Title: Anarki dan Alkohol
Subtitle: Budaya Adiksi, Strategi untuk Sober, Peradaban, dan Minuman Keras
Author: CrimethInc.
Topic: Alcoholism
Language: Bahasa Indonesia
Publication: 2024
Date: 2008
Notes: Diterjemahkan oleh Banu Ghifar.

Bagian 1

Sembari mengintip-menerawang menerobos kabut dihadapannya, ia melihat sebuah alchologram: sebuah dunia penuh penderitaan, yang dimana kemabukan adalah satu-satunya pelarian. Ia membenci dirinya sendiri, bahkan lebih dari ia membenci korporat-korporat pembunuh yang telah menciptakan kondisi ini, ia tersandung hampir jatuh dan kembali lagi ke toko minuman keras.

Bersembunyi di dalam rumah mewah mereka, mereka menghitung dolar yang mengalir dari tiap jutaan manusia seperti dirinya, dan sembari tertawa kecil melihat betapa mudahnya semua oposisi dihancurkan. Namun, mereka juga sering kali harus minum sampai tertidur di malam hari — jika massa yang kalah itu gagal dan akan kembali lagi untuk mendapatkan lebih (dari apa yang telah dicuri dari mereka), para taipan terkadang memanjakan diri mereka sendiri, akan ada neraka yang harus dibayar.

Wasted, Indeed: Anarki dan Alkohol

Sloshed, smashed, trashed, loaded, wrecked, wasted, blasted, plastered, tanked, fucked up, bombed. Semua orang pernah mendengar tentang orang-orang Arktik yang memiliki seratus kata atau istilah untuk salju, kita memiliki seratus kata untuk mabuk.

Kita melestarikan budaya kekalahan kita sendiri.

Tahan dulu sebentar – saya dapat melihat cemooh di wajahmu: Apakah kaum anarkis ini (maksudnya penulis) terlalu kaku sehingga mereka bahkan sedang mencela satu-satunya aspek anarkisme yang menyenangkan – sebotol bir pasca aksi, minuman-minuman keras di pub tempat segala teori utopis di perbincangkan? Apa yang mereka lakukan untuk bersenang-senang — mencela sedikit kesenangan yang kita miliki? Tidakkah kita harusnya bisa bersantai dan bersenang-senang di bagian mana pun dari kehidupan kita?

Jangan salah paham: kami tidak menentang pemanjaan diri sendiri, tetapi mendukungnya. Ambrose Bierce mendefinisikan seorang pertapa sebagai "orang lemah yang menyerah pada godaan untuk menyangkal kesenangannya sendiri," dan kami setuju. Seperti yang ditulis Chuck Baudelaire, Anda harus selalu mabuk — semuanya bergantung pada hal ini. Jadi, kami tidak menentang kemabukan, tetapi menentang minuman keras! Bagi mereka yang menganggap minuman keras sebagai jalan menuju kemabukan, maka mereka menipu diri mereka sendiri dari kehidupan yang sangat indah (hidup dalam ke-totalitasannya); Minuman, seperti kafein atau gula dalam tubuh, hanya “memainkan peran” dalam kehidupan yang dapat disediakan oleh kehidupan itu sendiri. Wanita yang tidak pernah minum kopi tidak membutuhkannya di pagi hari saat ia bangun: tubuhnya menghasilkan energi dan fokus dengan sendirinya, sebagaimana hal ini hasil dari evolusi manusia. Jika dia minum kopi secara teratur, tubuhnya akan segera membiarkan kopi mengambil alih “peran” itu, dan dia menjadi tergantung padanya. Jadi, alkohol secara artifisial menyediakan saat-saat relaksasi dan pelepasan yang sementara, sementara memiskinkan kehidupan dari semua hal yang benar-benar menenangkan dan membebaskan.

Jika sebagian orang yang sober di masyarakat ini tidak tampak sembrono dan bebas[1] seperti rekan-rekan mereka yang suka mabuk, hal itu hanyalah sebuah kecelakaan budaya, sekadar bukti tidak langsung. Orang-orang puritan seperti itu tetap ada di dunia ini, yang dimana semua keajaiban dan kejeniusannya telah dikuras oleh alkoholisme (dan kapitalisme, hierarki, kesengsaraan yang dipertahankannya) — satu-satunya perbedaan adalah bahwa mereka begitu mengorbankan diri mereka sendiri hingga menolak bahkan keajaiban palsu, jin dalam botol[2]. Namun, orang-orang "sober" lainnya, yang orientasi hidupnya lebih tepat digambarkan sebagai keterpesonaan atau gembira, jumlahnya banyak, jika Anda cukup jeli. Bagi orang-orang ini — bagi kita (penulis) — hidup adalah perayaan yang terus-menerus, yang tidak perlu dilebih-lebihkan dan tidak perlu diistirahatkan.

Alkohol, seperti Prozac dan semua obat pengendali pikiran lain yang menghasilkan banyak uang untuk Big Brother akhir-akhir ini, telah menggantikan pengobatan simtomatik untuk penyembuhan. Alkohol menghilangkan rasa sakit dari kehidupan yang membosankan dan menjemukan selama beberapa jam, lalu mengembalikannya dua kali lipat. Alkohol tidak hanya menggantikan tindakan positif yang akan mengatasi akar penyebab keputusasaan kita — tetapi juga mencegahnya, karena lebih banyak energi difokuskan untuk mencapai dan memulihkan diri dari keadaan mabuk. Seperti liburan healing para kelas pekerja, minuman adalah katup tekanan yang melepaskan ketegangan sambil mempertahankan sistem yang menciptakannya[3].

Dalam budaya push-button ini, kita terbiasa menganggap diri kita sebagai mesin sederhana yang dioperasikan: tambahkan bahan kimia yang tepat ke dalam persamaan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Dalam pencarian kita akan kesehatan, kebahagiaan, makna hidup; kita berlari dari satu obat mujarab ke obat mujarab lainnya — Viagra, vitamin C, vodka — alih-alih menjalani hidup kita secara holistik (menjalani hidup sepenuhnya) dan mengaitkan masalah-masalah kita ke akar sosial dan ekonominya. Pola pikir yang berorientasi pada produk ini adalah fondasi dari masyarakat konsumen kita yang terasing atau teralienasi: tanpa mengonsumsi produk, kita tidak dapat hidup! Kita mencoba membeli relaksasi, komunitas (dan solidaritas), kepercayaan diri — sekarang bahkan ekstasi hadir dalam bentuk pil!

Kami ingin ekstasi sebagai cara hidup, bukan sebagai minuman beralkohol yang meracuni hati. “Hidup itu menyebalkan — mabuklah” adalah inti dari argumen yang masuk ke telinga kita dari lidah para tuan atau para penguasa kita, dan kemudian keluar dari mulut kita sendiri yang tidak jelas dan tidak berdasar, melanggengkan segala kebenaran yang insidental dan tidak perlu dan segala yang mungkin dirujuknya — tetapi kita tidak akan lagi mempercayainya! Melawan mabuk – dan melawan kemabukan! Bakar toko-toko minuman keras, dan ganti dengan taman bermain![4]

For a Lucid Bacchanalian[5], Masyarakat ekstatik!

