Apokalips
Melampaui "Anti-Globalisasi"
Menuju Sebuah Pemahaman yang Mendalam tentang Kapital
Kini kita memasuki tahun 2008 M. Tujuh belas tahun lagi menuju krisis air bersih global kalau kita merunut pada data riset para ilmuwan, dua belas tahun lagi menuju pencanangan nuklir sebagai sumber energi di Indonesia; empat tahun lagi menuju kiamat kalau kita merunut pada kalender bangsa Maya; setahun lagi menuju Pemilu nasional Indonesia kalau kita percaya bahwa pemilihan umum dapat mengentaskan masalah ekonomi dalam kehidupan harian kita; beberapa saat lagi menuju penayangan perdana sekuel film layar lebar Batman berjudul Dark Knight. Apapun itu, yang kami sadari adalah bahwa hidup semakin tak menyenangkan di bawah tirani ekonomi, sama seperti kalian semua---bedanya, kami tak berharap akan diselamatkan oleh orang-orang seperti Bruce Wayne (yang menyamar sebagai Batman), titisan Soekarno, SBY, Bill Gates, Chavéz, Ahmaddinejad, ataupun bahkan juga Messiah.
Dalam pergantian tahun ini, dengan tak mengesampingkan pentingnya aksi nyata, sudah seharusnya kita juga melihat diri kita dan sekitar kita dengan sebuah permenungan yang reflektif. Permenungan tersebut dapat berupa pertanyaan sederhana. Berhubung dalam setiap edisi jurnal ini kami banyak berbicara mengenai apa yang terjadi di bawah era globalisasi, maka mari kita mulai dengan mencoba mempertanyakan, sesering apa kita melihat isu-isu yang dibawa oleh gerakan Anti-Globalisasi membawa serta isu anti-kapitalisme? Kami sangat jarang melihatnya, kami juga tak melihat itu dalam agenda-agenda di balik banyak grup-grup gerakan Anti-Globalisasi. Lantas juga lebih jauhnya lagi, sesering apa kita melihat gerakan-gerakan "revolusioner" berkata mengenai kerangka kerja besar tetapi kehilangan analisa atas kerangka kerja terkecil, yaitu kehidupan harian?
"Sesungguhnya, mereka yang berkata tentang revolusi tetapi tak mampu mengorelasikannya dengan kehidupan harian, menyimpan bangkai dalam mulutnya."
- Raoul Vaneigem
Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan sederhana tersebut, kami melihat bahwa gerakan Anti-Globalisasi selama ini telah terpeleset dalam upayanya memahami fase terkini dari kapitalisme---yang telah bertransformasi menjadi kapitalisme global. Memang, dalam banyak hal kapitalisme memang berwajah baru (contohnya: negara meningkatkan kontrol atas populasinya, sementara negara itu sendiri telah kehilangan kontrol atas kapital dan perdagangan) tetapi kapital selalu mencakup sebuah dorongan untuk berekspansi. Dalam logikanya sendiri, kapitalisme selalu mencakup sebuah motivasi untuk terus menerus berkembang. Semenjak logika mendasar kapital adalah "tumbuh atau mati", sebagaimana yang secara jelas diamini oleh para ekonom dan sangat ditekankan di sekolah-sekolah ekonomi-manajemen. Mentalitas dan manifestasi materialnya secara jelas telah dipaparkan sepanjang sejarah.
"Menjadi stagnan dalam bisnis adalah berarti juga bahwa bisnis anda sedang mengalami kehancuran."
- Sebuah slogan dalam koran iklan Bandung Advertising
Untuk mengorelasikannya dengan konteks lokal, kita dapat melihat bagaimana bisnis-bisnis lokal juga memiliki sifat demikian. Dalam konteks paling sederhana kita dapat melihat bagaimana kapitalisme selalu perlu untuk berekspansi. Struktur ekonomi yang menopang bisnis tersebut tidak berbeda antara bisnis lokal (yang mulai menasional) seperti Es teler 77 atau Baso Karapitan dengan korporasi raksasa seperti Salim Group dan Bakrie atau bahkan yang bersifat multinasional seperti Coca Cola dan KFC (yang awalnya juga bermula dari bisnis lokal). Ilustrasi demikian mendemonstrasikan bahwa kapitalisme pada dasarnya memiliki karakteristik yang sama. Karenanya dengan demikian menjadi jelas bahwa apa yang patut untuk diserang saat kita berkata mengenai kemiskinan, tidak lagi terbatas pada manifestasi kapital global semata, melainkan lebih pada struktur yang berada di baliknya: sistem ekonomi kapitalisme. Sistem yang telah memaksa kita semua untuk terlibat di dalamnya atau mati. Dilihat lagi dalam konteks global, manifestasi terkini dari kapital adalah sebuah reorganisasi kekuasaan yang mulai mengikis kedaulatan negara-bangsa. Sebuah dampak yang seringkali menghasilkan sebuah jebakan fatal bagi para aktivis Anti-Globalisasi.
