Jurnal Anarki
Domestikasi dan Anarki Primal
Jurnal Anarki mewawancarai Kevin Tucker
Kevin Tucker adalah seorang anarko-primitivis, ia banyak menulis dan berbicara perihal subjek primitivime, domestikasi, anti-peradaban atau apa yang sekarang ia sebut sebagai Anarki Primal. Ia adalah seorang editor majalah insureksionis Species Traitor, Green Anarchy, dan sekarang ini menjalankan penerbitan Black and Green Press yang berbasis di Amerika Utara. Kevin Tucker juga vokalis dan gitaris band death metal Peregrine.
JA: John Moore dalam Anarcho-primitivist Primer, menjelaskan bahwa anarko-primitivisme (AP) tidak ada kaitannya dengan meromantisir gaya hidup kaum primitif. Atau apa yang paling sering dituding pada Zerzan, ‘untuk kembali ke jaman batu.’ Apa pendapatmu mengenai Primer John Moore ini atau apa kamu mempunyai pandangan berbeda atau mungkin kritik pada primer tersebut?
Aku sama sekali tidak memiliki keberatan dengan apa yang ia tulis di situ. Namun tulisan tersebut memang panduan yang paling singkat dan personal. Panduan tersebut sangatlah tipis, sesuatu yang biasanya dilakukan untuk mengkontekstualisasikan saripati-saripati AP dari zine-zine dan buku. Panduan tersebut bukanlah teks yang bermaksud menjadi intisari dari AP. Pada jamannya panduan tersebut cukup efektif.
Aku sangat mengapresiasi John Moore, namun karya-karyanya masih sangat terbatas pada saat itu dan ketika ia wafat pada 2002 ada banyak karyanya yang masih tertinggal untuk didebatkan. Karyanya yang berjudul Lovebite tidaklah terlalu relevan.
Terlepas dari itu, terma dan pembingkaian sudut pandang ini, bagi aku, selama lima belas tahun terakhir, ‘Anarki Primal’ lebih sesuai ketimbang Anarko-primitivis. Istilah “primitif” sudah tidak relevan, sesuatu yang sudah pantas ditinggalkan, karena istilah tersebut berasal dari waktu dan tempat yang berbeda. Seperti sesuatu yang masih eksis dan juga sudah hilang di beberapa tempat. Bagi aku istilah “primal” lebih tepat, sesuatu yang sebenarnya pernah dianjurkan oleh Paul Shepard.
Kondisi egalitarianisme bukanlah suatu tempat dimana kamu dilahirkan, tapi dimana kamu berevolusi: menjadi suku pemburu-peramu yang nomaden. Jadi, tak ada yang perlu diromantisir, meski banyak yang bisa dipelajari dari situ. Kita semua berasal dari nenek moyang pemburu-peramu dan melalui proses domestikasi kita harus tercerabut secara berkelanjutan dan menjadi bagian di dalam peradaban. Merujuk pada primitif bukanlah memberikan contoh manusia yang sempurna, melainkan untuk memahami bagaimana kita dapat berkembang hingga ke situasi seperti sekarang dan juga mencari opsi bagaimana untuk “keluar” dari situasi ini. Sky Hiatt memaparkannya dengan cukup baik (entah itu di publikasi Species Traitor atau Green Anarchy), bahwa ‘ketika orang-orang berbicara tentang “meromantisir masa lalu”, sebenarnya apa yang mereka sedang lakukan adalah meromantisir masa sekarang. Keseluruhan konsep sejarah terkubur di dalam kepongahannya sendiri: yaitu ide bahwa peradaban telah membebaskan kita dari kondisi kebinatangan dan menjadi makhluk sosial.
Bila kita mau jujur perihal fakta bahwa kurang lebih sepuluh ribu tahun terdomestikasi hanya membuat hidup kita semakin memburuk dan tidak membahagiakan, bahkan semakin tak bermakna. Dan begitu kamu berpikir seperti ini, maka kamu langsung dicap sebagai romantis, sehingga pertanyaan tentang peradaban menjadi terkubur: bahwa menerima mitos peradaban dan apalagi berpikir bahwa peradaban akan berlangsung ‘selamanya’, sesungguhnya lebih buruk dari meromantisir kehidupan sekarang ini. Hal demikian merupakan suatu pola untuk menormalisasi.
Kritik-kritik “anarko-primitivis” telah membedahnya. Bila kamu telusuri kritik yang telah dipaparkan, kamu dapat melihat keseluruhan dari mitos peradaban yang menjadi fondasinya. Narasi peradaban tidak mendeteminasikan apa yang tidak dan memang diterapkan oleh peradaban. Teknik dan teknologi yang mendeterminasikan hal tersebut. Kita adalah binatang yang gemar berkisah dengan sesama; sementara narasi peradaban telah menentukan jalan tunggalnya dan meniadakan kemungkinan yang lainnya. Dari sini kita telah mengatur jalan evolusi untuk menjadi beradab. Narasi ini menyokong ungkapan konyol bahwa peradaban akan membawa kita menuju hidup yang lebih baik dan terus berimprovisasi menuju kehidupan lebih baik itu.