Pemberontakan Palsu

Hampir setiap anak dalam masyarakat Barat arus utama, tumbuh dengan alkohol sebagai buah terlarang yang dinikmati oleh orang tua atau teman sebaya orang tua mereka, tetapi tidak untuk yang seumuran mereka. Larangan ini hanya membuat minum alkohol menjadi jauh lebih menarik bagi kaum muda, dan ketika mereka mendapat kesempatan, sebagian besar dari mereka, segera menegaskan eksistensi mereka dengan melakukan persis seperti apa yang telah diperintahkan untuk tidak mereka lakukan: ironisnya, mereka memberontak dengan mengikuti contoh yang diberikan kepada mereka. Pola hipokrit ini merupakan standar dalam pengasuhan anak dalam masyarakat ini, dan berfungsi untuk mereplikasi sejumlah perilaku destruktif, yang jika tidak dilakukan seperti demikian, akan ditolak secara agresif oleh generasi berikutnya. Fakta bahwa moralitas palsu dari banyak orang tua peminum tercermin dalam praktik kelompok agama yang sok suci, yang dimana, mereka membantu menciptakan dikotomi palsu antara orang yang menyangkal diri secara puritan, dan peminum yang mencintai hidup dan bebas – dengan "teman-teman" mereka, seperti pendeta Baptis. Kita yang tidak minum alkohol (teetotalers) bertanya-tanya, siapa yang butuh musuh?

Para pendukung Rebellious Drunkenness dan pendukung Responsible Abstinence ini adalah musuh yang abadi. Yang pertama membutuhkan yang kedua untuk membuat ritual mereka yang menyedihkan tampak menyenangkan; yang terakhir membutuhkan yang pertama untuk membuat ketegangan mereka yang kaku tampak seperti masuk akal. “Ketenangan pikiran yang ekstatik” itu memerangi kesuraman yang satu dan kesuraman yang lain — kesenangan palsu dan kebijaksanaan palsu — sama-sama paralel dengan anarkisme yang menghadapi kebebasan palsu yang ditawarkan oleh kapitalisme dan komunitas palsu yang ditawarkan oleh komunisme.

Alkohol dan Seks dalam Budaya Perkosaan

Mari kita bahas secara gamblang: hampir semua dari kita berasal dari tempat di mana seksualitas kita adalah atau pernah menjadi wilayah pendudukan. Kita telah diperkosa, dilecehkan, diserang, dipermalukan, dibungkam, dibuat bingung, dikonstruksi, diprogram. Kita itu orang-orang hebat, dan kita merebutnya kembali, merebut kembali diri kita; tetapi bagi kebanyakan dari kita, itu adalah proses yang lambat, rumit, dan belum selesai.

Ini tidak berarti kita tidak bisa melakukan hubungan seks yang baik, aman, dan suportif saat ini, di tengah-tengah proses penyembuhan itu — tetapi hal itu membuat hubungan seks itu sedikit lebih rumit. Untuk memastikan kita tidak melanggengkan atau membantu melanggengkan pola-pola negatif dalam kehidupan kekasih, kita harus mampu berkomunikasi dengan jelas dan jujur ​​sebelum keadaan menjadi panas dan berat — dan saat keadaan menjadi panas, dan setelahnya. Ada beberapa hal yang mengganggu komunikasi ini, salah satunya alkohol. Dalam budaya penyangkalan yang kita hidupi ini, kita didorong untuk menggunakannya[6] sebagai pelumas sosial untuk membantu kita mengatasi hambatan kita[7]; seringkali, ini berarti mengabaikan ketakutan dan luka kita sendiri, dan tidak bertanya tentang apa yang dialami oleh orang lain. Jika berbahaya, dan juga indah, bagi kita untuk berbagi seks dengan satu sama lain dalam keadaan sadar, betapa lebih berbahayanya jika melakukannya dalam keadaan mabuk, sembrono, dan tidak masuk akal. Jika berbahaya, dan juga indah, bagi kita untuk melakukan hubungan seks dengan satu sama lain dalam keadaan sadar, bayangkan, betapa lebih berbahaya lagi jika kita melakukannya dalam keadaan mabuk, gegabah, dan tidak sadar.

Berbicara tentang seks, perlu dicatat peran pendukung yang dimainkan alkohol dalam dinamika gender patriarki. Misalnya — dalam berapa banyak keluarga inti, alkoholisme membantu mempertahankan distribusi kekuasaan dan tekanan yang tidak merata? (Semua penulis risalah ini dapat mengingat lebih dari satu kasus seperti itu, di antara keluarga mereka sendiri.)

Kemabukan adalah penghancuran diri yang dilakukan pria, yang mungkin disebabkan oleh kengerian hidup di bawah kapitalisme yang mereka rasakan, yang kemudian memberikan beban yang lebih berat kepada wanita, yang entah bagaimana harus tetap menjaga keutuhan keluarga — sering kali harus menjadi korban dari kekerasannya.

Tirani Apatis

“Setiap projek anarkis ‘jancok’ yang dimana aku terlibat didalamnya, itu hancur atau hampir hancur oleh alkohol. Kamu memciptakan situasi kehidupan kolektif dan semua orang terlalu mabuk dan teler untuk melakukan tugas-tugas dasar, apalagi mempertahankan sikap saling menghormati. Anda ingin menciptakan sebuah komunitas, namun setelah acara selesai, semua orang kembali ke kamar dan minum sampai ‘mati’. Jika bukan satu zat yang disalahgunakan, maka masih ada zat ‘bangsat-bangsat’ yang lain. Aku paham bahwa mencoba melenyapkan kesadaran mu adalah reaksi alami karena terlahir di neraka kapitalis yang mengasingkan, tapi aku ingin orang-orang melihat apa yang kita lakukan sebagai anarkis dan berkata “Ya, ini leb ih baik daripada kapitalisme!” yang dimana ini sangat susah dilakukan jika kamu sendiri tidak dapat berjalan tanpa menginjak pecahan botol empat puluh ons. Aku ga pernah menganggap diriku sendiri sebagai straight-edge, tapi jancok lah, aku udah ga tahan lagi!”

Konon, ketika anarkis ternama Oscar Wilde pertama kali mendengar slogan lama: jika diperintah saja sudah memalukan, betapa lebih memalukan lagi memilih pemimpin, ia menjawab: "Jika memilih tuan saja sudah memalukan, betapa lebih memalukan lagi menjadi tuan atas diri sendiri!" Tentu saja, ia bermaksud mengkritik hierarki dalam diri sendiri maupun negara demokrasi — tetapi, sayangnya, sindirannya dapat diterapkan secara harfiah pada beberapa upaya kita untuk menciptakan lingkungan yang anarkis dalam praktiknya. Hal ini terutama terjadi ketika dilakukan oleh orang-orang yang sedang mabuk.

