Title: Queer Radikal dan Perjuangan Kelas
Subtitle: Sebuah Padanan untuk Dipadukan
Author: Gayge Operaista
Language: Bahasa Indonesia
Date: 2021/11/04
Notes: Teks aslinya berjudul "Radical Queers and Class Struggle: A Match to Be Made" oleh Gayge Operation. DIterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Gia.

Artikel berikut muncul sebagai suatu bab dalam antologi Anarkisme Queer 2012: Queering Anarchism: Addressing and Undressing Power and Desire, yang dieditori oleh C.B. Daring, J. Rogue, Deric Shannon, dan Abbey Volcano yang bertema politik queer radikal dan anti-kapitalisme. Kita diingatkan oleh sebuah kutipan dari tokoh komunis libertarian Prancis Daniel Guérin (1904-1988): “Agar sosialisme tidak menjadi lelucon, kita, kaum homoseksual, memiliki peran dalam perjuangan kelas.”

Sementara para queer radikal yang mengidentifikasi diri dengan anarkisme, anti-otoritarianisme, dan/atau anti-kapitalisme terkesan terus mengalami kemajuan, ada kesalahan makna yang besar tentang perjuangan kelas dalam kelompok queer radikal itu sendiri dan kurangnya analisis kelas, yang dapat merugikan analisis queer secara khusus maupun analisis anti-kapitalisme secara umum. Mari kita hadapi kenyataan bahwa tugas kita bukanlah menciptakan anarkisme “queer”, yang telah menandai setiap proyek kontra-budaya para aktivis edgy di luar sana, hingga ke titik di mana hanya ada sedikit kesamaan makna tentang ini di antara kaum radikal, demikian pula bagi queer yang berada di lingkungan radikal. Tugasnya adalah agar queer radikal dapat menjadi pejuang kelas yang militan. Kita harus terus bergerak menuju praksis queer yang holistik. Praksis yang memeriksa kondisi-kondisi kehidupan semua queer, juga menempatkan kehidupan tersebut dalam konteks yang lebih luas, yaitu perjuangan semua kelas pekerja dan kaum tertindas. Ini bukan hanya sebentuk solidaritas dan menolak untuk maju sendiri-sendiri meninggalkan queer lainnya, tetapi juga kesadaran bahwa pembebasan queer terkait erat dengan pembebasan kelas pekerja.

Para queer, sebagaimana kaum tertindas lainnya, sangat terdampak oleh kapitalisme, dan ini utamanya berlaku bagi kelompok queer yang seringkali terpinggirkan, diabaikan, atau ditinggalkan oleh queer lainnya dan gerakan-gerakan feminis, misalnya: queer kulit berwarna, trans, orang-orang dengan gender yang sangat beragam, queer penyandang disabilitas, dan pekerja seks queer. Banyak queer anarkis dan anti-kapitalis lain yang datang dari latar belakang anti penindasan. Namun sementara analisis di kalangan anti-penindasan terus berkembang, pemahaman semakin berkembang, serta pembahasan interseksionalitas terus berlangsung, analisis anti penindasan yang baik saja tidaklah cukup. Kita perlu menjadi anti-kapitalis dan mengerti bagaimana kapitalisme bekerja untuk benar-benar memahami kondisi hidup kelas pekerja, dari mereka yang berjuang melawan banyak sistem penindasan, hingga ke “kelas menengah” yang berada di posisi (seringkali hanya sementara) nyaman di komplek perumahan. Lewat pengertian perjuangan kelas ini, kita dapat berkontribusi pada gerakan massa untuk pembebasan kolektif.

Tanpa pemahaman perjuangan kelas ini, kritik kita terhadap negara menjadi cacat dan terbatas. Kita mesti memiliki pemahaman perjuangan kelas untuk melihat negara sebagai instrumen dominasi sebuah kelas terhadap kelas-kelas lainnya, dan melihat proyek anti-negara sebagai hal yang diperlukan untuk menghancurkan negara borjuis sebagai bagian tak terpisahkan dari proyek penghapusan semua kelas. Ini merupakan proyek sosial, bukan antisosial. Seperti yang dikatakan Kropotkin, kita menginginkan ketiadaan penguasa, bukan ketiadaan aturan, kita gagal menyadari bahwa perjuangan kelas memandang negara sebagai institusi terpisah, bukan sebuah alat perjuangan kelas. Hal ini juga dapat membuat kita memuja sikap antisosial sebagai semacam perlawanan kepada negara, padahal kenyataannya merupakan sikap yang kekanak-kanakan, sia-sia dan reaksioner. Tidak seperti Leninis, kita tidak ingin merebut negara atau bahkan menggantinya dengan negara “proletar”. Kita tahu bahwa jika kelas tetap ada setelah revolusi, dan masih adanya kebutuhan akan badan pemerintahan hegemonik yang terpisah dari rakyat untuk memelihara hubungan sosial, berarti revolusi telah gagal.

