Brian A. Dominick
Pembebasan Hewan dan Revolusi Sosial
Perspektif vegan tentang anarkisme atau perspektif anarkis tentang veganisme, dengan pengantar oleh Joseph M. Smith
Kata Pengantar: Menajamkan Perkakas Revolusi
Kekerasan dalam Kehidupan Harian
Keterasingan dalam Kehidupan Harian
Kata Penutup untuk Cetakan Ketiga Pembebasan Hewan dan Revolusi Sosial
Kata Pengantar: Menajamkan Perkakas Revolusi
Mendorong veganisme dan melupakan konsumsi dan utilisasi dari produk hewan bukanlah akhir dari segalanya, tetapi merupakan awal; awal yang baru untuk memberikan kesempatan kepada para praktisi untuk melihat realita setiap harinya dalam perspektif yang lain.
Walaupun demikian, vegan kerap kali dikucilkan karena berbicara tentang penyiksaan dari binatang dan keuntungan dari gaya hidup vegan, banyak tipikal orang yang akan tidak setuju di awal. Oponen dari vegan mengatakan bahwa vegan melihat hubungan antara manusia dan binatang (adalah sesuatu yang radikal) dan salah, dan sudah terlampau jauh dari realita sosial masyarakat. Pada akhirnya mereka bernubuat (mengambil kesimpulan sendiri), dan akhirnya membuang ide dan gagasan veganisme.
Dengan perspektif yang aneh, bagaimanapun, kritik veganisme adalah valid dan benar.
Ketika pada akhirnya veganisme digambarkan sebagai sesuatu yang salah di mata non vegan, padahal yang mereka lakukan adalah mendorong penolakan mereka untuk menerima perlakuan kejam dan tidak beralasan dari manusia terhadap binatang. Sampai prinsip-prinsip veganisme diterapkan pada skema ketidakadilan secara keseluruhan, orang akan memahami perlunya veganisme.
Orang-orang yang memilih menjadi vegan pada akhirnya menuju pada keterasingan dan mempertanyakan komitmennya terhadap veganisme karena melanggar dogma dan nilai yang ada dalam masyarakat.
Sebagai sebuah filosofi, veganisme bertentangan dengan ideologi yang menyentuh inti pemikiran Barat. Berlawanan dengan sistem kepercayaan irasional yang lembaga-lembaga mapan mensosialisasikan orang untuk “menerima,” prinsip-prinsip veganisme menantang individu untuk menghadapi dogma yang mereka keluarkan dan untuk membangun etika dan nilai-nilai baru berdasarkan premis belas kasih dan keadilan.
Mengkonfrontasi sistem kepercayaan yang telah ada, bagaimanapun, adalah konsep yang menakutkan ke masyarakat yang secara sukarela selalu mengikuti paradigma sosial yang dominan dari Negara. Namun, seperti yang digambarkan oleh Brian Dominick dengan sangat terampil dalam esai berikut, konfrontasi inilah yang harus kita setujui jika kita jujur dalam mencari penilaian yang benar tentang apa yang ditawarkan pembebasan sosial. Dalam keseluruhan proses ini, veganisme hanyalah salah satu elemen dalam struktur majemuk revolusi sosial. Esai Animal Liberation and Social Revolution adalah kerangka kerja kompak yang dirancang untuk membantu kita saat kita memulai upaya untuk mengenali peran apa yang harus dimainkan oleh belas kasih, pemikiran kritis, dan rasionalitas dalam dekonstruksi dan transformasi masyarakat kita secara simultan. Tanpa henti dalam usahanya untuk menggerakkan transformasi ini, Brian mendesak kita untuk menghadapi ideologi penindas yang kita simpan di dalam diri kita sendiri dan untuk mengungkap keterkaitan mereka dengan ketidakadilan yang melingkupi setiap bidang keberadaan kita. Brian percaya bahwa kita masing-masing telah diberi alat untuk menarik kesimpulan yang diperlukan. Tidak ada bedanya jika kamu adalah seorang anarkis yang mendekati veganisme, seorang vegan yang mendekati anarkisme, atau tidak keduanya. Yang diperlukan hanyalah kemauan untuk mempertajam alat-alat analisis itu dan mulai menggambar, dalam upaya bersama, untuk menantang visi rabun umat manusia tentang bagaimana membentuk masyarakat yang adil.
—Joseph M. Smith November, 1995
Setiap orang memiliki jumlah waktu dan energi yang terbatas, dan waktu yang digunakan dalam pekerjaan aktif untuk satu tujuan mengurangi waktu yang tersedia untuk tujuan lain; tetapi tidak ada yang menghentikan mereka yang mencurahkan waktu dan energinya untuk masalah manusia untuk bergabung dengan perlawanan terhadap produk kekejaman agribisnis. Tidak perlu lebih banyak waktu untuk menjadi seorang vegetarian daripada memakan daging hewan.... Ketika non-vegetarian mengatakan 'masalah manusia didahulukan' saya tidak bisa tidak bertanya-tanya apa sebenarnya yang mereka lakukan untuk manusia yang memaksa mereka untuk terus mendukung eksploitasi hewan ternak yang kejam dan boros.
—PeterSinger
Animal Liberation
Pendahuluan: Sang Veganarkis
Hingga saat ini, pembebasan hewan dan aktivis yang memperjuangkan hak binatang terlibat dalam diskursus dan aksi yang semakin memanas. Meskipun teori pembebasan hewan dan aktivisme jarang mendapatkan respon yang baik atau jarang mendapatkan perhatian oleh mainstream kiri, kebanyakan anarkis mulai untuk mengenali legitimasinya, bukan hanya karena pergerakannya yang valid, namun sebagai sesuatu aspek yang integral dan tidak dapat dipisahkan dari teori radikal dan praktik revolusioner. Ketika kebanyakan orang yang menyebut dirinya anarkis tidak mendorong terjadinya pembebasan hewan dan veganisme, namun ternyata, terdapat angka yang terus bertambah dari para anarkis muda yang mengadopsi pemikiran ekologi dan inklusivitas di binatang sebagai bagian dari praksis mereka secara keseluruhan.
Sebaliknya, banyak vegan dan liberationist terpengaruh dari pemikiran anarkis dan tradisinya yang kaya. Hal ini dibuktikan dengan tumbuhnya permusuhan di antara beberapa aktivis pembebasan binatang terhadap negara yang statis, kapitalis, seksis, rasis dan ageist yang telah meningkatkan intensitas perangnya tidak hanya pada spesies lain, tetapi juga pada manusia itu sendiri. Komunitas pembebas hewan yang relatif baru dengan cepat menjadi sadar akan totalitas kekuatan yang menggerakkan spesies yaitu masyarakat modern. Ketika kesadaran seperti itu meningkat, demikian juga seharusnya persamaan antara para aktivis hewan dan rekan-rekan mereka yang lebih berorientasi sosial, para anarkis.
Semakin kita mengenali kesamaan dan interdependensi perjuangan dan kesengsaraan yang kita hadapi, semakin kita bisa memahami apa arti sebenarnya dari kebebasan dan revolusi.
