Seni selalu tentang “sesuatu yang tersembunyi”. Tetapi apakah seni membantu kita terhubung dengan sesuatu yang tersebunyi itu? Saya kira seni justru membuat kita menjauh dari hal itu.

Selama sekitar satu juta tahun pertama sebagai makhluk reflektif, tampaknya manusia tidak hidup untuk menciptakan seni. Seperti yang dikatakan Jameson, seni tidak memiliki tempat dalam “realitas sosial yang tak runtuh”, sebab kebutuhan akan hal itu tak ada. Meskipun perkakas dibuat dengan penghematan upaya dan kesempurnaan bentuk yang menakjubkan, klise lama mengenai dorongan estetika sebagai salah satu komponen pikiran manusia yang tidak dapat direduksi itu tak valid.

Karya seni tertua yang bertahan lama adalah cetakan tangan (jiplakan tangan), dihasilkan dengan tekanan atau pigmen yang ditiup—tanda dramatis akan kesan lang-sung pada alam. Kemudian di atas era Paleolitikum, sekitar 30.000 tahun yang lalu, seni gua yang dihubungkan dengan nama-nama seperti Altamira dan Lascaux secara tiba-tiba muncul. Gambar-gambar hewan ini memiliki semangat dan naturalisme yang seringkali menakjubkan, meskipun patung yang ditemukan berbarengan, seperti patung wanita “venus” yang banyak ditemukan, juga cukup bergaya. Mungkin ini menunjukkan bahwa domes-tikasi manusia mendahului domestikasi alam. Secara signifikan, “sihir simpatik”[1] atau teori seni perburuan paling awal kini telah memudar dengan adanya bukti bahwa alam itu baik hati (dengan kelimpahan) ketimbang mengancam.

Ledakan seni yang sesungguhnya saat ini menunjukkan kecemasan yang tidak pernah dirasakan sebelumnya: dalam kata-kata Worringer, “penciptaan diupayakan untuk menaklukkan siksaan dari persepsi”. Inilah wujud simbolisnya, sebagai momen ketidakpuasan. Hal itu merupakan kecemasan sosial; orang-orang merasakan sesuatu yang berharga baginya terlepas. Melesatnya perkembangan dari ritual atau upacara paling awal (berhubungan) sejajar dengan kelahiran seni, dan kita diingatkan akan reka ulang ritual paling purba dari momen “permulaan”, sorga primordial dari masa kini yang tak lekang oleh waktu. Representasi yang tervisualkan membangkitkan kembali keyakinan dalam pengendalian perasaan kehilangan, yakni keyakinan pada kekerasan itu sendiri.

Dan kita melihat bukti paling tua dari pembagian simbolis, seperti wajah batu setengah manusia setengah binatang di El Juyo. Dunia terbagi menjadi kekuatan-kekuatan yang berlawanan, yang dengannya pembedaan biner, kontras budaya dan alam dimulai, dan masyarakat hierarkis yang produksionis mungkin sudah tergambarkan sebelumnya.

Tatanan persepsi itu sendiri, sebagai satu kesatuan, mulai runtuh sebagai cerminan dari tatanan sosial yang kian kompleks. Hierarki indra, dengan visual yang kian terpisah dari yang lain dan visual yang mencari penyelesaiannya dalam gambar buatan seperti lukisan gua, bergerak menggantikan simultanitas penuh kepuasan sensual (badani). Lévi-Strauss menemukan, dengan takjub, orang-orang pedalaman yang dapat melihat Venus di siang hari; tetapi tidak hanya karena dulu panca indera kita sangat tajam, namun karena mereka juga tidak teratur dan terpisah. Bagian dari melatih penglihatan untuk menghargai (mengapresiasi) objek-objek budaya adalah represi atas kesegeraan yang menyertainya dalam pengertian intelektual: realitas telah disingkirkan semata demi pengalaman estetis. Seni membius organ-organ indera dan menghilangkan dunia alamiah dari jangkauan mereka. Hal tersebut mereproduksi/membangun budaya, yang tidak pernah mampu mengimbagi ketidakmampuan.