Untuk membongkar narasi demikian dan menantangnya akan membuat banyak orang merasa tidak nyaman apalagi bila itu berurusan dengan kepercayaan mereka. Jadi bukanlah sesuatu yang mengejutkan bila mereka berusaha untuk menyingkirkannya! Ketika kamu mempertanyakan peradaban, apalagi domestikasi, itu sama saja seperti kamu sedang menyuruh orang untuk melihat sesuatu dari ujung atap mereka. Jelas, sesuatu yang menakutkan. Kita menjadi semakin terbiasa dengan teknologi sehingga kita percaya bahwa selalu saja ada ‘jaringan pengaman’.
Seorang anak berumur delapan belas tahun di Afganistan tumbuh besar terbiasa dengan sebuah dunia dimana bom-bom yang jatuh dari langit merupakan sesuatu yang biasa terjadi dan ia selalu ketakutan setiap kali melihat langit yang cerah, karena langit yang cerah bagi mereka adalah saat yang tepat untuk serangan drone dari udara. Seorang anak berumur tujuh tahun di Syiria tumbuh besar dengan dunia di sekitarnya yang selalu dirundung perang sipil yang memporak-porandakan segala sesuatu di sekitarnya. Hal ini terus berulang. Dan bila kita berupaya untuk menelusuri keberadaan masyarakat-masyarakat yang subsisten — seperti halnya para pemburu dan peramu nomaden — dan juga egaliter, bebas, dan menganggap bahwa hidup tanpa aturan absurd dan terlalu diromantisir, maka kita perlu mempertanyakan apakah cara hidup kita sekarang ini lebih baik dari mereka.
Anarki pimal dan anarko-primitivisme adalah tentang bersikap jujur perihal di mana kita sekarang dan bagaimana kita mencapai tahapan sekarang ini. Sudah pasti titik berangkat demikian bukanlah satu-satunya alternatif yang kami ajukan, melainkan satu titik berangkat yang bagi kami cukup masuk akal. Salah satu cara untuk memahami konsekuensi yang diciptakan oleh peradaban dan domestikasi adalah dengan melihat dunia tanpa kedua hal tersebut. Ini adalah pertarungan dari tiap jengkal pikiran dan tubuh kita, bahwa nilai-nilai peradaban adalah sesuatu yang sangat tertanam dalam diri kita.
JA: Ceritakan pertama kali engkau mulai tertarik pada diskursus anarko-primitivisme?
Aku menjadi seorang anarkis pada 1993 dan ‘gagal’ menjadi seorang anarko-sindikalis. Sebagai seorang aktivis, hal-hal yang benar aku minati adalah perjuangan para penduduk asli, pembebasan Bumi dan Hewan, dan perjuangan melawan ekstraksi mineral. Feminisme sangat berpengaruh bagi diriku, dari feminisme aku menjadi tertarik pada eko-feminisme hingga kemudian hari aku sangat terpengaruh oleh biosentrisme.
Setidaknya di AS pada tahun 90-an, bukanlah hal yang aneh bila kamu terlibat dalam gerakan seperti di atas, yang secara intrinsik cukup mustahil apa bila kamu tidak mempertanyakan atau mempunyai pandangan yang kontra terhadap industrialisme, apalagi sebagai seorang anggota IWW dan berpartisipasi dalam kerja-kerja mereka.
Pada titik tertentu, semakin tidak masuk akal untuk terus menjunjung tinggi kaum anarko-sindikalis yang telah mati sebelum Revolusi Hijau dan tidak merasakan betapa hampanya ranah industrialisme yang dulunya mereka perjuangkan. Sehingga yang menjadi pertanyaan adalah, jika menjadi anarkis itu berarti menentang kekuasaan yang berwujud menjadi negara, maka dari mana kekuasaan seperti itu berasal?
Kapitalisme jelas menjadi bagian dari cerita ini, tetapi tidak seluruhnya. Jadi aku terus mencari tahu, yang pada saat itu aku sangat terpengaruh oleh karya Susan Griffin dan Carolyn Merchant dan banyak ahli Ekologi-dalam dan dari situ aku pun menelusuri asal-muasal pertanian. Pada saat itu tahun 1999 dan tiba-tiba kaum anarkis hijau di Eugene, Oregon, menjadi berita utama: Reclaim the Street pada musim panas dan diikuti kerusuhan anti-WTO pada bulan November 1999.
John Zerzan adalah suara AP yang lantang, keras, jelas, dan tanpa kompromi pada saat itu. Apa yang ia coba sampaikan hampir mirip dengan apa yang aku pikirkan dan rasakan. Aku mendapatkan tiga bukunya, Elements of Refusal, Future Primitive, dan Against Civilization, dan segera melahap semuanya. Setelah mengetahui bahwa aku telah menemukan apa yang sesungguhnya aku cari dan itu adalah AP. Sejak saat itu aku berteman dengan John dan memulai proyek Koalisi Melawan Peradaban sebelum akhir 1999. Pada tahun 2000 kami membentuk Black Green Network/Press.
