberi nama Tiyang Sami Amin pada 1840.
Setelah menikahi Mbok Kemis yang merupakan keturunan Kyai Kethi dari Rajekwesi Kabupaten Bojonegoro, mereka mempunyai lima orang anak laki-laki. Anak keduanya yang lahir pada 1859 di Kabupaten Blora, Raden Kohar, akhirnya melanjutkan cita-cita ayahnya. Setelah beranjak dewasa, nama Raden Kohar diganti menjadi Samin Surosentiko, dengan alasan bahwa nama Samin lebih menggambarkan kerakyatan.
Pada saat itu Raden Surowidjojo menghilang entah kemana, membuat Samin Surosentiko merasa perlu membuat strategi baru untuk melanjutkan cita-cita ayahnya. Di kehidupan sehari-hari, Samin Surosentiko bekerja sebagai petani. Jika dalam antropologi ekonomi kita mengenal sebuah prinsip yang dinamakan prinsip resiprositas, Samin Surosentiko dan pengikutnya mengenal Sambatan, yaitu sebuah tradisi gotong royong dalam kehidupan agraris yang mereka jalankan setiap waktunya. Sejak tahun 1890, Samin Surosentiko gencar menyebarkan ajarannya di Desa Klopodhuwur, Kabupaten Blora. Meski dari waktu ke waktu pengikut ajarannya semakin banyak dan menyebar, pemerintah kolonial Belanda masih meremehkan gerakan Samin dengan hanya menggapnya sebagai ajaran kebatinan atau agama baru yang tidak menganggu keamanan. Mereka melawan dalam “diam”, hingga pemerintah kolonial Belanda pun sempat tak menyadarinya. Berbarengan dengan perlawanannya tersebut, Samin Surosentiko mewariskan sifat ayahnya yaitu senang mengajarkan tentang tata cara menjaga perilaku kehidupan luas, yang terbebas dari rasa iri-dengki dan sikap memperdaya sesama manusia.
Baru pada tahun 1905, Samin Surosentiko dan para pengikutnya mulai mengubah tata cara hidup. Mereka menolak untuk menyetor padi ke lumbung desa dan menolak membayar pajak. Dengan berjalannya waktu — pengikut Samin semakin banyak — pada tahun 1907 diperkirakan pengikutnya berjumlah 5.000 orang. Hal ini membuat pemerintah kolonial Belanda terkejut atas besarnya dukungan terhadap ajaran Samin. Kolonial Belanda semakin geram ketika mendengar bahwa Samin Surosentiko beserta pengikutnya hendak melancarkan pemberontakan. Oleh karena itu, pada tahun yang sama sejumlah pengikut Samin yang sedang mengadakan upacara selamaten di Desa Kedhungtuban Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah, ditangkap. Sayangnya saat itu Samin Surosentiko sedang berada di kabupaten Rembang.
Pada November 1907, Samin Surosentiko diberikan gelar oleh para pengikutnya sebagai Prabu Panembahan Suryongalam, yang berarti cahaya alam semesta.
Dalam ancaman pemerintah kolonial Belanda tersebut, tak serta mematikan pergerakan Samin dan pengikutnya. Mereka terus bergerak dalam diam, membangkang terhadap segala peraturan, menentang feodalisme dan kolonial dengan kekuatan agraris terselubung, juga tinggal di daerah yang telah diklaim milik oleh kapitalis asing, oleh karena itu pergerakan mereka mirip dengan organisasi proletariat kuno. Melawan dalam “diam” yang dilakukan Samin dan pengikutnya yaitu berarti melawan tanpa kekerasan, ini menarik karena kita mengenal Mahatma Gandhi dan pergerakan anti-kekerasan yang menentang kolonialisme di India, justru di Nusantara ini kita sudah lebih dulu memiliki gerakan serupa, bahkan jauh sebelum Gandhi yang kemudian dianggap sebagai tokoh perdamaian dunia. Perlawanan dalam “diam” tersebut semakin mencolok melalui cara mereka berpakaian yang menggunakan pakaian berwarna hitam. Sikap tersebut menujukan bahwa mereka selalu berduka hidup di tengah kekuasaan pemerintah kolonial Belanda.
Pergerakan Samin dan pengikutnya pun seringkali dikaitkan dengan kaum anarkis, dengan tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan agama atau pun derajatnya dan sikap yang anti-otoritarian. Sekalipun mereka memiliki pemimpin, namun “pemimpin” yang mereka yakini bukanlah orang yang mengatur, melainkan hanya penghubung yang umum terdapat dalam orang-orang kebatinan. Karena Samin Surosentiko sendiri menolak disebut guru. Kemiripan masyarakat Samin dan kaum anarkis ini dapat kita temukan dalam apa yang ditulis Rudolf Rocker dalam “Anarcho Syndicalism” (hal 17–18), bahwa “Bersama dengan pendiri sosialisme, kaum anarkis menuntut penghapusan semua monopoli ekonomi serta kepemilikan bersama atas tanah dan semua sarana produksi lainnya, yang harus dimanfaatkan oleh semua tanpa pembedaan; karena kebebasan sosial dan personal hanya dapat dipahami pada dasar keuntungan ekonomi yang setara bagi setiap orang. Dalam gerakan sosialis sendiri kaum anarkis menunjukkan sudut pandang bahwa perang melawan kapitalisme harus bersamaan juga berperang melawan semua institusi kekuasaan politis, karena dalam sejarah, eksploitasi ekonomi selalu bekerja sama dengan penindasan sosial politik. Eksploitasi dan dominasi orang terhadap sesamanya tidak dapat dipisahkan, dan masing-masing saling mengkondisikan.”