Tidak mengherankan, tanda-tanda awal penyimpangan dari prinsip-prinsip egaliter yang menjadi ciri kehidupan pemburu-pengumpul itu kini muncul. Asal usul seni visual dan musik perdukunan telah sering dikomentari, inti dari ini adalah bahwa seniman-dukun adalah spesialis pertama. Tampaknya gagasan keberlebihan (surplus) dan komoditas muncul bersama dukun, yang orkestrasi aktivitas simbolisnya menandakan keterasingan dan stratifikasi lebih lanjut.

Seni, seperti bahasa, adalah sistem pertukaran simbolik yang memperkenalkan pertukaran itu sendiri. Ini juga merupakan perangkat yang diperlukan untuk menyatukan komunitas berdasarkan gejala pertama kehidupan yang tidak setara. Pernyataan Tolstoy bahwa “seni adalah sarana penyatuan di antara manusia, menyatukan mereka bersama dalam perasaan yang sama”, menjelaskan kontribusi seni terhadap kohesi sosial pada awal kebudayaan. Menyosialisasikan ritual membutuhkan seni; karya seni berasal dari pelayanan ritual; produksi ritual seni dan produksi ritual artistik pada dasarnya sama saja. “Musik,” tulis Seu-ma-tsen, “adalah yang menyatukan.”

Saat kebutuhan akan solidaritas meningkat, begitu pula kebutuhan akan upacara; seni juga akan memainkan peran dalam fungsi mnemoniknya. Seni, dengan mitos yang menyertainya, berfungsi sebagai kemiripan (baca: cerminan) memori nyata. Di ceruk gua, indoktrinasi paling awal dilakukan melalui lukisan dan simbol lainnya, yang dimaksudkan untuk membubuhkan aturan dalam ingatan kolektif yang didepersonalisasi. Nietzsche melihat bagaimana ingatan dilatih, terutama ingatan akan kewajiban, sebagai cikal bakal dari moralitas beradab. Begitu proses simbolis seni berkembang, ia mendominasi ingatan dan juga persepsi, memberi cap pada semua fungsi mental. Memori budaya berarti bahwa tindakan seseorang dapat dibandingkan dengan tindakan orang lain, termasuk leluhur yang digambarkan, dan perilaku masa depan yang diantisipasi dan dikendalikan. Ingatan jadi dieksternalisasi, mirip dengan properti (sifat/ke-akuan) akan tetapi bukan properti subjek (sifat subjek).

Seni mengubah subjek menjadi objek, menjadi simbol. Peran dukun adalah untuk mengobjektifikasi realitas; ini terjadi pada alam luar (realitas eksternal) dan juga pada subjektivitas karena kehidupan yang terasing menuntutnya. Seni menyediakan media transformasi konseptual di mana individu dipisahkan dari alam dan didominasi, pada tingkat yang terdalam, secara sosial. Kemampuan seni untuk melambangkan dan mengarahkan emosi manusia mencapai kedua batasnya. Apa yang wajib kita terima sebagai kebutuhan, untuk menjaga diri kita tetap berorientasi pada alam dan masyarakat, pada dasarnya adalah penemuan dunia simbolis, Kejatuhan Manusia.

Dunia mesti dimediasi oleh seni (dan komunikasi manusia dengan bahasa, dan keberadaan oleh waktu) karena pembagian kerja, seperti yang tampak dalam sifat ritual. Objek nyata, kekhasannya, tidak muncul dalam ritual; sebagai gantinya, yang abstrak digunakan, sehingga istilah ekspresi seremonial terbuka untuk penggantian. Konvensi-konvensi yang dibutuhkan dalam pembagian kerja, dengan standardisasi dan raibnya keunikan, adalah ritual, simbolisasi. Proses itu pada dasarnya identik (sama), berdasarkan kesetaraan. Produksi barang-barang, sebagai mode pemburu-pengumpul secara bertahap dilikuidasi demi pertanian (produksi historis) dan agama (benar-benar produksi simbolis), juga merupakan produksi ritual.