JA: Apa opinimu mengenai perjuangan kaum adat atau suku-suku primitif, beberapa kaum progresif kiri yang aku temui selalu saja mempunyai narasi bahwa masyarakat ini butuh pendidikan atau singkatnya “pemeradaban”?
Nah hal demikian memang agak sulit, tapi yang perlu aku atau kami perjelas—dari lingkar primal anarki dan anarko-primitivis kami—bahwa kami tak pernah sedikitpun memuja-muja ‘kebajikan’ dari kehidupan berburu-meramu, kaum hortikulturis ataupun masyarakat adat lainnya.
Aku ingin hal ini jelas: ini adalah kritik terhadap peradaban. Secara personal, aku ingin hidup tanpa domestikasi. Aku pikir hal ini cukup jelas, bahwa dalam jangka waktu ke depan gaya hidup berburu-meramu yang nomaden adalah yang paling egaliter dan berkelanjutan (sustainable-ed). Bukanlah hal yang lumrah bagi masyarakat tani dan hortikulturis kembali ke gaya hidup demikian, baik secara sementara maupun permanen.
Yang jelas target aku adalah peradaban: struktur dan infrastruktur yang memungkinkan aparatur teknologi menjadi sedemikian global. Jejaring ini menjadi bagian dalam narasi peradaban, namun yang perlu kita ketahui adalah apa yang membuatnya menjadi mungkin ini sangatlah bergantung pada teknologi, Tak ada satupun kaum adat atau komunitas-komunitas yang liar di Bumi ini yang tidak terancam oleh peradaban. Dan seringkali mereka yang bertempur habis-habisan melawan ekspansi peradaban adalah kaum adat yang masih berburu dan meramu.
Secara pribadi aku selalu mendukung dan bersolidaritas pada perjuangan-perjuangan seperti ini: mari kita lawan musuh bersama ini!
Cukup penting untuk memahami domestikasi, sebagaimana memahami pembentukannya, asal-muasalnya, yang aku yakin dapat dengan melihat tahapan bagaimana para pemburu-peramu merespon perkembangan menuju masyarakat hortikulturis hingga pada masyarakat yang menetap. Perbedaannya sangat signifikan, tetapi mereka hanyalah kerdil bila dibandingkan dengan cara-cara peradaban memperkuatnya, sebagian besar pengaruh-pengaruh demikian berdampak dari kontak langsung.
Aku sama sekali tidak mengatakan bahwa ‘peradaban’ kecil di atas tidak mempunyai tendensi menjadi Leviathan yang hierarkis. Aku justru hidup dan tumbuh dalam salah satu bayang-bayangnya: Cahokia. Aku tidak berkata bahwa kita harus menolak atau mengabaikan sifat institusi hierarkis, tapi saat seorang pemimpin adat yang sedang memimpin perjuangan melawan pembangunan pipa-pipa gas alam di Amerika Utara, akan menjadi sangat lucu jika menganjurkan bahwa kita harus duduk dan membuat lokakarya tentang bagaimana kebudayaan mereka bisa berkembang jadi lebih baik lagi. Tak ada, setahu aku, dari lingkar AP yang menganjurkan hal demikian. Bukanlah sesuatu yang mengejutkan bila terdapat perbedaan pkamungan, apalagi merujuk pada komunitas adat yang sedang melawan dengan pkamungan dunia dari kaum anarkis. Namun hal demikian bukanlah sesuatu yang krusial. Bisa saja jadi bahan untuk dibahas dan pembahasannya harus bebas dari pakem maupun totem-totem apapun.
Bagi kita yang hidup di dalam peradaban, ada beberapa hal yang harus kita pastikan. Itu memperlihatkan begitu mengakarnya narasi kebudayaan dalam diri kita sampai-sampai kita sulit untuk melepas kontrol dari narasi tersebut. Kita memiliki mental kolonial di mana kita masih berpikir bahwa kita yang telah menemukan roda peradaban dan kita hanya harus melakukannya lagi.
Teknologi itu seperti parasit dalam benak kita. Kita menjadi sangat bergantung padannya dan tak sadar akan hal itu, kita terlihat seperti lupa bahwa parasit itu ada. Parasit itu menyatu dalam diri kita dan itu berarti penglihatan kita terhadap apa yang dapat terjadi dilepaskan dari kenyataan sesungguhnya tentang artinya penghidupan, inilah hal-hal yang dibutuhkan untuk tetap menjaga agar cara-cara produksi tetap berlangsung.