Di kalangan tertentu, terutama di mana kata “anarki” itu sendiri lebih populer sebagai fashion daripada berbagai maknanya, kebebasan dipahami dalam istilah negatif[8]: “jangan beritahu saya apa yang harus saya lakukan!” Dalam praktiknya, hal ini sering kali berarti tidak lebih dari hanya sekadar penegasan hak individu untuk menjadi malas, egois, dan penghindaran pertanggung jawaban atas tindakannya. Dalam konteks seperti itu, ketika sebuah kelompok menyetujui sebuah proyek, sering kali pada akhirnya sebuah kelompok kecil lah yang harus bertanggung jawab dan harus melakukan semua pekerjaan. Beberapa orang yang teliti ini sering terlihat seperti orang yang otokratis — padahal, secara tidak kasat mata, sikap apatis dan permusuhan dari rekan-rekan merekalah yang memaksa mereka untuk mengambil peran ini. Menjadi mabuk dan tidak tertib sepanjang waktu, merupakan bentuk pemaksaan - hal itu memaksa orang lain untuk membersihkan kekacauan yang kamu buat, untuk berpikir jernih ketika kamu tidak mau berpikir, untuk menyerap stres yang dihasilkan oleh perilaku mu ketika kamu terlalu kacau untuk berdialog.

Dinamika ini tentu saja berjalan dua arah — mereka yang memikul semua tanggung jawab di pundak mereka melanggengkan pola yang tidak dipikul orang lain — tetapi setiap orang bertanggung jawab atas peran mereka sendiri dalam pola tersebut, dan untuk melampauinya. Dinamika ini tentu saja berjalan dua arah — mereka yang memikul semua tanggung jawab di pundak mereka melanggengkan pola yang tidak dipikul orang lain — tetapi setiap orang bertanggung jawab atas peran mereka sendiri dalam pola tersebut, dan untuk melampauinya.

Bayangkan kekuatan yang dapat kita miliki jika semua energi dan usaha di dunia — atau mungkin hanya energi dan usaha Anda? — yang dihabiskan untuk minum, digunakan untuk melawan, membangun, dan menciptakan.

Coba hitung semua uang yang dihabiskan kaum anarkis di komunitas mu untuk beli minuman keras produksi kapitalis, dan bayangkan berapa banyak peralatan musik atau uang jaminan atau makanan (-not- bombs… or, fuck it, bombs!) yang dapat mereka miliki — alih-alih mendanai perang mereka melawan kita. Jauh lebih baik: hidup dalam sebuah dunia dimana presiden pecandu kokain meninggal karena overdosis sementara musisi radikal dan pemberontak hidup dalam kekacauan hingga usia lanjut!

Ketenangan dan Solidaritas

Seperti pilihan gaya hidup lainnya, baik itu gelandangan atau keanggotaan serikat pekerja, menjauhi alkohol seringkali dapat disalahartikan sebagai tujuan, bukan sarana.

Yang terpenting, bagaimanapun, bahwa pilihan kita sendiri tidak menjadi dalih bagi kita untuk menganggap diri kita lebih unggul daripada mereka yang membuat keputusan berbeda. Satu-satunya strategi untuk berbagi ide-ide keren yang berhasil secara terus menerus (dan itu berlaku untuk risalah atau essai yang panas dan mengasingkan seperti yang anda baca ini!) adalah melalui kekuatan atas contoh perbuatan — jika Anda menerapkan "ketenangan hati yang luar biasa[9]" dalam hidup Anda dan ‘berhasil’, mereka yang sungguh-sungguh menginginkan hal serupa akan ikut melakukannya. Menghakimi orang lain atas keputusan yang hanya berdampak pada diri mereka sendiri adalah tindakan yang sangat buruk bagi kaum anarkis — belum lagi, hal ini membuat mereka tidak mau bereksperimen dengan pilihan yang Anda tawarkan.

Jadi — pertanyaan-pertanyaan terkait solidaritas dan komunitas dengan kaum anarkis dan orang lain yang menggunakan alkohol dan narkoba, kami mengusulkan bahwa hal-hal ini sangatlah penting (untuk didiskusikan dan dikembangkan). Khususnya bagi mereka yang tengah berjuang membebaskan diri dari kecanduan yang tidak diinginkan, solidaritas semacam itu sangatlah penting: Alcoholics Anonymous, misalnya, hanyalah satu contoh dari beberapa organisasi semi-religius yang memenuhi kebutuhan sosial yang seharusnya segera disediakan oleh komunitas anarkis swakelola. Seperti dalam setiap kasus, kita kaum anarkis harus bertanya kepada diri kita sendiri: apakah kita mengambil posisi kita hanya untuk merasa lebih unggul dari massa yang tidak terdidik (eh, terdidik) — atau karena kita dengan tulus ingin menyebarkan alternatif yang dapat diakses oleh mereka?

Selain itu, kebanyakan dari kita yang tidak kecanduan zat terlarang dapat berterima kasih atas privileges dan keberuntungan yang kita miliki saat ini; ini memberi kita semua tanggung jawab yang lebih besar untuk menjadi sekutu yang baik bagi mereka yang tidak memiliki hak istimewa atau keberuntungan seperti itu. Biarkan toleransi, kerendahan hati, aksesibilitas, dan kepekaan menjadi kualitas yang kita pupuk dalam diri kita sendiri, bukan kemunafikan atau kesombongan. No separatist sobriety!

Revolusi

Jadi, apa yang akan kita lakukan jika kita tidak pergi ke bar, nongkrong di pesta, duduk di tangga atau di depan televisi dengan botol “empat puluh ons” (botol bir) kita? Ada lagi! Dampak sosial dari obsesi masyarakat kita terhadap alkohol setidaknya sama pentingnya dengan dampak mental, medis, ekonomi, dan emosionalnya. Minum minuman keras menstandardisasi kehidupan sosial kita, menghabiskan sekitar delapan jam sehari yang belum terkolonisasi oleh pekerjaan. Minum minuman keras menempatkan kita secara spasial — ruang keluarga, ruang minum koktail, rel kereta api — dan secara kontekstual — dalam perilaku yang ritualistik dan dapat diprediksi — dengan cara yang tidak pernah dapat dilakukan oleh sistem kontrol yang lebih eksplisit. Sering kali ketika salah satu dari kita berhasil melepaskan diri dari peran sebagai kelas pekerja/konsumen, aktivitas minum-minum ada di sana, di apa yang tersisa dari waktu luang kita yang terjajah. Bebasnya kita dari rutinitas atau kebiasaan (mabuk-mabukan) ini, membuat kita dapat menemukan cara lain untuk menghabiskan waktu dan energi dalam mencari kesenangan, cara yang dapat terbukti berbahaya bagi sistem keterasingan itu sendiri.

