Ijauparang
Membajak Algoritma
Media Digital sebagai Senjata Anarkis

Di zaman algoritma dan klik, bukan negara atau kapitalisme yang berkuasa secara mutlak—melainkan narasi. Tapi seperti yang diyakini para anarkis sejak Bakunin hingga Graeber, narasi bukan sekadar cerita; ia adalah alat kuasa. Dan dalam lanskap digital hari ini, ia bisa dibajak.
Media sosial, blog, podcast—semua adalah medan pertempuran naratif. Namun, siapa bilang anarkisme hanya hidup di jalanan atau di pamflet tua? Ia kini menyelinap di TikTok, dalam bentuk meme yang lucu sekaligus menggigit, dalam benang Twitter yang membongkar mitos negara, dalam podcast independen yang menyuarakan ketidaktaatan sipil.
Anarkisme tidak pernah percaya pada kekuasaan terpusat—baik itu negara, korporasi, atau elite digital yang menciptakan wacana. Karena itu, alat digital bukan digunakan untuk membangun piramida baru, tapi untuk mendistribusikan kekuasaan. Dalam semangat Kropotkin, solidaritas bukan hanya etis, tapi taktis. Teknologi bisa (dan harus) digunakan untuk meretas batas, bukan membangunnya.
Dari “Like” ke Perlawanan
Dalam masyarakat yang dimediasi algoritma, like dan retweet bukan hanya tindakan konsumtif—mereka adalah cara baru untuk memetakan kekuasaan dan membongkarnya. Saat para anarkis menggunakan media sosial untuk mengedarkan meme yang menyerang logika “kerja keras demi sukses”, atau menguliti kebrutalan negara dalam bentuk video berdurasi 30 detik, mereka tidak sedang main-main. Mereka sedang menghancurkan fondasi ideologis sistem yang kita anggap “wajar”.
Ini bukan tentang membuat anarkisme menjadi trendi, melainkan menyusup ke dalam sistem informasi yang telah diprogram untuk mempertahankan status quo. Seperti yang dikemukakan oleh teori insurrectionary anarchism, perubahan tidak datang dari lembaga formal, melainkan dari gangguan-gangguan kecil, dari sabotase mikro yang perlahan meruntuhkan legitimasi. Meme adalah bentuk sabotase itu. Podcast adalah pos gerilya. Livestream adalah aksi langsung dalam bentuk lain.
Teknologi Tanpa Tu(h)an
Namun, penting juga untuk bersikap waspada: teknologi bukan netral. Ia diciptakan dalam struktur kekuasaan. Anarkis tidak cukup hanya “menggunakan” teknologi; mereka harus mendesainnya ulang. Teknologi harus di-hack, direklamasi, dan dijadikan alat untuk membongkar hirarki.
Dalam semangat anarkisme digital, seperti yang dipopulerkan oleh kelompok-kelompok seperti CrimethInc. dan Anonymous, ada panggilan untuk memanfaatkan jaringan digital sebagai sarana menciptakan komunitas otonom, bukan sekadar memperkuat gema. Koneksi horizontal antar-komunitas—antara eco-anarchists di Kalimantan, teknolog radikal di Berlin, hingga kolektif buruh migran di Dubai—harus dibangun di luar logika negara dan kapital. Ini adalah bentuk internasionalisme digital, bukan dalam bentuk konferensi, tapi dalam bentuk kolaborasi algoritmik.
Narasi adalah Perlawanan
Apa yang dipertaruhkan di sini bukan hanya pengaruh, tapi imajinasi politik. Anarkisme bukan sekadar menolak kekuasaan—ia menawarkan alternatif: dunia tanpa dominasi, tanpa paksaan. Dan untuk membuatnya mungkin, kita butuh lebih dari sekadar aksi jalanan. Kita butuh membanjiri ruang digital dengan gambaran-gambaran dunia yang lebih adil, lebih bebas, lebih liar.
Jadi, jika dunia digital adalah arena perang, saatnya para anarkis membuang pamplet dan mulai mengedit video. Membuat meme. Menulis thread. Membangun kanal podcast. Dunia ini tidak akan berubah dengan sendirinya—tapi ia bisa diretas, satu klik perlawanan pada satu waktu.