Ada sebuah kesalahan pola pikir dalam banyak kebudayaan sekarang ini (peradaban) bahwa kita bisa saja mengambil satu langkah mundur dan membiarkannya membuat sedikit benturan. Membuat prasangka seolah kehidupan agraris yang kita miliki itu merupakan sesuatu yang mudah dan bisa dikembalikan lagi dalam sekejap mata. Sementara, seorang petani, di sebagian besar dunia, adalah seorang manajer yang mengawasi panen-panen mekanis atau mereka telah melakukan pengelolaan mikro atas apa saja dari perbudakan hingga sewa-hutang hingga bentuk predator dari perburuhan untuk menjaga agar semuanya tetap berjalan. Mereka juga biasanya manut pada tuntutan korporasi, instruksi-instruksi ilmiah perihal bagaimana cara untuk menjaga panen tanaman tunggal secara artifisial yang sangat bergantung pada sumberdaya.
Satu contoh bagaimana kita telah melangkah terlalu jauh adalah bagaimana sekarang Monsanto telah membeli jejaring media sosial yang bernama Climate Fieldview. Mereka menawarkannya pada petani seolah-olah ini merupakan sebuah teknologi yang sedang ngetrend, sementara yang tidak diketahui adalah teknologi tersebut merupakan satu bagian dari keseluruhan paket yang mana mereka juga akan mempromosikan smartphone, traktor canggih, dan berbagai gadget yang dapat membaca kondisi tanah dan udara dan dengan begitu algoritmanya dapat digunakan untuk menentukan seberapa banyak pupuk dan pestisida yang akan digunakan serta jenis bibit GMO apa yang dapat ditanam.
Di sebagian besar dunia, kita memakan makanan diet yang berasal dari selusin tanaman komersil dan beberapa hewan yang digemukkan di peternakan—gandum, kedelai dan jagung dan semua penyakit yang ada di dalamnya. Kita telah menjadi konsumen yang telah terspesialisasikan dengan sangat berlebihan, kita sangat tercerabut dari produksi hingga sebagian dari kita mungkin takkan dapat mengidentifikasi lusinan tanaman komersil pada sebuah kebun. Lalu kita berpikir kalau suatu saat kita dapat mengembangkan praktek-praktek yang lebih hijau dan mulai bertani? Aku tidak berpikir demikian.
Tubuh kita tidak ditujukan untuk bekerja. Tak ada sesuatu pun tentang kita yang sepadan dengan proses kerja-kerja yang dibutuhkan pertanian. Kita diajarkan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai subsistensi yang menyertainya, sembari mengabaikan aspek-aspek yang mengikat semuanya kembali ke peradaban; membayar sewa, hipotek, atau pajak, terjebak dengan hutang. Pikiran kita tidak dimaksudkan untuk itu.
Tetapi pikiran dan tubuh kita dimaksudkan untuk berburu dan mengumpulkan, untuk mencari dan menangkap ikan. Buat alat, buanglah; itu semua adalah bagian dari siapa kita. Kita adalah hewan sosial, seperti hewan sosial lainnya, kita teradaptasi secara fisi dan fusi, yang berarti bahwa kita akan bekerja paling ketika kita bahagia atau berada dalam komunitas yang mendukung, khususnya yang tidak terikat.
Domestikasi menjadi titik berangkat kritik dari peradaban, karena ia menggali kembali ke keadaan awal kita. Bukan hanya sebagai spesies, tetapi sebagai individu. Kita bukanlah hortikulturis yang berjuang untuk mempertahankan budaya, kita adalah pemburu-peramu yang ditempatkan di dunia yang tidak masuk akal bagi kita dan kita diberitahu bahwa satu-satunya jalan di depan adalah untuk menaklukkan, untuk menang. Jadi jika kita memang mencari jalan keluar, maka kita harus melepas kebutuhan untuk berusaha selalu mengontrol, berhenti mencoba untuk membuat sesuatu yang secara fundamental tidak akan berfungsi. Sekali lagi, ini tentang bagaimana kita melihat dengan jujur di mana kita berada dan apa yang tersisa dari kita sekarang ini.
Dan sebagian dari kejujuran itu berarti bahwa seluruh masalah kedaulatan penduduk asli dan perjuangan berbasis hak dapat menjadi pedang bermata dua. Secara langsung, ya, jika kelompok-kelompok Pribumi dapat menegaskan hak mereka atas tanah dan kehidupan mereka, maka itu bisa menjadi pukulan besar terhadap peradaban yang terus tumbuh tanpa kepuasan. Tetapi di sisi lain, aspek-aspek perihal hak cenderung menjadi satu-satunya fokus begitu LSM dan kelompok liberal, misionaris, atau antropolog, yang sesungguhnya merupakan masalah besar.