Minum-minum secara kebetulan atau insidental dapat menjadi bagian dari interaksi sosial yang positif dan menantang, tentu saja — masalahnya adalah peran utamanya dalam proses bersosialisasi secara sembrono diartikan secara salah sebagai prasyarat untuk hubungan semacam itu. Ini mengaburkan fakta bahwa kita dapat menciptakan interaksi sosial yang positif sekehendak hati kita hanya dengan kreativitas, kejujuran, dan keberanian kita sendiri (yang tentu saja tanpa perlu adanya alkohol kan?[10]). Dapat dipastikan, tanpa hal-hal tersebut, tidak akan ada hal berharga yang mungkin terjadi — pernahkah Anda menghadiri pesta yang buruk? Dan dengan hal-hal tersebut, tidak ada alkohol yang diperlukan.

Ketika satu atau dua orang berhenti minum, hal itu tampak tidak masuk akal, seperti mereka mengasingkan diri mereka sendiri dari pergaulan (atau setidaknya kebiasaan) sesama manusia tanpa alasan. Namun, komunitas yang terdiri dari orang-orang seperti itu dapat mengembangkan budaya radikal berupa petualangan dan keterlibatan yang sober, yang pada akhirnya dapat menawarkan kesempatan menarik untuk melakukan aktivitas tanpa minum-minum dan bersenang-senang bagi semua orang. Para geek dan penyendiri di masa lalu bisa jadi adalah pelopor dunia baru di masa depan: “lucid bacchanalism” adalah cakrawala baru, kemungkinan baru untuk ketidakpatuhan dan transformasi yang bisa menyediakan lahan subur bagi pemberontakan yang belum terbayangkan sebelumnya. Seperti pilihan gaya hidup revolusioner lainnya, pilihan ini menawarkan sensasi langsung dari dunia lain sekaligus membantu menciptakan konteks bagi tindakan yang mempercepat realisasi universalnya.

Tiada perang selain perang kelas – tiada cocktail selain cocktail molotov!

Lets us brew nothing but trouble!

Catatan Tambahan: Cara Membaca Risalah Ini

Dengan sedikit keberuntungan, Anda telah mampu memahami — bahkan, mungkin, melalui kabut kemabukan itu — bahwa ini lebih merupakan karikatur polemik dalam tradisi anarkis daripada karya yang serius. Sangat perlu ditekankan bahwa polemik-polemik ini sering kali menekankan perhatian pada tesis-tesis yang dengan sengaja mengambil posisi ekstrem, sehingga membuka jalan di antara keduanya untuk posisi yang lebih "moderat" pada subjek permasalahan yang sedang dibahas. Semoga kalian para pembaca dapat memperoleh wawasan berguna dari penafsiran kalian atas teks atau risalah ini, alih-alih menganggapnya sebagai kebenaran atau kutukan.

Dan semua ini bukan berarti bahwa tidak ada orang bodoh yang menolak mabuk — tetapi dapatkah kalian bayangkan betapa lebih menyebalkannya mereka jika mereka tidak melakukannya?[11] Orang yang membosankan akan tetap membosankan, hanya saja lebih lantang; orang yang sok suci akan terus mencaci-maki dan mengomel, sambil meludahi dan meneteskan air liur pada korban mereka! Ini adalah karakteristik yang hampir universal dari para peminum bahwa mereka mendorong semua orang di sekitar mereka untuk minum — kecuali permainan kekuasaan yang munafik antara kekasih atau orang tua dan anak-anak, setidaknya — mereka lebih suka pilihan mereka sendiri tercermin dalam pilihan semua orang[12]. Hal ini menurut kami menunjukkan adanya rasa insecure yang sangat besar, yang tidak jauh berbeda dengan rasa insecure yang ditunjukkan oleh para ideolog dan perekrut dari berbagai aliran, mulai dari Kristen, Marxis, hingga anarkis, yang merasa bahwa mereka tidak akan bisa tenang sampai semua orang di dunia ini, melihat dunia itu persis seperti yang mereka lihat[13]. Saat Anda membaca, cobalah untuk melawan rasa tidak aman itu (rasa insecure) — dan cobalah untuk tidak membacanya sebagai ekspresi kita sendiri (sebagai risalah dalam tradisi karya-karya anarkis), tetapi, sebagai pengingat bagi semua orang yang memilih untuk peduli bahwa dunia lain itu mungkin.

Disclaimer yang Dapat Diprediksi

Seperti pada setiap kasus risalah yang diterbitkan CrimethInc., risalah ini hanya merepresentasikan pandangan-pandangan siapapun yang setuju dengannya, bukan “keseluruhan dari CrimethInc. Ex-Workers Collective” atau massa abstrak lainnya. Seseorang yang melakukan pekerjaan penting dengan nama Crimethlnc. mungkin sedang mabuk saat saya mengetik ini — dan tidak apa-apa.

Have a drink on me — consumers are what make capitalism work!

Bagian 2

Bagaimana Peradaban menjadi Pecandu atau Bagaimana Pecandu menjadi Beradab

Studi kasus anarko-primitivis atas Straight Edge: Against His-Story, Against Alcoholocaust!

Sejarah peradaban adalah sejarah atas bir. Dalam tiap era dan area yang tidak tersentuh oleh peradaban, tidak ada bir; sebaliknya, hampir dimanapun peradaban menghantam, bir menyertainya. Perdaban – yaitu, struktur sosial yang hierarkis dan sebuah hubungan yang didasarkan pada kompetisi, perkembangan teknologi yang tidak terkendali, dan alienasi atau keterasingan universal – tampaknya terkait erat dengan alkohol. Orang-orang bijak di jaman kita sekarang, yang melihat ke belakang dan melihat jauh ke masa depan melampaui batas-batas dari budaya yang merusak ini, menceritakan sebuah perumpamaan yang didasarkan pada kehidupan masa lalu untuk menjelaskan hal ini.

Kebanyakan antropolog memandang munculnya kebudayaan bercocok tanam (agrikultur) sebagai awal mula peradaban. Tindakan penguasaan atas tanah inilah yang membuat manusia menganggap dirinya berbeda dari alam, yang memaksa mereka menjadi sedenter atau menetap dan posesif, yang pada akhirnya mengarah pada perkembangan kepemilikan pribadi dan kapitalisme. Tetapi mengapa kemudian si pemburu/pengumpul, yang lingkungan sekitarnya telah memberikan mereka segala macam makanan yang mereka butuhkan, kemudian mengunci diri mereka sendiri dalam satu wilayah dan meninggalkan gaya hidup nomaden-pengumpul yang telah mereka praktikan sejak dahulu kala? Kemungkinan yang mungkin – ada antropolog yang setuju dengan hipotesis ini – adalah bahwa manusia pertama yang mendomestikasi diri mereka sendiri melakukannya untuk membuat bir (brewing/fermentasi).