Namun, banyak queer datang ke gerakan anti-kapitalis yang mempertahankan ide-ide liberal tentang kelas dan bagaimana kapitalisme bekerja, berpandangan bahwa kelas hanyalah cara lain untuk menentukan seseorang dapat ditindas atau diistimewakan, bukan sebagai relasi terkait alat produksi yang terus-menerus diciptakan dan direproduksi. Menerapkan analisis anti-penindasan ke teori kelas ternyata bermasalah dalam banyak hal. Mengakibatkan kita terus menggunakan definisi kelas yang dicekoki kaum borjuis kepada kita untuk memecah belah kelas pekerja dan meyakinkan anggota kelas pekerja untuk melawan kepentingan mereka sendiri. Ini membuat kita enggan membicarakan bagaimana dan mengapa beberapa queer sangat terdampak oleh kapitalisme, dan mengakibatkan kita terlalu sering mengabaikan perjuangan kaum trans misalnya, serta menganggap mereka sebagai orang-orang yang merelakan diri keluar dari kelompok. Seolah status sebagai “kelas menengah” adalah hal yang mutlak tidak dapat diubah atau sebuah warisan, bukan sebuah istilah yang sebenarnya diciptakan agar sebagian kelas pekerja memihak kapitalis melawan kelas pekerja.

Solusinya tentu saja adalah mendidik diri kita sendiri tentang perjuangan kelas dan kapitalisme, serta melihat gerakan pembebasan queer sebagai bagian yang tak terpisahkan dari perjuangan kelas pekerja dan sangat dibutuhkan.

Tentang “Kelas-isme”

Kalangan anti-penindasan biasanya menuliskan daftar penindasan yang harus kita lawan, dan seringkali “kelas-isme” termasuk di dalamnya. Dengan mengesampingkan fakta bahwa daftar tersebut sering tidak mencangkup keseluruhan, misalnya kapitalisme disebut struktur yang berbeda dari supremasi kulit putih atau heteropatriarki. Kita tidak berhenti terlibat dalam praktik yang saat ini disebut partisipasi queer dalam menghancurkan heteropatriarki; namun tujuan perjuangan anti-kapitalis harus menjadi perlawanan dimulai dari kelas kapitalis (melalui perampasan alat-alat produksi), selanjutnya kelas pekerja, sebagaimana eksploitasi tenaga kerja berakhir dengan mengambil kontrol atas tenaga para pekerja dan kebutuhan hidup yang tercukupi, penghapusan properti, serta sosialisasi alat-alat produksi. Perjuangan yang kurang dari ini berarti perjuangannya hanya melawan elitisme kelas, hanya ingin orang kaya memperlakukan kita dengan lebih baik, agar kehidupan orang miskin tidak terlalu sulit. Ini bukanlah tujuan akhir yang ingin kita capai. Kita ingin dunia tanpa kaya dan miskin, dan ini adalah saatnya bagi analisis, pengorganisasian, serta aksi yang kita lakukan mencerminkan hal itu!

