Oleh: Katherine Yih. Katherine Yih adalah seorang ekologis yang aktif di New World Agriculture Group dan melakukan kerja solidaritas ilmiah untuk Nikaragua
Katherine Yih
Yang Merah dan Yang Hijau: Prespektif Kiri Dalam Memahami Ekologi
Gerakan prolingkungan di Amerika Serikat, menurut perkiraan Murray Bookchin, “bisa jadi merupakan salah satu gerakan paling radikal dalam kurun waktu mulai dari tahun enam puluhan hingga sekarang.”
Perspektif ekologi radikal, yang meliputi antara lain ekologi mendalam, ekologi sosial, bioregionalisme, ekofeminisme, maupun pandangan-pandangan Marxis, semuanya mengandung beberapa kritik mendasar atas tatanan politik/ekonomi/sosial yang berkembang di dunia, yang karena itu membedakannya dari environmentalisme arus-utama (terkemuka). Namun, sekalipun tanpa para environmentalis arus-utama (terkemuka), apakah “gerakan” tersebut—yang lebih merupakan pencampuradukan organisasi-organisasi yang terbangun oleh beragam idelogi dan menerapkan strategi yang jauh saling berbeda—benar-benar memiliki kemauan atau kemampuan untuk mewujudkan perubahan struktural yang dibutuhkan guna menunda dan memulihkan kehancuran lingkungan?
Perspektif kiri dalam ekologi—khususnya ekologi social dan pandangan-pandangan Marxis—paling menjanjikan dalam hal merumuskan dan memecahkan persoalan seputar hubungan antara manusia dengan isi alam yang lainnya. Mereka memberikan komitmen pada keadilan dan pemahaman bahwa kapitalisme pada akhirnya menghalangi kesetaraan sosial maupun rasionalitas ekologi. Kendati demikian, ada beberapa perbedaan penting di antara pandangan-pandangan tersebut, yang berhubungan dengan keampuhan politisnya.
Salah satu titik perbedaan mendasar antara penganut ekologi sosial dan kaum Marxis adalah tingkat penekanan yang mereka berikan untuk persoalan-persoalan ekologis dalam keseluruhan program politik mereka. Penganut ekologi sosial menempatkan ekologi sebagai elemen inti dalam program mereka, dari situ semua yang lainnya dianggap kurang-lebih mengikuti. Bagi kaum Marxis yang memiliki kepekaan ekologis, rasionalitas ekologis lebih merupakan sasaran kritik yang terkait dengan persoalan lain dalam analisis dan program yang lebih luas—menjadi merah sama perlunya dengan menjadi hijau.
Perbedaan-perbedaan tersebut bukanlah hal sepele dan menimbulkan konsekuensi di lapangan. Sebagai contoh, di Burlington, Vermont (di Burlington sebagian besar anggotanya penganut ekologis sosial), Partai Hijau mengajukan seorang kandidat dalam pemilu raya 1989, yang pertarungan utamanya adalah antara Partai Demokrat dan seorang kandidat independen yang didukung oleh kaum sosialis yang tergabung dalam Koalisi Progresif. Sehingga keikutsertaan Partai Hijau mengancam terpecahnya suara bagi Koalisi Progresif. Akhirnya, Koalisi Progresif menang dengan mudah; hanya 3,4 persen suaranya yang terbagi untuk Partai Hijau. Pada pemilihan anggota Dewan Kotapraja tahun 1990, kandidat Partai Hijau di satu daerah pemilihan jelas-jelas menyatakan bahwa tujuannya bukanlah kemenangan melainkan mengalahkan Koalisi Progresif; Koalisi Progresif kehilangan daerah pemilihan tersebut dengan selisih suara yang tipis dibandingkan dengan jumlah suara milik Partai Hijau.
Adalah penting untuk melihat ideologi dan analisis yang mendasari ekologi sosial dan pandangan-pandangan Marxis tentang ekologi secara lebih rinci guna mengevaluasi implikasi-implikasi politiknya dan potensi mereka dalam menghadirkan tatanan sosial serta ekologi yang didambakan.
Ekologi Sosial
Karena berakar dari pandangan anarkis, maka ekologi sosial sangat anti-kapitalis dan menolak semua bentuk dominasi. Banyak kaum Hijau-kiri merupakan pendukung ekologi sosial; yang cukup dikenal adalah Murray Bookchin, yang menggunakan pertama kali istilah tersebut di tahun 1964 dalam esainya Ecology and Revolutionary Thought.