Ada semua post-modernis di luar sana sekarang yang ingin terus-menerus mendefinisikan kembali dan menjunjung tinggi ketahanan masyarakat adat sebagai suatu kebajikan. Seolah ketika mereka (masyarakat adat) mampu melawan upaya genosida (disengaja atau tidak) dan setelahnya para spesialis menavigasi jalur etnosida yang jelas berarti budaya mereka telah berubah untuk selamanya. Tidak peduli dampak bencana yang dilahirkan oleh penaklukan dan kontak dengan peradaban yang terus terjadi, asimilasi dan relokasi itu merusak kelangsungan hidup seluruh masyarakat. Jadi, jangan pedulikan bahwa gangguan stres pasca-trauma menjadi endemik. Lupakan bahwa penyakit peradaban (biologis dan sosial) jauh lebih menyebar di masyarakat yang menetap. Kita seharusnya mengabaikan semua itu dan bahagia karena kelompok seperti Cultural Survival telah menciptakan catatan dan dokumentasi yang sangat bagus sehingga komuniti-komuniti yang dipelajari tersebut dapat dipasarkan dan sesuai dengan standar pasar global.
Ini adalah omong kosong yang sama yang dilakukan oleh para misionaris selama ratusan tahun, sekarang ini kita mendapatkan variasi-variasi selulernya. Suatu spektrum yang cukup besar, mulai dari menggunakan klaim lahan untuk mempertahankan cara hidup hingga menggunakannya untuk membangun tempat wisata atau, lebih buruk lagi, perusahaan milik Kaum Adat. Jadi istilah ini menjadi sulit karena dapat mencakup kedaultan nyata, dalam arti kebebasan untuk dibiarkan sendiri, dan itu dapat mencakup hal-hal seperti kedaulatan ekonomi, ini adalah gagasan keliru ketika menganggap bahwa masyarakat adat itu secara bebas dan sukarela ingin masuk ke dalam dan menegaskan diri mereka ke dalam seluruh sistem kapitalis.
Ketika aku mengatakan bahwa aku sama sekali tidak berkeinginan untuk mengkhotbahkan kebajikan kehidupan pemburu-peramu nomaden kepada masyarakat adat. Tetapi, untuk memaparkan secara jelas bahwa hal-hal seperti, perusahaan Pribumi, maka mereka telah menjadi target proksi peradaban secara keseluruhan.
JA: Kaum Kiri, bahkan beberapa anarkis yang sangat percaya dengan kemajuan teknologi yang membebaskan, selalu menyindir dengan argumen klasik: “Jika kau sangat membenci teknologi mengapa kita masih menggunakan komputer?”
Orang-orang kiri masih memainkan permainan yang lama. Jika kamu tidak berada pada Kiri atau Kanan, kamu bermain di medan politik. Suka atau tidak, itu berarti kamu akan selalu menjadi politis. Kamu akan selalu berusaha menjual dirimu pada orang lain sebagai penjelmaan dari janji-janji kampanyemu.
Ha ini mengarah pada seluruh gagasan tentang menjadi bermoral dan memiliki jawaban terhadap apa saja. Jika kamu menginginkan wajahmh berada dalam panji-panji ideologi gerakanmj, maka ada lompatan besar yang harus kamu lakukan. Yang menurut aku tak pernah benar-benar dilakukan oleh para ideolog, pemuka agama, bahkan kaum revolusioner. Itu karena politik adalah dan akan selalu menjadi palsu.
Aku bukanlah seorang anarkis karena aku hidup dalam anarki. Di semua masyarakat egalitar yang pernah ada, tidak pernah ada kebutuhan akan anarkisme. Itulah inti dari anarki primal: karena ia memang terbukti bekerja. Egalitarianisme adalah hal yang mendasar bagi kami. Ini bukanlah lokakarya, dewan pekerja, dan demokrasi dalam aksi, melainkan orang-orang yang hidup di dunia tanpa sistem dan infrastruktur yang diharuskan oleh orang lain.
Aku seorang anarkis justru karena aku tidak hidup dalam anarki. Dalam hal anarki primal, egalitarianisme itu ada di dalam diri kita masing-masing, meski telah diinjak, ditaklukkan, dan dikuburkan dalam proses domestikasi. Tidak ada pemburu-peramu yang bermimpi atau mengambil risiko dalam meromantisasi cara hidup lain, hal demikian hanyalah impian para kaum tak berpunya yang menjadi bagian produksi dari peradaban: mereka selalu meromantisir segala sesuatu.
Seperti yang aku katakan sebelumnya, reaksi langsung bahwa kita yang tumbuh dalam peradaban terhadap pertanyaan ini adalah antara kemarahan dan depresi, meskipun hal-hal itu sangat cocok satu sama lain. Adalah jauh lebih mudah untuk menemukan alasan untuk tidak mendengarkan apa yang seseorang katakan tentang hal itu daripada mendengarkan apa yang mereka katakan. Kita selalu bergerak macam politisi: menyerang individu dan kemunafikannya.