Lebih lanjut, karena analisis kelas berangkat dari analisis liberal atau reformis, maka ada kecenderungan menuduh kelas-isme akan mempertahankan perpecahan di dalam kelas pekerja, untuk membungkam, menghapus, atau membuat orang-orang yang terkucilkan tidak berdaya, dan untuk membuat berbagai pengalaman para queer tidak terlihat. Dan ini semua mengacu pada analisis kelas yang keliru. Restrukturisasi kelas pekerja setelah Perang Dunia II, khususnya setelah industrialisasi dunia, menyebabkan kelas pekerja memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi, serta lebih banyak pekerjaan di bidang jasa dan teknik. Sementara itu, banyak pekerjaan dengan stereotip di bagian perakitan (produksi) berpindah ke negara berkembang atau tergantikan oleh mesin. Definisi sosiologis kelas yang didasarkan pada stereotip lama tentang pendidikan dan pekerjaan yang dilakukan tidak hanya menutupi relasi sosial, tapi juga mengaburkan realitas proletariat di dunia paska industri. Lebih jauh lagi, anggapan tentang siapa “proletariat sejati” dan apa kemampuan intelektual para “proletariat sejati” menghina mereka yang melakukan pekerjaan kerah biru atau pekerja kasar, dan berfungsi menanamkan anti-intelektualisme ke dalam gerakan massa, atau untuk mempertahankan pekerjaan intelektual sebagai bidang khusus akademisi. Juga, dengan meningkatnya privatisasi pendidikan dan meningkatnya biaya pendidikan tinggi baik negeri maupun swasta, pinjaman hutang mahasiswa menjadi faktor yang memperbesar perjuangan proletariat. Berpura-pura menganggap mitos “kelas menengah”—yang terdiri dari orang-orang di luar pekerja pabrik yang sudah semakin langka—itu ada, membuat kita terpecah dalam medan perjuangan penting. Seringkali, diskusi kelas berubah menjadi persaingan tentang siapa yang masa kecilnya lebih sulit daripada membicarakan bagaimana kita membebaskan diri kita sendiri. Memang, ada perbedaan sosial ekonomi yang nyata di dalam beragam kelompok kelas pekerja, tetapi kita tidak bisa membiarkan hal itu mengaburkan analisis kita mengenai kelas secara keseluruhan.

Untuk mengatasi pertikaian internal, analisis yang keliru, dan pengikisan perjuangan, kita membutuhkan analisis kelas yang benar-benar anti-kapitalis. Kita perlu memahami kapitalisme sebagai terciptanya sistem kelas berdasarkan hubungan dengan alat-alat produksi, dan memahami bahwa bagian penting dari perjuangan kelas pekerja dalam menghancurkan kapitalisme adalah memenangkan perjuangan sehari-hari, seperti jam kerja yang lebih sedikit, gaji yang lebih, lingkungan yang lebih aman dan nyaman, sejauh hal-hal tersebut mengurangi nilai yang dicuri kapitalis dari kita dan dapat dimenangkan secara langsung tanpa perantara. Tujuan lain perjuangan sehari-hari adalah menciptakan dan memelihara pengorganisasian mandiri yang efektif. Memenangkan perjuangan ini tidak membuat pekerja keluar dari kelas pekerja, dan dapat (serta harus, jika kita kelas pekerja ingin membebaskan diri) memperbaiki kondisi yang sedang kita perjuangkan, juga membangun kapasitas dan kemampuan kita dalam perjuangan dengan mendorong organisasi mandiri yang kita bentuk sebagai sebuah kelas. Merupakan hal yang bodoh bila kita menerima logika yang sama yang digunakan kapitalis untuk memecah belah kita sehingga sibuk melawan kaum kita sendiri.

Kelemahan lain dari analisis sosiologis/liberal tentang kelas sebagai salah satu jenis penindasan ini juga merupakan langkah awal dalam menghancurkan solidaritas kita dengan seluruh proletariat. Ketika kita melihat kelas sebagai cara orang miskin ditindas dan bahwa apa yang disebut kelas menengah dan kapitalis mendapat keistimewaan (dengan kaum kapitalis lebih diistimewakan ketimbang kelas menengah), kita akan terperangkap ke dalam perdebatan tentang siapa yang dianggap sebagai kelas pekerja; apakah queer yang dibesarkan oleh orang tua tunggal di tengah kemiskinan akan berhenti menjadi kelas pekerja ketika dia bekerja menjadi guru di sekolah? Apakah perjuangan seorang transgender yang tidak bisa mendapatkan pekerjaan tetap dalam kapitalisme dianggap tidak sah hanya karena ia dibesarkan dalam rumah tangga dengan orang tua yang lengkap di pemukiman elit? Apakah kita menghapus kaum pekerja kulit putih cis heteroseksual dalam perjuangan kita karena mereka dianggap orang-orang memiliki lebih banyak keistimewaan atau privilese? Apakah kaum queer kulit putih dapat terus memperlakukan orang kulit berwarna sebagai fetish, menyamakan ras dengan kelas, tanpa analisis lebih dalam tentang bagaimana kapitalismelah yang membangun dan memelihara rasisme? Kita tidak dapat menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan ini dalam lingkaran queer anarkis sambil mempertahankan analisis kelas yang berasal dari politik anti-penindasan berdasarkan sosiologi atau liberalisme.