Bookchin memandang kemerosotan kualitas lingkungan terkait erat dengan kebutuhan/keinginan kapitalisme. Jadi, bukan industri dan teknologi yang salah, melainkan sistem ekonomi yang tak pernah puas, yakni kapitalisme. Selebihnya, sama seperti Marxis, ia menyatakan bahwa “kelas, juga eksploitasi, merupakan landasan bagi akumulasi kapitalis dan keniscayaan menuju pembusukan serta penghancuran planet ini.”[1]
Ekologi sosial memandang manusia terutama sebagai makhluk sosial, bukan sebagai spesies yang tidak dapat dibeda-bedakan—makhluk sosial, yang menurut Bookchin, “sangat berbeda-beda oleh karena status mereka sebagai orang kaya dan miskin, lelaki dan perempuan, hitam dan putih, gay dan ‘straight’, tertindas dan penindas.” Ekologi sosial “menekankan tuntutan keadilan dari kaum tertindas terhadap masyarakat yang secara semena-mena mengeksploitasi manusia, karenanya membutuhkan kemerdekaan kaum tertindas.” [2]
Meski mereka tak diragukan lagi humanis, ekologis sosial tidak memandang alam semata-mata sebagai sarana untuk memuaskan kebutuhan material manusia. Jelas sekali ada penilaian estetis seperti terlihat pada kutipan ini: Lepas dari bayang-bayang keraguan apapun, kita sangat membutuhkan kepekaan ekologis—yang ditandai oleh ketakjuban pada evolusi alam dan semarak biosfer dengan beragam bentuknya… Lebih dari itu, alam merupakan suatu proses—proses mengagumkan yang dapat dinikmati dengan caranya sendiri…. [3]
Masyarakat ideal bagi penganut ekologi sosial, menurut pendapat Howard Hawkins, adalah sebuah “konfederasi non-hirarkis—masyarakat tanpa kenegaraan, terdesentralisasi, dan demokratis, yang berbasiskan kepemilikan bersama atas alat-alat produksi,”[4] atau, dalam kata-kata Bookchin, “masyarakat berorientasi ekologis yang berbasiskan komunitas-komunitas dengan tata-nilai kemanusiaan yang bersifat bebas, terkonfederasi, yang di dalamnya manusia akan memiliki kendali langsung, tanpa perantara/ perwakilan, atas kehidupan sosial dan perorangannya.”[5]
Hawkins mengkaji aspek langsung, tanpa perantara/perwakilan tersebut: Dengan melandaskan diri pada majelis kerakyatan sebagai kesatuan public non-hirarkis yang menangani semua kepentingan social seperti ekonomi [model anarko-komunis], maka akan terbangun solidaritas sosial yang lebih solid ketimbang memfokuskan diri pada persoalan ekonomi secara lebih sempit seperti model dewan. Dengan menyatukan kembali produksi dan konsumsi, anarko-komunisme hendak menghindari pembagian antara satuan-satuan usaha dan konsumsi yang berbeda-beda, kepentingan-kepentingan ekonomi yang terpisah-pisah, dan kemungkinan munculnya hirarki di antara mereka.[6]
Asumsi yang digunakan adalah bahwa dalam masyarakat tanpa kenegaraan, terdesentralisasi, demokratis, dan dengan tata-nilai kemanusiaan, maka manusia akan memiliki kendali yang lebih besar atas masyarakatnya dan saling memiliki rasa tanggung jawab yang lebih besar satu sama lainnya, yang akan membuat mereka mengelola lingkungan dan sumber daya alamnya secara rasional.
Tentang bagaimana cara untuk menuju ke sana, beberapa penganut ekologi sosial, seperti Brian Tokar, mengatakan bahwa caranya adalah dengan menciptakan alternatif-alternatif yang telah berjalan dengan baik, khususnya bioregionalisme, dikombinasikan dengan konfrontasi langsung dengan perangkat-perangkat/lembaga-lembaga kapitalis (contohnya demonstrasi di Wall Street setelah Hari Bumi, 23 April 1990) [7]. Para bioregionalis, yang tidak semuanya mengaku sebagai ekologi sosial, mendukung penarikan diri yang lebih besar dari ekonomi pasar dan memantapkan kemandirian pencukupan kebutuhan regional serta hubungan ekonomi kerjasama di antara komunitas-komunitas yang disatukan.
