John Zerzan
Agrikultur: Mesin Jahanam Peradaban
Agrikultur, sebagai basis yang diperlukan dalam peradaban, awalnya ditemukan dalam waktu, bahasa, angka dan melalui bentuk seni yang bermunculan. Sebagaimana proses materialisasi dari alienasi, agrikultur berhasil memisahkan dan memastikan pembagian antara budaya dan alam serta manusia.
Agrikultur adalah kelahiran proses produksi, lengkap dengan fitur-fiturnya yang esensial serta merubah bentuk kehidupan dan kesadaran. Keadaan itu sendiri menjadi satu instrumen produksi dan planet yang dihuni oleh spesies-spesies untuk menjadi objeknya. Liar ataupun jinak/lemah, ganja dan hasil panen berbicara mengenai dualitas yang menimpangkan jiwa dalam keberadaan kita, dengan cepat mengantarkan pada despotisme, perang dan pemiskinan dari peradaban tinggi yang lebih dulu melewati jarak yang begitu besar dari ke-esa-an alam. Kekuatan barisan peradaban yang dimaksudkan oleh Adorno sebagai “asumsi dari kehancuran irasional pada awal sejarah,” yang dirasakan oleh Freud sebagai “sesuatu yang menentukan pada penolakan mayoritas,” yang oleh Stanley Diamond menemukan hanya “kewajiban bukannya kesukarelaan,” yang dipersembahkan oleh agrikultur.
“Untuk menentukan, menstandarisasi landscape umat manusia, untuk menghapus ketidakberaturan dan membuang semua kejutannya,” kata-kata ini oleh E.M. Cioran digunakan dengan tepat pada logika agrikultur, akhir kehidupan hanya mengutamakan aktivitas keinderaan, pengejawantahan dan pembangkitan dari hidup yang terpisah. Artifisialitas dan kerja dengan jelas meningkat sejak lahirnya yang dikenal dengan kebudayaan: dalam domestikasi hewan dan tumbuhan, manusia juga membutuhkan domestikasi bagi dirinya sendiri.
Perjalanan sejarah, seperti agrikultur, tidak inheren dalam realitas sosial tetapi di bebankan di dalamnya. Dimensi waktu atau sejarah adalah sebuah fungsi dari represi, yang mana landasannya adalah produksi atau agrikultur. Kehidupan berburu-meramu adalah anti-waktu dalam simultanitas dan spontanitas yang terbuka; kehidupan bercocok tanam memunculkan kesadaran tentang waktu oleh pekerjaan yang sangat banyak, hal ini berlangsung rutin. Sebagaimana ketidaktertutupan dan keanekaragaman kehidupan Paleolitik memberikan jalan bagi penyingkapan literal bagi agrikultur, waktu mengasumsikan kekuasaan dan datang membawa karakter ruang yang tertutup. Diformulasikan dalam titik acuan yang temporal—ritual seremoni dengan tanggal yang telah ditentukan, nama-nama hari, dll.—adalah krusial untuk mengatur dunia produksi; seperti jadwal produksi, alamanak adalah integral dalam peradaban. Dan sebaliknya, bukan hanya masyarakat industrial yang akan menjadi mustahil tanpa jadwal, akhir dari agrikultur (basis dari seluruh produksi) kan menjadi akhir dari perjalan sejarah.
Representasi dimulai dari bahasa, alat pengekangan dalam hasrat. Dengan cara menggantikan imaji otonom dengan simbol-simbol verbal, kehidupan direduksi dan tersingkirkan ke bawah kontrol yang ketat; semua arah, pengalaman yang tak termediasi digolongkan oleh ekspresi dari jenis simbol yang tertinggi, yaitu bahasa. Bahasa, mengurai dan mengorganisir realitas, sebagaimana yang dikatakan oleh Benjamin Whorf, dan segmentasi mengenai alam, menjadi satu aspek dalam tata-bahasa, menetapkan tempat bagi agrikultur. Pada kenyataanya, Julian Jaynes, menyimpulkan bahwa mentalitas dari aliran linguistik yang baru dipastikan secara langsung datang dari agrikultur. Tak diragukan lagi, kristalisasi/perwujudan dari bahasa menjadi tulisan, kemudian disebut sebagai yang utama oleh kebutuhan untuk merekam-menyimpan transaksi-transaksi agrikultural, hal ini adalah sinyal/penanda bahwa peradaban telah dimulai.
Pada etos non-komodifikasi, para egalitarian berburu dan mengumpul, yang mendasar (sebagaimana yang sering dikatakan) dari hal ini adalah berbagi, dalam hal ini angka tidaklah dibutuhkan. Tidak ada dasar bagi dorongan untuk menguantifikasi, tak ada alasan untuk membagi pada apa yang terdapat di dalam etos non-komodifikasi tersebut. Tidak hingga domestikasi hewan dan tumbuhan yang dilakukan dalam konsep budaya semacam ini benar-benar muncul. Dua dari jumlah seminal menjelaskan pada aliansinya dengan keterpisahan dan kepemilikan: Phytagoras, salah satu sentrum religius yang sangat berpengaruh dan dipuja, serta Euclid, bapak matematika dan ilmu pengetahuan, yang memaksudkan geometry untuk mengukur luasnya alasan dari kepemilikan pribadi, perpajakan, dan pekerja budak. Salah satu bentuk awal dari perdaban agrikultur, rasa-kesukuan, memerlukan suatu posisi linear tatanan agar tiap anggotanya ditugaskan pada satu tempat numerikal yang pasti. Setelah itu, mengikuti linearitas anti-natural dari budaya membajak (tanah), rencana 90-degree gridiron bahkan mucul paling awal pada kota-kota besar. Keteraturan mereka secara terus-menerus terbentuk dalam dirinya sebagi ideologi yang represif. Kultur, kini bisa di-angka-kan, menjadi lebih kuat membatasi dan hanya sedikit mengandung kehidupan.
Sama halnya dengan seni, dalam hubungannya dengan agrikultur, menyoroti kedua institusi. Hal ini dimulai sebagaimana yang dimaksud untuk menginterpretasi dan mengatasi realitas, untuk merasionalkan alam, dan meletakannya sebagai titik balik krusial dimana agrikultur sebagai fitur-fitur dasarnya. Lukisan di gua pada masa pra-Neolitik, sebagai contoh, adalah hidup dan bersemangat, satu keagungan dari dinamika kesetaraan binatang dan kemerdekaan. Seni bercocok-tanam Neolitik dan kependetaan, bagaimanapun, memadat menjadi bentuk yang sesuai dengan mode.” Dengan agrikultur, seni kehilangan keanekaragamannya dan menjadi standarisasi dalam desain-desain geometrik yang cenderung merosot dan menjadi tumpul. Dan dimana tidak ada satupun representasi dalam seni Paleolitik yang menggambarkan manusia membunuh manusia, sebuah obsesi dengan menggambarkan konfrontasi antara keceradasan manusia dengan periode Neolitik, adegan peperangan akan mejadi satu hal yang biasa.
