BlaxD
Arus Individualisme
Miskonsepsi, Redefinisi, Pemberontakan dan Otonomi-Diri
Individualisme memang mengalami pasang-surut dari tradisi pemikirannya, gerakan akar rumput-nya (grass-root) hingga definisinya yang tidak menentu: bahkan seringkali dan sampai hari ini dimaknai sebagai sesuatu yang negatif. Dari India kuno hingga pada peradaban Yunani, individualisme pun senantiasa didiskusikan, meskipun belum merujuk dan menggunakan kata ‘individualisme’. Dan pada abad 19, individualisme serta diskursus tentangnya mulai naik dan diberikan panggung yang besar. Akan tetapi, usaha redefinisi di era ini pun masih masing silang sengkarut karena para individualis maupun teoritikus individualisme saling mempertentangkan satu sama lain. Hingga muncul diskusi mengenai pemberontakan dan otonomi-diri, yang akhirnya memacu dan membuat para individualis harus mampu bermanuver menantang tradisi pemikiran yang lainnya. Hidup diambang kehancuran dengan pro dan kontra kekerasan, alienasi maupun ambiguitas, tapi individualisme tetap berdiri kokoh di setiap tradisi pemikiran setelahnya: hingga hari ini.
Pendahuluan
Dalam sejarahnya yang begitu panjang—yang terbentang dari Eropa, daratan China, Asia hingga di Amerika—individualisme (pernah) berada dipanggung besar dalam tradisi pemikiran para pemikir politik, ekonomi, sosial dan tentunya filsafat. Oleh karena itu, dengan melihat perkembangannya hingga hari ini, dimana definisi atasnya semakin kabur dan serba berkonotasi negatif, maka tak ayal masyarakat hari ini akan memaknainya sebagai bentuk dari sebuah tindakan yang mementingkan diri saja.
Banyak literatur yang telah ditulis—namun tentunya akan sulit untuk mengaksesnya—oleh banyak individualis maupun para penulis (baca: teoritikus) yang tertarik pemikiran tersebut. Sebuah poin penting bagi penulis, dan sebagai bentuk redefinisi atas individualisme dalam artian sebenarnya, adalah ketika penulis menemukan bahwa kecenderungan individualisme yang kini tidak memiliki panggung dalam masyarakat kita dan selalu disematkan dalam kerangka pemikiran liberal, telah ada dan terus berjuang agar tetap hidup selama ratusan tahun.
Melawan arus dalam tradisi pemikiran yang berdasarkan komunalisme, kolektivisme atau sosialisme a la vanguardisme, ternyata tak membuat individualisme merangkak di belakang sejarah kita. Individualisme bahkan pernah—jangan samakan dengan bentuk tuntutan dalam frame pemikiran liberal, tapi bandingkan!—mencapai titik tertingginya, dan ia sekali lagi diakui sebagai bentuk pengembalian hidup manusia kepada asalinya (baca: hakikat manusia).
Ketika individualisme berusaha menawarkan dan terus-menerus memperbaharui kerangka pemikirannya, maka kita takkan pernah lepas dari kata “pemberontakan”, “politik-diri”, “otonomi”, “hak”, “privasi”, “properti pribadi”, “egoisme”, “kebebasan total” ataupun hal-hal lainnya yang berhubungan dengan erat dengan individu. Disini akan kita temukan definisi sebenarnya dari kata-kata yang bertebaran tersebut. Melalui dan banyak meminjam pemikiran dari para individualis dan teoritikus individualisme, penulis berusaha membentangkan dan mengembalikan individualisme ke tempat yang lebih layak dan tempat dimana ia seharusnya berada: tidak dianaktirikan atau disembunyikan di balik ‘wajah’ sejarah.
Dalam artikel ini, penulis akan berfokus pada pemberontakan dan otonomi-diri, namun tidak menutup kemungkinan akan melebar. Oleh karena itu, agar tidak membingungkan tentang apa yang mungkin akan dibahas, maka pembaca agar tidak memposisikan diri memakai paham atau pengertian konotasi umum yang disematkan dari kata-kata yang diatas tadi dan kata-kata yang akan hadir kemudian—saya merasa dan sadar bahwa hal ini tidak bisa kita halangi, karena permasalahan dan keterbatasan bahasa kita (baca: bahasa Indonesia) dalam mencerap dan membahasakan kembali apa yang telah didefinisikan oleh para individualis dan teoritikus individualisme dulu.