Di samping visi kita yang masih jauh, anarkis dan animal liberationists dapat bertukar strategi. Tanpa berpura-pura untuk bisa berbicara untuk semua, kita bisa mempertimbangkan anarkis dan animal liberationists berupaya untuk mewujudkan visi dengan cara yang efektif. Kita paham, terdapat kontras dari persepsi mainstream terhadap anarkis, bahwa perusakan dan kekerasan yang tidak disengaja tidak akan membawa akhir yang kita inginkan. Tetapi tidak seperti kaum liberal dan progresif, yang tujuannya terbatas pada reformasi, kami bersedia mengakui bahwa perubahan nyata hanya akan terjadi jika kami menambahkan kekuatan destruktif pada transformasi kreatif masyarakat penindas kami. Kita bisa membangun apa saja yang kita mau dan kita harus proaktif sebisa mungkin. Tetapi kita harus paham bahwa kita dapat membuat ruang untuk bergerak bebas dengan menghilangkan hal-hal yang mencegah terjadinya kebebasan total kita.
Saya vegan karena saya memiliki kasih sayang untuk binatang; saya melihat mereka sebagai makhluk yang memiliki nilai yang tidak sama dengan manusia. Saya anarkis karena saya memiliki kasih sayang yang sama untuk manusia dan karena saya menolak untuk tunduk pada perspektif yang kompromis, strategi setengah-setengah dan tujuan yang mudah tercapai. Sebagai seorang radikal, pendekatan saya terhadap pembebasan hewan dan manusia adalah tanpa kompromi: kebebasan total untuk semua, atau yang lain.
Di esai ini, saya harap saya bisa mendemonstrasikan pendekatan terhadap perubahan sosial yang bisa terdiri dari pemahaman tidak hanya tentang hubungan sosial, tetapi juga tentang hubungan antara manusia dan alam, termasuk binatang. Saya juga berharap bisa menunjukkan mengapa tidak ada pendekatan untuk pembebasan hewan yang layak tanpa pemahaman yang menyeluruh dan pencelupan dalam upaya revolusioner sosial. Kita semua harus menjadi, jika kamu mau, “veganarkis.”
Beberapa pendukung hak-hak hewan berpikir bahwa pengakuan terhadap hak-hak hewan berarti menentang aborsi. Tidak ada yang bisa lebih jauh dari kebenaran. Aborsi merupakan masalah moral yang unik yang tidak direplikasi di tempat lain di masyarakat. Sekalipun janin dianggap sebagai “orang” yang memiliki hak, kenyataannya pemegang hak yang tunduk ini hidup di dalam tubuh pemegang hak utama—ibu. Kita dapat menyerahkan keputusan untuk mengakhiri kehamilan kepada ibu, atau kita dapat menyerahkan keputusan kepada beberapa legislator atau hakim pria kulit putih yang tidak dapat hamil. Dalam masyarakat patriarkal kita, hanya itu pilihan yang kita miliki. Dalam pandangan kami, penentangan terhadap penindasan membuat kami berkomitmen untuk mendukung kebebasan memilih.
—Anna E. Charlton, Sue Coe & Gary Francione
“The American Left Should Support Animal Rights: A Manifesto”
Apa itu Revolusi Sosial?
Revolusi adalah proses—ini bukan peristiwa—menentang kebijaksanaan dan nilai-nilai palsu yang telah terindoktrinasi di dalam diri
“Revolusi” adalah salah satu dari kata-kata yang sangat bervariasi dari pemaknaan dan penggunaan satu orang ke orang lain. Faktanya, tidak ada dua orang yang memiliki gagasan yang sama tentang apa sebenarnya revolusi itu. Inilah yang membuat revolusi benar-benar indah.
Ketika saya berbicara tentang revolusi, saya mengacu pada transformasi sosial yang dramatis. Tetapi, revolusi saya tidak ditentukan pada perubahan objektif di dunia sekitar saya, seperti penggulingan negara atau kapitalisme. Itu, bagi saya, hanyalah kerikil. Revolusi itu tidak dapat ditemukan di luar kita. Ini sepenuhnya internal, sepenuhnya pribadi.
Setiap individu memiliki perspektif. Kita masing-masing bisa melihat dunia dengan cara yang berbeda. Kebanyakan orang, bagaimanapun, memiliki perspektif mereka yang dibentuk oleh masyarakat di mana mereka tinggal. Sebagian besar dari kita melihat dunia dan diri kita sendiri dengan cara yang dikondisikan ke dalam diri kita oleh institusi yang menjalankan kehidupan kita, yaitu, pemerintah, keluarga, pernikahan, gereja, perusahaan, sekolah, dll. Masing-masing institusi ini, pada gilirannya, umumnya merupakan bagian dari apa yang saya sebut “Establishment”—suatu entitas yang ada semata-mata untuk melestarikan kekuasaan minoritas relatif. Dipicu oleh hasrat elit itu untuk semakin banyak kekuasaan, Establishment tentu saja menarik kekuatan dari seluruh dunia melalui penindasan.
Establishment atau kemapanan menggunakan banyak bentuk penindasan; kebanyakan dari mereka umumnya diakui tetapi jarang dipahami, apalagi ditentang. Pertama, ada klasisme, yaitu penindasan ekonomi; statisme, atau penaklukan orang oleh otoritas politik; seksisme dan homoseksisme, penindasan berdasarkan supremasi atau patriarki heteroseksual (laki-laki); dan rasisme, istilah umum untuk penindasan yang didasarkan pada etnosentrisme. Di luar penindasan yang lebih umum diakui ini, ada ageisme, dominasi orang dewasa atas anak-anak dan orang muda; dan, terakhir, penindasan akibat antroposentrisme, yaitu spesiesisme dan perusakan lingkungan.
Sepanjang sejarah, Establishment atau kemapanan telah bergantung pada dinamika yang menindas ini, dan telah meningkatkan dan memusatkan kekuatannya sebagai hasilnya. Akibatnya, setiap bentuk penindasan menjadi saling bergantung satu sama lain. Infus dari dinamika opresif yang berbeda ini telah berfungsi untuk meningkatkan dan melengkapi satu sama lain dalam keserbagunaan serta kekuatan.
Jadi kekuatan di belakang institusi yang telah merekayasa sosial kita adalah kekuatan yang sama di balik rasisme dan spesiesisme, seksisme dan klasisme, dan seterusnya. Maka, masuk akal untuk berasumsi bahwa sebagian besar dari kita, sebagai produk dari lembaga-lembaga Kemapanan, telah direkayasa secara sosial untuk mendorong penindasan di dalam dan di antara kita sendiri.
Revolusi adalah proses—ini bukan peristiwa—menentang kebijaksanaan dan nilai-nilai palsu yang telah terindoktrinasi di dalam diri dan menantang tindakan yang telah kita pelajari untuk dilakukan dan tidak dilakukan. Kitalah yang menjadi musuh; menggulingkan penindas di kepala kita. Akan menjadi revolusi—menyaksikan konstruksi mereka jatuh di jalan-jalan hanya akan menjadi tanda (gembira!) bahwa kita memberontak bersama secara terpadu, tanpa batas. Revolusi sosial adalah kumpulan proses internal. Perubahan sosial yang radikal dari kondisi objektif yang dalam konteksnya kita hidup hanya dapat terjadi sebagai akibat dari revolusi tersebut.
Veganisme Radikal
Vegan harus melampaui pemahaman tentang penindasan non-manusia dan memahami akarnya dalam hubungan sosial manusia.
Dua kata lagi, yang artinya sering disalahartikan, adalah “radikalisme” dan “veganisme.” Kooptasi istilah-istilah ini oleh kaum liberal yang picik dan egois telah menghilangkan potensi yang semula diberikan kepada mereka. Sekali lagi tanpa mengklaim monopoli pada definisi “benar”, saya akan menawarkan makna pribadi saya untuk istilah-istilah ini.