Agen, sekali lagi, adalah dukun-seniman, dalam perjalanan menuju kesalehan, pemimpin dengan dalih menguasai keinginan langsungnya sendiri melalui simbol. Semua yang spontan, organik, dan naluriah harus dikebiri oleh seni dan mitos.

Baru-baru ini, pelukis Eric Fischl di Museum Whitney menampilkan suatu pasangan dalam paal hubungan seksual. Sebuah kamera video merekam paal mereka dan memproyeksikannya ke monitor TV di depan keduanya. Mata pria itu terpaku pada gambar di layar, yang jelas lebih menarik daripada paal itu sendiri. Gambar-gambar gua yang menggugah, bergejolak di kedalaman dramatis tata cahaya, memulai transfer yang dicontohkan dalam tablo Fischl, di mana bahkan tindakan paling primer pun bisa menjadi sekunder dari representasi mereka. Mengondisikan diri untuk menjauh dari eksistensi riil telah menjadi tujuan seni sejak awal. Demikian pula, kategori penonton, konsumsi yang diawasi, bukanlah hal baru, karena seni telah berusaha menjadikan hidup itu sendiri sebagai objek kontemplasi.

Ketika Zaman Paleolitik memberi jalan pada ke-datangan pertanian dan peradaban Neolitik—produksi, kepemilikian pribadi, bahasa tertulis, pemerintah, dan agama—budaya dapat dilihat lebih lengkap sebagai penurunan spiritual dari pembagian kerja, meskipun spe-sialisasi global dan teknologi mekanistik tidak berlangsung sampai akhir Zaman Besi.

Representasi yang jelas dari seni pemburu-pengumpul akhir digantikan oleh gaya geometris formalistik, yang mereduksi gambar tentang binatang dan manusia ke dalam simbol. Stilisasi yang sempit ini mengungkapkan bahwa seniman menutup dirinya dari kekayaan realitas empiris dan menciptakan alam semesta simbolis. Kekeringan presisi linier adalah salah satu ciri dari titik balik ini, mengingatkan Yoruba, yang mengasosiasikan garis dengan peradaban: “Negara ini telah menjadi beradab”, secara harfiah berarti, di Yoruba, “pribumi ini memiliki garis di wajahnya”. Bentuk-bentuk tidak fleksibel dari masyarakat yang benar-benar teralienasi terlihat di mana-mana; Gordon Childe, misalnya, mengacu pada roh ini, menunjukkan bahwa pot-pot di desa Neolitik semuanya sama. Terkait dengan itu, peperangan dalam bentuk adegan pertempuran pertama kali muncul dalam seni.

Saat ini karya seni sama sekali tidak otonom; ia me-layani masyarakat dalam arti langsung, instrumen kebutuhan kolektivitas baru. Tidak ada pemujaan-kultus selama Paleolitik, tetapi kini agama memegang kendali, dan perlu diingat bahwa selama ribuan tahun fungsi seni adalah untuk menggambarkan para dewa. Sementara itu, apa yang Glück tekankan mengenai arsitektur pedalaman Afrika juga berlaku di semua budaya lain: bagaimana bangunan keramat menjadi hidup dengan model pengaturan sekuler. Dan meskipun karya-karya berlisensi tidak muncul untuk pertama kalinya sebelum periode Yunani akhir, kondisinya belum tepat untuk menuju ke pengejawantahan seni, untuk beberapa fitur umumnya.