"Sekarang sudah saatnya kita melihat bahwa musuh kita bukan hanya para kapitalis asing, tapi juga sekaligus para kapitalis nasional."
- George Aditjondro
Kebanyakan aktivis Anti-Globalisasi, entah itu para intelektualnya ataupun para organisator akar-rumput, sayangnya terjatuh dalam jebakan tersebut, yaitu dengan memromosikan kedaulatan negara-bangsa untuk melawan globalisasi kapitalisme. Baik negara-bangsa ataupun kapitalisme, bagaimanapun juga, perlu untuk diteliti secara teoritis dan dipahami secara lebih mendalam. Analisa dan aksi-aksi kita harus didasari akan pemahaman tentang bagaimana beroperasinya kapital, baik dalam skala global termasuk dalam skala nasional dan lokal. Sebuah pemahaman yang menyeluruh sangat dibutuhkan sehingga kita tidak hanya berakhir menjadi bagian dari kampanye para reformis dan nasionalis---yang seringkali melihat kerangka kerja kapitalisme hanya terbatas dalam perlawanan terhadap kekuatan kapital asing tetapi mengamini struktur kapitalisme nasional. Kita juga perlu paham implikasi total dari aksi menentang manifestasi kapital global seperti Bank Dunia dan IMF, atau WTO dalam kaitannya dengan berkuasanya kapitalisme nasional seperti Salim Group---sekedar melawan satu aspek saja tentu hanya memutus salah satu saja dari tentacle milik monster gurita kapitalisme.
Pusat kapitalisme mendasarkan dirinya tidak hanya dalam sektor perdagangan atau finansial, melainkan juga dalam pusat-pusat produksinya---sebuah titik di mana sebagian besar dari kita terpaksa mengambil bagian di dalamnya dan mereproduksi perbudakan dan pelecehan atas diri kita sendiri. Dengan kata lain, maksud kami adalah agar kita tidak memfetishkan tempat kerja sebagai satu-satunya inti perjuangan, melainkan dengan secara sadar melihat titik tersebut sebagai sebuah titik awal yang potensial dalam sebuah perjuangan mencapai sebuah dunia baru tanpa kapital, kerja-upahan, komoditi, kemiskinan fisik ataupun spiritual, dsb.---tidak lagi melihatnya sebagai satu-satunya pusat perjuangan yang valid. Seringkali sebuah pemahaman atas degradasi sosial yang disebabkan atas perendahan diri kita di bawah tuntutan kapitalisme terhisap dalam arus pemahaman parsial bahwa penindasan hanyalah milik mereka yang miskin di negara-negara Dunia Ketiga.
"Mau di negara lain ancur-ancuran kayak gimana, aku nggak peduli. Yang aku peduliin hanya bagaimana Indonesia bisa makmur."
- Komentar seorang pengunjung situs Rumah Kiri atas artikel mengenai tragedi 11 September 2001 <https://rumahkiri.net>
Mereka yang hidup di tanah-tanah Dunia Pertama sama sekali berada di luar pemahaman kita bahwa mereka juga tertindas di bawah satu sistem yang sama dan saling berkelindan dengan sistem yang menaungi kita di tanah ini. Kita seringkali lupa bahwa apa yang terjadi di satu regional memiliki dampak di regional lain. Dalam upaya untuk membangun sebuah oposisi yang koheren dan efektif terhadap kapital, kita harus mampu melihat struktur kekuasaan yang menindas kaum miskin di Indonesia dan negara-negara Dunia Ketiga melalui institusi seperti Bank Dunia dan IMF, sebagai sebuah sistem yang menjadi kuat atas penghisapan dan peninternalisasian alienasi dalam kehidupan harian di negara-negara Dunia Pertama melalui tempat kerja, sekolah dan jalan-jalan yang dingin berlapis semen, besi dan plastik. Pertumbuhan kapitalisme bertanggung jawab atas semua pemiskinan global, di regional manapun juga. Sebagai contoh gamblangnya, di Perancis (yang mana termasuk dalam kubu negara Dunia Pertama) berbagai undang-undang baru diperkenalkan, yang mana undang-undang tersebut memiskinkan para pekerja dan anak-anak muda (seperti undang-undang CPE misalnya, yang disusun mirip dengan revisi UUK 13/2003 di Indonesia, yang pada intinya dideklarasikan demi fleksibilitas tenaga kerja)---itu dengan tidak membeberkan kasus-kasus lain yang serupa di Amerika Serikat, Inggris dan beberapa negara anggota Uni Eropa lainnya.