Radikalisme dan ekstremisme sama sekali tidak sinonim, bertentangan dengan kepercayaan populer. Kata “radikal” berasal dari akar bahasa Latin, “rad,” yang sebenarnya berarti “akar.” Radikalisme bukanlah ukuran derajat fanatisme ideologis, ke kanan atau ke kiri; melainkan menggambarkan gaya pendekatan terhadap masalah-masalah sosial. Radikal, secara harfiah, adalah seseorang yang mencari akar masalah sehingga dia bisa mencari solusi.
Kaum radikal tidak membatasi tujuan mereka pada reformasi. Bukan urusan mereka untuk membuat konsesi dengan para korban untuk mengurangi penderitaan akibat penindasan. Itu adalah tugas yang biasanya diserahkan kepada kaum liberal dan progresif. Meskipun mengakui bahwa sering kali ada keuntungan yang dapat ditemukan dalam reformasi, bagi kaum radikal, kemenangan adalah akhir yang memuaskan—akhir yang didefinisikan sebagai perubahan revolusioner pada akar penindasan.
Menurut definisi saya, vegetarianisme murni bukanlah veganisme. Menolak untuk mengkonsumsi produk binatang, sementara pilihan hidup yang indah, tidak dengan sendirinya veganisme. Vegan mendasarkan pilihannya pada pemahaman radikal tentang apa sebenarnya penindasan hewan, dan pilihan gaya hidupnya sangat terinformasi dan dipolitisir.
Misalnya, tidak jarang para vegan yang memproklamirkan diri untuk membenarkan konsumsi produk perusahaan tanpa perawatan dengan mengklaim bahwa hewan tidak berdaya sementara manusia tidak. Banyak vegetarian gagal untuk melihat keabsahan penyebab pembebasan manusia, atau melihat mereka sebagai subordinat penting bagi hewan yang tidak dapat membela diri mereka sendiri. Pemikiran seperti itu memperlihatkan ketidaktahuan vegetarian liberal tidak hanya tentang penindasan manusia, tetapi juga keterhubungan yang mendalam antara sistem kapitalis pada umumnya dan industri penindasan hewan.
Banyak orang yang menyebut diri mereka vegan dan aktivis hak-hak binatang, menurut pengalaman saya, memiliki sedikit atau tidak memiliki pengetahuan tentang ilmu sosial; dan, seringkali, apa yang mereka “tahu” tentang hubungan antara masyarakat dan sifat non-manusia sarat dengan istilah yang salah. Misalnya, tidak jarang kita mendengar para vegan berargumen bahwa konsumsi ternaklah yang menyebabkan kelaparan dunia. Lagipula, lebih dari 80% panen biji-bijian AS diumpankan ke ternak, dan itu akan lebih dari cukup untuk memberi makan orang-orang yang kelaparan di dunia. Maka, tampaknya logis untuk menyimpulkan bahwa berakhirnya konsumsi hewan oleh manusia di Amerika Serikat akan menghasilkan makanan bagi orang-orang yang kelaparan di tempat lain. Guru vegan John Robbins tampaknya memegang keyakinan ini.
Tapi itu sepenuhnya salah! Jika orang Amerika Utara berhenti makan daging tahun depan, tidak mungkin satu orang lapar akan diberi makan biji-bijian yang baru dibebaskan yang ditanam di tanah US. Ini karena masalah kelaparan dunia, seperti “kelebihan populasi”, sama sekali tidak seperti kelihatannya. Masalah-masalah ini berakar bukan pada ketersediaan sumber daya, tetapi pada alokasi sumber daya. Elit membutuhkan kelangkaan—pasokan sumber daya yang sangat terbatas—karena dua alasan utama. Pertama-tama, nilai pasar barang turun drastis seiring dengan peningkatan pasokan. Jika biji-bijian yang sekarang diumpankan ke ternak tiba-tiba tersedia, perubahan itu akan menurunkan harga biji-bijian, merusak margin keuntungan. Elit dengan investasi di pasar pertanian biji-bijian, kemudian, memiliki kepentingan yang secara langsung sesuai dengan kepentingan elit yang memiliki bagian dari pasar peternakan. Vegetarian cenderung berpikir bahwa petani sayuran dan biji-bijian tidak berbahaya, sedangkan mereka yang terlibat dalam peternakan adalah keji. Faktanya adalah, bagaimanapun, bahwa sayuran adalah komoditas, dan mereka yang memiliki kepentingan finansial dalam industri sayuran tidak ingin membuat produk mereka tersedia jika itu berarti menanam lebih banyak untuk menghasilkan lebih sedikit keuntungan.
Kedua, distribusi pangan nasional dan global merupakan alat politik. Pemerintah dan organisasi ekonomi internasional dengan hati-hati memanipulasi persediaan makanan dan air untuk mengendalikan seluruh populasi. Kadang-kadang, makanan ditahan dari orang yang lapar sebagai cara untuk membuat mereka tetap lemah dan patuh. Di lain waktu, penyediaannya merupakan bagian dari strategi yang dimaksudkan untuk menenangkan penduduk yang gelisah di ambang pemberontakan.
Mengetahui semua ini, masuk akal untuk berasumsi bahwa pemerintah US, yang dikontrol ketat oleh kepentingan swasta, akan mensubsidi non-produksi biji-bijian, untuk “menyelamatkan industri dari kehancuran.” Petani kemungkinan besar akan dibayar untuk tidak menanam biji-bijian, atau bahkan menghancurkan tanaman mereka.
Tidaklah cukup untuk memboikot industri daging dan berharap bahwa sumber daya akan dialokasikan kembali untuk memberi makan mereka yang lapar. Kita harus membangun sebuah sistem yang benar-benar ditujukan untuk memenuhi kebutuhan manusia, yang menyiratkan revolusi sosial.
Ini hanyalah salah satu dari banyak hubungan antara eksploitasi hewan dan manusia, tetapi ini menggambarkan dengan baik perlunya revolusi total. Sebuah revolusi dalam hubungan antara manusia dan hewan terfokus secara sempit dan, pada kenyataannya, didahului oleh sifat masyarakat modern. Salah satu alasan hewan dieksploitasi pada awalnya adalah karena penyalahgunaannya menguntungkan. Vegetarian cenderung memahami hal ini. Namun industri daging (termasuk produk susu, pembedahan makhluk hidup, dll) bukanlah entitas yang terisolasi. Industri daging tidak akan dihancurkan sampai kapitalisme pasar dihancurkan, karena kapitalisme pasarlah yang memberikan dorongan dan inisiatif kepada yang pertama. Dan bagi kapitalis, prospek keuntungan mudah dari eksploitasi hewan tidak dapat ditolak.
Motif keuntungan bukan satu-satunya faktor sosial yang mendorong eksploitasi hewan. Memang, ekonomi hanyalah salah satu bentuk hubungan sosial. Kami juga memiliki hubungan politik, budaya dan interpersonal, yang masing-masing dapat ditunjukkan untuk mempengaruhi persepsi bahwa hewan ada untuk digunakan oleh manusia.
Alkitab Kristen, dan agama-agama Barat pada umumnya, penuh dengan referensi tentang dugaan “hak ilahi” manusia untuk menggunakan binatang untuk kebutuhan kita sendiri. Pada saat ini dalam sejarah, tidak masuk akal bagi siapa pun untuk berpikir bahwa manusia perlu mengeksploitasi hewan. Hanya sedikit yang bisa kita peroleh dari penderitaan binatang. Tetapi Tuhan seharusnya berkata bahwa kita dapat menggunakannya, jadi kita terus melakukannya, terlepas dari kenyataan bahwa kita telah melampaui kebutuhan nyata yang mungkin pernah kita miliki untuk mereka.