Namun bagaimanapun juga, kelemahan paling serius dalam memposisikan kelas hanya sebagai salah satu bentuk penindasan adalah kegagalan menyadari, meminjam pernyataan Marx, bahwa pekerja adalah orang-orang dengan rantai-rantai yang mengakar; eksploitasi kelas pekerja adalah dasar keseluruhan sistem yang ingin kita hancurkan, dan hanya dengan mengenali, melawan, dan menghancurkan rantai-rantai tersebut maka setiap kita dapat terbebaskan. Ketika kita mulai menyadari hal tersebut barulah kita dapat memahami bagaimana stratifikasi berdasarkan ras, gender, dan seksualitas dibangun ke dalam kelas pekerja sebagai alat kontrol dan hipereksploitasi serta merupakan bidan bagi kelahiran kapitalisme.

Melampaui Batasan Politik Identitas

“Queer” muncul sebagai kritik terhadap asumsi-asumsi yang mendasari politik identitas. Asumsi-asumsi tersebut beranggapan bahwa kelompok tertindas dapat didefinisikan dengan jelas, memiliki batasan-batasan yang persis, bahwa semua anggota kelompok tertindas memiliki keinginan dan kebutuhan yang sama, dan bahwa sebagian kecil dari kelompok itu dapat berbicara mewakili seluruh anggota kelompok. Istilah “queer” sengaja direbut kembali sebagai istilah solidaritas dan perjuangan, serta untuk memasukkan orang-orang gay, lesbian, bi/panseksual, trans, dan orang-orang yang tidak memasukkan gendernya ke dalam kategori apa pun. Awalnya, ada pengakuan bahwa kelompok-kelompok ini memiliki keinginan dan kebutuhan yang berbeda, tetapi akhirnya bersatu karena penindasan berbasis gender dan seksualitas. Bagaimanapun, gerakan pembebasan queer yang tetap berakar pada politik identitas telah membawa kita kepada perdebatan tentang batasan-batasan queer yang jelas dan tentang masalah kelompok mana yang lebih penting, pada saat bersamaan kita berlaku seolah kita tidak ikut serta dalam politik identitas, dan dengan demikian dapat mengabaikan perbedaan kekuatan yang nyata terjadi dalam komunitas queer. Untuk membebaskan diri dari aspek negatif politik identitas, kita harus melihat situasi yang menyangkut kondisi materiil dan pengaruh-pengaruh spesifik pada sub-kelompok tertentu, serta perjuangan dari situasi materiil tersebut.

Lebih jauh lagi, dengan mendefinisikan perjuangan bersama hanya pada hal-hal seputar queer saja, kita dihadapkan pada pertanyaan apakah kita mau mengorganisir perjuangan yang sama dengan queer borjuis. Walaupun kalangan queer yang anarkis/anti-otoritarian/anti-kapitalis membuat pernyataan besar ketika mengamini “anti-asimilasi” dan anti-kapitalisme, seringkali analisisnya merosot menjadi sekadar “menjadi serupa orang heteroseksual itu buruk” dan “kapitalisme itu buruk”. Dengan memukul rata bahwa semua “kaum heteroseksual” adalah kelompok yang secara hegemonik menindas “kaum queer”, maka alasan kita tidak ingin berasimilasi adalah karena tidak ingin menjadi seperti mereka. Hal ini akan membuat kita sangat mudah mengabaikan perjuangan-perjuangan yang secara tidak langsung berdampak pada komunitas queer secara keseluruhan, serta mereduksi anti-asimilasi menjadi sekadar jalan untuk mendikte hasrat dan identitas queer lainnya.

Kita perlu menentang institusi pernikahan yang didukung negara karena ia memperkuat keluarga inti sebagai unit kapitalisme yang konsumtif dan reproduktif, bukan karena banyaknya jumlah orang-orang heteroseksual yang menikah. Mencoba memutarbalikkan hirarki hubungan demi mempermalukan orang-orang yang bahagia dalam hubungan jangka panjang dan berumah tangga dengan pasangannya tidak serta merta membawa kita selangkah lebih maju dalam mengakhiri kapitalisme dan penindasan. Ia hanya akan menjadi salah satu metode dalam mendikte identitas, ekspresi, dan jalan hidup orang lain dalam komunitas kita. Jika anti-asimilasi memang benar-benar bermakna, maka ia harus dibangun di atas gagasan bahwa kita ingin menghancurkan tatanan yang ada saat ini dan membantu membangun dunia yang lebih baik, bukan malah memisahkan diri kita dengan kaum heteroseksual karena pengertian queer sendiri adalah kelompok yang tidak mengkungkung dirinya dalam kelompok mana pun dan dapat terpisah dari pengelompokkan apa pun di dunia.