Reorganisasi yang drastis demi mabuk-mabukan ini dengan pasti telah mengguncang struktur dan cara hidup kesukuan/tribal sampai ke akar-akarnya. Dimana masyarakat “primitif” ini pernah hidup dalam hubungan yang santai dan penuh perhatian terhadap alam – sebuah hubungan yang memberikan mereka otonomi pribadi dan komunitas yang mendukung/suportif, serta banyak waktu luang untuk menikmati alam di sekitar mereka – dan sekarang mereka menukarnya dengan periode kerja paksa, periode ketidakbecusan dan isolasi yang memabukkan. Tidaklah sulit untuk membayangkan bahwa situasi ini kemudian mempercepat (jika tidak menjadi penyebab utama), lahirnya kekuasaan para Tuan, para pengawas yang memastikan bahwa tugas-tugas berat itu menjadi rutinitas yang dilakukan oleh anggota-anggota suku yang sering kali kemabukan dan tidak becus. Tanpa pemimpin-pemimpin suku dan sistem peradilan primitif yang kemudian mereka institusikan, tampaknya kehidupan (baru) itu sendiri mustahil terjadi: dan dengan demikian, di bawah naungan alkoholisme, embrio negara terbentuk.

Cara hidup yang menyedihkan seperti itu tentu saja tidak menarik bagi masyarakat yang bertetangga dengan para petani alkoholik pribumi ini; namun seperti yang diketahui oleh setiap sejarawan, penyebaran peradaban sama sekali tidak bersifat sukarela. Kurangnya sopan santun dan kelembutan seperti yang dimiliki teman-teman mereka sebelumnya di alam liat, orang-orang “liar” ini, dalam kelakuan dan pelanggaran yang disebabkan oleh kemabukan yang berlebihan, pastilah telah memicu serangkaian peperangan-peperangan yang, sayangnya, mampu dimenangkan oleh si “pemabuk” karena efisiensi militer dari tentara autokratik dan pasokan makanan yang stabil dari pertanian yang mereka taklukkan. Bahkan keuntungan ini pun tidak akan cukup, jika orang-orang biadab itu tidak memiliki senjata rahasia: alkohol itu sendiri. Musuh-musuh yang seharusnya bisa bertahan di medan pertempuran tanpa batas waktu, pada akhirnya akan terjerumus ke dalam serangan budaya pesta pora dan kecanduan mabuk-mabukan, melalui mekanisme perdagangan – salah satu penemuan para petani, yang juga menjadi orang kikir pertama, pedagang pertama – racun ini hadir ke tengah-tengah mereka. Sebuah pola konflik, kecanduan, kekalahan, dan asimilasi mulai terjadi, sebuah pola yang dapat ditelusuri sepanjang sejarah dari awal peradaban melalui perang Romawi atas nama Kekaisaran hingga bencana yang terjadi pada penduduk asli Dunia Baru yang dilakukan oleh penjajah Eropa yang kejam.

Tetapi ini hanyalah sebuah cerita, spekulasi. Mari kita berkonsultasi dengan buku-buku sejarah (membaca yang tersirat, di mana kita harus melakukannya, karena buku-buku itu diturunkan kepada kita dari para pembunuh-penjajah di masa lalu dan budak-budak mereka yang patuh… yaitu, sejarawan!) untuk melihat apakah buku-buku tersebut sesuai dengan bukti. Kita akan memulainya dari tahun-tahun awal munculnya pertanian, ketika suku-suku pertama mulai menetap – di tanah subur di sekitar sungai, tempat gandum dan jelai mudah ditanam dan difermentasi dalam jumlah besar.

Penjinakkan Manusia – oleh Alkohol

Enkidu, seorang pria primitif berbulu lebat, tidak terawat, hampir seperti binatang, yang makan rumput dan bisa memerah susu hewan liar, ingin menguji kekuatannya melawan Gilgamesh, sang raja-dewa. Gilgamesh mengirim seorang pelacur ke Enkidu untuk mempelajari kekuatan dan kelemahannya. Enkidu menikmati satu minggu bersamanya selama dia mengajarinya tentang peradaban. Enkidu tidak tahu apa itu roti, dia juga tidak pernah belajar minum bir. Dia berbicara kepada Enkidu: “Makanlah roti itu sekarang, itu adalah bagian dari kehidupan. Minumlah juga bir, karena ini adalah kebiasaan di negara tersebut.” Enkidu meminum tujuh cangkir bir dan jantungnya melonjak. Dalam kondisi ini ia membasuh dirinya dan menjadi makhluk yang beradab.

- Narasi peradaban pertama yang ditulis, Epos Gilgamesh yang ditulis pada 3000 SM, menggambarkan domestikasi Enkidu yang Primitif melalui Bir.

Catatan pembuatan bir tertua yang terautentikasi dibuat lebih dari 6000 tahun yang lalu di Sumeria, peradaban manusia tertua. Sumeria juga mempunyai agama pertama yang diorganisir oleh negara, dan “minuman ilahi” resmi dari agama ini adalah bir yang dibuat oleh pendeta wanita Ninkasi, dewi alkohol Sumeria. Nyanyian pujian Ninkasi sedang memproduksi instruksi! Kumpulan undang-undang pertama, Kode Hammurabi Babilonia, menetapkan jatah bir harian sebanding dengan status sosial seseorang: konsumsi bir berjalan seiring dengan hierarki. Sebagai contoh, kaum pekerja menerima dua liter, sedangkan pendeta dan raja mendapatkan lima liter. [untuk eksperimen pemikiran yang menarik, tanyakan pada diri anda sendiri berapa banyak alkohol – dan berapa kadarnya – yang anda dapatkan saat ini, dan apa pengaruhnya terhadap posisi anda di masyarakat.] Para sejarawan yang merenungkan keutamaan alkohol dalam buku-buku hukum kuno ini (Kode Hammurabi) bahkan menduga bahwa fungsi asli dari hierarki adalah untuk memberikan izin sejumlah orang untuk menimbun alkohol dalam jumlah besar sambil memastikan bahwa tersedianya tenaga kerja yang cukup – yang dibayar oleh jatah alkohol mereka yang sedikit untuk mencegah pemberontakan atau melarikan diri – yang selalu siap sedia untuk tetap bertani dan membuat bir. Para raja menggunakan sedotan emas untuk menyesap bir dari wadah raksasa, sebuah tradisi yang telah dilestarikan menggunakan (sedotan) plastik di seluruh dunia Barat saat ini. Peran penting alkohol dalam hierarki ini sangat mudah dikenali, bahkan dengan membaca sekilas catatan-catatan berikut: seperti dalam setiap rezim otoriter, “keadilan” adalah perhatian utama, dan hukuman ditetapkan bagi semua yang melanggar salah satu dari peraturan tersebut, dan hukum yang mengatur bir adalah hukuman kematian karena ditenggelamkan.