Waktu, bahasa, angka, seni dan semua kerangka budaya, yang mendahului dan membawa kita pada agrikultur, terletak pada simbolisasi. Seperti otonomi yang mendahului domestikasi dan domestikasi diri, yang rasional dan sosial mendahului yang simbolik.
Produksi makanan, hal ini selamanya diakui, “mengijinkan kemampuan budaya dari spesies manusia untuk berkembang.” Namun apakah sebenarnya tendensi semacam ini mengarah ke arah simbolik, menuju pada bentuk perluasan serta pembebanan yang sewenang-wenang? Hal ini menumbuhkan kapasitas bagi objektifikasi, melalui hal tersebut, apa yang hidup menjadi reifikasi, atau sesuatu yang seperti itu. Simbol-simbol lebih dari sekedar unit-unit dasar dari budaya; mereka adalah alat penyaring untuk menjauhkan kita dari pengalaman kita. Mereka mengklasifikasi dan mereduksi, “yang dilakukan dengan,” yang dalam frasa menarik karya Lewis dan Leaky, “sebaliknya beban yang tak bisa ditolerir berhubungan dari satu pengalaman ke pengalaman lainnya.”
Budaya yang demikian berjalan dengan reforma yang lebih imperatif dan mensubordinasi alam. Lingkungan buatan/artifisial yang mana agrikultur menyempurnakan mediasi yang sangat penting ini, dengan simbolisme dari objek yang dimanipulasi dalam konstruksi relasi yang dominan. Hal ini disebabkan bukan hanya sifat eksternal yang bersifat menaklukkan: vis a vis dengan kualitas dari kehidupan pra-agrikultural yang membatasi dominasinya, pada saat yang sama budaya melegitimasi dan memperluas hal tersebut.
Kemungkian besar hal ini telah berlangsung selama era Paleolitik dengan betuk-bentuk yang khusus atau istilah-istilah yang berhubungan dengan objek dan pemikiran-pemikiran, dengan cara-cara simbolis, namun dalam suatu pergeseran, impermanen/tidak permanent, barangkali dalam pengertian yang playful. Kehendak akan kesamaan dan keamanan yang ditemukan dalam agrikultur bermakna simbol-simbol menjadi stastis dan konstan seperti kehidupan bercocok tanam. Keteraturan/regularisasi, pembuatan aturan dan diferensiasi secara teknologikal, adalah pertanda dari pembagian kerja, adalah saling berpengaruh , berinteraksi dengan simbolisasi yang paling mendasar dan lebih maju. Agrikultur melengkapi perpindahan simbol dan virus alienasi menjadi lebih otentik, sebuah kehidupan yang bebas. Hal ini adalah kemenangan atas kontrol budaya; sebagaimana seorang antropolog, Marshall Sahlins, mengatakan “jumlah kerja perkapita meningkat seiring dengan evolusi kebudayaan sedangkan jumlah waktu luang per kapita menurun.”
Kini, beberapa para pemrburu-pengumpul yang masih bertahan mendiami paling sedikit “ketertarikan secara ekonomi” area di bumi ini, dimana area itu tidak terpenetrasi oleh kebudayaan agrikultural, seperti salju of the Inuit (nama tempat ato sejenisnya) atau padang pasir/gurun yang ada di sekitar para suku aborigin di Australiaof. Dan masih dalam penolakan terhadap pertanian yang membosankan, bahkan dalam setting yang berlawanan, membawa keuntungan tersendiri. The Hazda of Tanzania, Filipino Tasaday, !Kung of Botswana, atau padang gurun Kalahari !Kung San –yang oleh Richard Lee dipandang sebagai sesuatu yang mudah namun sulit, beberapa tahun masa kekeringan pada saat yang sama keluarga-keluarga petani mati kelaparan—juga dibuktikan oleh catatan Hole and Flannery’s summary bahwa “tak ada satu pun kelompok di muka bumi ini yang memiliki banyak waktu luang melebihi para peramu dan pengumpul, yang lebih banyak menghabiskan waktu pada permainan, percakapan dan bersantai.” Adalah tepat menghubungkan kondisi semacam ini pada “kesederhanaan teknologi dan ketiadaan kontrol atas lingkungan” kelompok semacam ini. Masih dengan metode Paleolitik yang sederhana, atau dalam pengertian mereka, “kemajuan.” Mengingat bahwa teknik dasar memasak makanan dengan uap oleh panas batu yang ditimbun dilesakkan disekitarnya; hal ini lebih dulu dilakukan/ada daripada barang-barang tembikar/panci, cerek dan keranjang (pada kenyataannya , adalah anti-container/anti-wadah dalam orientasinya yang non-surplus serta anti-pertukaran), dan nutrisi yang didapat dengan cara memasak, jauh lebih menyehatkan/bergizi daripada memanaskan makan dengan air, adalah salah satu contohnya. Atau perlu juga diperhatikan cara penggunaan dari alat-alat batu semacam ini sebagai pisau yang panjang dan luar biasa tipis “laurel leaf”(jenis pisau dengan bentuk tertentu), mampu memotong dengan nyaman dan kuat, yang mana tak bisa ditiru oleh teknik industrial modern.
Gaya hidup berburu dan meramu menunjukkan adaptasi yang paling sukses dan bertahan lama yang pernah dicapai oleh umat manusia. Terkadang fenomena kehidupan pra-agrikultur misalnya pengumpulan makanan secara intensif atau berburu secara sistematik hewan buruan tunggal dapat dimaknai menujukkan kerusakan di masa yang akan datang terhadap mode kepuasan yang menyisakan kedaan statis dalam jangka waktu lama karena hal ini menyenangkan. “Kemiskinan dan hari panjang yang berat” dari agrikultur menurut Clark adalah kendaraan kebudayaan, “rasional” hanya dalam ketidakseimbangan yang terus menerus dan kemajuan logisnya menuju kehancuran yang lebih besar yang pernah ada, sebagaimana yang dipaparkan dibawah ini.
Meskipun istilah berburu-meramu dapat dibalikkan (dan tidak dilakukan oleh beberapa antropolog zaman sekarang) karena hal ini hanya dikenali bahwa meramu dibentuk oleh komponen yang masih bertahan dan besar jumlahnya, sifat alami berburu menunjukkan perbedaan yang menonjol pada domestikasi. Hubungan antara pemburu dan hewan buruan, di mana kekuasaan, kebebasan, dan bahkan kesetaraan, dengan jelas dibedakan secara kualitatif dari petani atau penggembala yang memperbudak objeknya di atas aturan absolutnya.