Seni tidak hanya menciptakan simbol dari dan untuk masyarakat, ia adalah bagian dasar dari matriks simbolis kehidupan sosial yang terasing. Oscar Wilde mengatakan bahwa seni tidak meniru kehidupan, melainkan sebaliknya; sampai saat ini kehidupan mengikuti simbolisme, tidak lupa bahwa kehidupan (yang berubah bentuk telah) juga menghasilkan simbolisme. Setiap bentuk seni, menurut T.S. Eliot, adalah “serangan terhadap yang tidak terartikulasi”. Seni seharusnya berkata pada sesuatu yang tidak disimbolkan.

Baik pelukis ataupun penyair selalu ingin mencapai keheningan di balik dan di dalam seni serta bahasa, meninggalkan pertanyaan apakah individu cukup puas dalam mengadopsi mode ekspresi ini(?). Meskipun Bergson mencoba mendekati tujuan pemikiran tanpa simbol, terobosan semacam itu tampaknya mustahil tanpa penghancuran yang aktif dari semua lapisan keterasingan. Dalam situasi revolusioner yang ekstrem, komunikasi langsung telah berkembang meski begitu singkat.

Fungsi utama seni adalah untuk mengobjektifikasi perasaan, yang dengannya motivasi dan identitas seseorang diubah menjadi simbol dan metafora. Semua seni, sebagai simbolisasi, berakar pada penciptaan pengganti, pengganti yang dimaksudkan untuk sesuatu yang lain; oleh karena itu, menurut sifatnya, seni adalah pemalsuan. Di bawah kedok “memperkaya kualitas pengalaman manusia”, kami menerima perwakilan, deskripsi simbolis mengenai bagaimana kita seharusnya merasa, dikondisikan untuk membutuhkan citra sentimen publik seperti yang disediakan oleh seni ritual dan mitos untuk keamanan psikis kita.

Kehidupan di dalam peradaban hampir seluruhnya dihayati dalam medium simbol. Tidak hanya kegiatan ilmiah atau teknologi, namun juga bentuk estetika adalah kanon simbolisasi, yang kerap diungkapkan secara tidak spiritual. Hal ini secara luas diakui, misalnya, bahwa sejumlah angka matematis yang terbatas menjelaskan kemanjuran seni. Ada diktum terkenal Cezanne untuk “memperlakukan alam dengan silinder, lingkaran, dan kerucut,” dan penilaian Kandinsky bahwa “dampak sudut tajam segitiga pada lingkaran menghasilkan efek yang tidak kalah kuatnya dengan jari Tuhan yang menyentuh jari Adam dalam (lukisan) Michelangelo.” Makna sebuah simbol, seperti yang disimpulkan Charles Pierce, adalah simbol yang lainnya, ini merupakan reproduksi tanpa akhir, manakala yang riil selalu tergantikan.

Meskipun seni pada dasarnya tidak peduli dengan keindahan, ketidakmampuannya untuk menyaingi alam secara sensual telah menimbulkan banyak perbandingan yang tidak menguntungkan. “Cahaya bulan adalah patung,” tulis Hawthorne; Shelley memuji “seni yang tidak direnungkan” (baca: spontan) dari skylark; Verlaine menyatakan laut lebih indah dari semua katedral. Dan seterusnya, bersama matahari terbenam, kepingan salju, bunga, dan lain-lain. Itu melampaui produk simbolis seni. Jean Arp menyebut bahwa, pada kenyataannya, “gambar paling sempurna” tidak lebih dari “bubur kering, yang sepertinya tipis dan berkutil.”

Lalu mengapa seseorang merespons seni secara positif? Sebagai kompensasi dan sesuatu yang meredakan, tentu karena hubungan kita dengan alam dan kehidupan ini sangat kurang dan hubungan yang otentik itu tidak dapat mungkin. Seperti yang dikatakan Motherlant, “Seseorang memberikan pada seninya apa yang tidak mampu ia berikan pada eksistensinya sendiri.” Hal ini berlaku untuk seniman dan penonton; seni, seperti agama, muncul dari hasrat yang tidak terpuaskan.