Penting pula untuk terus mengingat kepentingan kelas; tidak peduli seberapa baik para queer borjuis memainkan peran queer “radikal”, kita hanya dapat menemukan sedikit kesamaan kepentingan dengan mereka, dan memiliki lebih banyak kesamaan kepentingan dengan kelas pekerja heteroseksual. Jika kita menganggap bahwa kita memiliki persamaan karena sama-sama queer, kita tidak hanya akan dipaksa untuk mengabaikan cara-cara penindasan lain yang terjadi atas kita, kita serta merta juga akan menganggap queer borjuis sebagai sekutu sedangkan kelas pekerja heteroseksual adalah musuh. Kita fokus berjuang hanya untuk satu hal dari kaum queer borjuis, yaitu mengambil kembali apa yang menjadi hak kita, dan berbagi di antara kita sendiri sesuai dengan kebutuhan kita sendiri. Ini juga hal-hal yang kita ingin tuntut dari para borjuis heteroseksual, dan akhirnya kita menemukan semakin banyak kelas pekerja heteroseksual yang memiliki kesamaan keinginan dengan kita pada setiap rekomposisi kelas yang terjadi.

Tanpa analisis yang melampaui identitas, kita tidak dapat melampaui batasan politik identitas. Walaupun pemahaman tentang interseksionalitas dapat membantu kita memahami bahwa setiap queer menghadapi masalah berbeda-beda, interseksionalitas saja tidak cukup, karena tidak membahas fakta yang ada bahwa kepentingan queer borjuis bertentangan dengan kepentingan mayoritas queer, dan konflik ini hanya dapat diselesaikan melalui perjuangan kelas yang lebih jauh, dan pada akhirnya, dengan revolusi social. Kita perlu berhati-hati dalam kritik identitas yang nantinya hanya menciptakan kelompok-dalam dan kelompok-luar, dan esensi pada kelompok-dalam adalah lebih tentang kehebatan dan popularitas daripada tentang seksualitas atau gender. Kita juga harus mewaspadai politik yang membuat kita berpihak dengan penguasa bukan dengan kelompok yang terpinggirkan dan tereksploitasi.

Berjuang Secara Otonom, atau, “Memangnya Siapa itu Queer?”

Seringkali merupakan kebutuhan bagi orang-orang tertindas untuk terlibat dalam perjuangan kelas secara otonom—yaitu, untuk mengorganisir diri melawan situasi materiil tertentu, melakukan perlawanan, dan mengembalikan perjuangan ke kelas pekerja secara keseluruhan. Meski perdebatan mengenai definisi queer yang tepat bagi saya adalah hal yang menghabiskan waktu, namun secara umum pengertian queer sudah sangat jelas—menjadi bukan heteroseksual, dan/atau trans, genderqueer, atau tidak mengelompokkan diri dalam gender mana pun. Ini pada dasarnya adalah definisi “queer” yang digunakan sebagai istilah solidaritas oleh komunitas queer yang berjuang selama beberapa dekade. Sementara “queer” adalah istilah yang sengaja digunakan untuk tidak mendefiniskan suatu label, kita tidak boleh terjebak untuk menjadikannya label bagi sesuatu yang kita anggap keren atau sesuatu yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang kita setujui secara politik.

Komunitas queer kelas pekerja sering menjadi sasaran dua pihak, pertama dari organisasi LGBT borjuis yang mengejar jumlah anggota dan legitimasi, juga dari organisasi radikal yang menginginkan sesuatu dari queer dan hal-hal yang berhubungan dengan queer yang membuat mereka nyaman. Kedua belah pihak mengucilkan dan membungkam para queer yang tidak membuat mereka nyaman. Pada akhirnya, queer kelas pekerja membutuhkan kemampuan untuk mengorganisir diri, dan untuk itu mereka tidak perlu dikendalikan oleh organisasi LGBT borjuis atau organisasi radikal yang datang dari luar untuk memimpin mereka. Sementara memang ada queer kelas pekerja radikal dalam organisasi radikal, namun organisasi komunitas queer kelas pekerja perlu muncul dari organisasi mandiri queer kelas pekerja dan tidak mengecualikan queer yang tidak radikal dari keanggotaan, karena orang-orang diradikalisasi melalui perjuangan, dan mengeluarkan mereka dari organ perjuangan berarti merasa paling tahu yang terbaik dan menganggap bahwa mereka tidak bisa berubah.