Yang benar-benar dilakukannya adalah meromantisir gagasan kebebasan yang kita miliki. Kebebasan untuk memilih atau apa pun itu. Kamu mendapatkan ini sepanjang waktu di Amerika, “suka atau tinggalkan.” kata-kata ini berasal dari mulut keturunan penjajah yang hidup di tanah curian dan berdiri di atas kehidupan yang hilang, yaitu nyaris punahnya komuniti-komuniti yang liar, karena pawai peradaban. Kita tiba di sini karena kita tidak perlu mempertanyakan bagaimana kita sampai di tempat ini; kita hanya percaya bahwa mencapai titik ini dalam peradaban menjadikan kita sebagai pemenang. Kita bisa percaya bahwa kita adalah orang baik dan bahwa jika kamu mempertanyakan siapa kita sebenarnya, maka pengorbanan yang diperlukan untuk membuat semua ini bergerak adalah sesuatu yang sepatutnya diludahi. Begitulah cara peradaban bekerja; jika kita hanya terobsesi dengan hal yang yang tepat di depan kita maka kita tidak perlu melihat gambaran besarnya. Atau bahkan mencoba dan melihat melampaui narasi yang kita jual. Kenyataannya adalah bahwa kebebasan adalah bagian dari mitos. Itu adalah kebohongan yang diberitahukan kepada kita sehingga kita yakin pagar dan dinding melindungi kita dan bukannya menahan kita.
Masyarakat adat di setiap bagian dunia, memiliki kebebasan untuk memilih dihapus kulturnya pada kontak pertama. Tidak ada tamu-tamu peringatan, tidak ada karantina dan proksi, hanya penyakit, misionaris, pembukaan jalan, ekstraksi, dan industri. Keyakinan kita akan kebebasan datang dengan mengorbankan pengalaman dunia nyata mereka mengenai kebebasan sesungguhnya. Jika kenyataan kita adalah kebebasan, maka pemburu-peramu tidak harus berjuang untuk memenangkan hak berburu di tanah leluhur mereka yang telah diubah menjadi tanaman berpagar yang bertuliskan nama mereka sembari menampung turis asing, pemburu, penambang, dan pekerja minyak. Cara hidup liar atau subsistensi ala masyarakat adat, bila tak ada izin atau dokumen yang tepat, makan akan dianggap sebagai sesuatu yang ilegal.
Cara hidup yang kita diskusikan, anarki primal, terus-menerus dirusak oleh realitas peradaban. Itulah bagian yang mana kita tidak siap untuk melihat dan memahaminya. Itu sebabnya kita cenderung defensif. Masalahnya tidak terletak pada bagian aku atau kamu menggunakan komputer untuk menyerang peradaban, melainkan sebaliknya bagaimana narasi demikian dijungkirbalikkan sehingga kita dibutakan bahwa peradaban dan kenyataan yang kita hidup sekarang ini merupakan kebohongan yang jahat.
Tak ada porsi kemunafikan di pihakku atau bagian kamu akan mengubah fakta bahwa peradaban, dunia yang dibangun di atas kebohongan-kebohongan itu, adalah dunia yang telah menciptakan teknologi yang mampu mengubah iklim. Level air laut menaik. Tanah-tanah menjadi sedemikian kering. Keseimbangan dan ketergantungan yang dibutuhkan oleh peradaban, siklus alam yang ini kita percayai bahwa telah kita atasi, justru lepas kendali.
Bermain politisi hanyalah cara lain untuk terus mengabaikan kenyataan yang sedang memukul wajah kita semua. Pertanyaan di atas selalu lucu ketika datang dari kaum Kiri, aku punya kenalan banyak anti-kapitalis yang mencoba menjual surat kabar padaku yang tetap saja masih melibatkan transaksi jual-beli. Aku pikir tidak ada dari kita yang hidup di dunia yang kita inginka, kita hanya perlu jujur soal hal seperti ini. Tetap, sekali lagi, sejak kapan politisi peduli dengan kejujuran?
JA: Menurut Laporan Australin Financial Review pada akhir 2018, 16 perusahaan asuransi mengekspresikan kekhawatiran mereka mengenai isu pemanasan global dan efek merusaknya. Kaum kapitalis tampaknya sedang panik, meski kita semua tahu bahwa bagi mereka ini hanyalah bisnis seperti biasanya. Seperti yang pernah kita bicarakan di email, terdapat peningkatan minat dalam diskursus-diskursus anarkis-hijau, dari sudut pandang seorang anarkis-hijau radikal, meski aku sendiripun agak pesimis melihat masa depan, apaka kamu punya proposal atau alternatif—seperti yang biasanya didengungkan kaum Kiri—perihal bagaimana kita melawan peradaban tekno-industrial ini?
Aku pikir jawabannya selama ini sudah ada: meski peradaban siap menggerus apapun yang menghalanginya, ia selalu dihadapkan oleh perlawanan. Adakalanya terlihat seperti konflik bersenjata, terkadang seperti ‘melarikan diri’ dari sesuatu, ia juga berarti ladang-ladang yang terbakar atau infrastruktur yang hancur, pemogokan kerja dan aksi blokade; banyak sekali cara yang menunjukkan bahwa peradaban dapat dan akan dilawan. Dan cara-cara yang disebut barusan merupakan solusi-solusi yang cukup efektif, hanya saja jika kita butuh lebih banyak lagi.