Seni harus dianggap sebagai aktivitas keagamaan dan dikategorikan juga dalam pengertian aforisme Nietzsche, “Kita memiliki Seni agar tidak binasa dari Kebenaran.” Penghiburannya menjelaskan preferensi yang luas untuk sebuah metafora daripada hubungan langsungnya dengan benda sungguhan. Jika kesenangan entah bagaimana pun caranya dapat bebas dari setiap pengekangan, hasilnya akan menjadi antitesis dari seni. Namun, dalam kehidupan yang didominasi, tidak ada kebebasan di luar seni, dan bahkan sebagian kecil dari kekayaan keberadaan yang berubah bentuk pun disambut. “Aku menciptakan sesuatu agar aku tak menangis,” ungkap Klee.

Terpisahnya alam dari kehidupan yang dibuat-buat ini adalah penting dan berhubungan dengan mimpi buruk yang sedang terjadi saat ini. Dalam pemisahannya yang terlembagakan, ia sesuai dengan agama dan ideologi pada umumnya, di mana unsur-unsurnya tidak, dan tidak dapat, diaktualisasikan; karya seni adalah pilihan kemungkinan yang tidak terwujud kecuali dalam istilah simbolis. Timbul dari rasa kehilangan yang disebutkan di atas, ia menyesuaikan diri dengan agama bukan hanya karena keterkungkungannya pada lingkungan ideal dan tidak adanya konsekuensi perbedaan pendapat, melain-kan karena ia tidak lebih dari kritik yang paling dinetralkan dengan apik.

Sering dibandingkan dengan permainan, seni dan budaya—seperti agama—lebih sering berfungsi sebagai generator rasa bersalah dan penindasan. Mungkin fungsi jenaka dari seni, serta klaim umum untuk transendensi, harus diperkirakan ketika seseorang dapat menilai kembali makna Versailles: dengan merenungkan kesengsaraan para pekerja yang binasa menguras rawa-rawanya.

Clive Bell menunjuk intensinya pada seni untuk memboyong kita dari bidang perjuangan sehari-hari “ke dunia pemujaan estetika”, sejajar dengan tujuan agama. Malraux menawarkan penghargaan lain kepada kantor seni konservatif ketika dia menulis bahwa tanpa karya seni peradaban akan hancur “dalam lima puluh tahun” … menjadi “diperbudak oleh naluri dan mimpi-mimpi elementer.”

Hegel menegaskan seni dan agama juga memiliki “kesamaan ini, yaitu, memiliki hal-hal yang sepenuhnya universal sebagai konten.” Fitur generalitas ini, makna tanpa referensi konkret, berfungsi untuk memperkenalkan gagasan bahwa ambiguitas adalah ciri khas seni.

Biasa digambarkan secara positif, sebagai pengung-kapan kebenaran yang bebas dari kontingensi ruang dan waktu, ketidakmungkinan formulasi semacam itu hanya menerangi momen kepalsuan lain mengenai seni. Kierkegaard menemukan ciri khas dari pandangan estetis sebagai rekonsiliasi yang ramah dari semua sudut pandang dan seluruh pengelakan pilihannya. Ini dapat dilihat dalam kompromi kekal yang sekaligus (alih-alih) menghargai/memvalidasi seni (justru malah) hanya untuk menolak maksud dan isinya dengan, “Yah, bagaimanapun juga, itu hanya seni.”

Budaya hari ini adalah komoditas dan seni mungkin merupakan komoditas jempolan. Situasi ini kurang dipahami sebagai produk dari industri budaya yang tersentralisasi ala Horkheimer dan Adorno. Kami menyaksikan, sebaliknya, difusi massa budaya yang kekuatannya bergantung pada partisipasi, tidak lupa bahwa kritik mestilah terhadap budaya itu sendiri, bukan dari dugaan yang dinyatakan oleh kontrolnya.