Meski pengertian “queer” dalam komunitas queer seringkali sempit—misalnya kelompok yang dikecualikan dari komunitas dyke (lesbian) kemudian disebut biseksual, fem, buci dan pasangan fem/fem, buci-fem, dan transpuan—namun tidak perlu dibahas terlalu luas; yang diperlukan adalah mempertahankan pandangan tentang queer yang menyoroti pemisahan dari pandangan mengenai keluarga tradisional dan kerja reproduktif tambahan (dalam arti tenaga seseorang dreproduksi untuk kerja di hari berikutnya) oleh karena terus-menerus mengalami penindasa menghadapi bahaya hidup di dunia yang kejam serta kekurangan dukungan dasar yang diperlukan.

Jika kita ingin queer dapat bergabung dalam perjuangan kelas yang lebih luas lagi (bukan berarti selama ini belum pernah), kita membutuhkan ruang dan organisasi di mana kita dapat melakukan pendekatan tentang perjuangan kelas dari sudut pandang queer kelas pekerja. Kita membutuhkan ruang di mana kita dapat merumuskan pertanyaan tentang apa artinya menjadi queer kelas pekerja bagi situasi material kita, bagi kita yang berada di bawah eksploitasi kapitalisme. Untuk benar-benar dapat mewujudkan itu, kita butuh ruang untuk membentuk organisasi yang bebas dari tuntutan untuk membuat kaum hetero radikal merasa nyaman, kita butuh pula ruang-ruang yang tidak dapat dikontrol oleh kaum queer borjuis. Jika kita sendiri yang mewujudkan ruang-ruang itu, kita akan dapat mengatur perjuangan kita sendiri, menghubungkan dengan perjuangan kelas yang lebih besar, dan mengembalikan kejayaan queer kepada perjuangan kelas. Kita tidak perlu mereka yang berasal dari luar untuk memimpin kita; kita akan melakukannya sendiri dengan tidak berfokus pada pengertian akademis tentang apa artinya menjadi queer tetapi lebih pada kondisi material kehidupan queer.

Ujung Kematian Anti-Asimilasi

Anti-asimilasi berharga, dengan begitu banyak kritiknya terhadap kooptasi gerakan borjuis untuk pembebasan queer. Anti-asimilasi pula telah menjadi hambatan, dengan menolak melihat perjuangan queer sebagai bagian dari perjuangan kelas yang lebih luas dan berperan sebagai polisi identitas bagi para queer dengan tidak mengikutsertakan queer tertentu, orang-orang trans yang ingin melakukan transisi secara medis, queer penganut monogami, queer yang harus menyembunyikan identitas diri di lingkungan kerja agar bisa tetap bekerja. Pembahasan asimilasionis/anti-asimilasionis tidaklah menolong. Pertanyaan yang seharusnya kita tanyakan pada diri kita sendiri tentang organisasi, gerakan, dan perjuangan queer adalah: Apa kelasnya? Apakah berbagai macam bentuk organisasi merupakan keuntungan atau malah menjadi hambatan bagi perjuangan kelas pekerja? Apakah ujung-ujungnya dapat memperkuat kelas pekerja atau malah memperkuat pihak borjuis? Dalam perjuangan yang manakah, usaha-usaha revolusioner kita dapat berarti bagi tujuan akhir komunisme kita? Kita juga harus bertanya pada diri kita bagaimana kita dapat memperluas perjuangan—dalam setiap masalah berbeda-beda yang dihadapi masing-masing queer, apakah peluang untuk dapat menjadikan masalah tersebut menjadi bagian dari perjuangan seluruh kelas pekerja?

Pertanyaan-pertanyaan ini jauh lebih penting bagi saya daripada apakah kaum queer yang berpartisipasi dalam perjuangan dapat mencapai tingkat anti-asimilasi yang tinggi, yang seringkali pada hakikatnya adalah tentang tingkatan dalam kelas pekerja, meskipun di permukaan tidak terlihat demikian. Masalah lainnya tentang anti-asimilasi sejati, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, yaitu pandangan bahwa queer harus mendisiplinkan diri untuk berpegang teguh pada gagasan hegemonik tentang hal yang berkaitan dengan queer, untuk melawan semua pandangan hegemonik tentang hal yang berkaitan dengan heteroseksualitas. Ini akan berbahaya karena kita akan memutus hubungan dengan para queer yang seharusnya kita rangkul, dan kita malah berjuang bersama mereka dengan kepentingan berbeda. Maka biarlah yang menjadi rekan seperjuangan kita misalnya para queer penganut monogami, vanilla (penganut paham konservatif/tradisional), orang-orang dengan gender yang tidak ingin ditentukan.