Meskipun ia adalah sesuatu yang baru ditemukan, bir telah mempengaruhi setiap aspek peradaban manusia yang sedang berkembang. Sebelum uang ditemukan, bir digunakan sebagai barang standar barter — uang sebelum uang! Di Mesir Kuno, satu tong bir adalah satu-satunya hadiah yang pantas untuk dipersembahkan kepada Firaun ketika melamar putrinya, dan tong bir dikorbankan kepada para dewa ketika Sungai Nil meluap. Ketika peradaban menyebar, bir pun ikut menyebar. Bahkan di daerah terpencil seperti negeri Finlandia, bir memainkan peran penting sejak peradaban menghantam: Kalevala, puisi epik kuno Finlandia, memiliki dua kali lebih banyak syair yang ditujukan untuk bir dibandingkan dengan penciptaan bumi. Pembuatan bir dapat ditemukan di mana pun peradaban berada, mulai dari desa-desa primitif orang barbar Jerman hingga kekaisaran-dewa Tiongkok kuno. Hanya manusia yang masih hidup harmonis dengan alam liar, seperti masyarakat adat di Amerika Utara dan beberapa sektor di Afrika, yang tetap bebas alkohol — untuk sementara waktu.

“Peradaban klasik” Yunani dan Roma direndam dalam alkohol sama seperti mereka direndam dalam darah — seluruh dunia kuno tenggelam dalam mabuk kolektif. Hal ini sangat pasti membantu para bangsawan dan filsuf untuk mengabaikan fakta bahwa “demokrasi yang tercerahkan” yang mereka gadang-gadangkan didasarkan pada penundukan terhadap perempuan dan banyak budak. Karya terbesar sastra “klasik”, Simposium, merinci pesta minum yang menghadirka Socrates, yang klaim ketenarannya sebagai seorang filsuf … ditambahkan dengan toleransinya yang sangat tinggi terhadap alkohol. Mengkaji pemujaan Socrates terhadap yang abstrak dibandingkan yang nyata - asalkan hal ini tidak dikaitkan secara salah kepada muridnya yang berbohong, Plato - seseorang masih dapat mencium bau asam seorang pemabuk.

Brew dan Negara

Dalam hidup saya disebut Gambrinus, Raja Flanders dan Brabant, yang pertama kali membuat malt dari jelai dan memikirkan pembuatan bir. Karenanya, para pembuat bir dapat mengatakan bahwa mereka memiliki seorang raja sebagai ahli pembuat bir pertama.

- Santo pelindung bir tentu saja adalah seorang raja (monarch).

Kekaisaran Romawi akhirnya runtuh, seperti semua kekaisaran pada akhirnya (termasuk yang ini, anjing!), setelah pesta orgi mabuk-mabukan selama beberapa generasi yang dipenuhi dengan dekadensi dan degenerasi. Dua hal yang selamat dari kehancuran itu adalah bir dan agama Kristen. Pembuatan bir pernah menjadi wilayah kekuasaan perempuan – namun seriring dengan bangkitnya Gereja Katolik, ordo monastik mengambil alih wilayah tersebut dan menghancurkan salah satu benteng terakhir matriarki utama. Para biarawan, yang menghabisakan hidupnya untuk berdoa, mengandalkan minuman tersebut untuk meringankan beban puasa keagamaan mereka yang menyedihkan – sehingga, tidak mengherankan, konsumsi bir tidak dianggap sebagai pelanggaran terhadap sumpah mereka untuk tidak mengkonsumsi alkohol (vows of non-consumption). Konsumsi bir di biara-biara mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, karena para biawaran diperbolehkan mengonsumsi hingga lima liter bir sehari. Baik Paus maupun Kaisar awal seperti Charlemagne akan secara pribadi mengawasi proses pembuatan bir, berharap dapat menciptakan minuman yang sempurna untuk melenyapkan kesadaran mereka dan kesadaran rakyatnya.

Lahirnya Kapitalisme dan Negara-Bangsa dimulai dengan komersialisasi bir. Biara, karena dipenuhi dengan lebih banyak bir daripada yang bisa mereka konsumsi, meraka mulai menjualnya ke desa-desa sekitar. Biara-biara berfungsi ganda pada malam hari sebagai pub, dan hamba-hamba Tuhan ini menciptakan beberapa perusahaan pertama yang menghasilkan keuntungan dan dikelola dengan baik. Dengan melemahnya Gereja dan bangkitnya negara-bangsa modern, para raja dan adipati mengambil tindakan untuk menutup biara-biara yang bebas pajak. Mereka mulai memberikan izin pembuatan bir kepada kelas pedagang yang sedang naik daun, mengenakan pajak besar yang mempercepat sentralisasi kekuasaan dan kekayaan di negara-negara tersebut. Bir menjadi fokus setiap malam dan andalan setiap perayaan. Natal “Yuletide”, misalnya, berasal dari “Ale tide”. Untuk menenangkan wanita di malam pernikahan mereka, dibuatlah “Bride Ale” yang sangat ampuh, begitu pula kata bridal berasal. Dimana-mana kejayaan mabuk-mabukan, dimana-mana kemenangan Tuhan dan Negara.

Her-Story and Hop-Story

Dengan ini pembuat bir dan pihak lain tidak boleh menggunakan apa pun selain malt, hop, dan air. Pembuat bir yang sama juga tidak boleh menambahkan apa pun saat menyajikan atau menangani bir, upon penalty of death.

- Hukum Kemurnian Bir dan Eugenika Bavaria-Landshut

Sementara biara-biara mengkomersilkan bir dan negara-bangsa kemudian berkembang pesat darinya, persaudaraan rahasia para pembuat bir (secret sisterhood of brewers) tetap ada di desa-desa petani, memfermentasi minuman aneh dan ajaib untuk masyarakat miskin dan diasingkan dari masyarakat abad pertengahan. Para “penyihir” ini memfermentasikan buah juniper, sweet gale, blackthorn, anise, yarrow, rosemary, worm wood, akar pinus, henbane – yang masing-masing memiliki efek yang unik dan kuat. Misalnya, meskipun minuman yang berbahan dasar hop “vile weed” memiliki sifat seperti obat penenang (sedative), banyak minuman fermentasi lainnya dapat menyembuhkan orang sakit, menenangkan orang yang sedang marah, dan memberikan harapan kepada mereka yang putus asa. Para petani akan berkumpul di desa mereka dan meminum minuman suci yang dibuat dengan ragi yang nenek moyang mereka turunkan dari generasi ke generasi. Saat mereka mendampingi dan mengonsumsi minuman yang liar dan beragam ini, semua kehinaan yang ditimpakan para pendeta dan raja kepada mereka akan muncul dalam kesadaran mereka, dan mereka akan memberontak melawan penguasa mereka. Karena pemberontakan-pemberontakan ini sangat sering terjadi dan brutal di Kekaisaran Romawi Suci, berbagai bangsawan Jerman bersekongkol untuk menghancurkan budaya-budaya yang menghidupi mereka. Duke of Bavaria, Wilhelm iv, mengesahkan Undang-Undang Kemurnian Bir untuk menghapus semua keragaman fermentasi yang subversif. Sejak tahun 1516 dan seterusnya, bir hanya boleh diseduh dengan obat penenang: sejak saat itu, semua alkohol dihomogenisasi, dan teknologi fermentasi obat atau restoratif apa pun yang ada, telah hilang. Minuman berbahan hop menyebabkan kurangnya koordinasi (dalam tubuh), ketidakmampuan untuk berpikir jernih, dan akhirnya kematian yang lambat – semua kualitas yang diperlukan untuk membuat petani Jerman dan pekerja paruh waktu modern tidak mampu memberontak.