Kehidupan sehari-hari telah diestetisisasi oleh saturasi gambar dan musik, sebagian besar melalui media elektronik, yang representasi dari representasi. Gambar dan suara, dalam kehadirannya yang senantiasa, telah menjadi kehampaan, semakin tidak ada artinya lagi bagi individu. Sementara itu, jarak antara seniman dan penonton semakin berkurang, penyempitan yang hanya menonjolkan jarak absolut antara pengalaman estetis dan apa yang riil. Ini secara sempurna menduplikasi tontonan pada umumnya: pengalaman estetika yang terpisah dan manipulatif, yang abadi dan pertunjukan kekuatan politik.

Namun, bereaksi terhadap mekanisasi kehidupan yang meningkat, gerakan avant-garde belum menolak sifat seni yang spektakuler seperti halnya kecenderungan ortodoks. Faktanya, orang-orang dapat berargumen bahwa Estetisisme, atau “seni untuk seni”, lebih radikal daripada upaya untuk melibatkan keterasingan dengan perangkatnya sendiri. Perkembangan l’art pour l’art (seni untuk seni) akhir abad ke-19 adalah penolakan refleksi diri terhadap dunia, yang bertentangan dengan upaya avant-garde untuk entah bagaimanapun itu (dapat) mengatur kehidupan di sekitar seni. Saat keraguan yang valid terletak di balik Estetisisme, kesadaran bahwa pembagian kerja telah mengurangi pengalaman dan mengubah seni menjadi spesialisasi lain: seni melepaskan ambisi angannya dan menjadi konten miliknya sendiri.

Avant-garde umumnya mengintai klaim yang lebih luas, memproyeksikan peran utama yang ditolak oleh kapitalisme modern. Hal ini paling baik dipahami sebagai institusi sosial yang khas bagi masyarakat teknologi yang begitu menghargai kebaruan; ini didasarkan pada gagasan progresivis bahwa realitas harus senantiasa diperbarui.

Tetapi budaya avant-garde tidak dapat bersaing dengan kemampuan dunia modern untuk mengejutkan dan melampaui batas (dan bukan sekadar secara simbolis). Kematiannya adalah datum/fakta lain bahwa mitos kemajuan itu sendiri telah bangkrut.

Dada adalah salah satu dari dua gerakan avant-garde besar terakhir, citra negatifnya sangat ditingkatkan oleh kesadaran atas keruntuhan sejarah umum yang dipancar-kan Perang Dunia I. Para pendukungnya terkadang mengklaim telah menentang semua “isme”, termasuk gagasan seni. Tetapi seni lukis tidak dapat menegasikan seni lukis, pahatan juga tidak dapat membatalkan seni pahat, mengingat bahwa semua budaya simbolis adalah kooptasi persepsi, ekspresi, dan komunikasi. [Tulisan tidak dapat menegasikan tulisan, juga tidak dapat mengetik (untuk memindahkan) esai radikal ke disket agar mempermudah pemublikasiannya yang selalu dapat membebaskan—bahkan jika pengetiknya melanggar aturan dan memberikan komentar tanpa izin.] Faktanya, Dada adalah pencarian mode artistik baru, itu serangan terhadap kekakuan dan ketidakrelevanan seni borjuis sebagai faktor kemajuan seni; Memoar Hans Richter menunjuk “regenerasi seni visual yang telah dimulai Dada”. Jika Perang Dunia I hampir membunuh seni, kaum Dadais mereformasinya.