Di sisi lain dari gerakan Anti-Globalisasi terdapat juga sebuah tema pluralisme yang relatif popular---keadilan, kebebasan, kesetaraan, demokrasi, anti-kekerasan---di mana orang-orang yang beragam di atas planet ini berdampingan melawan "kapitalisme global". Tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Tetapi apa yang hilang dari rentetan isu-isu tersebut adalah kaitan itu semua dengan mengambil referensi eksistensi kelas sosial. Kita bisa melihat bagaimana para liberal kelas menengah berjuang mati-matian melawan "kapitalisme global" tetapi sama sekali tidak menolak karakteristik kapitalisme nasional, yang dengan demikian pada saat yang sama berarti juga gagal menyadari dinamika kelas. Hal ini tidak berarti bahwa kami menunjuk hal tersebut sebagai sekedar kesalahan individual, tetapi kami melihat hal tersebut sebagai produk dari kegagalan organisasi-organisasi liberal. Individu-individu yang terlibat dalam organisasi-organisasi semacam itu seringkali dimanipulasi dan tidak didorong agar mampu berpikir kritis. Akibatnya, relasi kapitalisme dalam kehidupan harian kita seringkali tak nampak dan hanya tereduksi bahwa dampak kapitalisme hanyalah "kapitalisme global" yang jahat, mendominasi, di mana rakyat miskin Dunia Ketiga dipaksa untuk menerima restrukturisasi kapitalis. Kita telah kehilangan pemahaman kita bahwa kapitalisme adalah struktur yang menyeluruh. Kapitalisme adalah sebuah relasi sosial yang berdampak dalam kehidupan harian baik yang termanifestasikan dalam skala "global" ataupun "nasional"---bahkan "lokal".
"Kita melakukan kerja yang kita benci agar kita mampu membeli barang-barang yang tidak kita butuhkan."
- Tyler Durden, Fight Club
Kita seringkali lupa bahwa kapitalisme beroperasi dengan ketat dalam kehidupan harian. Saat kita bekerja demi upah dan jaminan kesejahteraan, aktivitas hidup kita tereduksi ke dalam waktu kerja, di mana setelahnya kita akan pulang ke rumah, menonton televisi, tidur dan esoknya mengulang proses tersebut lagi dan lagi. Ambil tragedi harian tersebut dari konteks kerja-upahan, maka kita akan menemukan stagnansi eksistensi di tengah absennya komuniti di bawah gerusan karakteristik kapitalisme modern yang berorientasi pada mesin, kesendirian, kemajuan dan kompetisi. Apa yang ada di pikiran kita adalah bahwa kita harus mendapatkan pekerjaan apapun asalkan upahnya cukup tinggi. Apabila kita lantas ditanyakan, apa gunanya upah tinggi, tentu saja apa yang terpikirkan oleh kita hanyalah menggunakannya untuk mengonsumsi. Kita mengonsumsi, kita berbelanja. Saat kita berbelanja, kita membeli produk-produk komoditi yang sesungguhnya tak kita perlukan dalam hidup kita. Demi hal tersebutlah kita melakukan kerja-kerja upahan, yang tak dapat disangkal, telah membuat diri kita selalu dalam keadaan depresi yang konstan. Depresi yang kebanyakan hanya disembuhkan secara temporer dengan cara kembali ke dalam lingkaran setan proses produksi komoditi di bawah kapitalisme.
"Aku nggak bohong soal itu. Dengan belanja dan jalan-jalan di mall, stres jadi hilang."
- Dari artikel berjudul "Belanja Bikin Awet Muda", majalah Pesona Keluarga, edisi 3
Berkata demikian, tugas kita kini tak lagi sekedar secara buta merengkuh deklarasi "Anti-Globalisasi" semata, melainkan sudah seharusnya kita juga mendekonstruksi mitologi-mitologi yang memilah-milah hingga saling terpisah antara individu, komuniti, lokal, nasional dan global. Para aktivis Anti-Globalisasi pada khususnya dan rakyat pada umumnya sudah seharusnya juga tak lagi mereduksi kemarahannya pada sekedar "Anti-Globalisasi" tanpa secara sadar menyadari eksistensi kelas dan relasi dinamisnya dalam sebuah totalitas sistem kapitalisme. Sebagaimana telah dijabarkan secara singkat di atas, kapitalisme bukanlah sekedar penindasan asing atas Indonesia dan negara-negara Dunia Ketiga, melainkan sebuah relasi sosial yang mengondisikan relasi-relasi harian kita sepenuhnya, secara global.
Kritik terhadap Globalisasi harus mampu untuk mulai melangkah ke dalam pemahaman tentang penindasan mutual yang dioperasikan oleh kapital melalui negara-bangsa sebagai alatnya serta keterkaitannya dengan kehidupan kita sehari-hari. Untuk mencapai titik ini, kita harus mengembangkan pemahaman mendalam tentang apa itu kapitalisme dan bagaimana ia beroperasi.
Para aktivis Anti-Globalisasi, selangkah lagi diperlukan untuk menjadi revolusioner! Demi sebuah dunia yang kita hasrati untuk kita tinggal dan hidupi. Selamat tahun baru 2008.