Vivisectors’ mengklaim kita dapat belajar dari binatang, dan mereka menggunakan pernyataan ini untuk membenarkan penyiksaan dan pembunuhan makhluk hidup. Kaum radikal perlu menyadari, seperti yang dilakukan vegan, bahwa satu-satunya hal yang dapat kita pelajari dari hewan adalah bagaimana hidup dalam hubungan yang waras dan sehat dengan lingkungan kita. Kita perlu mengamati hewan di lingkungan alami mereka, dan meniru hubungan lingkungan mereka, jika berlaku, di lingkungan kita sendiri. Pemahaman tentang harmoni antara manusia dan alam seperti itu suatu hari nanti akan menyelamatkan dan menambah nilai lebih banyak kehidupan daripada menemukan obat untuk kanker melalui “ilmu” penyiksaan hewan yang pernah ada. Lagi pula, akar dari sebagian besar kanker adalah perlakuan buruk manusia terhadap alam. Tidak ada radikal yang mengharapkan solusi untuk masalah seperti itu ditemukan dalam perusakan alam lebih lanjut melalui eksperimen hewan.
Korelasi antara spesiesisme dan rasisme—antara perlakuan terhadap hewan dan orang kulit berwarna—juga telah ditunjukkan secara eksplisit (dan secara grafis). Dalam bukunya, The Dreaded Comparison: Human and Animal Slavery, Marjorie Spiegel menarik perbandingan yang mencengangkan antara perlakuan terhadap hewan oleh manusia dan perlakuan terhadap “ras inferior” oleh orang kulit putih, dengan mengklaim “mereka dibangun di sekitar hubungan dasar yang sama—bahwa antara penindas dan tertindas.” Seperti yang diilustrasikan Spiegel, perlakuan terhadap orang non-kulit putih oleh orang kulit putih secara historis sangat mirip dengan perlakuan non-manusia (binatang dan alam) oleh manusia. Memutuskan satu penindasan adalah sah dan yang lainnya tidak berarti secara sadar membatasi pemahaman seseorang tentang dunia; itu adalah melibatkan diri dalam ketidaktahuan sukarela.
Dominasi laki-laki dalam bentuk patriarki dan spesiesisme yang dibawa oleh antroposentrisme telah diungkap dengan kejelasan puitis oleh Carol Adams dalam bukunya The Sexual Politics of Meat. Feminisme dan veganisme memiliki banyak kesamaan, dan masing-masing memiliki banyak hal untuk diajarkan dan dipelajari satu sama lain. Setelah menggambar perbandingan konkret antara perspektif patriarki dan perlakuan terhadap binatang, Adams menjelaskan dan menyerukan pengakuan akan hubungan yang mendalam antara gaya hidup vegan dan feminis.
Satu perbandingan antara hubungan interpersonal dan hubungan manusia-binatang yang belum diteliti secara menyeluruh, sepengetahuan saya, termasuk perlakuan orang dewasa terhadap anak-anak dan remaja, serta perlakuan orang dewasa terhadap orang tua. Dalam setiap kasus, kaum tertindas dilihat sebagai seseorang yang tidak memiliki hak sepenuhnya atas tindakannya. Misalnya, anak-anak dan orang tua sama-sama dipandang lemah dan tidak kompeten (terlepas dari potensi tanggung jawab mereka yang sebenarnya).
Ageisme berakar pada sesuatu yang saya sebut adultocracy, yang mengacu pada gagasan bahwa kedewasaan memiliki kualitas tanggung jawab tertentu yang tidak ditemukan pada orang tua atau muda. Seperti binatang, mereka yang tertindas oleh ageisme diperlakukan sebagai objek tanpa karakter dan nilai individu. Mereka dieksploitasi bila memungkinkan, dimanjakan ketika dianggap “lucu”, tetapi hampir tidak pernah diberikan rasa hormat yang ditawarkan manusia dewasa. Bahwa anak-anak, orang tua dan hewan yang hidup, berpikir, makhluk hidup entah bagaimana tersesat dalam pencarian orang dewasa untuk dominasi dan kekuasaan. Tidak seperti patriarki, adultokrasi tidak memerlukan hierarki formal: ia menegaskan dominasinya dengan meyakinkan korbannya bahwa mereka memang kurang valid daripada penindas dewasa mereka. Non-manusia juga dapat dengan mudah dibatalkan. Merampas kebebasan mereka untuk mengembangkan karakter individu adalah langkah besar ke arah itu.
Tidak diragukan lagi bahwa negara berpihak pada mereka yang mengeksploitasi binatang. Dengan beberapa pengecualian, undang-undang tersebut jelas anti-hewan. Hal ini ditunjukkan oleh subsidi pemerintah untuk industri daging dan susu, pembedahan makhluk hidup, dan penggunaan binatang oleh militer, dan juga oleh penentangannya terhadap mereka yang menentang industri eksploitasi hewan. Politisi tidak akan pernah mengerti mengapa negara harus melindungi binatang. Bagaimanapun, setiap bidang kehidupan sosial memaafkan dan mendorong penyalahgunaan mereka. Bertindak dalam “kepentingan” konstituen (manusia) saat ini akan selalu diterjemahkan, betapapun absurdnya, menjadi bertindak melawan kepentingan konstituen besar tersebut.
Tetapi, sang anarkis bertanya, jika setiap hewan diberikan hak pilih dan kemudian menegaskan kebutuhan mereka akan perlindungan dengan memilih, apakah kita akan memiliki masyarakat yang lebih baik? Artinya, Apakah kita benar-benar ingin negara berdiri di antara manusia dan binatang, atau apakah kita lebih suka menghilangkan kebutuhan akan penghalang semacam itu? Sebagian besar akan setuju bahwa membuat manusia memutuskan untuk tidak mengkonsumsi hewan tanpa dipaksa untuk melakukannya adalah pilihan yang optimal. Lagipula, jika Larangan alkohol menyebabkan banyak kejahatan dan kekerasan seperti yang terjadi, bayangkan apa yang akan ditimbulkan oleh larangan daging terhadap perselisihan sosial! Sama seperti perang melawan narkoba yang tidak akan pernah mengurangi masalah yang ditimbulkan oleh ketergantungan kimia, tidak ada perang melawan daging yang sah yang memiliki doa untuk membatasi eksploitasi hewan; itu hanya akan menimbulkan lebih banyak masalah lagi. Akar dari jenis masalah ini adalah keinginan yang diciptakan dan diperkuat secara sosial untuk memproduksi dan mengkonsumsi apa yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Segala sesuatu tentang masyarakat kita saat ini memberitahu kita bahwa kita “membutuhkan” obat-obatan dan daging. Yang benar-benar kita butuhkan adalah menghancurkan masyarakat itu!
Vegan harus melampaui pemahaman tentang penindasan non-manusia dan memahami akarnya dalam hubungan sosial manusia. Terlebih lagi, vegan juga harus memperluas gaya hidup perlawanannya terhadap perlawanan terhadap penindasan manusia.