Surealisme adalah aliran terakhir yang menegaskan misi politik seni. Sebelum mengikuti Trotskyisme dan/atau ketenaran dunia seni, kaum surealis menjunjung tinggi peluang dan yang primitif sebagai cara untuk membuka “Yang Luar Biasa/Mengagumkan” yang dikurung oleh masyarakat di dalam alam bawah sadar. Penghakiman yang keliru yang akan memperkenalkan kembali seni ke dalam kehidupan sehari-hari dan dengan demikian mengubahnya tentu saja mengelirukan relasi antara seni dengan masyarakat yang represif. Penghalang yang sebenarnya bukanlah antara seni dan realitas sosial yang menyatu, tapi antara keinginan dan dunia yang eksis. Tujuan kaum surealis untuk menciptakan simbolisme dan mitologi baru menjunjung tinggi kategori-kategori ini dan tidak mempercayai sensualitas tanpa perantara. Mengenai yang terakhir, Breton berpendapat bahwa “Kesenangan adalah ilmu; olah rasa/kesadaran menuntut inisiasi pribadi dan karena itu kau membutuhkan seni.”

Abstraksi modernis melanjutkan tren yang dimulai oleh Estetisisme, di mana ia mengungkapkan keyakinan bahwa seni hanya dapat bertahan dengan pembatasan secara drastis pada bidang visinya. Dengan embel-embel sesedikit mungkin dalam bahasa formal, seni jadi kian meningkatkan referesi dirinya, dalam pencariannya akan “kemurnian” yang bertentangan dengan narasi. Dijamin tidak mewakili apa pun, lukisan modern secara sadar tidak lebih dari sebuah permukaan datar dengan cat di atasnya.

Tetapi strategi untuk mengosongkan seni dari nilai simbolisnya, desakan pada karya seni sebagai objek dalam dirinya sendiri di dunia objek, terbukti merupakan metode penghancuran diri. “Fisikalitas radikal” ini, yang didasarkan pada keengganan terhadap otoritas, dalam objektifikasinya, tidak pernah lebih dari sekadar status komoditas sederhana. Jaringan steril (baca: kisi-kisi) Mondriani dan kotak-kotak serba hitam yang berulang dari Reinhardt menggemakan persetujuan bahwa hal ini secara umum tidak lebih dari sekadar arsitektur abad ke-20 yang mengerikan. Likuidasi diri modernis diparodikan Rauschenberg lewat karyanya Erased Drawing tahun 1953, yang dipamerkan setelah penghapusan gambar de Kooning selama sebulan penuh. Konsep seni itu sendiri, bagaimanapun juga, pertunjukan Ducamp tentang urinoir dalam pamerannya pada 1917, telah jadi polemik di tahun 50-an dan setelah sejak itu terus berkembang menjadi semakin tak terdefinisikan.

Pop Art menunjukkan bahwa batas antara seni dan media massa (misalnya iklan dan komik) kian menipis. Tampilannya yang asal-asalan dan produksinya yang dilakukan secara massal menampakkan kualitas dari seluruh masyarakat dan kualitas kosong dari Warhol dan seluruh produknya yang merangkum hal itu. Gambar-gambar yang dangkal, tidak memiliki bobot moral, tidak dipersonalisasi, dimanipulasi secara sinis oleh muslihat pemasaran yang penuh kesadaran akan gaya: terungkapnya kehampaan seni modern dan dunianya.

Proliferasi gaya dan pendekatan seni di tahun 60-an—Konseptual, Minimalis, Performa, dan lain-lain—dan percepatan keusangan dari sebagian besar seni yang membawa era “posmodern”, pergeseran “purisme” formal modernisme dengan campuran eklektik dari pencapaian gaya masa lalu. Ini pada dasarnya melelahkan, daur ulang yang jenuh dari pecahan-pecahan bekas (fragmen bekas), yang mengumumkan bahwa perkembangan seni telah berakhir. Melawan devaluasi global dari simbol, terlebih, seni tidak mampu lagi menghasilkan simbol baru dan bahkan hampir tidak berusaha untuk melakukannya lagi.

Adakalanya kritikus, seperti Thomas Lawson, mera-tapi ketidakmampuan seni saat ini “untuk merangsang pertumbuhan keraguan yang benar-benar mengganggu,” begitu sedikitnya gerakan keraguan yang cukup mengancam terlihat muncul untuk mencampakkan seni itu sendiri. Para “kritikus” semacam itu tidak dapat memahami bahwa seni harus tetap teralienasi dan karenanya harus digantikan, mereka tidak mengerti bahwa seni menghilang karena pemisahan yang sudah lama terjadi di antara alam dan seni yang merupakan hukuman mati bagi dunia yang harus dibatalkan.