Bukti bahwa dorongan untuk memberi perintah atau melakukan penaklukan ditemukan pada upacara-upacara yang koersif dan pantangan yang tidak jelas dari agama yang baru muncul. Pada akhirnya penaklukkan dunia di mana agrikultur setidaknya menjadi basis dari agama ini dimana tingkah laku yang membingungkan diatur, memberi defenisi yang suci dan yang kotor serta memaksa.
Lévi-Strauss mendefinisikan agama sebagai sifat antropomorphisme; sipiritualas-spiritualitas awal yang mengambil bagian bersama alam, tidak memaksakan nilai-nilai kebudayaan atau sifat bawaan terhadapnya. Yang suci dimana hal ini terpisahkan, dan ritual serta formalitas, secara drastis terhapus dari aktifitas kehiduapan sehari-hari yang berlangsung dan dalam kontrol para spesialis seperti cenayang dan pendeta, adalah sangat dekat berhubungan dengan hirarki dan kekuasaan yang terinstitusionalisasi. Agama muncul untuk memaksa dan melegitimasi budaya, dalam pengertian sebagai tatanan “yang lebih tinggi” dari realitas; hal ini dibutuhkan khusus, dalam fungsinya untuk merawat solidaritas sosial, dengan kebutuhan yang tidak alami dari agrikultur.
Dalam perkampungan Neolitik Catal Hüyük di Turki Anatolia, satu dari tiga kamar digunakan untuk keperluan ritual. Membajak dan menabur benih dapat diartikan sebagai ritual pembuangan, menurut Burkert, bentuk dari represi sistematik diperjelas dengan elemen pengorbanan. Percakapan tentang ritual pengorbanan, dimana pembunuhan hewan (bahkan manusia) untuk keperluan ritual, merasuk dalam masyarakat agrikultur dan ditemukan hanya pada masyarakat ini.
Beberapa dari agama utama di zaman Neolitik seringkali mencoba penyembuhan simbolik terhadap perpecahan antara agrikultural dengan alam melalui mitologi tentang bumi, yang tidak membicarakan bagaimana mengembalikan kesatuan yang hilang. Mitos kesuburan juga sebagai pusat; Dewa Mesir Osiris, Dewa Yunani Persephone, Dewa Kanies Baal dan Perjanian Baru Jesus, tuhan yang mati dan bangkit kembali dan memberikan kesaksian dengan gigih mengenai tanah, belum lagi tentang jiwa manusia. Kuil pertama menunjukkan kebangkitan dari kosmologi berdasarkan pada model dari alam semesta sebagai arena domestikasi atau peternakan, di mana kembali membenarkan penindasan terhadap otonomi manusia. Mengingat masyarakat pra-peradaban telah, sebagaimana yang dikatakan Redfield “bersama-sama dengan tidak terdeklarasi luas tetapi secara terus-menerus merealisasi konsepsi etika,”agama dikembangkan sebagai jalan untuk menciptakan warga negara, menempatkan tatanan moral di bawah manajemen publik.
Domestikasi yang menyangkut inisiasi produksi, dengan cepat meningkatkan pembagian kerja, dan melengkapi fondasi dari stratifikasi sosial. Hal ini sama pada sebuah baik dalam karakter dari eksistensi manusia serta perkembangannya, menutupi perkembangan manusia yang terakhir dengan kekerasan dan kerja. Berbeda dengan mitos dari berburu-meramu seperti kekerasan dan agresifitas, sehubungan dengan hal tersebut, bukti terbaru menunjukkan bahwa keberadaan manusia yang bukan petani, seperti Mbuti (“pygmies”) yang dipelajari oleh Turnbull, rupanya membunuh apa yang mereka bunuh tanpa semangat agresif, bahkan dengan semacam penyesalan. Peperangan dan bentuk dari setiap peradaban atau negara, dengan kata lain mutlak tidak terpisahkan.
Masyarakat primal tidak bertarung di atas area di mana kelompok yang terpisah memiliki aktivitas berburu dan meramunya. Paling tidak wilayah pertarungan bukan bagian dari literatur etnografi dan mereka melihatnya bahkan seperti yang hanya terjadi dalam masa prasejarah ketika sumberdaya begitu berlimpah dan yang berhubungan dengan peradaban tidak ada. Tentusaja, masyarakat ini tidak memiliki konsepsi tentang kepemilikan pribadi, dan karya Rousseau adalah simbol dari kepemilikan pribadi, yang membagi masyarakat yang ditemukan oleh seorang manusia dimana ia pertama kali menabur di lahan, mengatakan “tanah ini adalah milikku” dan menemukan orang lain yang mempercayainya, hal ini adalah benar secara esensial. “Milik dan kepunyaan, benih dari kejahatan, tidak punya tempat bagi mereka,” bacaan Pietro 1511 menjelaskan pertemuan penduduk asli pada perjalanan kedua Colombus. Beberapa abad belakangan, masyarakat pribumi amerika bertanya, “menjual bumi? Mengapa tidak sekalian menjual udara, awan, dan laut yang luas?” agrikultur membuat dan meninggikan hak milik; memikirkan akar dari kepemilikan, seolah-olah mereka pernah membuatnya hilang.
Kerja, sebagaimana kategori yang jelas dari kehidupan, seperti halnya hal ini tidaklah eksis hingga muncul agrikultur. Kapasitas kemenjadian manusia dibelenggu untuk dikembangkan menjadi hasil-hasil panen dan gembalaan dengan cepat. Produksi makanan mengatasi kekurangan secara umum atau kekurangan akan ritual dan hirarki dalam masyarakat dan memperkenalkan aktifitas beradab seperti tenaga dari pekerja dalam pembuatan kuil-kuil. Ini adalah “pembagian ala Cartesian” sebenarnya antara realitas dalam dan luar, pemisahan dengan cara alam mejadi sesuatu yang harus “dikerjakan.” Dalam kemampuan seperti ini bagi eksistensi yang menetap dan budak/pelayan meletakkan keseluruhan suprastruktur peradaban dengan bobot represi yang meningkat drastis.