Para perempuan yang sebelumnya adalah pembuat bir yang dihormati di desa-desa petani, diburu dan dibakar sebagai “penyihir pembuat bir”. Sampai hari ini, para penyihir jarang dibayangkan tanpa kuali pembuatan bir mereka (lihat film-film produksi Hollywood). Pembakaran penyihir atas dasar proses pembuatan bir sesat berlanjut hingga tahun 1519. Dengan terjadinya pembantaian ini (witch hunt), pusat pembuatan bir independen dan kreatif terakhir dihancurkan, dan para wanita bersujud di hadapan Tuhan yang mabuknya para biarawan yang tertindas dan pembuat bir yang rakus. Melalui alkohol, rakyat jelata ditaklukkan, dan apa yang terjadi dalam kehidupan di Abad Pertengahan menjadi sangatlah buruk, pendek, brutal, dan — yang terpenting — mabuk.

Globalisasi Alkoholisme

Tentu saja, jika memang takdir Tuhan untuk menggali orang-orang biadab ini demi memberikan ruang bagi para penggarap bumi, tampaknya bukan tidak mungkin rum bisa menjadi sarana yang tepat. Ia telah memusnahkan semua suku yang dulunya mendiami pesisir laut.

- Benjamin Franklin yang, menurut kaum primitivis, adalah “penemu” listrik, dan beberapa yang lain - meskipun para ilmuwan rakyat akan memprotes bahwa ia menemukan listrik tidak lebih sama seperti Columbus menemukan Amerika. Mungkin “sang penjinak” adalah istilah yang lebih tepat? Bagaimanapun, kembali ke cerita kita.

Ketika peradaban imperialis Eropa mulai menyebarkan penyakit kankernya ke seluruh dunia, bir dengan loyal memimpin serangan tersebut. Pedagang pertama, Hansa, mengekspor bir sampai ke India. Kolonisasi Amerika Serikat dimulai ketika para peziarah mendarat di Plymouth Rock, bukannya lebih jauh ke selatan seperti yang direncanakan, karena mereka kehabisan perbekalan: “terutama bir kami.” Para pendiri negara, termasuk Washington dan Jefferson, serta bangsawan pemilik budak, semuanya adalah pembuat bir. Kebetulan?

Fondasi dari genosida kolonialisme mengandung bau mimpi buruk yang panjang dan berlarut-larut akibat alkohol – hampir setiap budaya asli yang ditemui orang Eropa, dihancurkan oleh alkohol dan penyakit yang datang dari Eropa. Penyebaran “air api” di kalangan penduduk asli Amerika Utara berjalan seiring dengan distribusi selimut yang dipenuhi penyakit cacar. Banyak dari budaya-budaya ini, yang tidak memiliki pengalaman alkoholisme beradab selama ribuan tahun, menjadi lebih rentan terhadap kerusakan akibat “minuman beradab” dibandingkan orang-orang Eropa. Dikepung diantara alkohol, penyakit, perdagangan, dan senjata, sebagian besar dari mereka (yang terjajah) dengan cepat dihancurkan secara total. Proses ini tidak hanya terjadi di Amerika Utara – proses ini juga terjadi di seluruh dunia dalam setiap upaya kolonial Eropa. Meskipun obat yang dipilih bervariasi (misalnya candu, seperti dalam “Perang Candu” yang dilancarkan Inggris untuk mengendalikan Tiongkok), alkohol dinilai di banyak negara sebagai alat pengamanan yang paling dapat diterima secara sosial.

Revolusi Industri dipercepat oleh prospek pembuatan bir sepanjang tahun, karena suhu yang diperlukan untuk pembuatan bir hanya terjadi secara alami di musim dingin. Mesin uap yang ditemukan oleh James Watt segera diterapkan oleh Carl von Linde untuk memungkinkan pendinginan buatan, memungkinkan mereka yang memiliki infrastruktur peradaban (modern) untuk membuat bir kapan saja, di mana saja. Bertentangan dengan kepercayaan umum, Louis Pasteur menemukan pasteurisasi untuk pembuatan bir, dan baru kemudian diadopsi oleh industri susu. Ragi, yang ditemukan secara alami di udara, bahkan tidak lagi digunakan dalam pembuatan bir modern, karena para ilmuwan telah mengisolasi satu sel ragi dan menginduksi reproduksi buatannya untuk pembuatan bir. Setelah penemuan jalur perakitan, bir diproduksi secara massal dalam skala yang semakin besar. Selama dua abad sejak itu, industri alkohol – seperti semua industri kapitalis – telah dikonsolidasikan oleh beberapa perusahaan besar yang dikendalikan secara feodal oleh keluarga-keluarga seperti sindikat bir Anheuser-Busch yang terkenal (terkenal karena hubungannya dengan kelompok sayap kanan dan fundamentalis agama). Mengenai hubungan lain antara alkohol dan aktivitas sayap kanan/fasis — mungkin pembaca akan ingat bagaimana Hitler memulai pengambilalihannya atas Jerman.

Lawan Kapitalisme – Berhenti Minum

Maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa alkohol telah memainkan peranan penting dalam epidemi fasisme, rasisme, statisme, imperialisme, kolonialisme, seksisme dan patriarki, penindasan kelas, perkembangan teknologi yang tidak terkendali, takhayul agama, dan hal-hal buruk lainnya yang melanda bumi selama beberapa milenium terakhir. Peran tersebut masih terus dimainkan hingga saat ini, ketika masyarakat di seluruh dunia, yang pada akhirnya didomestikasi dan diperbudak oleh kapitalisme global, tetap tenang dan tidak berdaya karena pasokan “roh” (spirits, bisa bermakna ganda sebagai roh atau minuman keras) yang terus menerus. “Roh-roh jahat” ini membuat kita menyia-nyiakan waktu, uang, kesehatan, fokus, kreativitas, kesadaran, dan kemungkinan persekutuan semua orang yang menghuni wilayah yang diduduki/dijajah secara universal ini – “bekerja/pekerjaan adalah kutukan bagi kelas peminum alkohol,” seperti yang dikatakan Oscar Wilde. Tidak mengherankan, misalnya, target utama iklan minuman keras malt (produk sampingan beracun dari proses pembuatan bir) adalah para penghuni ghetto di Amerika Serikat: orang-orang yang merupakan bagian dari kelas yang, jika tidak dibius dengan penambahan (dosis) dan pelumpuhan melalui penghancuran diri, akan berada di garis depan perang (perang kelas) untuk menghancurkan kapitalisme.