Bagi beberapa orang yang skeptis akan bertanya semacam ini, apa sih sebenernya yang aku lakukan? Apakah menulis dapat menyelesaikan permasalahan ini? Tentu saja tidak! Tapi dalam poin ini, ada beberapa hal remeh ini tidak ada gunanya untuk didiskusikan lagi. Yang jelas, sangat jelas bahwa kita sedang menghadapi bencana katastropik dan tidak diragukan lagi kebenarannya bahwa semua orang sebenarnya menyadari akan ancaman ini, tapi hanya sedikit yang menyadari secara mendalam mengenai permasalahan ini dan ancaman apa yang akan datang ke depannya. Kita tidak punya waktu untuk menunggu orang-orang menyadarinya atau apalah itu.
Ada komunitas-komunitas di garis depan; dan hampir seluruhnya adalah suku asli, orang Pribumi. Mereka tidak hanya membutuhkan dukungan: mereka membutuhkan kawan untuk mencapainya. Dan dalam menghadapi ini bukan lagi persoalan mengenai Pribumi atau permasalahan beradab atau tidaknya.
Tidak ada seorangpun yang berada di Bumi tidak terdampak dari kenyataan bahwa sesungguhnya peradaban telah membuatnya tercerabut dalam dunia sesungguhnya.
Namun realita tentang peradaban tak lebih adalah pujian yang disematkan bagi diri kita, manusia, sebagai seorang makhluk yang dermawan, donatur bagi Kemajuan Peradaban. Kita menjadi luas akan diri sendiri dan kongkalikong, atau bisa jadi keduanya. Tapi ada cukup banyak dari kita di dunia ini yang menganggap dirinya sebagai seorang dermawan—bagian dari sistem yang dibangun — karena memberikan bantuan kepada orang-orang tanpa paksaan tetapi tidak membicarakan konsekuensi dan ancaman dari sistem itu. Jika Kamu salah satu dari orang-orang model dermawan itu, maka Kamu dilatih untuk tidak melihat permasalahan sistem ini sebagia bentuk penindasan maupun penindasan sistemik.
Untuk semua orang, Kamu diajarkan bahwa jalan keluar untuk menjadi bagian dari segelintir orang-orang model ‘dermawan’ itu, untuk mendapatkan uang atau kekuasaan atau ketenaran, dan maka kamu akan menang pada akhirnya. Namun hal-hal seperti itu hanyalah fantasi, dibuat bukannya tanpa disengaja seakan mengalir begitu saja. Itu distraksi yang dibuat untuk Kamu! Diulang terus-menerus, pesannya adalah jangan dilihat, jangan diperhatikan, dan jangan percaya nyali atau instingmu. Karena sistem itu bekerja dengan sangat baik, apakah itu diperuntukkan oleh programmer atau manajer, perjuangan melawan peradaban yang terjadi terus-menerus hanya tidak terlihat di permukaan. Dan mereka yang melawan harus ditarik ke permukaan untuk dapat dilihat. Konsekuensi, akibat dari peradaban ini perlu dipahami. Orang-orang yang seharusnya menjadi ‘dermawan’ dari rezim ekosidal dan omnisidal ini perlu diingatkan mengenai kegagalan mereka!
Pada akhirnya, tujuannya adalah untuk menetapkan target dan itu membutuhkan pemahaman lebih dalam mengenai keruntuhan peradaban dan menekan kemacetan. Keseluruhan peradaban adalah ketidakmungkinan matematis: menginginkan suatu pertumbuhan tak terbatas di planet yang terbatas. Itu tidak “mengalahkan” alam kita atau apapun kamu menyebut dunia atau sesuatu di luar peradaban.
Itu semua omong kosong. Itu adalah sejenis cerita yang membuat perlawanan suku Pribumi adalah bagian dari sejarah, sesuatu hal yang seakan-akan untuk membuktikan bahwa perlawanan suku Pribumi adalah sesuatu yang kita telah selamatkan. Dalam keseharian, kita dapat berlagak seperti tragedi kekuatan industrial yang terus berjalan adalah sesuatu yang eksis di luar kita dan beban tersebut adalah kebebasan kita yang kemudian kita bebankan pada sisa dari populasi. Ini mendasar dari pola pikir ekonomis: segala sesuatu memiliki harga dan selalu saja ada argumen utilitarian dimana suara mayoritas menang.
Apa yang dimaksud dari ini semua adalah kita semua telah kalah. Ia berupaya untuk mencerabut perlawanan yang aktif terhadap peradaban dalam hidup keseharian kita. Ia mengasupi kehampaan ini. Sehingga ia menjadi sesuatu yang vital dalam membisingkan penjara-penjara. Ia adalah penyalah-gunaan dari privilese dan takkan mudah melepas sesuatu dengan mudah.
Inilah alasan kenapa tak pernah ada satu jawaban tunggal. Bahkan mungkin tak ada satupun jawaban. Apa sih makna sebenarnya dari meruntuhkan peradaban? Hal demikian bisa saja semudah meyakinkan orang-orang bahwasanya untuk meneruskan peradaban itu merupakan sesuatu yang tidak berguna. Tak ada yang mudah dari ini semua, karena kenyataan ini lebih rumit dan kompleks.