Dekonstruksi, pada bagiannya, mengumumkan proyek penguraian kode Sastra dan tentu saja “teks”, atau sistem penandaan, di seluruh budaya. Tetapi upaya untuk mengungkap ideologi yang dianggap tersembunyi ini terhalang oleh penolakannya untuk mempertimbangkan asal-usul atau sebab-akibat historis, sebuah penolakan yang diwarisinya dari strukturalisme/postrukturalisme. Derrida, tokoh Dekonstruksi yang berkembang, berurusan dengan bahasa sebagai solipsisme, diasingkan ke interpretasi diri; dia tidak terlibat dalam aktivitas kritis namun menulis tentang aktivitas menulis. Alih-alih mendekonstruksi realitas yang terdampak, pendekatan ini hanyalah akademisme mandiri, di mana Sastra, seperti lukisan modern sebelumnya, tidak pernah lepas dari perhatian pada permukaannya sendiri.

Sementara itu, sejak Piero Manzoni mengawetkan kotorannya sendiri dan menjualnya di galeri dan Chris Burden telah menembak lengannya sendiri, dan disalibkan ke sebuah Volskswagen, kita melihat dalam seni, semakin banyak perumpamaan yang pas tentang keberakhirannya, seperti potret diri yang digambar oleh Anastasi—dengan mata tertutup. Musik “serius” sudah lama mati dan musik populer makin memburuk; puisi hampir runtuh dan lenyap dari pandangan; drama, yang bergerak dari Absurd ke Kebisuan, sedang sekarat; dan novel dikalahkan oleh non-fiksi sebagai satu-satunya cara untuk menulis dengan serius.

Di masa yang letih dan lesu, tampaknya berbicara le-bih sedikit tentang seni tentu saja kurang (tidak cukup). Baudelaire wajib menuntut martabat seorang penyair dalam masyarakat yang tidak lagi memiliki martabat untuk dibagikan. Seabad lebih kemudian, betapa tak terelakkannya kenyataan dari kondisi itu dan betapa usangnya penghiburan atau stasiun seni “abadi”.

Adorno memulai bukunya sebagai berikut: “Hari ini tidak perlu dikatakan lagi bahwa tidak ada yang tidak perlu dikatakan mengenai seni, apalagi tanpa berpikir. Se-gala sesuatu mengenai seni telah menjadi masalah; kehidupan batinnya, hubungannya dengan masyarakat, bahkan haknya untuk eksis.” Tapi Teori Estetika (Aesthetic Theory) menegaskan seni, seperti karya terakhir Marcuse, bersaksi mengenai keputusasaan dan kesulitan menyerang ideologi budaya yang tertutup rapat. Dan meskipun “radikal” lainnya, seperti Habermas, menasihati bahwa keinginan untuk menghapus mediasi simbolis adalah tindakan irasional, itu makin menjelaskan bahwa ketika kita benar-benar bereksperimen dengan hati dan tangan kita, bidang seni itu terbukti menyedihkan. Dalam transfigurasi yang harus kita lakukan, yang simbolis akan ditinggalkan dan seni ditolak demi yang riil. Lakon, kreativitas, ekspresi diri, dan pengalaman otentik akan dimulai kembali pada saat itu.

[1] Sihir simpatik, juga dikenal sebagai sihir imitatif, adalah jenis sihir berdasarkan imitasi atau korespondensi (hubungan antara bentuk dan isi). Sihir ini berasumsi bahwa seseorang atau sesuatu dapat dipengaruhi secara gaib melalui nama atau objek yang mewakilinya (berkaitan dengan sesuatu yang dimaksudkannya) –Ed.