Peradaban – dan segala sesuatu yang berbahaya dan mengerikan yang ditimbulkannya – akan runtuh ketika muncul gerakan perlawanan yang dapat membendung banjir alkohol yang melumpuhkan massa. Dunia kini menantikan sikap bersahaja yang dapat mempertahankan diri, visi radikal yang tidak terpengaruh oleh minuman keras, ketenangan revolusioner yang akan mengembalikan kita ke keadaan liar yang penuh kegembiraan.

Warisan Anti-Otoritarian Kita: Teetotalers Melawan Totalitarianisme

Tidak banyak yang ingat bahwa vegetarianisme ketat dan pantangan minuman keras merupakan hal yang lazim di kalangan radikal selama berabad-abad. Kita hanya perlu menelusuri buku-buku sejarah untuk mengumpulkan daftar panjang para bidah, utopis, reformis, revolusioner, komunitarian, dan kaum individualis yang mengadopsi pilihan gaya hidup ini sebagai elemen penting dari platform (politik) mereka.

Kami serahkan pembuatan daftar tersebut kepada pembaca yang antusias atau kritikus yang obsesif — cukuplah dikatakan bahwa contohnya berkisar dari orang kulit putih tua seperti Friedrich Nietzsche, yang bahkan menghindari kafein sambil memuji jenis bacchanalisme gembira yang dijelaskan di sini, N. Vachel Lindsay, gelandangan visioner dari Springfield, Illinois yang melintasi Amerika Serikat di masa awal “terbentuknya” untuk berbagi seruan puitisnya tentang kesederhanaan dan pengangguran yang disengaja, dan Jules Bonnot dan rekan-rekan perampok bank anarkisnya, yang bersama-sama menciptakan mobil “kaburnya”, kepada Malcolm X (tentu saja), dan ezln - yang melarang alkohol sesuai nasihat wanita Zapatista yang muak dengan omong kosong pria. (Pemerintah kapitalis Meksiko telah mencoba melemahkan aktivitas revolusioner dengan mengimpor bir ke desa-desa seperti Ocosingo; di kota tersebut dan kota lainnya; Zapatista telah meresponsnya dengan mendirikan barikade dan melawan tentara yang akan memaksakan “perdagangan bebas” ini kepada mereka.) Salah satu lagu terbaik Public Enemy menyerang peran alkohol dalam eksploitasi dan penindasan terhadap komunitas Afrika-Amerika. Anda dapat bertaruh bahwa anarkis Leon Czolgosz sangat sadar ketika dia menembak mati Presiden William McKinley. Oh, dan — bisakah kita melupakannya? — selalu ada Ian McKaye.

Di sisi lain – dapatkah Anda bayangkan betapa jauh lebih banyak kemajuan yang bisa kita capai dalam perjuangan ini jika kelompok anti-otoriter seperti Nestor Makhno, Guy Debord, Janis Joplin, dan banyak anarko-punk memusatkan lebih banyak energi pada penciptaan dan kehancuran dunia yang mereka sangat cintai, dan less on drinking themselves to death?

Cukup dengan Sejarah! Saatnya Masa Depan di mulai!

Mungkin begitu banyak pembicaraan tentang masa-masa yang jauh dan orang-orang yang membuat Anda “kedinginan”. Tentu saja, sejarah bisa saja mati – dan sejarah kemenangan tentara serta Presiden penjagal massal memang merupakan sejarah kematian. Meski begitu, kita bisa belajar dari masa lalu, seperti dari satu sama lain, jika kita menerapkan imajinasi kita dan jeli terhadap pola. Sejarawan profesional dan rekan sesama budak mereka, mungkin menyebut kisah ini subjektif atau bias, tapi sejarah mereka yang mana yang tidak bias? Lagipula, kami bukanlah orang-orang yang gajinya bergantung pada sponsor dan patronase perusahaan!

Bahkan jika Anda memutuskan bahwa sejarah alkoholisme ini adalah “kebenaran”, demi Tuhan, jangan buang waktu melihat kembali ke masa lalu untuk mengetahui kondisi ketenangan primitif yang telah lama hilang yang – kita semua tahu – bahkan mungkin tidak akan akan pernah “ada”. Yang penting adalah apa yang kita lakukan saat ini, sejarah apa yang tercipta dari tindakan kita saat ini. Sejarah adalah residu – bukan, lebih baik, kotoran – dari aktivitas tersebut; janganlah kita tenggelam di dalamnya seperti ragi, tetapi pelajarilah apa yang harus kita lakukan dan kemudian tinggalkan.

Jangan biarkan apa pun menghentikan kita, bahkan alkohol, yang sudah mendarah daging dalam budaya kita! Orang-orang lalim yang mabuk dan orang-orang fanatik yang berperut buncit mungkin menghancurkan dunia mereka dan menyembunyikan sejarah mereka, namun kita mempunyai masa depan baru di hati kita – dan kekuatan untuk mewujudkannya dalam hati kita yang sehat.

Tentang

Esai awalnya muncul sebagai analisis budaya yang simpatik namun tegas dan komedik dalam edisi reuni Inside Front, jurnal internasional punk hardcore dan anarchist action, yang diterbitkan oleh Crimethlnc. Ex-Workers Collective pada tahun 2003.

Crimethinc. kita terikat pada pergelangan kaki para taipan minuman keras yang tenggelam.

Edisi khusus Anarchy & Alcohol ini dirilis untuk memperingati musim semi keempat bebas alkohol sang desainer.

Jika Anda sedang bergulat dengan kecanduan alkohol, tulislah surat ke lingkaran pemulihan kami untuk mendapatkan strategi yang lebih bijaksana dari beberapa dari kami yang telah menghentikan kebiasaan tersebut.

Alcoholics Autonomous

Post Office Box 765 Winona, MN 55987

https://crimethinc.com

[1] beberapa dari kita di skena kiri biasa menyebut mereka manusia normies – pentj.

[2] Kemabukan, opium of the masses – pentj.

[3] Pada akhirnya hanya mengarah pada low pleasure act yang kadang melanggengkan sistem dominasi – pentj.

[4] dan perpustakaan atau kolam pancing atau taman bunga kalo menurut keinginan pentj.

[5] Bacchanalia adalah sebuah festival masyarakat Romawi untuk memuja dewa anggur Dionysius, kebebasan, kemabukan dan ekstasi. Bandingankan dengan konsep Apolo versus Dionysius-nya Nietszche. Jadi Lucid Bacchanlian dapat berarti pengikut kemabukan Dionysian tapi sober – pentj.

[6] Alkohol – pentj.

[7] Dalam komunikasi dan bersosialisasi – pentj.

[8] Konsep kebebasan negatif dalam filsafat kebebasan - pentj

[9] Terjemahan dari: Ecstatic sobriety atau mungkin bisa diterjemahkan sebagai ketenangan hati yang ekstatik? – pentj

[10] Pentj.

[11] Orang bodoh akan tetap bodoh, terlepas dari dia mabuk atau tidak – pentj.

[12] Contoh peer pressure untuk mabuk bersama-sama – pentj.

[13] Rigid militancy, sangat disarankan membaca buku Joyful Militancy (2017: AK Press) perihal isu ini.