Berikut beberapa konsep Sedulur Sikep yang telah menjadi tradisi:
-
Tidak bersekolah, mereka beranggapan bahwa pengetahuan dapat dipelajari seiring berjalannya realita kehidupan. Dengan itu, mereka menggangap pengetahuan yang didapat di sekolah formal hanya akan membuat manusia merasa “pintar” lalu akhirnya memperdaya sesama manusia.
-
Tidak berdagang, mereka hidup secara kolektif dan berbeda dengan masyarakat lainnya. Maka mereka beranggapan bahwa berdagang akan membuat mereka terbuai oleh uang.
-
Tidak berpoligami.
-
Tidak memakai peci.
-
Ketidak-yakinan terhadap persepsi umum kematian, seperti apa yang dituturkan salah satu informan Sedulur Sikep mengenai kehidupan setelah kematian yang diyakini banyak orang, “Apakah saudara pernah melihat surga dan neraka? Sebenarnya, surga dan neraka itu ada saat manusia hidup. Ketika ia mendapatkan kenikmatan, kesehatan, rezeki dari hasil panennya itu adalah surga. Akan tetapi, saat manusia mendapatkan musibah seperti sakit, itulah neraka. Jadi, kalau mau tahu surga dan neraka, sebenarnya kita sudah mengalaminya saat hidup. Karena itulah, hidup harus baik, agar mendapat surga.” dalam wawancaranya dengan Gunarti, 10 September 2012.
Samin Surosentiko akhirnya meninggal dalam tahanan di Sawahlunto, Padang, Sumatra Barat pada tahun 1914. Di tengah-tengah pengasingannya, beliau sempat berpesan “mbesok ojo samar karo aku, keno pangkling rupane, ojo pangkling suarane”, yang artinya “besok jangan lupa denganku, boleh lupa wajahku, jangan lupa suaraku.”
Namun selepas perginya Samin Surosentiko, tak serta mematikan semangat perjuangan Sedulur Sikep yang terus menggeliat dalam diam di tengah ancaman pemerintah hingga kini. Meski Indonesia sudah merdeka, Sedulur Sikep tetap menilai bahwa pemerintah Indonesia tidak pernah adil. Mereka tetap kritis disisi keluguannya. Sebagai bukti, mereka konsisten melawan kapitalisme yang akan menghancurkan lingkungan sebagai sumber pangan utamanya. Dari mulai kasus PT. Semen Gresik yang berencana membangun pabrik di Kecamatan Sukolilo, Pati, Jawa Tengah pada 2006. Hingga berlanjut dengan perlawan yang dimulai pada tahun 2010, ketika grup Indocement berencana membangun pabrik di Kecamatan Kayen dan Tambakromo, yang merupakan tetangga desa Sedulur Sikep. Hingga kini, Sedulur Sikep bersama warga Pati dan Rembang terus bertahan menolak PT. Semen Indonesia dan grup Indocement, gerilya yang mereka lakukan dewasa ini mendapat banyak dukungan dari masyarakat luar, solidaritas tersebut tentunya baik untuk mereka sebagai salah satu alat yang memompa semangat ditengah-tengah intimidasi aparat pemerintah. Mungkin itu juga yang membuat mereka meyakini sebuah larangan untuk menjadi polisi atau aparat pemerintah, karena menurut mereka jika ada keturunan Samin yang menjadi aparat pemerintah maka akan terjadi bencana pada desanya.
Kisah perlawanan Raden Surowidjojo, Samin Surosentiko dan Sedulur Sikep telah mengajarkan kita bahwa alam adalah sumber kehidupan utama manusia. Maka jika kita merusaknya, jati diri manusia sebagai mahkluk yang tak bisa lepas dari alam pun berarti hilang. Sebuah lika-liku kisah seorang Robin Hood dari Nusantara. Konsistensi perlawanan dan segala tata cara kehidupan yang lebih baik tanpa penindasan dan keserakahan. Menjadi refleksi untuk kita yang hidup ditengah-tengah belenggu manusia yang saling mendominasi. Bahwasannya, ajaran Samin merupakan ajaran dasar bagaimana menjadi manusia seutuhnya. Tanpa memperbudak dan diperbudak, terus berkembang demi kebebasan, juga kesetaraan.