Dari India hingga Yunani
Istilah individualisme pertama kali dikenalkan (hal ini dipandang dari perspektif politik saja) pada publik pada awal abad ke-19. Bermula dari Prancis dan menyebar ke daerah-daerah Eropa lainnya kala itu pada tahun 1820-an. Para pemikir tersebut membuat individualisme menjadi berkonotasi negatif. Namun dalam perkembangannya, Jerman membuat gebrakan baru dan mengokupasi definisi “individualisme”. Di lain tempat, penggalian atas individualisme terjadi, dan ditempat itu juga pemaknaan individualisme kian berganti. Konsentrasi pada pengembalian atas definisi indvidualisme makin menegang dan mengakibatkan kita berpikir bahwa individualisme adalah salah satu produk modernitas dan penyangkalan atas alienasi masyarakat hari ini.
Dalam banyak literatur yang ditulis, individualisme memang sangat sulit untuk dipetakan atau bahkan sekedar untuk ditemukan. Beberapa literatur bahkan hanya menyampaikannya secara implisit dan akan sangat sulit untuk mengidentifikasikannya sebagai ide atau gagasan individualisme.
Jauh sebelum makna dari individualisme berubah, India dalam tradisi pemikirannya telah membawa jauh dan melampaui pemikiran kita hari ini. Dalam tradisi pemikiran India, terutama kuno, terdapat salah satu cikal bakal individualisme. Dalam doktrin Karma, seseorang dalam status kehidupannya sekarang adalah bentuk penebusan atas tindakannya sendiri di masa lalunya (baca: reinkarnasi). Karma menyiratkan tanggung jawab individu atas tindakannya sendiri terhadap dirinya maupun orang lain atas apa yang ia lakukan hari ini. Sehingga keputusan atau pertimbangan moral senantiasa berasaskan dari diri individu: dikenal dengan Dharma.
Di China, Konfusius yang dikenal sebagai bapak individualisme, menggemakan apa yang telah dimulai oleh India—sebelum akhirnya pemikirannya digunakan oleh birokrat di pemerintahan kala itu; dan diselewengkan. Konfusius sendiri kita kenal sebagai filsuf yang percaya pada kemungkinan dan bentuk swa-kelola individu atas dirinya dan lingkungannya. Konfusius bahkan menempatkan individu di atas komunal atau kelompok. Penekanan tersebut di lanjutkan oleh Mencius dan aliran-aliran seperti Taoisme serta Neo-Daois. Sebagai contoh, dalam Daoisme, mereka percaya bahwa setiap benda memiliki sifatnya sendiri. Keyakinan Daoisme juga menyiratkan bahwa hakikat atau sifat dari setiap benda memberikan pengertian akan karakter individu.
Di Yunani, salah satu contoh dan dianggap sebagai bapak egoisme dan nihilisme pertama—jika boleh disebut demikian—adalah Gorgias, yang hidup pada 483 SM, di Leontini, salah satu polis di Sisilia. Ia diceritakan dan dikenal sebagai tokoh retorikian pertama dan dianggap seorang retorikian yang tidak seperti kita kenal setelahnya: ia hanya menjawab dengan singkat dan hanya menjabarkan pernyataannya dengan begitu singkat pula[1]. Disini kita tidak akan merasa bahwa arus dari gagasan individualisme dipeluk oleh Gorgias. Akan tetapi, ketika kita melihat secara keseluruhan dan menghubungkannya dengan latar belakang Gorgias sebagai pemikir nihilisme[2]. Nihilisme dan egoisme[3] yang disematkan kepada Gorgias tidak serta merta hanya akan berakhir di ‘kubangan’ sejarah. Individualisme Gorgias berada pada keyakinannya dan tentunya pada cara dia berpikir atas realitas. Ia memposisikan diri menghormati keyakinan orang lain atas gagasan, argumen atau tindakan mereka masing-masing. Disini akan kita temukan bahwa nihilisme tersebut mengarah pada perlawanan atas realitas yang dilakukan oleh individu. Individu memberikan kekuatannya atas kepercayaan dan keyakinannya pada dirinya sendiri. Meskipun setelahnya kita hanya dijebak pleh pemikiran individualsime a la plato dalam kerangka diskursus demokrasi, namun terdapat sebuah semangat Plato dalam menyematkan gagasan Gorgias—tentunya dalam karyanya.
Pemberontakan dan Otonomi-diri
Kita melompat pada era di mana individualisme berada pada ‘gerinda’ sejarah, yang siap untuk mengoyaknya: ia terlihat berada di ambang kepunahannya. Akan tetapi, ia selamat. Ia berada di tempatnya lagi, di mana ia dapat tertawa dan duduk tenang untuk sementara waktu.