Ketika strategi ini dijalankan, pandangan tentang masyarakat alternatif tersebut terjerumus dalam tradisi utopian, miskin akan teori yang teruji tentang bagaimana transisi terjadi di bawah hegemoni kapitalis. Bukannya menganggap negara sosialis sebagai tahap yang diperlukan menuju masyarakat tanpa kelas, misalnya, namun kaum ekologis sosial (seperti Bookchin dan Hawkins) justru menolak habis negara, yang menurut mereka sudah pasti merupakan lembaga hirarkis dan tidak demokratis. Juga tak ada pemikiran mengenai dunia ketiga—bagaimana dunia ketiga terkait dengan negeri-negeri maju dalam hubungan yang tidak setara dan bagaimana aksi di satu tempat mempengaruhi keadaan di tempat lain.
Marxisme dan Ekologi
Marxisme, sebagai filsafat dan teori ekonomi-politik, menyediakan kerangka yang lebih luas dan matang ketimbang ekologi sosial. Karena itu, keduanya lebih berguna untuk memahami dunia, termasuk dunia alam”, dan memberikan landasan yang lebih kokoh bagi tindakan politik. Dua aspek dari teori Marxis yang paling relevan untuk memahami dan melakukan aksi atas isu-isu tentang ekologi serta lingkungan adalah materialism dialektik dan teori akumulasi.
Materialisme dialektik, sebagai filsafat, menjadi ada dan menyadari relevansinya dengan diskusi ekologi karena implikasinya pada cara kita memahami alam. Kini sudah menjadi pemahaman umum di kalangan ekologis profesional bahwa alam tidaklah statis, bukan sesuatu yang selalu sama, sekalipun tanpa gangguan manusia. Dengan ukuran komunitasnya maupun dengan ukuran biosfernya, alam tidak berada dalam keseimbangan”, tidak juga berada dalam “keadaan terbaik”-nya. Kita tahu tidak ada kekuatan apapun yang dapat memastikan kesetimbangan stabil dari jumlah populasi ataupun komposisi spesies dari komunitas-komunitas. Jadi pernyataan tentang keseimbangan dan keselarasan bersifat idealis dan ideologis. ( “Keseimbangan alam” dinyatakan sebagai analog dari “tangan yang tak terlihat” dalam ekonomi—di mana persaingan di antara kekuatan-kekuatan yang berbeda dianggap akan meleburkan dirinya dalam sistem yang seimbang dan stabil.) [8]
Dalam esai mereka Dialectics and Reductionism in Ecology (Dialektika dan Reduksionisme dalam Ekologi) Richard Levins dan Richard Lewontin melancarkan kritik atas idealisme dan juga menolak materialism reduksionis. Sebagai gantinya mereka mengajukan pendekatan materialis dialektik untuk mengkaji alam. Reduksionisme menggunakan asumsi dasar bahwa fenomena dapat digambarkan secara keseluruhan sebagai gejala dari obyek yang terisolasi, atau dengan kata lain, bahwa “yang keseluruhan” (misalnya komunitas), dapat dipahami semata sebagai penjumlahan dari “yang sebagian” (misalnya spesies dalam komunitas), yang tidak memiliki gejalanya sendiri. Namun, dalam reduksionisme, bagian maupun keseluruhan sama sekali tidak saling menentukan atau mempengaruhi. Keyakinan reduksionis akan dunia atomistik tersebut menyebabkan kegagalan teori ilmiah dan aplikasinya¾karena membenarkan penelitian atas bagian-bagian dalam sekat-sekat pembatas antara satu sama lainnya dan meremehkan kebutuhan untuk memahami saling keterhubungan, asal-usul saling keterkaitan, dan sifat-sifat dari keseluruhan yang rumit.