Kekerasan pria terhadap wanita berasal dari agrkultur, yang mengubah wanita menjadi binatang beban dan melahirkan anak. Sebelum bertani, egalitarianisme dari hidup dengan mencari makanan dari alam “berlaku sepenuhnya bagi wanita dan pria,” diungkapkan Elanor Leacock, melihat pada otonomi dari kerja dan fakta bahwa keputusan yang dibuat oleh mereka yang juga melaksanakannya. Dalam kekurangan dari produksi dan dengan ketiadaan pekerjaan berat yang cocok untuk buruh anak seperti penyiangan, wanita tidak diserahkan untuk melakukan pekerjaan berat atau memenuhi secara terus-menerus kebutuhan bayi. Sepanjang kutukan dari kerja yang tak henti-henti, melalui agrikultur, dalam pengusiran dari Surga, tuhan berkata pada wanita, “saya akan melipatgandakan dukacitamu dan penghamilanmu; dalam kedukaan engkau akan melahirkan anak-anak; dan hasrat akan memiliki suami dan dia akan mengatur kamu.” Dengan cara yang sama, hukum yang pertamakali diketahui dikodifikasi, oleh Raja Sumeria Ur-Namu, menentukan kematian bagi wanita manapun yang memuaskan hasratnya di luar pernikahan. Demikian Whyte mengacu pada wanita “relatif kalah dari pria ketika manusia pertamakali meninggalkan kehidupan sederhana berburu dan meramu,” dan Simone de Beauvoir melihat dalam persamaan kebudayaan dari bajak dan phallus (alat kelamin lelaki) sebagai simbol yang tepat bagi ketertindasan wanita.
Sebagaimana hewan liar berubah menjadi mesin lemah pemakan daging, konsep dari menjadi “diolah” adalah satu kebaikan yang dipaksakan pada manusia, yang mengartikan pernikahan dari sifat-sifatnya, dalam melayani domestikasi dan eksploitasi. Seperti yang diketahui pada beras, di Sumeria, peradaban pertama, kota paling pertama yang memiliki pabrik-pabrik dengan karekteristik organisasi yang maju dan perubahan-perubahan skil. Peradaban dalam pengertian ini pasti terdapat kerja manusia dan produksi makanan yang massal, bangunan-bangunan, perang dan kekuasaan.
Di Yunani, kerja adalah kutukan. Mereka menamakannya-ponos-yang memiliki akar kesamaan dengan bahasa latin Poena, yang artinya berduka cita. Kutukan yang terdapat pada Perjanjian Lama yang terkenal dalam agrikultur ialah pengusiran dari surga (Genesis/kejadian 3:17-18) mengingatkan kita pada asal-usul kerja. Sebagaimana yang ditulis oleh Mumford, “konformitas, repetisi, kesabaran adalah kunci dari semuaa kebudayaan [Neolitik] ini … kesabaran dalam bekerja.” Dalam kemonotonan dan pasifitas merawat dan menunggu lahir, menurut Paul Shepard, adalah merupakan bentuk “kedalaman, kemarahan yang tersembunyi, percampuran dari kejujuran dan kesusahan, dan ketiadaan rasa humor’’ para petani. Seseorang juga dapat menjadi kurang peka dan kekurangan imajinasi yang tak dapat dipisahkan dari kepercaayaan terhadap agama, sifat cemberut, dan kecurigaan di antara sifat-sifat yang secara luas berhubungan untuk domestikasi kehidupan bercocok tanam.
Walaupun produksi makanan pada dasarnya turut mengikutsertakan pula semacam kesiapan yang terpendam bagi dominasi politik dan sekalipun peradaban budaya sejak awal adalah propaganda mesin itu sendiri, ia (peradaban) juga merupakan perubahan yang menyangkut perjuangan monumental. Karya Fredy Perlman, Against Leviathan! Against His-story! adalah karya yang sangat gemilang, juga meningkatkan perhatian karya-karya Toynbee pada “internal” dan “eksternal proletar,” kekecewaan terhadapnya dan tanpa peradaban. Namun demikian, selama poros dari tongkat penggali untuk membajak agrikultur yang membedakannya dengan sistem irigasi, adalah genosida yang berefek bagi para pemburu dan pengumpul.
Formasi serta tempat penyimpanan surplus (cadangan) merupakan bagian dari pendomestikasian yang akan mengontrol dan membuat hal menjadi statis, suatu aspek dari bentuk kecenderungan untuk mensimbolisasi. Suatu benteng pertahanan yang menentang aliran dari segala yang alamiah, surplus mengambil bentuk-bentuk dari kumpulan hewan dan lumbung-lumbung. Tempat penjualan benih adalah medium yang sama dengan bentuk kapital yang paling lampau.
Misteri asal-usul agrikultur bahkan terlihat seperti sesuatu yang tak dapat dilalui untuk memecahkan pembalikan dari ide-ide yang sudah bertahan dengan sangat lama yang pada era sebelumnya menjadi salah satu musuh dari alam dan ketiadaan waktu luang. “seorang bisa tidak lagi menerima,” seperti yang ditulis oleh Arme, “bahwa manusia-manusia awal mendomestikasi tumbuhan dan hewan untuk lari dari kebosanan serta mengatasi kelaparan. Jika semuanya, berlawanan dengan yang benar, dan kedatangan mesin pemotong padi adalah akhir dari rasa ketidakberdosaan. “dengan waktu yang lama, pertanyaannya adalah “ mengapa bukan agrikultur yang diadaptasi dari awal dalam evolusi manusia ?” kini, kita tahu bahwa agrikultur, dalam tulisan Cohen, “tidak lebih mudah dari memburu dan mengumpul serta tidak menyediakan kualitas yang lebih baik, atau yang lebibih pas, atau menyediakan makanan pokok yang lebih aman.” Kini pertanyaannya menjadi, “mengapa agrikultur mengadopsi semuanya ?”
Banyak teori telah berkembang, menjadi tidak meyakinkan. Childe dan yang lain memperdebatkan bahwa peningkatan populasi menekan masyarakat untuk berhubungan jauh lebih intim dengan spesies lainnya, memimpin domestikasi dan kebutuhan untuk memproduksi untuk memberi makan orang lain. Namun hal ini telah diperlihatkan dengan meyakinkan bahwa peningkatan populasi terjadi bukanlah sesuatu yang terjadi sebelum agrikultur namun memenag disebabkan olehnya. Saya tidak melihat bukti dimanapun di dunia ini,” Flannery menyimpulkan, “penekan populasi adalah tanggung jawab dari masa awal agrikultur.” Teori lain berpendapat bahwa perubahan iklim secara keseluruhan terjadi pada akhir Pleistocene, kira-kira 11.000 tahun yang lalu, yang membalik kehiudpan pemburu dan pengumpul dan mengarahkan langsung pada pengolahan bahan-bahan makanan pokok yang masih ada. metode penanggalan saat ini telah menghapus pendekatan semacam ini; bukan seperti yang terjadi pada perubahan klimatik yang telah memaksakan sebuah mode baru menjadi eksistensi. Selain itu, terdapat skor dari contoh-contoh dari apa yang telah diadaptasi oleh agrikultur—ataupun yang ditolaknya-dalam setiap jenis suasana. Hipotesis besar lainnya bahwa agrikulturlah yang memperkenalkan melalui suatu kesempatan yang diperoleh dengan adanya penemuan atau hasil penciptaan sebagaimana jika hal ini tidak pernah terjadi pada spesies sebelumnya, sebagai contoh, makanan-makanan tumbuh dari benih-benih yang bertunas. Hal ini terlihat memang bahwa kemanusiaan di jaman paloeletik memiliki pengetahuan yang hampir tak ada habisnya mengenai flora dan fauna sepuluh ribu tahun sebelum pengolahan makanan dimulai, yang mana menyatakan teori semacam ini adalah sangant lemah.