Di sini, di kebun binatang, di tempat pesona hipnotis ini, manusia melihat insting mereka sendiri dikurung dan disterilkan. Segala sesuatu yang intrinsik bagi umat manusia, tetapi tertahan oleh masyarakat kapitalis, muncul kembali dengan aman di kebun binatang. Agresi, seksualitas, gerak, hasrat, permainan, dorongan menuju kebebasan terperangkap dan ditampilkan untuk kenikmatan dan manipulasi pria, wanita dan anak-anak yang terasing. Inilah tontonan yang tidak berbahaya di mana segala sesuatu yang diinginkan oleh manusia hanya ada sejauh ia terpisah dari realitas keberadaan manusia .... Kondisi perbudakan secara otomatis menimbulkan pertanyaan: Bagaimana prospek pembebasan? Hampir tidak perlu ditekankan bahwa gagasan transformasi revolusioner antara manusia dan binatang sama sekali tidak terpikirkan saat ini.
—The Surrealist Group
Membandingkan penderitaan orang kulit hitam (atau kelompok tertindas lainnya) hanya menyinggung spesiesist; orang yang telah menganut gagasan salah tentang seperti apa hewan itu. Mereka yang tersinggung dibandingkan dengan sesama penderita telah jatuh ke dalam propaganda yang dimuntahkan oleh para penindas. Menyangkal kesamaan kita dengan hewan berarti menyangkal dan merusak kekuatan kita sendiri.
—Marjorie Spiegel
The Dreaded Comparison
Kekerasan dalam Kehidupan Harian
Manusia yang dianiaya sendiri cenderung menganiaya orang lain, dan hewan adalah salah satu korban yang paling mudah dan paling tidak berdaya.
Hanya sedikit dari masyarakat kita yang menolak kekerasan. Di manapun kita berada, banyak kekerasan, yang dipersepsikan secara eksponensial dan dikontrol oleh media yang dibentuk korporasi.
Kekerasan sebagai bagian dalam kultur dan eksistensi kita, tidak diragukan lagi memiliki pengaruh yang mendalam pada kita sejauh mana kita hampir tidak dapat berharap untuk benar-benar memahaminya. Mereka yang menerima kekerasan secara alami menderita sejumlah besar ketidakberdayaan. Karena kekuasaan adalah konsep sosial, kita sebagai manusia belum tentu memahami apa artinya bagi kita. Ketika kita merasakan hilangnya kekuatan, salah satu reaksi khas kita adalah menegaskan betapa sedikit kekuatan yang tersisa. Begitu kita telah menginternalisasi efek penindasan, kita membawanya bersama kita, seringkali hanya untuk menjadi korban sendiri. Sangat disayangkan bahwa korban seringkali menjadi pelaku secara khusus karena mereka sendiri yang menjadi korban. Ketika viktimisasi mengambil bentuk kekerasan fisik, seringkali diterjemahkan menjadi lebih banyak lagi kekerasan.
Mengingat hal itu, kita dapat melihat dengan jelas mengapa pelecehan terhadap hewan—baik secara langsung, seperti halnya perlakuan buruk terhadap hewan peliharaan, atau secara tidak langsung, seperti melalui proses makan daging—berkaitan dengan kekerasan sosial. Manusia yang dianiaya sendiri cenderung menganiaya orang lain, dan hewan adalah salah satu korban yang paling mudah dan paling tidak berdaya. Ini mengungkapkan alasan lain mengapa penindasan sosial harus diperjuangkan oleh mereka yang peduli dengan kesejahteraan hewan.
Terlebih lagi, dinamika sebab-akibat ini bekerja dua arah. Telah terbukti bahwa mereka yang melakukan kekerasan terhadap hewan—sekali lagi, secara langsung atau tidak langsung—juga lebih cenderung melakukan kekerasan terhadap manusia lain. Orang yang makan makanan vegetarian, misalnya, biasanya tidak terlalu keras dibandingkan mereka yang makan daging. Orang yang menganiaya hewan peliharaan mereka tidak akan berhenti sampai di situ—anak-anak dan pasangan mereka sering kali menjadi yang berikutnya.
Tidak masuk akal untuk berpikir bahwa masyarakat yang menindas hewan non-manusia akan dapat menjadi masyarakat yang tidak menindas manusia. Dengan demikian, mengakui penindasan terhadap hewan menjadi prasyarat bagi perubahan sosial yang radikal.
Awal abad ini, Thomas Edison menemukan cara untuk mendemonstrasikan, dalam satu tembakan, kekuatan listrik dan dampak kamera film. Dia memfilmkan eksekusi publik terhadap seekor gajah
—Larry Law
Spectacular Times: Animals
Keterasingan dalam Kehidupan Harian
Dinamika opresif dalam hubungan sosial selalu didasarkan pada dikotomi kita-mereka, dengan penindas terlihat jelas perbedaannya dari yang tertindas.
Akar dari penindasan, menurut kaum radikal, adalah keterasingan. Manusia adalah makhluk sosial. Kita mampu merasakan belas kasih. Kami mampu memahami bahwa ada kesejahteraan sosial, kebaikan bersama. Karena kita dapat merasakan empati terhadap orang lain, mereka yang akan mengadu domba kita satu sama lain sebagai masyarakat, komunitas dan individu, atau sebagai manusia melawan alam, harus menjauhkan kita dari akibat tindakan kita. Sulit untuk meyakinkan satu manusia untuk menyebabkan penderitaan bagi yang lain. Bahkan sulit untuk meyakinkan manusia untuk menyakiti binatang tanpa alasan, atau secara langsung berkontribusi pada perusakan lingkungan alamnya sendiri.
Ketika satu masyarakat berperang dengan yang lain, sangat penting bahwa para pemimpin setiap masyarakat meyakinkan “massa” bahwa populasi musuh itu keji dan tidak manusiawi. Selanjutnya, para pemimpin harus menyembunyikan dari rakyat hasil nyata perang: kekerasan massal, perusakan dan pertumpahan darah. Perang adalah sesuatu yang terjadi di tempat lain, kita diberitahu, dan “orang asing” yang mati itu layak.
Dinamika opresif dalam hubungan sosial selalu didasarkan pada dikotomi kita-mereka, dengan penindas terlihat jelas perbedaannya dari yang tertindas. Bagi para penindas, “kita” adalah yang tertinggi dan istimewa. Orang kaya “mengerti” kekayaan mereka diperoleh dengan metode “adil”. Misalnya, baik penindas maupun tertindas dituntun untuk percaya bahwa ketidakmampuan dan ketidakmampuan orang miskinlah yang menahan mereka. Tidak ada pengakuan atas fakta bahwa hak istimewa ekonomi secara otomatis memicu ketidaksetaraan.
Vegan memahami bahwa eksploitasi manusia dan konsumsi hewan difasilitasi oleh keterasingan. Orang tidak akan bisa hidup seperti yang mereka lakukan—yaitu, dengan mengorbankan dan menyebabkan hewan menderita—jika mereka memahami efek nyata dari konsumsi semacam itu. Inilah tepatnya mengapa kapitalisme akhir telah sepenuhnya menghilangkan konsumen dari proses produksi. Penyiksaan berlangsung di tempat lain, di balik pintu (yang tertutup rapat). Dibiarkan berempati dengan para korban penindasan spesies, manusia tidak akan bisa menjalani hidup mereka seperti saat ini.
Manusia bahkan harus tetap terasing dari alasan sederhana di balik veganisme. Untuk mempertahankan dikotomi kita-mereka antara manusia dan “binatang” (seolah-olah kita sendiri bukan hewan!), kita tidak dapat diizinkan untuk mendengar argumen dasar yang mendukung melampaui pengertian dualitas yang salah ini.