“Ekologi harus menjawab persoalan saling ketergantungan dan otonomi relatif, kemiripan dan perbedaan, umum dan khusus, kesempatan dan kebutuhan, keseimbangan dan perubahan, kontinuitas dan diskontinuitas, proses-proses kontradiktif,” tulis mereka. Menurut mereka filsafat yang efektif untuk memahami karakteristik dan proses-proses tersebut adalah materialisme dialektik, yang “tesis utamanya adalah pendapat bahwa alam mengandung kontradiksi-kontradiksi, bahwa ada kesatuan dan interpenetrasi dari apa yang kelihatannya eksklusif tak saling pengaruh, dan karenanya isu utama bagi ilmu pengetahuan adalah kajian tentang kesatuan dan kontradiksi tersebut.” [9]
Mungkin berlebihan jika berpendapat bahwa seseorang harus menjadi Marxis terlebih dulu untuk menjadi ilmuwan yang baik, kritis, sadar akan kontradiksi dalam alam dan menyadari asumsi-asumsi perorangan. Namun Levins dan Lewontin memberi alasan kuat—dengan didukung oleh contoh-contoh ekologi populasi dan komunitas, mereka mengatakan bahwa, bagi kita, tak cukup sekadar menggunakan pendekatan materialis, melainkan harus menggunakan pendekatan materialis dialektik pada hal-hal khusus agar dunia menjadi masuk akal. Pendapat tersebut benar, khususnya dalam ekologi, karena melibatkan penelitian atas sistem yang kompleks secara intrinsik. Hal tersebut mendukung janji-janji materialisme dialektik untuk menjadi alat yang dapat lebih diandalkan ketimbang alat konvensional—yakni cara-cara reduksionis, yang menggunakan ilmu pengetahuan untuk mengalihkan teknologi padat modal dan energi menjadi teknologi yang lebih “padat-ide”.[10]
Aspek khusus lain yang relevan dari Marxisme adalah teori akumulasi, yang menjelaskan bahwa syarat pertumbuhan kapitalisme dihasilkan dari upaya kekuatan-kekuatan (perusahaan) dalam menghadapi tekanan-tekanan kompetisi di antara mereka, sehingga memaksa mereka memotong biaya dan mengakumulasikan modal sebagai cara untuk bertahan hidup. Teori tersebut menjelaskan kebutuhan kekuatan-kekuatan kapitalis yang berkompetisi untuk mengeksternalkan sebanyak mungkin biaya produksi menjadi beban masyarakat dalam jumlah besar, termasuk biaya “cuci tangan”—(berupa) insentif tetap bagi aktivitas produksi dan konsumsi yang menghasilkan banyak limbah; dan ekspansi internasional kekuatan kapitalis ketika mereka mencari pasar baru, sumber daya baru dan, lebih banyak lagi tempat baru untuk membuang limbahnya.
Sehingga, terdapat konflik mendasar antara kapitalisme dan rasionalitas ekologis. Seperti yang dikatakan oleh Paul Sweezy, bahwa catatan buruk (di bidang lingkungan) kapitalisme disebabkan oleh sifat bawaannya yang mengusung proses akumulasi modal yang tak terkendali. Sistem tersebut tak memiliki mekanisme pengerem/pengendali selain krisis ekonomi berkala; satuan-satuan individual yang menyusunnya—modal yang terpisah-pisah—harus tanggap terhadap peluang-peluang meraup keuntungan dalam jangka pendek, atau tersingkir; tak ada bagian dalam sistem itu yang membuka diri atau sesuai dengan suatu perencanaan jangka panjang yang mutlak sangat penting bagi pelaksanaan sebuah program ekologi yang efektif. [11]
Banyak yang berpendapat, merujuk pada catatan lingkungan negeri-negeri sosialis maju, bahwa sosialisme bukan solusi, dan menegaskan bahwa negeri sosialis juga berada di bawah tekanan besar untuk mengakumulasikan modal, mendorong perilaku yang sama dengan perusahaan-perusahaan kapitalis. James O’Connor membantah pendapat kebanyakan tersebut dengan mengatakan bahwa tekanan untuk mengurangi biaya lebih kecil di dalam negeri sosialis (maupun dalam satuan-satuan produksinya) ketimbang dalam perusahaan-perusahaan kapitalis—karena perusahaan-perusahaan kapitalis dibimbing oleh norma-norma pasar; sedangkan perusahaan-perusahaan sosialis dibimbing oleh norma-norma politik. Walaupun pertumbuhan ekonomi juga menjadi tujuan kunci dalam negeri sosialis, namun tak ada kebutuhan pertumbuhan sistemik dalam kadar yang sama. Pertumbuhan lebih cenderung menjadi sebuah keputusan politik…. Memang, watak pengerukan sumber daya yang berani dan tak terencananya bertujuan demi pemanfaatan, bukan demi keuntungan, dan pertumbuhan dipandang sebagai sarana, bukan merupakan tujuan antara maupun tujuan akhir, kendati dalam prakteknya tentu tidak selalu demikian. [12]
O’Connor berpendapat bahwa ekonomi sosialis berpotensi menggunakan dan membuang sumber daya dalam jumlah yang lebih kecil ketimbang ekonomi kapitalis, dan konsumsi personal di bawah sosialisme menghasilkan lebih sedikit polusi. Karena dipaksa oleh permintaan, ekonomi kapitalis didasarkan pada pemenuhan kebutuhan berbentuk komoditi, melibatkan penciptaan “kebutuhan-kebutuhan” yang diindividualkan dalam semua jenis komoditi. Di lain pihak, ekonomi sosialis menekankan konsumsi kolektif, tempat pemberhentian massal, fasilitas rekreasi dan liburan bersama, penanganan kesehatan bersifat pencegahan, dan permukiman bersama. Sehingga, seperti juga dikemukakan oleh Sweezy dan Magdoff,[13] negeri-negeri sosialis setidaknya berpotensi membuat beberapa kemajuan signifikan menuju produksi yang rasional secara ekologis.