Sesuai dengan apa yang disajikan oleh karya Carl Sauer bahwa “agrikultur tidakalah berasal dari pertumbuhan atau kekurangan bahan pangan” cukup, dimana faktanya, untuk menghilangkan hampir seluruh teori asal-usul yang telah maju. Menyisakan suatu ide, yang dihadirkan oleh Hahn, Isaac dan lainnya, mengatakan bahwa produksi makan adalah dasar seperti pada aktifitas religius. Hipotesis macam iniadalh sangant masuk akal.
Domba dan kambing, binatang yang pertama didomestikasi, diketahui secara luas sebagai binatang yang digunakan dalam upacara religious, dan dibesarkan dipadang rumput yang tijukan untuk upacar-upacar pengorbanan. Sebelum hewan-hewan itu didomestiaksi, domba tidak memiliki wool yang baik untuk tujan pertekstialan. Ayam digunakan di asia bagin tenggara dan timur tengah- adalah pusat dari peradaban awal-“kelihatannya telah,” menurut Darby, “upacara-upacara pengorbanan atau peramalan lebih baik dari hal-hal yang berhubungan dengan makan.” Sauer menambahkan bahwa pengeraman telur dan produksi daging yang dihasilkan” oleh peternak unggas yang dijinakkan “adalah konsekuensi akhir dari domestikasi.” Sapi liar adalah ganas dan berbahaya; baik penjinakan terhadap sapi liar maupun dikebirikan sudah dapat diprediksi. Sapi tidak diambil susunya hingga berabad-abad setelah dijadikan hewan yang dikandangkan, dan representasi mengindikasikan bahwa pemanfaatan tenaga kuda untuk pedati digunakan pada upacara keagamaan.
Tumbuhan, merupakan objek berikutnya yang dikontrol, menampakkan latar belakang yang sama sejauh yang diketahui. Mengingat Dunia Baru memberi contoh dari jeruk dan labu yang awalnya digunakan sebagai hiasan dalam upacara. Johannesessen mengungkapkan motif keagamaan dan mistik berhubungan dengan domestikasi jagung, Hasil panen yang penting dari Meksiko dan pusat agama Neolitik dari orang pribumi. Demikian pula, Anderson menginvestigasi pemilahan dan perkembangan dari tipe khusus pada tanaman olahan yang bervariasi dikarenakan signifikansi magisnya. Saya mesti menambahkan, para penyihir, yang ditempatkan istimewa dalam kekuasaan untuk memperkenalkan agrikultur melalui penjinakan dan menanam termasuk dalam ritual dan agama, secara sederhana mengacu pada hal di atas.
Walaupun penjelasan keagamaan mengenai asal-usul dari agrikultur telah sedikit ditinjau, membawa kita, yang menurut saya, menuju sangat dekat dengan penjelasan dari kelahiran produksi: yang tidak rasional, pemkasaan kultural terhadap alienasi yang menyebar, dalam bentuk waktu, bahasa, angka dan seni, menuju kolonisasi material yang tidak terbatas dan kehidupan fisik dalam agrikultur. “Agama” terlalu menyempitkan konseptualisasi dari infeksi semacam ini dan pertumbuhannya. Dominasi terlalu memberatkan, mendominasi semua hal yang semata-mata disampaikan oleh patologi yaitu agama.
Tetapi nilai kultural dari kontrol dan penyeragaman yang merupakan bagian dari agama, pasti merupakan bagian dari agrikultur, dan memang begitu dari awalnya. Tak ada yang memilah penyerbukan silang jagung dengan mudah, Anderson mempelajari agrikulturalis yang sangat primitif dari suku Assam, Naga, dan variasi jagung mereka yang tidak terlihat berbeda dari tumbuhan satu dengan tumbuhan yang lainnya. Budaya, menunjukkan bahwa hal ini sempurna dari awal produksi, suku Naga menjaga varietas jagungnya dengan murni “hanya oleh kesetaiaan fanatik pada bentuk yang ideal.” Hal semacam ini menunjukkan perkawinan antar budaya dan produksi dalam domestikasi dan berimbas pada ketrunannya, yaitu penindasan dan kerja.
Ketelitian dalam merawat aktivitas pemilahan terhadap tanaman menemukan hubungannya yang sejajar dalam domestikasi hewan yang juga menentang seleksi alam dan membangun kembali dunia organik yang dapat dikontrol dalam kehinaan, pada level artfisial. Seperti tumbuhan, hewan semata-mata menjadi benda yang dimanipulasi; misalnya sapi perah, tampak seperti sesuatu yang mirip mesin untuk merubah rumput menjadi susu. Transmutasi dari kondisi bebas menjadi parasit yang tak tertolong, hewan-hewan ini menjadi sangat bergantung pada manusia untuk bertahan hidup. Pada mamalia jinak, seperti yang telah ditakdirkan, ukuran otaknya menjadi lebih kecil sebagaimana bahan percobaan dihasilkan untuk menyediakan energi untuk berkembang biak dengan sedikit beraktivitas. Ketenangan, sifat kekanak-kanakan, secara tipikal mungkin ditemukan pada domba, kawanan hewan yang paling sering didomestikasi; kecerdasan yang luar bisa dari domba liar telah hilang sepenuhnya akibat penjinakan kawanannya. Hubungan sosial diantara hewan jinak telah direduksi menjadi esensi yang kasar. Bagian yang bukan merupakan alat reproduksi dari daur hidup di minimalisir, perkawinan dibatasi, dan hewan sangat mampu untuk mengenali bahwa spesiesnya sendiri menjadi lemah.
Bertani juga membuat potensi kehancuran lingkungan yang cepat dan dominasi atas lingkungan segera dimulai, untuk menegmbalikan hamparan hijau yang melindungi temapat kelahiran peradaban menjadi tandus dan tak layak hidup. Banyak daerah yang luas telah merubah apspeknya sepenuhnya,” Zeuner memperkirakan, “kondisi yang seolah-olah kering sepertinya telah dimulai sejak awal masa neolitik.” Hampir seluruh area gurun pasar kini dimana peradaban maju tumbuh dengan subur, dan adalah bukti sejarah bahwa formasi awal dari yang tak terhindarkan ini merusak lingkungannya sendiri.