Pada akhirnya, kita harus ingat bahwa setiap gerakan yang menganggap mereka bukan bagian dari perjuangan kelas yaitu yang tujuan dan organisasinya tidak memiliki pemahaman logika kapital/modal, akan terus melayani tujuan borjuis karena akan mudah ditunggangi kepentingannya, atau tidak fokus pada kepentingan kelas pekerja yang sesungguhnya sehingga bisa meluas ke sektor-sektor kelas pekerja lain dan kapitalis dapat dengan mudah memenuhi tuntutan tanpa mengurangi kekuasaan. Tugas queer komunis dalam gerakan queer adalah terlibat dalam organisasi massa, membawa masalah yang dihadapi para queer kelas pekerja ke dalam organisasi yang didominasi oleh heteroseksual, dan membahas analisis kelas anti-kapitalis yang benar, aksi langsung, serta membahas perjuangan masing-masing queer dalam organisasi queer tanpa keterwakilan/perantara. Kita tidak akan sanggup untuk menutup diri berada dalam gelembung queer radikal, terpisah dari kaum heteroseksual radikal dan queer yang bukan radikal; kita juga tidak memiliki kemampuan untuk mencairkan kepentingan politik-politik kita agar menjadi satu kesatuan jenis politik. Sebaliknya, kita perlu membuat organisasi politik khusus dengan persatuan yang erat untuk membela gagasan revolusioner kita dalam organisasi massa.

Pertanyaan untuk Ditanyakan

Hari di mana para komunis dapat menganggap queer sebagai “penyimpangan terhadap borjuis” tentu masih jauh. Sementara, meski kita masih memiliki feminisme anarkis dan Marxis, yang tersisa bagi kita adalah teori queer yang sama sekali tercerai dari transfeminisme dan kelas tanpa landasan kelas yang kuat, serta gerakan queer yang telah meninggalkan akarnya dalam perjuangan queer kelas pekerja.

Dalam tingkatan teoritis, kita memiliki pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana hal-hal yang berhubungan dengan queer mempengaruhi produktifitas dan reproduktifitas kerja bagi queer kelas pekerja. Pertanyaan-pertanyaan seperti: “Bagaimana rasanya memilih untuk tidak memiliki jenis hubungan percintaan jangka panjang yang lumrah, dalam kaitannya dengan dampak eksploitasi tenaga seseorang (eksploitasi berlebihan, kurangnya bantuan, dan kehilangan dukungan keluarga)? Atau ketika kita memilih untuk berhubungan cinta jangka panjang, pada hubungan sesama perempuan, asumsi bahwa tidak ada peran pencari nafkah utama dan peran kewanitaan oleh yang bergaji lebih rendah di lingkungan kerja, akankah membuat kita terasing secara sosial? Atau bagaimana dengan kerja reproduktif tambahan kita yang tidak dibayarkan (tenaga direproduksi lagi untuk kerja di hari berikutnya) agar dapat bertahan hidup di dunia yang memusuhi keberadaan kita?” Pertanyaan-pertanyaan ini harus dimunculkan, dianalisa, dengan harapan dapat menjadi panduan bagi keterlibatan kita dalam perjuangan-perjuangan.

Pada tingkatan yang lebih praktis, kita memiliki pertanyaan-pertanyaan seperti: “Di mana potensi-potensi queer kelas pekerja dalam memperluas perjuangan? Bagaimana proses yang terjadi sehingga gerakan queer kehilangan karakter revolusioner dan mengadopsi karakter reaksioner? Apa bentuk organisasi mandiri yang dapat membantu kita sebagai queer kelas pekerja?” Meski pertanyaan-pertanyaan ini terkesan lebih mendesak daripada yang ada pada tingkatan teoritis, namun teori tanpa praktik nyata adalah sia-sia, sedangkan praktik tanpa teori akan membuat kita selamanya berlari tanpa arah yang jelas, yang mana kita tidak dapat menentukan tempat dan waktu terbaik untuk menyalurkan energi kita. Maka dari itu, jika kita benar-benar ingin membangun gerakan queer dengan karakter proletar dan mengembalikan perjuangan queer ke perjuangan proletar, kita membutuhkan keduanya.