Kita diberitahu bahwa manusia dapat menggunakan linguistik yang kompleks dan gaya penalaran yang rumit. Non-manusia tidak bisa. Manusia adalah manusia, yang lainnya adalah binatang. Hewan dibuat kurang dari manusia bukan oleh alam tetapi dengan dehumanisasi aktif, sebuah proses di mana orang secara sadar menelanjangi hewan dari nilai mereka. Lagi pula, ketidakmampuan untuk berbicara atau bernalar dalam kapasitas “tercerahkan” tidak membuat bayi atau orang dengan keterbelakangan mental yang parah mengalami kekerasan yang jutaan orang non-manusia derita setiap hari.
Mari kita hadapi itu, dikotomi antara manusia dan hewan lebih sewenang-wenang daripada ilmiah. Tidak ada bedanya dengan yang berpose antara “putih” dan “hitam” atau “merah” atau “kuning”; antara orang dewasa dan anak; antara laki-laki dan perempuan; antara heteroseksual dan homoseksual; lokal dan asing. Garis ditarik tanpa perhatian tetapi dengan niat licik, dan kita direkayasa oleh institusi yang membuat kita percaya bahwa kita berada di satu sisi garis, dan bahwa garis itu rasional sejak awal.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita terasing dari hasil tindakan kita yang paling mendasar. Ketika kita membeli produk makanan di toko kelontong, kita dapat membaca daftar bahan dan biasanya mengetahui apakah hewan dibunuh dan/atau disiksa dalam proses produksi. Tapi apa yang kita pelajari dari orang-orang yang membuat produk itu? Apakah perempuan dibayar lebih rendah daripada laki-laki? Apakah orang kulit hitam ditundukkan oleh orang kulit putih di lantai pabrik? Apakah serikat pekerja atau upaya kolektivisasi di antara karyawan dihancurkan? Apakah seratus dibantai di garis piket karena menuntut upah layak?
Ketika saya, sebagai laki-laki, berbicara dengan seorang perempuan, atau dengan seseorang yang lebih muda dari saya, apakah saya dominan dan sombong karena saya telah dikondisikan oleh masyarakat patriarki? Apakah saya, sebagai kulit “putih”, melihat diri saya (bahkan secara tidak sadar) sebagai “di atas” “kulit hitam”? Memang, apakah saya melihat orang kulit berwarna sebagai sesuatu yang secara inheren berbeda dari saya? Ini adalah pertanyaan yang tidak dianjurkan untuk ditanyakan kepada diri kita sendiri. Tapi kita harus. Untuk mengatasi keterasingan, kita harus waspada kritis tidak hanya terhadap dunia di sekitar kita, tetapi juga terhadap ide, perspektif, dan tindakan kita sendiri. Jika kita ingin memadamkan penindas di kepala kita, kita harus terus-menerus mempertanyakan keyakinan dan asumsi kita. Apa, kita harus bertanya pada diri sendiri sebagai individu, apakah efek dari tindakan saya, tidak hanya pada orang-orang di sekitar saya, tetapi pada lingkungan alam saya?
Sebagai komponen kunci untuk melestarikan penindasan, semua keterasingan harus dihancurkan. Selama kita dapat mengabaikan penderitaan di rumah jagal dan laboratorium penjaga, kita dapat mengabaikan kondisi di pedesaan Dunia Ketiga, ghetto perkotaan, rumah tangga yang kejam, ruang kelas otoriter, dan seterusnya. Kemampuan untuk mengabaikan penindasan apa pun adalah kemampuan untuk mengabaikan penindasan lainnya.
Lebih dari sekedar penolakan untuk mengambil bagian dalam kekerasan terhadap binatang untuk makanan, pakaian, dll, veganisme adalah penolakan untuk mengambil bagian dalam kekerasan yang mempengaruhi masyarakat secara keseluruhan. Veganisme bekerja untuk mengekspos dan mengakhiri indoktrinasi halus industri dalam masyarakat kapitalis yang ingin membuat manusia tidak peka terhadap kekerasan terhadap banyak orang demi keuntungan segelintir orang.
—Joseph M. Smith
“The Threat of Veganism”
Dengan teknologi modernnya—media massa, sistem transportasi cepat, komputer, rencana ekonomi, dll—kapitalisme kini dapat mengendalikan kondisi keberadaan. Dunia yang kita lihat bukanlah dunia nyata, itu adalah pandangan dunia yang kita dikondisikan untuk melihat .... Hidup itu sendiri telah menjadi pertunjukan yang direnungkan oleh penonton .... Realitas sekarang adalah sesuatu yang kita lihat dan pikirkan , bukan sesuatu yang kita alami.
—Larry Law
The Spectacle: A Skeleton Key
Usaha Revolusioner
…jadikan hidup kamu sebagai model miniatur masyarakat revolusioner alternatif yang kamu bayangkan.
Memahami diri kita sendiri dan hubungan kita dengan dunia di sekitar kita hanyalah langkah pertama menuju revolusi. Kita kemudian harus menerapkan pemahaman kita pada program aksi praktis. Ketika saya berbicara tentang tindakan, saya tidak hanya mengacu pada peristiwa mingguan atau bulanan ketika kami, bekerja sama dengan kelompok terorganisir, menyatakan keyakinan kami pada sebuah demonstrasi, atau ketika kami melakukan serangan terencana terhadap fasilitas penindasan.
Tindakan tidak begitu terbatas. Hal ini dapat ditemukan dalam kehidupan kita sehari-hari, kegiatan rutin dan tidak terlalu rutin. Ketika kita menegaskan keyakinan kita dengan berbicara dalam percakapan, di tempat kerja, di meja makan, kita bertindak. Padahal, disadari atau tidak, semua yang kita lakukan adalah tindakan atau rangkaian tindakan. Menyadari hal ini memungkinkan kita untuk mengubah kehidupan kita sehari-hari dari yang tertindas dan terasing menjadi perpustakaan dan revolusioner.
Peran kaum revolusioner itu sederhana: jadikan hidup kamu sebagai model miniatur masyarakat revolusioner alternatif yang kamu bayangkan. Kamu adalah mikrokosmos dari dunia di sekitar kamu, dan bahkan tindakan kamu yang paling mendasar pun memengaruhi konteks sosial di mana kamu menjadi bagiannya. Jadikan efek-efek itu positif dan radikal dalam sifatnya.
Revolusi harus menjadi bagian dari gaya hidup kita, dipandu oleh visi dan didorong oleh kasih sayang. Setiap pikiran yang kita pikirkan, setiap kata yang kita ucapkan, setiap tindakan yang kita lakukan harus berakar pada praksis radikal. Kita harus membebaskan keinginan kita melalui kritik terus-menerus terhadap apa yang telah diajarkan kepada kita untuk dipikirkan, dan pencarian yang gigih untuk apa yang benar-benar kita inginkan. Begitu keinginan kita diketahui, kita harus bertindak demi kepentingan mereka.
Setelah mengidentifikasi bagaimana masyarakat kita bekerja, dan memutuskan apa yang pada dasarnya kita inginkan, kita harus mulai membongkar masa kini dan menyusun masa depan—dan kita harus melakukan tugas-tugas ini secara bersamaan. Saat kita meruntuhkan sisa-sisa penindasan, kita juga harus menciptakan, dengan fokus dan spontanitas, bentuk-bentuk baru hubungan sosial dan lingkungan, yang difasilitasi oleh lembaga-lembaga yang baru.