Melalui suku Basin di timur tengah dan berdampingan dengann Timur dan asia, agrikulutur kembali menjadikan kesuburan dan lahan yang ramah menjadi kering, dan tanah kering yang berbatu. Di Critias, Plato menggambarkan Attica sebagai “ kerangka pemborosan yang disebabkan oleh penyakit,” mengacu pada penggudulan hutan oleh bangsa Roma dan mengontraskannya menjadi kekayaan pribadi awalnya. Pengembalaan kambing dan domba, binatang pemamah biak pertema yang didomestikasi, adalah faktor utama dalam penggundulan Yunani, lebanon dan afrika selatan, serta penggersangan oleh kerajaan Roma dan mesopotamia.
Selain itu, pengaruh kekinian dari agrikultur, bersinar dengan drastis tahun-tahun belakangan, termasuk kesehatan fisik dari subjeknya. Penelitian Lee dan Devore menunjukan bahwa “Diet dari para pemburu dan peramu sejauh ini lebih baik dari para petani, bahwa kemiskinan sangat jarang ditemukan, bahwa kondisi kesehatan mereka lebih baik, dan hanya sedikit terdapat penyakit yang kronis.” Sebaliknya, Farb meringkas, “produksi menyediakan suatu inferior diet berdasar pada jumlah makanan yang terbatas, hal ini mungkin benar karena penyakit dari tumbuh-tumbuhan dan perubahan cuaca, dan juga lebih mahal dalam pengertian pengeluaran dari kerja manusia.
Ruang lingkup baru dari paleopatologi telah berkembang memiliki kesimpulan yang lebih tegas,sepeti yang dilakukan Angel, ia menekankan, “ suatu penurunan yang tajam dalam pertumbuhan dan nutrisi disebabkan oleh perubahan dari mengumpul makanan menjadi produksi makanan.” Kesimpulan yang lebih awal mengenai lamanya usia juga telah ditinjau kembali. Walaupun saksi mata dari spanyol menjelaskan pada abad ke-16 bahwa ayah-ayah indian di florida masih melihat generasi ke-5 nya sebelum mereka mati hal ini dulu dipercaya bahwa orang-orang primitif mati pada usia 30-an-40-an. Robson, Boyden dan yang lainnya telah menghilangkan kebingungan mengenai harapan hidup dan panjang dan menemukan bahwa para pemburu dan peramu saat ini, sering megalami luka dan infeksi yang berat, karena mereka sering hidup lebih lama hidup dari kebudayaan beradab yang sejaman. Selama era industrial hanya spesies yang hidup normal yang memiliki usia hidup lebih lama, dan hal ini sekarang diketahui bahwa zaman paleolitik manusia hidup sebagai binatang dalam waktu lama, satu waktu dimana beberapa resiko tertentu berhasil dilewati. DeVries sama sekali tidak keliru saat berkesimpulan bahwa lamanya usia menurun tajam ketika berhubungan dengan peradaban.
Penyakit Tuberculosis dan diarrheal sedang menunggu berkembangnya pertanian, cacar air dan pes muncul diberbagai kota-kota besar,” tulis Jared Diamond. Malaria, Mungkin menjadi satu pembunuh hebat yang membunuh manusia, dan mungkin semua penyakit infeksi disebabkan adalah warisan dari Agrikultur. Penyakit nutrisi dan degeneratif umumnya muncul dengan kuasa domestikasi dan budaya. Kanker,trombosit koroner, anemia, kebusukan pada gigi, dan gangguan jiwa
Dulu orang hidup jauh lebih peka. Orang-orang !Kung san, yang diberitakan oleh R.H Post, dapat mendengar deru mesin pesawat walaupun jaraknya 70 mil, dan banyak dari mereka bisa melihat keempat bulan dari planet jupiter dengan mata telanjang. Ringkasan Kesimpulan dari Harris dan Ross, seperti “penurun kualitas dan mungkin juga rentan waktu kehidupan manusia pertanian yang diperbandingkan dengan kelompok-kelompok awal pemburu dan pengumpul,” adalah sangat jauh perbedaannya.
Salah satu dari ide yang sangat universal adalah bahwa pernah terjadi suatu masa keemasan/Golden age dari Innocence/suatu kepolosan sebelum sejarah dimulai. Hesiod, sebagai contohnya, mengacu pada “life-sustaining soil/penunjang kesuburan, yang menghasilkan hasil panen buah-buahan yang berlimpah tanpa kerja yang terlalu keras.”sudah tentu surga adalah rumah dari para pemburu dan peramu dan yang ingin diekspresikan dengan imaji sejarah mengenai surga telah dikecewakan oleh para petani pengelola tanah untuk kehilangan kebebasan dalam kehidupan dan kesenangan.
Sejarah peradaban menunjukan meningkatnya pergeseran dari yang alimiah ke pengalaman manusia, sebagian ditandai oleh menyempitnya/terbatasnya pilihan makanan. Menurut Rooney, orang-orang prasejarah bisa menemukan makanan pada 1500 spesies tumbuhan liar, sebaliknya “keseluruhan peradaban,” Wenke mengingatkan kita, “berdasar pada pengolahan pada satu jenis atau lebih mereka hanya mampu mengolah enam spesies tumbuhan : Gandum,barley,pepadian,beras,jagung dan kentang.”
Hal ini adalah benturan yang sesungguhnya selama lebih dari berabad-abad lamanya “ jumlah dari jenis makanan yang beragam yang dimakan,” Pyke menekankan, “dengan pasti berkurang” populasi manusia untuk meyambung kehidupan kini bergantung hanya pada 20 genus tumbuhan sementara kondisi-kondisi yang pada awalnya alamiah diganti dengan hibrida buatan dan kumpulan dari tumbuhan-tumbuhan seperti ini menjadi jauh lebih tidak bervariasi.
Keanekaragaman tumbuhan cenderung menghilang atau cenderung merata dalam proporsinya sebagaimana peningkatan proporsinya pada manufakturisasi makanan. Hari ini artikel yang serupa dengan diet didistribusikan luas, demikian terjadi pada Inut Eskimo dan orang-orang afrika mungkin akan memakan susu bubuk di Wisconsin atau stick ikan beku dari pabrik tunggal di swedia. Beberapa multinasional besar seperti Unilever, perusahaan dengan produksi makanan terbesar di dunia, memimpin sistem pelayanan yang sangat terintegrasi dimana suatu objek sama sekali tidak dipelihara atau bahkan diberi makanan, akan tetapi justru memaksa terbentuknya konsumsi yang berkepanjangan/abadi, menjamin suatu proses produk untuk dunia.
