Anarki Adalah Kekerasan?

Seringkali kita mendapati kebusukan makna anarki yang terus di budayakan oleh negara, media dan masyarakat kita ini, sebagian besar dari kita masih percaya kepada anggapan kuno yang menempatkan kekerasan sebagai tindakan anarkis. Misalnya, sebuah media massa memberi judul beritanya seperti ini : Ratusan Orang Terlibat Bentrok dalam Demo yang Awalnya Berjalan Damai. Bahkan omong kosong tak berhenti di situ, pernah aku membaca sebuah kalimat dalam berita yang di tayangkan oleh media online yang cukup besar, penulis dalam berita tersebut menulis, “Aparat bertindak anarkis atas dasar pengamanan kerusuhan”. Maksudku, serius? Aparat yang merupakan salah satu musuh besar para anarkis ini juga “bertindak anarkis”? Tak henti aku tertawa di buatnya.

Kekeliruan yang selama ini mereka percaya tentang istilah anarkis adalah apa yang di inginkan negara, negara yang selalu ingin membodohi. Sederhananya, agar di pusat dan daerah tak ada demonstrasi, maka pada setiap aksi massa yang khususnya berbuntut ketegangan antara aparat dan para demonstran – yang kemudian ketegangan tersebut berbuntut pengrusakan barang maupun kekerasan terhadap aparat – akhirnya peristiwa kerusuhan tersebut akan mudah diberi label anarkis, meski aksi massa yang berakhir dengan kerusuhan itu dilakukan dengan cara-cara reformis yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan anarkis.

Anggapan yang keliru mengenai istilah anarkis ini juga mengakar dalam sepak bola. Tidak, aku sedang tidak bicara mengenai ST. Pauli atau pun Kronstadt FC, melainkan sepak bola Indonesia. Di sini, berbagai kerusuhan antar suporter atau pun pengrusakan kursi-kursi di tribun akan mudah diberi label “tindakan anarkis” oleh media-media dan bahkan oleh para suporter keras kepala yang juda ada dalam kerumunan.

Anarki dan sepak bola bukanlah hal yang tak dapat di satukan

Di Swiss, terdapat perpustakaan yang dinamai CIRA, singkatan dari International Centre for Research on Anarchism. Selain mencakup ribuan buku dan artikel hasil karya para pemikir anarkis di era terdahulu seperti Kropotkin, Proudhon, Bakunin, Berkman hingga Goldman – ada yang menarik yang dapat kita jumpai di CIRA, yaitu sebuah pamflet Anarchist Football (Soccer) Manual yang diinisiasi oleh Gabriel Kuhn yang merupakan mantan pemain sepak bola asal Austria. Kuhn juga pernah menulis sebuah buku yang ia beri judul Soccer vs. the State: Tackling Football and Radical Politics.

Piala Dunia 2006 adalah awal yang baik bagi kemunculan pamflet AFM. AFM sendiri berisi seruan penolakan terhadap sepak bola modern yang dewasa ini lebih mirip sebagai olahraga kaum kelas menengah ngehek dan juga di kendalikan oleh para kelas menengah itu sendiri, atas dasar kepentingan kapital.

Kuhn, dalam pamflet itu juga berusaha memberi penyadaran terhadap masyarakat luas mengenai industrialisasi sepak bola yang tidak hanya mengeksploitasi suporter, melainkan juga berdampak kepada para pemain dan pelatih itu sendiri. Industrialisasi sepak bola juga perlahan tapi pasti melenyapkan rasa solidaritas antar individu mau pun kolektif. Hal ini terbukti dengan sebagian dari kita yang rela melakukan apa pun, bahkan membunuh suporter lawan, atas dasar membela klub kebanggaan yang di akibatkan oleh “loyalitas” dan fanatisme yang berlebihan. Ini aneh, karena sebagian dari kita yang mengaku mencintai sepak bola ternyata hanya mencintai suatu klub yang dianggap sebagai identitas bahkan warisan, maka jangan heran jika sebagian dari kita juga lebih senang berkelahi ketimbang mengurusi berbagai kejanggalan yang dibuat oleh manajemen atau pun federasi.

Menyebrang ke Latin

Di Argentina pada tahun 1908, sudah lebih dulu terdapat sebuah klub dengan nama Atletico Libertarios Unidos (Libertarians United), klub tersebut didirikan atas dasar perlawanan terhadap pemerintah yang menganggap mereka subversif.
Kita juga mungkin mengenal sebuah semboyan yang berbunyi “In soccer you learn how to act in solidarity”, yang merupakan semboyan dari klub Argentinos Juniors. Klub tersebut juga didirikan oleh para martir anarkis di Argentina sebagai bentuk penghormatan kepara para pejuang Haymarket Anarchists dan Chacarita Juniors.