Misalnya, secara ekonomi, di mana ada kepemilikan pribadi hari ini, pasti ada kepemilikan sosial besok. Dimana produksi, konsumsi dan alokasi sumber daya sekarang didikte oleh kekuatan pasar yang tidak rasional, di masa depan harus ada sistem rasional untuk perolehan dan distribusi barang dan jasa material, dengan fokus pada kesetaraan, keragaman, solidaritas, otonomi, dan/atau apa pun yang kami anggap sebagai nilai yang memandu visi kami.
Sebagai visioner, vegan melihat dunia yang bebas dari eksploitasi hewan. Lebih jauh, dia melihat hubungan yang benar-benar damai dan waras antara masyarakat manusia dan lingkungan alamnya. Gerakan ekologi dalam telah menunjukkan kepada kita bahwa alam non-hewan memiliki nilai yang tidak dapat diukur dalam istilah ekonomi, seperti halnya vegan telah menunjukkan nilai hewan non-manusia, nilai yang tidak dapat dihitung oleh para ekonom, hanya diukur dengan belas kasih manusia. Belas kasih itu, yang ditunjukkan untuk proletariat oleh sosialis, untuk perempuan dan queer oleh feminis, untuk orang kulit berwarna dan etnis yang terpinggirkan oleh interkomunialis, untuk muda dan tua oleh kaum muda, dan untuk mereka yang berada di ujung tombak negara oleh libertarian, adalah belas kasih yang sama seperti yang dirasakan oleh para vegan dan pencinta lingkungan radikal terhadap dunia non-manusia. Bahwa kita masing-masing perlu menjadi semua “tipe” radikal ini—dan untuk menggabungkan ideologi mereka menjadi satu, teori, visi, strategi, dan praktik holistik—adalah kebenaran yang tidak bisa lagi kita abaikan. Hanya perspektif dan gaya hidup yang didasarkan pada kasih sayang sejati yang dapat menghancurkan konstruksi opresif masyarakat saat ini dan memulai lagi dalam menciptakan hubungan dan realitas yang diinginkan. Ini, bagi saya, adalah inti dari anarki. Tidak ada orang yang gagal merangkul semua perjuangan melawan penindasan sebagai dirinya sendiri yang cocok dengan definisi saya tentang seorang anarkis. Itu mungkin tampak seperti banyak untuk ditanyakan, tetapi saya tidak akan pernah berhenti menanyakannya kepada setiap manusia.
Sampah anti-manusia dari sistem yang membusuk ... harus dihancurkan dan akan dihancurkan. ... Itu tidak akan segera datang bagi kita. Kerusakan dimulai di rumah. Masyarakat yang menghapus semua petualangan menjadikan penghapusan masyarakat itu satu-satunya petualangan yang nyata.
—Anti-Authoritarians Anonymous
“Adventures in Subversion”
Teori akan menjadi teori praktis—teori praktik revolusioner—atau tidak akan menjadi apa-apa...tidak lain hanyalah sebuah akuarium ide, sebuah interpretasi kontemplatif terhadap dunia. Ranah ide adalah ruang tunggu abadi dari hasrat yang belum terealisasi.
—The Spectacle
Kata Penutup
Lebih dari setahun setelah menulis versi pertama tulisan ini, saya mendapati diri saya berharap itu lebih inklusif. Memang, tidak ada kritik terhadap kecenderungan anti-pilihan (aborsi) dalam gerakan pembebasan hewan (kecuali kutipan di halaman 3). Kecenderungan ini kuat dan berkembang, dan merupakan ancaman tidak hanya bagi kebebasan reproduksi wanita tetapi juga bagi dasar rasional veganisme. Veganisme, singkatnya, tidak sama dengan pro-kehidupan. Juga, taktik gerakan hewan liberal sangat membutuhkan kritik. Dari protes sia-sia hingga serangan kekerasan, gerakan ini menjadi semakin marah dan semakin membumi. Terakhir, saya harap saya membahas konsep “pembebasan hewan” secara lebih lengkap. Bisakah kita benar-benar membebaskan hewan? Bukankah pembebasan adalah proses subyektif, dengan kita hanya mampu membebaskan diri kita sendiri? Pertanyaan-pertanyaan ini dan lainnya harus ditangani cepat atau lambat. Saya kira mereka harus menunggu pamflet lain.
—Brian A. Dominick
Agustus 1996
Kata Penutup untuk Cetakan Ketiga Pembebasan Hewan dan Revolusi Sosial
Ketika edisi kedua pamflet ini dicetak sekitar setahun yang lalu, saya menambahkan kata penutup singkat yang menyatakan keprihatinan saya dengan beberapa gagasan yang diungkapkan dalam teks aslinya. Alih-alih membuat perubahan editorial yang serius pada isi esai, yang saya yakini masih berdiri sebagai traktat yang solid, saya memilih untuk membahas beberapa kesimpulan saya yang lebih baru tentang topik tersebut.
Tentang Pembebasan
Di antara masalah yang saya miliki sekarang dengan karya aslinya adalah penggunaan istilah "pembebasan" oleh saya dan orang lain untuk menggambarkan apa sebenarnya pembebasan hewan dari eksploitasi dan penindasan di tangan manusia. Saya percaya pembebasan menjadi konsep yang sangat manusiawi, berdasarkan proses subjektif dari peningkatan kesadaran dan pemberdayaan diri. Pembebasan bersifat pribadi, dan jauh lebih rumit daripada sekadar melepas rantai fisik. Ketika seorang narapidana dibebaskan dari kungkungan penahanan, dia belum tentu “dibebaskan” dari penindasan masyarakat otoriter. Dia hanya "bebas" dari sel. Mencapai pembebasan—itu sendiri mungkin merupakan cita-cita yang mustahil bagi makhluk duniawi mana pun—adalah sesuatu di luar kemampuan hewan mana pun.
Dapat dikatakan bahwa hewan yang disiksa dan dilanggar (dan jelas menderita kerusakan psikologis) harus, seperti manusia yang tertindas, menjalani proses pemulihan psikologis atau subjektif. Tetapi bahkan pemulihan pribadi, secara teoretis dalam kapasitas banyak spesies hewan bukan manusia, bukanlah pembebasan yang sesungguhnya. Karena pembebasan, seperti yang saya definisikan, membutuhkan peningkatan kesadaran sosial, yang kapasitasnya tidak dimiliki oleh non-manusia (dan beberapa manusia), teksturnya lebih kompleks daripada pemulihan.
Ini semua mungkin tampak masalah semantik. Namun, saya bersikeras itu lebih dari itu. Sudah terlalu lama pembebasan manusia dianggap semata-mata sebagai proses sosial/struktural. Ketika kita mengubah kondisi masyarakat, kita menjadi terbebaskan. Saya percaya pendekatan yang lebih dialektis sudah beres. Kita harus dibebaskan, sebagai kolektif individu, sebelum kita dapat merestrukturisasi masyarakat sedemikian rupa sehingga kondusif untuk pembebasan. Pada saat yang sama, sebelum kita bisa menjadi pribadi yang dibebaskan (yaitu, diberdayakan, tercerahkan, dll), kita harus merestrukturisasi masyarakat dan lembaga-lembaganya. Ini sepertinya semacam tangkapan-22, membuat kita menjadi kucing pengejar ekor. Tetapi ketika kita melihat ini secara dialektis, sebagai proses pasang surut yang bertahap, bilateral, kompleksitas teori pembebasan mulai memberi jalan.