Di awal abad ke-19, hidup seorang tokoh individualis yang sekiranya telah mewariskan pemikirannya kepada tokoh-tokoh atau teroritikus individualisme: Max Stirner. Pada zamannya, ia dikenal sebagai salah satu filsuf norak dan aneh, karena telah memunculkan gagasan tentang egoisme[4]. Ia memang dikenal sebagai salah satu anggota dan pengikut Hegelian—terutama Hegelian kiri. Namun dalam perkembangannya, ia lalu bertolak dan menentang semua pemikiran yang tidak berasaskan dan berdasarkan atas kebutuhan individu: individu yang bebas. Dalam banyak korespondensinya, dan melalui para pengikut setelahnya, Stirner telah menempatkan kembali individu pada singgasana emasnya.
Dalam bukunya, ia berpendapat bahwa kebebasan dalam bentuk apapun tidak dapat dicapai—ekonomi, politik dan sosial—sebelum kebutuhan dalam individu diberikan kebebasannya. Bahkan ia menjelaskan bahwa memahami “diri” pun harus dihubungkan dengan “ego”. Stirner berpendapat bahwa ego dilihat sebagai sebuah tindakan yang tidak menciptakan apapun (creative nothingness), yaitu kekosongan radikal yang tergantung individu untuk mendefinisikannya[5]. Individu yang mampu melakukan dan menyadari potensinya terhadap realitas ia sebut “Yang-Unik”. Disini letak individualisme Stirnerian, dan disana juga Stirner senantiasa membawa kita pada definisi pemberontakan yang memang telah dilakukan oleh para individualis agar ide dan gagasan mereka tetap ada. Stirner sekiranya telah membawa cetak biru ke hadapan kita dengan baik dan benar. Renzo Novatore, salah satu nihilis yang memeluk apa yang diyakini Stirner pernah menulis, “Saya mengerti bahwa individualisme bukanlah sebuah madzab atau partai; itu tidak akan membuatnya menjadi “Yang-Unik”. Tapi lebih benar bahwa Yang-Unik adalah individualis.”*** [6] Bahkan Albert Camus juga pernah mengutip dan menyebutkan nama Stirner dalam salah satu karyanya, Pemberontak. Camus menulis bahwa Yang-Unik (baca: individu) tidak mempunyai nama dan ia adalah bentuk penyangkalan atas cengkraman dari dominasi yang akhirnya menihilkan individu dibawah tangan orang lain.[7]
Camus dan para individualis seperti halnya Stirner, memulai dengan apik, bahwa sejarah memang terdiri dari pemberontakan dan ia selalu menjadi jawaban atas apa yang telah dilakukan. Camus menulis:“Pemberontakan melahirkan tindakan-tindakan yang secara nyata dipertanyakan keabsahannya. Oleh sebab itu, adalah mutlak perlu bahwa pemberontakan itu menemukan alasan-alasan dalam dirinya selama hal itu tidak ditemukan di tempat lain”[8]
Pemberontakan merupakan bentuk memprotes, meminta dan menuntut agar ketidakadilan atau ketidaksinambungan atas sesuatu segera diakhiri.[9] Pemberontakan adalah ekspresi dari individu atas apa yang ia pertimbangkan secara rasional. Memang tidak perlu semangat dyonisian hadir disini. Apa yang diperlukan untuk memberontak adalah kesadaran individu—secara rasional. Stirner, jauh sebelum Camus dan Nietzsche tentunya, telah memulai proyek ini, dan pemberontakan tak pernah ia samakan dengan revolusi atau tetek-bengek sekelas reformasi. Stirner menemukan bahwa pemberontakan adalah alamiah, ia tak bisa dihadang oleh orang lain atau kekuatan eksternal diluar dirinya. Dan pemberontakan bagi Stirner mempunyai arti penting karena ia adalah ekspresi total dari individu yang menuntut kebebasan dan bentuk konkret dari otonomi-diri seorang individu. Stirner menulis: “Revolusi dan pemberontakan tidak harus dipandang sebagai sinonim. Yang pertama terdiri dari kondisi terbalik, kondisi atau situasi yang mapan, negara atau masyarakat, dan karenanya merupakan tindakan politik atau sosial; dan yang terakhir ini memang memiliki konsekuensi yang tidak dapat dihindarkan, suatu transformasi keadaan, namun tidak dimulai darinya tetapi dari ketidakpuasan manusia dengan diri mereka sendiri, bukan kebangkitan bersenjata tetapi kebangkitan individu, bangkit tanpa memperhatiakan peraturan yang muncul darinya. Revolusi ditujukan pada peraturan baru; pemberontakan membuat kita tidak lagi membiarkan diri kita diatur…”[10]
Namun banyak formulasi dari pemberontakan ini diarahkan ke dalam bentuk nihilisme total, seperti halnya yang dilakukan oleh Gang Bonnot.[11] Renzo Novatore mungkin memiliki tempat yang tinggi dalam tindakan dan nihilis dan ilegalis ini. Ia dalam memoarnya menulis, “Hidup—bagiku—adalah tidak baik atau buruk; tidak juga tentang teori ataupun ide. Hidup adalah kenyataan, dan kenyataan tentang hidup adalah perang”[12] Namun, beda halnya Renzo, Victor Serge yang pernah menjadi pengikut Gang Bonnot mulai angkat bicara akan hal ini, antara peperangan yang fisik dan non-fisik. Victor Serge pernah menyangkal bahwa kekerasan yang berujung pada pembunuhan itu membuat para individualis menjadi seorang frontier dari pembebasan, alih-alih malah terlihat konyol. Namun disisi lain, ia masih mendukung ilegalisme: “Ia tetap menulis dan tetap mempertahankan ilegalisme-nya; ia menganggap mencuri sebagai bagian dari taktik politik dan ekonomi yang digunakan oleh kaum anarkis”[13] Pemberontakan semacam itu memang pengecualian atau opsi di luar proyek pembebasan melalui pemberontakan, tapi pada intinya hasrat memberontak adalah suatu hal yang alamiah muncul dan ia berada di tempat terdalam individu: otonomi-diri tercerminkan disini.