Saat Descartes mengatakan prinsip bahwa eksploitasi penuh dari apa yang ada adalah tugas dari semua umat manusia, keterpisahan kita dengan alam sangatlah jelas dan panggung itu telah di set bagi revolusi industri. 350 tahun kemudian semanagt ini masih melekat pada orang-orang seperti Vosrst, seorang curator museum sejarah alam di prancis ytang mengumumkan bahwa spesies kita, “karena dengan kecerdasan,” tidak bisa lagi melewati ambang pintu peradaban dan menjadi bagian habitat dari alam. Selanjutnya ia menetapkan, mengekspresikan dengan tepat dan tekun, imprealisme agrikultur, “seperti bumi pada kondisi primitive tidaklah menyesuaikan diri dengan ekspansi kita, manusia harus menahannya/membelenggunya untuk memnuhi takdir manusia.”
Pabrik-pabrik awal secara literal mimicked model agricultural, hal ini mengindikasikan lagi bahwa seluruh dasar dari produksi massal adalah bertani. Alam telah dipaksa dan menjadi rusak untuk kerja. Seseorang dari amerika tengah yang berpikir untuk menetap di padang rumput dimana ia memiliki sepasang lembu jantan untuk membajak adalah proses penggalian pada tanah untuk pertama kalinya. Ataupun dari kondisi 1870-an di Octopus oleh Frank Norris, bahwa para komplotan-pembajak pergi seperti “sepasukan tentara artileri” yang menyebrangi desa San Joaquin, menggali 175 alur untuk membajak pertama kali.
Hari ini zat organik, apa yang tersisakan padanya, telah termekanisasi penuh dibawah pengawasan korporasi-korporasi petrokimia. Fertilisasi buatan mereka, pestisida,herbisida dan monopoli mereka terhadap stok-stok bibit/benih menentukan jumlah lingkungannya yang mengintegrasi makanan dari tanaman untuk dikonsumsi. Meskipun Lévi-Strauss benar bahwa “ manufaktur dari peradaban monokultur adalah mirip dengan gula bit,” hanya sejak perang dunia ke-2 telah melengkapi orientasi sintetis untuk mulai mendominasi.
Aglikultur hanya mampu mengambil zat yang organik dari tanah namun ia tak bisa mengembalikannya, dan erosi pada tanah adalah dasar dari laporan tahunan dari monokultur. Mengenai hal ini, sesuatu telah dipromosikan dengan hasil yang merusak tanah; serupa dengan katun dan kacang kedelai, jagung, dimana dalam kondisi didomestikasi telah sepenuhnya bergantung pada agrikultur demi kelangsungan eksistensinya, hal ini sesungganya adalah buruk. J. Russell Smith menyebutnya “the killer of continents … dan salah satu musuh bagi masa depan manusia.” Ongkos erosi dari satu gantang jangung Iowa adalah dua gantang tanah humus, mementingkan destruksi industrial skala besar untuk lahan pertanian. Keberlanjutan tillage/pundi-pundi uang dari suatu bentuk monokultur yang luas, dengan penggunaan zat kimia yang masif dan tak ada penerapan pada pupuk atau humus, dengan jelas menyebabkan kondisi tanah yang semakin buruk dalam level yang lebih besar.
Mode dominan agrikultur yang dimilikinya terhadap tanah membutuhkan pasokan zat kimia yang masif, yang diawasi oleh para teknisi yang memaksa tujuanya untuk memakasimalkan produksi. Fertilisasi buatan dan semua hal ini bersandar pada pandangan untuk mengeliminasi kebutuhan bagi kehidupan yang kompleks dari tanah dan tentunya merubahnya menjadi instrumen produksi. Janji dari teknologi adalah pengontrolan yang total, yang sepenuhnya membuat lingkungan dengan mudahnya menggantikan keseimbangan alamiah dari biosfer.
Namun secara terus-menerus energi dibelanjakan untuk membeli hasil yang bagus dari monokultural mulai mengalami kemerosotan, seperti tidak mempermasalhkan kontaminasi racun pada tanah, air tanah dan makanan. Departemen Agrikultur U.S mengatakan erosi pada tanah garapan terjadi di negri ini rata-rata 2 miliar ton tanah dalam setahun. The National Academy of Sciences mengestimasi bahwa lebih dari satu, lapisan ketiga dari topsoil/lapisan tanah paling atas sudah hilang selamanya. Ketidakseimbangan ekologikal disebabkon oleh monocropping/cara pananen tunggal dan fertilisasi sintetik yang menyebabkan peningkatan hama dalam jumlah besar dan kerusakan pada hasil panen; sejak perang dunia ke dua, kehilangan hasil panen akibat serangga meningkat dua kali lipat. Respon teknologi, tentu saja, dengan penerapan spiraling/spiralisasi yang lebih pada fertilisasi sintetis, serta “tembakau” dan pembasmi “serangga”, meningkatkan kejahatan melawan alam.
Fenomena yang lain dari Post-war/masa-masa setelah perang adalah revolusi hijau, menuntut semacam pembebasan dari negara dunia ketiga yang dimelaratkan oleh kapital dari amerika dan teknologinya. Namun bukannya memberikan makan yang kelaparan, revolusi hijau membawa jutaan orang miskin dari lahan pertanian di asia, amerika latin dan afrika sebagai korban dari program yang membantu perkembangan korporsi pertanian yang besar. Hal ini sama pada kolonisasi teknologi yang menggila yang membuat ketergantungan pada modal-intensif dalam agribisnis, menghancurkan komunalisme para agrarian yang lebih tua, membutuhkan konsumsi yang masif dari minyak fosil dan penyerangan terhadap alam dengan skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Desertification/Desertifikasi (penj : perubahan lahan subur menjadi padang gurun yang tak subur, atau kehilangan tanah yang semestinya bagi agrikultur, telah meningkat dengan drastis. Tiap tahun, jumlah area, mungkin sepadan dengan dua kota belgia telah dirubah menjadi padang pasir diseluruh dunia. Nasib hutan hujan tropis bumi adalah satu faktor dalam percepatan dari proses pengawetan melalui pengeringan; beberapa dari hutan ini telah hilang tiga puluh tahun lalu. Di botswana, region hutan belantara terakhir di afrika telah menghilang seperti banyak hutan amazon dan separuh dari hutan hujan di amerika tengah, penyeab utamnya adalah untuk meningkatkan umlah sapi untuk pasar hamburger di Amerika dan eropa. Beberapa area yang selamat dari penggundulan adalah dimana agrikultur tak ingin menjangkaunya. Penghancuran lahan berlanjut di U.S lebih dari semua area besar was encompassed by the original thirteen colonies, sama seperti hal ini pada kelaparan besar yang melanda orang-orang afrika pertengahan 1980-an, dan setelah itu meyebabkan punahnya salah satu spesies dari binatang liar dan juga tumbuhan.