Beralih ke Eropa

Di Kroasia pada tahun 1912, para kelas pekerja yang merasa hidup dalam belenggu kemiskinan, mendirikan sebuah klub yang mereka namai RNK Split of Croatia. Klub itu tidak hanya didirikan untuk memaknai sepak bola sebagai olahraga rakyat, melainkan juga memiliki peran yang besar terhadap penyebaran ide-ide anarkis di Kroasia.

Kita juga mungkin mengenal FCUM, dan tentunya nama besar yang menakutkan seperti ST. Pauli, kedua klub tersebut juga memiliki semangat kolektif anarki yang besar. Kedua klub dari dua negara yang berbeda tersebut memiliki visi dan misi yang sama, yaitu menolak sepak bola modern yang dewasa ini semakin membusuk oleh kepentingan kapitalis dan tidak acuh terhadap para suporter.

Masih di negeri ratu Elizabeth, tepatnya di Bradford, para anarkis rutin menggelar sebuah turnamen sepak bola setiap perayaan Mayday yang jatuh pada tanggal 1 Mei. Dan dengan semangat yang sama, berdirilah Cowboys Easton dan Cowgirls, di Bristol. Bahkan pada 1998, Cowboys Easton dan Cowgirls menggelar sebuah turnamen yang mereka beri nama Piala Dunia Tandingan. Langkah yang mereka ambil pun mendapat apresiasi dari Subcomandante Marcos, hingga mereka diundang untuk bermain sepak bola di Chiapas – hampir mirip seperti “kerjasama” yang dilakukan oleh Inter Milan dengan para masyarakat adat yang biasa dikenal dengan nama Zapatista tersebut pada tahun 2005.

Dari berbagai klub hingga turnamen yang didirikan atau digelar oleh para anarkis diatas, sudah saatnya kita melenyapkan anggapan bahwa anarki hanyalah sekadar kekerasan atau pun kerusuhan.

Anarki secara teori politik ada untuk menghapuskan hierarki dalam masyarakat. Kata “anarki” sendiri adalah serapan dari bahasa Yunani, anarchos/anarchein. Kata ini merupakan bentukan dari “A” yang berarti tidak, tanpa, nihil atau negasi. Kemudian disisipi “N” dengan archos/archein yang berarti pemerintah, kekuasaan atau pihak yang menerapkan kontrol dan otoritas – secara koersif, represif, termasuk perbudakan dan tirani. Maka sederhananya, anarki memiliki arti; tanpa ada yang diperintah, tanpa ada yang memerintah. Dengan anarki, kita akan belajar memahami bahwa kita semua tertindas – baik oleh sistem pemerintahan, kapitalisme, ruang lingkup sosial dan negara, tentunya. Oleh karena itu, anarki memandang negara sebagai instrumen politik yang akan terus melahirkan penindasan, bahkan dengan cara-cara “halus” yang kadang menghipnotis kita agar tak langsung merasa tertindas.

Dan, apa yang terdapat dalam sepak bola modern ini juga sama, ia menjebak kita dalam zona nyaman lain yang akhirnya menghipnotis kita agar tak menyadari eksploitasi di “belakang layar”, contohnya sebagian dari kita yang berpikir bahwa untuk mendukung suatu klub adalah berarti dengan membeli tiket semahal apa pun harganya, membeli jersey original karena jersey palsu dianggap merugikan klub secara finansial, dan lain sebagainya. Sepak bola modern memaksa kita untuk berubah dari suporter, menjadi sekadar penonton. Dan hasilnya adalah dewasa ini jumlah para moralis semu di tribun-tribun semakin banyak, mereka yang mengatakan “kampungan!” terhadap orang-orang yang menyalakan suar atau bom asap, mereka yang selalu banyak melarang dengan dalih melindungi klub dari sanksi, tapi di sisi lain mereka tak sadar bahwa selama ini mereka juga dijadikan sapi perah oleh klub yang mereka dukung. Mereka percaya indentias harus dijaga, tapi nyatanya identitas itu hanyalah semu.

Maka dari itu, anarki dan sepak bola bukanlah sekadar dongeng yang melukiskan utopia belaka, tapi juga bisa berdampingan dan menjadi senjata untuk melawan penindasan dalam dunia sepak bola mau pun isu-isu yang lebih luas – mirip seperti peristiwa bersejarah di mana para suporter di Istanbul bersatu dan melenyapkan embel-embel rivalitas untuk melawan penguasa. Tapi, jika masih ada saja yang percaya bahwa anarki adalah sekadar kekerasan, cobalah bisikan ke telinga mereka, cinta memang terkadang hanya bisa timbul melalui selongsong senjata. Dan anarki dalam sepak bola? Kenapa tidak?