Penutup
Tidak menutup kemungkinan hingga hari ini individualisme akan terus didiskusikan, dan karenanya juga dalam kancah filsafat akan terus dilakukan. Kita tak bisa menarik diri dari kemungkinan tersebut, karena kita sendiri adalah individu sedari asalnya. Kita yang mewaktu dan menyejarah ini akan terus menerus mempertanyakan perihal kemungkinan yang terjadi pada individu (baca: kita sendiri) di hari kedepannya. Melalui penjelasan dari para individualis dan para teoritikus tadi, semoga kita bisa memaknai atau mendefinisikan individualisme lagi, alih-alih malah membiarkannya seperti yang kita tahu sekarang. Tradisi pemikiran manapun pernah mengangkat tema ini, dan kita sebagai generasi selanjutnya tak mungkin akan menuruti atau mengikuti orang-orang—yang tentunya memiliki kuasa atas bahasa dan pengetahuan—menyesatkan kita, padahal usaha mengenal apa itu individualisme adalah bentuk kita menyelami dan mengenal kita sendiri.
[1] Lih. Plato, Plato’s Gorgias, hal.4
[2] Dalam pemikiran Gorgias, terdapat sebuah paradok yang dikenal dengan gorgias’s paradox. Paradok ini dikenal sebagai cikal-bakal lahirnya nihilisme di kemudian hari. Paradok tersebut merupakan bentuk Gorgias mempertanyakan ulang, ontologi, epistemologi dan aksiologi.
[3] Selain Gorgias, dalam tradisi pemikiran Yunani Klasik terdapat salah satu filsuf yang juga dikenal karena egoisme dan sinisme. Dalam banyak pendapat para ahli ia memang yang pertama kali mengenalkan sinisme. Tokoh tersebut adalah Diogenes dari Sinope.
[4] Egoisme dalam tradisi pemikiran Stirnerian tidak dapat disamakan dengan egoisme semacam filsuf Yunani seperti Diogenes dari Sinope. Egoisme Stirnerian memiliki makna positif dan penekanan individu atasnya dilakukan dengan pertimbangan secara filosofis.
[5] Saul Newman, Stirner dan Foucault: Menuju Kebebasan Pasca Kantian., terj. okupasiruang (okupasiruang: 2018), hal 25.
[6] Wolfi Landstreicher, The Collected Writings of Renzo Novatore (Ardent Press:2012), hal. 127
[7] Albert Camus, Pemberontak (Penerbit Narasi: 2015), hal 116–117
[8] Lih. ibid., hal 16
[9] Ibid.
[10] Lih. Saul Newman, Stirner dan Foucault: Menuju kebebasan pasca-Kantian, .terj. okupasiruang (okupasiruang: 2018), hal 19
[11] Gang Bonnot merupakan sekelompok anarkis yang dipelopori oleh Juleus Bonnot. Kelompok ‘ideologis’ ini menyorot perhatian publik Paris kala itu karena tindakan mereka yang tak segan-segan membunuh otoritas setempat—aparat kepolisian, aparatur negara hingga masyarakat sipil
[12] Lih. Renzo Novatore, I Am Also a Nihilist (dalam buletin Nichilismo edisi ke-4: 1920), hal. 3
[13] Pengantar editor dalam buku, “Anarchist Never Surrender: Esai, Polemik, dan Korespondensi Ihwal Anarkisme (1908–1938)” yang diterbitkan oleh Penerbit Parabel pada tahun 2018.