Kembali ke pembahasan mengenai binatang, sesuatu yang diingatkan dari tulisan dalam kitab kejadian dimana tuhan berkata pada noah, “ dan khawatiran serta rasa takut dari mu akan menjadi rasa takut dan khawatir atas tiap unggas yang ada di udara, atas semua Moveth di bumi, dan atas seluruh ikan di laut; ditanganmulah mereka akan dikirim.” Saat teritori ditemukan pertama kali dikunjungi oleh tentara pintar dari produksi, sebagaimana literatur deskriptif yang luas mnunjukkan , mamalia dan burung liar memperlihatkan ketidaktakutan pada para penjelajah apapun juga. Bagaimanapun, agrikulturalisasi mentalitas, benar-benar teramalkan dalam Passage bibel, proyek proyek yang melebih-lebihkan kepercayaannya dalam kebuasan binatang liar, yang selanjutnya pada pemisahan dan hilangnya kontak dengan dunia binatang, plus kebutuhan untuk merawat yang dominan dari hal ini.
Nasib dari dunia hewan telah didefeniskan oleh fakta bahwa para teknologis agrikultural secara berkelanjutan melihat pabrik-pabrik sebagai model dari bagaimana menyuling sistem produksi mereka sendiri. Alam diabaikan dari sistem semacam ini sebagaimana, yang terus meningkat, jumlah hewan-hewan pertanian terus meningkat melalui perubahan hidupnya. Dirawat dalam tingakat kepadatan yang tinggi , dengan semua lingkungan buatannya. Miliaran ayam ,babi, anak sapi, sebagi contoh, bahkan tak ada lagi yang dapat melihat cahaya di siang hari yang hanya bisa menjelajahi ladang, ladang membuat kebisuan dan banyak pastur membajak untuk menumbuhkan bibit dengan mengurungnya secara mengerikan.
Peternakan ayam yang berteknologi maju, yang paruhnya pasti berakhir terjepit dengan tujuan mereduksi kematian yang disebabkan oleh tekanan untuk saling berkelahi, yang sering muncul empat bahkan lima dari 12 sampai 18 kandang dan secara periodical sangat kekurangan makanan dan air untuk bertahan samapai 10 hari untuk meregulasi sirkulasi pengeramannya. babi yang hidup pada lantai beton dan tanpa pemasangan: penyakit kaki pada hewan, ekor yang terpotong dan kanibalisme adalah penyakit endemic disebabkan oleh kondisi fisik serta stress. Cara merawat anak babi adalah dengan dipisahkan menggunakan rantai logam,dari innduknya serta menghalangi anak-anak babi bersentuhan dengan alam. Pemeliharan Anak sapi/lembu sering di lakukan ditempat yang tertutup, dirantai didalam kandang yang sempit bukannya dikembalikan pada penyesuaian pada postur normalnya. Binatang secara umum cara hidupnya dikuasai dibawah pengobatan yang konstan yang berkaitan dengan penyiksaan dan memuncak pada kerentanan terhadap penyakit; pengotomatisasi produksi hewan bersandar atas hormone-hormon dan antibiotic. kekejaman yang sistematis semacam itu, belum lagi jenis makan yang menghasilkan, pada kenyataannya bahwa tawanan itu sendiri dan tiap bentuk dari perbudakan milik agrikultur sebagai model dan leluhurnya.
Makanan telah menjadi satu dari cara berhubungan langsung kita dengan alam, namun kita berkontribusi pada peningkatan yang bergantung pada satu sistem produksi teknologikal yang akhirnya bahkan indera kita menjadi berlebihan; indera perasa, yang penting untuk memutuskan nilai makanan dan keamanan makanan, kini tak lagi punya pengalaman, namun kita bisa menilainya melalui label yang sudah disertifikasi. Secara keseluruhan, kelayakan dari apa yang kita konsumsi ditinggalkan dan daratan sekali lagi diolah untuk makanan yang menghasilkan kopi, tembakau, padi-padian untuk dijadikan alcohol, marijuana, dan obat-obatan lainnya, yang membuat konteks bagi kelaparan.
Perang meminjam dari agrikultur untuk menggunduli berhektar-hektar hutan di Asia Selatan selama perang Vietnam, akan tetapi dalam menjarah hasil-hasil dari biosfer bahkan lebih mematikan dalam kesehariannya, yaitu bentuk globalnya. Makanan sebagai fungsi produksi juga telah gagal dalam tingkat yang sangat jelas: sebagian dari dunia, sebagaimana yang diketahui oleh semua orang, berkisar pada penderitaan yang berasal dari malnutrisi yang menjadi kelaparan itu sendiri.
Sementara itu, “penyakit peradaban,” seperti yang didiskusikan oleh Eaton dan Konner pada 31 Januari 1985 dalam New England Journal of Medicine dan berbeda dengan kondisi kesehatan diet pra-pertanian, menandakan kemuraman, dunia sakit-sakitan terhadap ketidfakmampuan kronis dalam menyesuaikan diri kita mendiami seperti sasaran pabrikan obat-obatan, kosmetik, dan pembuatan makanan. Domestikasi menjangkau ketinggian baru mengenai patologi dalam perekayasaan genetik makanan, dengan berbagai hewan-hewan jenis baru yang mana sebentar lagi seperti menyusun mikro-organisme dan tetumbuhan. Secara logis, umat manusia itu sendiri juga akan didomestikasi dalam tatanan ini sebagaimana dunia produksi yang membentuk kita seperti penurunan dan perubahan setiap system yang lain dari alam.
Proyek penaklukan alam, dimulai dan dipindahkan melalui agrikultur, telah menanggung proporsi yang gigantic. “Keberhasilan” dan kemajuan peradaban, kesuksesan awal umat manusia yang tidak pernah diinginkan, terasa dan kian terasa seperti debu. James Serpell meringkasnya dengan jalan seperti ini: “Secara singkat kita tampak meraih akhir dari jalur itu. Kita tidak bisa mengembangkan; kita terlihat tidak mampu untuk mengintensifkan produksi tanpa mendatangkan malatepaka lagi, dan planet dengan cepat berubah menjadi tanah gersang. “Lee dan Devore menulis bagaimana cepatnya semua ini berakhir dan bagaimana, mengantar-planetkan para arkeolog masa depan,” mungkin takdir peradaban akan terlihat: “…periode yang sangat panjang dan stabil dari perburuan dan peramuan skala kecil yang selanjutnya muncul seketika itu juga pengembangan teknologi … berjalan dengan cepat menuju kepunahan. ‘Secara stratigrafikal’ asal-usul atau penghancuran agrikultur dan termonuklir akan muncul secara esensial dan simultan.”
Psikolog Jared Diamond mengistilahkan inisiasi dari agrikultur sebagai “sebuah kehancuran dari apa yang tidak pernah kita temukan.” Agrikultur masih dan menyisakan sebuah “bencana” pada semua level, satu-satunya yang menopang seluruh kultur material dan spiritual dari alienasi yang kini menghancurkan kita. Pembebasan adalah mustahil tanpa penghancuran corak agrikultur!