Jawaban mudah, bagiku, adalah vital untuk membongkar domestikasi dalam kehidupan kita dan bahwa tindakan tersebut akan membuat kita melihat gambaran yang lebih besar dan kita dapat melakukan tindakan sesuai opsi yang kita inginkan, tapi tentu tak ada yang semudah itu.
Semuanya akan menjadi sangat buruk. Itulh kenyataannya. Dan ketika kamu melihat orang dari Dunia Pertama tersenyum sembari berbicara tentang bagaimana menakjubkannya ‘rewilding’ bagi mereka atau bagaimana mereka telah mencapai spiritualitas yang merupakan campur aduk antara omong kosong New Age dan pengadopsian beberapa spiritualitas timur, dan bahwa apropriasi rasis atas budaya ini dicampur sedemikian rupa dengan fantasi-fantasi Neo-kolonial atas budaya masyarakat adat. Itu adalah tipe orang yang selalu saja mencari identitas-identitas yang dapat dikonsumsi.
Kamu tidak sendirian di dunia ini dan kamu tak dapat membeli kebebasanmu.
Meminjam satu kalimat dari Terry Tempest William, ‘masib ada keindahan yang bisa ditemukan di dalam dunia yang rusak. Tapi itu merupakan sesuatu yang aku pelajari setelah keluar dari gerakan-gerakan yang mengaku revolusioner; perbedaan antara perlawanan kaum revolusioner dan perlawanan masyarakat adat hanya ingin mempertanyakan gaya hidup mereka. Dan itu bukanlah suatu cita-cita, dan melainkan realita.
Tak ada satupun kaum Indian Apache yang ditangkap hidup-hidup. Mereka akan membunuh diri mereka sendiri ketimbang ditangkap. Mereka ini pejuang yang sangat kuat dan efektif. Namun musuh yang mereka hadapi sesuatu yang sulit dihadapi: kavaleri-kavaleri pasukan yang dipasok tanpa henti. Kavaleri tersebut adalah cerminan dari ekspansionisme peradaban barat di Amerika. Sementara itu revolusi-revolusi sosialis malah membuat penderitaan industrial yang semakin merajalela.
Ketika kamu menemukan keindahan, di situ pula kamu menemukan amarahmu. Senaja seperti inilah yang kita butuhkan. Ketika semakin banyak kabel fiber optik yang terpotong, ketiak balon balon helium kita lepaskan ke dalam pembangkit listrik, dan ketika fasilitas data internet mengalami kerusakan, ketika mencapai tahap itu maka pertarungan akan menjadi lebih mudah.
Jika ada titik akhir dari peradaban secara keseluruhan, aku kira itu diperlukan melakukan apapun untuk mengacauk arusnya. Kita harus berhenti membiarkan hal semacam ini menjadi sebuah pilihan. Aku juga ingin menunjukkan bahwa peradaban menjadi target monolitik, tetapi seperti apa yang dikatakan Fredy Perlman dalam hal ini, binatang buas Leviathan dengan banyak kepala dan wajah. Ada kepanikan yang dialami beberapa perusahaan dan beberapa industri. Dan jika orang-orang berpikir bahwa “peak oil” bukan lagi menjadi masalah, baca saja prediksi di masa mendatang mengenai minyak dari perusahaan investasi. Mereka sangatlah menyedihkan.
Catatan: peak oil adalah acuan titik hipotesis di mana produksi minyak mentah global akan mencapai tingkat maksimumnya, setelah itu produksi akan mulai menurun. Konsep ini berasal dari “teori puncak” ahli Geofisika Marion King Hubbert yang menyatakan bahwa produksi minyak mengikuti kurva berbentuk lonceng.
JA: Kata-kata akhir?
Menyerah adalah pilihan yang kita miliki, tetapi itu bukan pilihan yang pantas kita terima. Itu semua mungkin sia-sia. Kita mungkin telah melewati titik yang mana kita tak dapat kembali lagi. Tapi aku tidak bisa menatap mata anak-anak perempuanku dan mengatakan bahwa itu tidak pantas untuk dicoba. Aku tidak bisa duduk dan diam saja sementara masyarakat adat berjuang. Aku tidak bisa membayangkan dunia tanpa serangga, tetapi ke sanalah kita menuju.
Optimisme, di dunia ini, adalah permintaan yang mustahil. Namun tidak demikian dengan tekad.
Pada titik tertentu, ketika Kamu benar-benar melihat bahwa dunia sedang berjuang, bahwa ada keindahan di dunia kita yang rusak, maka tidak adanya tindakan juga menjadi pilihan bagi mereka yang mempunyai privilese. Adalah harapan aku untuk membuat hal itu menjadi sangat jelas.
Wawancara ini diambil dari Jurnal Anarki Edisi Menjelang Badai
Dukung proyek penerbitan Jurnal Anarki Edisi Provokasi dengan mengontak surel ini: feldasit@riseup.net