Mereka yang memproklamirkan diri sebagai "pembebas hewan", biasanya aktivis yang berdedikasi dan tulus, cenderung kehilangan dua poin. Pertama, seseorang hanya bisa membebaskan dirinya sendiri. Yang paling bisa kita harapkan untuk dilakukan bagi orang lain adalah membebaskan mereka dari kekangan yang menghalangi pembebasan diri mereka. Kedua, hanya mereka yang dapat memahami kerumitan penindasan mereka sendiri yang dapat melawannya melalui proses pembebasan. Selama berabad-abad yang tak terhitung, upaya terbaik manusia untuk kebebasan telah diterjemahkan ke dalam perjuangan putus asa untuk sekadar bebas dari pemaksaan otoriter masyarakat yang menindas. Seperti hewan yang dikurung, hanya ada sedikit hal lain di situs kami selain penghancuran kandang itu sendiri. Namun, tidak seperti hewan yang dikurung, kita memiliki potensi untuk memahami mengapa kandang itu ada. Kita tahu selalu ada lebih banyak sangkar, dan sampai kita menghancurkan mesin sosial yang memproduksi sangkar itu (untuk manusia dan bukan manusia), yang paling dekat yang bisa kita harapkan untuk mencapai pembebasan adalah kebebasan sesaat dan relatif.
Mendefinisikan Kembali Veganisme
Saya juga ingin mengklarifikasi definisi saya tentang beberapa istilah, yang paling penting adalah “veganisme.” Definisi asli saya akurat, saya percaya, tetapi menjadi bingung dalam konteks sisa esai, tidak cukup berbeda dari apa yang saya sebut "vegetarian." Biar saya perjelas: veganisme adalah secara sadar berpantang dari tindakan yang berkontribusi, langsung atau tidak langsung, pada penderitaan makhluk hidup, baik itu hewan atau manusia, karena alasan etis. Orang menjadi veganisme melalui dua jalur utama: kepedulian terhadap hak/kesejahteraan/kebebasan hewan, dan kepedulian terhadap lingkungan alam (yang sangat dirugikan oleh peternakan). Berpantang dari konsumsi makanan yang berasal dari hewan saja hanyalah vegetarianisme. Pantang dari konsumsi daging, biasanya disebut sebagai “vegetarianisme,” secara tepat disebut “vegetarian lakto-ovo,” karena para praktisi terus makan susu dan telur. Kebanyakan vegetarian seperti itu karena pola makan mereka lebih sehat. Dengan demikian mereka tidak memiliki alasan yang jelas untuk tidak mengkonsumsi barang-barang kulit, produk yang diuji pada hewan, dan sebagainya.
Penting untuk dicatat bahwa veganisme bukanlah keadaan mutlak. Pertama-tama, ada banyak interpretasi tentang apa yang dimaksud dengan makhluk hidup. Beberapa berpendapat bahwa semua hewan, dari mamalia hingga serangga, sepenuhnya layak dimasukkan dalam kategori tersebut. Ekstremnya, ada orang yang percaya bahwa tanaman dan hewan sama-sama layak mendapat perbedaan, dan karena itu memilih hanya makan buah dan kacang-kacangan (orang-orang ini biasa disebut sebagai “fruitarian”). Yang lain lagi bersikeras bahwa banyak hewan yang tidak dapat didemonstrasikan memiliki kehendak individu, karakter yang khas, peralatan saraf yang kompleks atau kemiripan emosi apa pun, seperti serangga dan kerak, tidak "berperasaan" menurut definisi mereka. Saya tidak punya ruang di sini untuk menyelidiki perdebatan, tetapi cukup untuk mengatakan apa pun spesifikasi definisi seseorang, harus dipahami bahwa kita berbagi prinsip umum yang sama, dan semua berusaha untuk hidup dengannya sebaik yang kita tahu caranya.
Kedua, veganisme adalah cita-cita yang hanya bisa kita harapkan untuk dijalani. Begitu banyak produk yang sudah menjadi “kebutuhan” kehidupan modern, seperti kendaraan, film fotografi, dan lain-lain, mengandung bagian-bagian yang berasal dari hewan. Makanan hewan peliharaan adalah masalah kontroversial lainnya. Penting untuk ditekankan bahwa kita hanya dapat berharap untuk melakukan yang terbaik, untuk mengambil langkah pribadi yang besar menuju cita-cita kita. Bahkan jika semua yang kita lakukan adalah berhenti makan daging tahun ini, sementara jauh dari apa yang vegan anggap sebagai pertobatan yang cukup sederhana untuk hidup welas asih, kita secara dramatis mengurangi kontribusi pribadi kita untuk mengeksploitasi nonmanusia. Kelelahan terjadi ketika kita menempatkan tuntutan yang tidak mungkin pada diri kita sendiri, dan keterasingan lebih lanjut adalah hasil tipikal dari tuntutan ekstrem yang ditempatkan pada orang lain.
Kewajiban Gaya Hidup
Saya adalah orang pertama yang muak dengan radikal kolot itu, kebanyakan dari "old school", yang menyatakan perubahan gaya hidup harus, paling tidak, mengambil kursi belakang ke pekerjaan perubahan sosial yang "nyata", yang terbatas pada restrukturisasi lembaga sosial. Tetap saja, kritik mereka terhadap orang-orang yang, sebaliknya, percaya bahwa perubahan pribadi akan benar-benar menjadi revolusi jika dilakukan dalam skala besar, cukup penting. Kita harus menghindari salah satu ekstrim. Sayangnya, kaum anarkis dan vegan kontemporer sama-sama cenderung ke arah pendekatan gaya hidup. Seperti yang saya jelaskan di bagian pertama adendum ini, ada dialektika vital yang terlibat. Dan, seperti yang saya sebutkan di badan Pembebasan Hewan dan Revolusi Sosial, tindakan sederhana untuk mengubah gaya hidup seseorang, bahkan jika diikuti oleh jutaan orang lainnya, tidak dapat mengubah dunia, yang struktur sosialnya dibuat dengan tangan oleh para elit untuk melayani kepentingan mereka sendiri.
Beberapa radikal mengklaim bahwa gaya hidup kita akan berubah "setelah revolusi." Gagasan seperti itu konyol. Kita yang dibesarkan untuk menjadi konsumen buta, warga negara yang patuh, suami, istri, dan sebagainya, harus secara radikal mengubah aktivitas kita sehari-hari, jika tidak, kita tidak akan mampu menjalankan masyarakat perpustakaan di masa depan. Memang, kita bahkan tidak akan berusaha mengubah dunia di sekitar kita secara radikal sampai kita belajar untuk berhenti menghargai efek dan elemen masa kini yang dangkal dan spektakuler. Kami tidak akan membangun ekonomi sosialis yang menghambat produksi daging karena biaya sosial dan lingkungannya yang tinggi kecuali kami bersedia melepaskan daging. Usaha ekonomi waras yang tak terelakkan adalah penghapusan industri eksploitasi hewan, dan itu akan menjadi jelas sebelumnya bagi mereka yang memiliki kekuatan untuk membangun ekonomi semacam itu (yaitu, rakyat). Tetapi mengapa kita berjuang menuju suatu sistem yang akan mengakibatkan ketidakmampuan kita untuk makan daging jika kita tidak tahan untuk melepaskannya sekarang?
Terakhir, penting untuk diperhatikan bahwa perubahan gaya hidup, seperti menjadi vegan, sebenarnya bukan merupakan aktivitas konkret apa pun. Menjadi seorang aktivis jauh lebih dari sekadar mengambil sikap, terutama yang hanya diam.
—Brian A. Dominick
October, 1997