Kesimpulan

Queer anarkis dihadapkan pada pilihan: apakah kita berpegang pada analisis berbasis identitas dan melihat pembebasan kita sebagai entitas mandiri? Ataukah kita ikut terlibat langsung dalam perjuangan kelas bersama kelas pekerja lainnya dan melihat pembebasan kita sebagai bagian yang tak terpisahkan dari seluruh pembebasan? Pilihan pertama dapat membuat kita menarik diri secara politik, berpihak pada kapitalis yang mengeksploitasi kita, dan merugikan pengorganisasian mandiri gerakan massa. Sedangkan pilihan kedua berpotensi membawa kita pada pembebasan sejati, sebagaimana bersatu kita teguh bercerai kita runtuh.

Namun bukan berarti dalam perjuangan kelas, kaum queer hanya mengambil tanpa memberi. Banyak dari kita yang terbuang dari keluarga, dan dapat menyumbangkan pengalaman praktis dalam menciptakan komunitas baru yang saling membantu dan bersolidaritas. Kita menambahkan sudut pandang lain tentang penindasan. Berdasarkan pengamatan mengenai bagaimana komunitas kita dipecah belah dan perjuangan pembebasan kita diganggu, kita juga dapat memberikan pengetahuan langsung tentang bagaimana penindasan yang ditunggangi kepentingan dan ketidakseimbangan kekuasaan, dapat membahayakan dan menggagalkan perjuangan rakyat. Kita dulu pernah memobilisasi anggota dalam jumlah besar ketika komunitas kita terancam, dengan mengakui ketimpangan kekuasaan dalam komunitas kita, melihat bahwa beberapa anggota terdampak lebih besar dari yang lainnya, dan bagaimana rapuhnya komunitas kita menghadapi krisis. Kita pernah bersatu menghadapi fase awal krisis AIDS dan secara langsung melawan negara yang abai dan korporasi yang hanya mengejar profit/keuntungan. Namun kemudian, lewat kuasa dan pengaruh kaum queer borjuis dan organisasi mereka, kita disuruh mengalihkan perhatian pada keterlibatan di militer dan pernikahan, melawan kepentingan kita sendiri dan mengucilkan beberapa dari kita yang sangat terpinggirkan. Kita dapat merebut kembali kekuatan dengan mengidentifikasi dampak perjuangan anggota queer dari kelas pekerja (dan perjuangan organisasi pekerja yang bukan agen tawar-menawar dengan kapitalis), tentang tempat tinggal, akses kesehatan, dampak lingkungan yang lebih buruk dirasakan kelas pekerja dan kelompok tertindas, perlawanan terhadap kontrol imigrasi untuk membuat dunia tanpa perbatasan, dalam bentuk negara-bangsa, pemaksaan kehendak, perbatasan, dan penentuan identitas. Dengan mengenali dampak yang dirasakan kaum queer akan hal-hal tersebut, kita bisa membentuk ikatan solidaritas sejati dengan komunitas lain dalam perjuangan ini, komunitas yang memang banyak dari kita merupakan bagiannya. Dengan membangun gerakan-gerakan massa mandiri yang murni berasal dari orang-orang yang mengalami masalah, dan melihat bagaimana masalah-masalah kita saling berkaitan, kita mampu memberikan tantangan serius bagi kapitalisme dan negara.

Bagi saya, bila seseorang berkomitmen untuk mengakhiri segala bentuk penindasan, akhir dari kapitalisme, kehancuran negara borjuis, serta tercapainya komunisme, tidak ada lagi kelas dan tanpa negara, di mana produksi sejalan dengan kemampuan dan hanya untuk pemenuhan kebutuhan manusia, maka pilihannya sudah jelas; sebagai seorang queer komunis, saya harus terlibat dalam perjuangan kelas dan organisasi mandiri kelas pekerja. Namun itu saja tidak cukup. Sebagai seorang queer dalam situasi yang sama dengan heteroseksual yang berada dalam strata sosial yang sama—tidak ada jawaban yang cukup selain revolusi sosial. Dan satu-satunya cara supaya bisa terjadi revolusi sosial dan berhasil, adalah dengan berjuang lewat kondisi-kondisi material dan memperluas perjuangan ke berbagai sektor kelas pekerja. Perjuangan kelas adalah perjuangan yang paling besar dan paling dalam, menjangkau ke mana-mana dan menggapai akar dari segala permasalahan, serta hanya dengan pengorganisasian mandirilah maka kita mampu ada dalam solidaritas sejati dengan pekerja di manapun mereka berada.