Kendati demikian, negeri-negeri dengan kebijakan-kebijakan sosialis secara umum memiliki catatan lingkungan yang kurang baik. Sebagian karena keadaan tempat pemerintahan sosialis itu berada—relatif miskin, mendapat serangan-serangan dari luar dan, khususnya bagi yang kecil, mengalami ketergantungan ekonomi ala Dunia Ketiga, suatu posisi yang tidak menguntungkan dalam pasar internasional. Hambatan-hambatan yang saling berhubungan dalam memenuhi kebutuhan material penduduknya, mendorong pembentukan pertahanan militer yang cukup kuat, dan berlanjutnya produksi dan ekspor tanaman industry serta bahan mentah untuk perdagangan luar negerinya, sehingga pengambil kebijakan sosialis lebih menekankan pada akumulasi oleh negara¾suatu adopsi yang tidak kritis atas banyak bagian dari pembangunan kapitalis, yang catatannya sangat buruk saat berhadapan dengan lingkungan (meskipun, tentu saja, ada beberapa pengecualian). [14]
Tapi faktor-faktor yang melekat pada ideologi sosialis juga memberikan sumbangan terhadap karakter kebijakan ekonomi sosialis tersebut. Salah satunya adalah produksionisme Marxisme, yang dicatat oleh Arthur MacEwan sebagai kelemahan penting yang menyebabkan diutamakannya kemajuan dalam produksi di atas kemajuan dalam bidang lain, dan subordinasi tujuan-tujuan lain di bawah akumulasi sosialis. [15] Faktor lain, dalam pandangan Michael Redclift, adalah cara Marxisme mengkonseptualisasikan nilai (value)—mendasarkannya pada waktu kerja, karena memang begitu adanya, ketimbang mendasarkannya pada sifat-sifat bawaan dari material alam, sehingga membuat “nilai” lingkungan menjadi tak jelas. [16]
Akhirnya, karena gagal menyadari demokrasi yang sepenuh-penuhnya maka ekonomi dan politik di bawah kapitalisme atau sosialisme menjadi persoalan mendasar dalam krisis ekologis. Seperti ditulis oleh Barry Commoner, “pemerintahan sosial produksi telah gagal diwujudkan baik dalam negeri kapitalisme maupun negeri sosialisme. Apa yang dibutuhkan adalah perluasan demokrasi hingga ke ajang di mana keputusan produksi dibuat.”[17] Agak senada, Redclift mengatakan bahwa individu-individu baik dalam masyarakat industrial kapitalis maupun sosialis makin dibatasi dalam ikut bertanggung jawab atas lingkungan terdekat mereka sendiri dan lingkungan lain di masyrakat yang lain. Dalam penelitiannya tentang gerakan Hijau di Eropa Timur, ia menyimpulkan bahwa krisis ekologi berhubungan erat dengan penghargaan yang kurang terhadap hak-hak dasar manusia, kebebasan informasi, dan demokrasi partisipatoris.[18]
Meskipun kecenderungan bawaan kapitalisme membuang sampah (ke lingkungan) adalah konsekuensi dari syarat-syarat pertumbuhannya, kita tidak boleh “meragukan kecerdikan kapitalisme dan kemampuannya untuk menyesuaikan diri,” seperti diperingatkan oleh Andre Gorz dalam Ecology in Politics [19]. Dalam tingkat tertentu, terlihat jelas bahwa kapitalisme bisa menerima keprihatinan ekologi, sejauh solusi-solusinya bisa dikomoditikan. Jika masyarakat akan puas dengan air minum yang bersih – sementara sungai dan air tanah berpolusi—maka kami akan menjual air dalam botol dan menyaringnya untuk disimpan. Jika agen pengontrol biologis dapat dikemas dan dijual demi keuntungan bagi produsen pertanian, hal itu akan dilakukan, dan mungkin penggunaan pestisida yang berbahaya akan berkurang. Perusahaan-perusahaan kapitalis, jauh-jauh hari sebelum dipaksa, bukan saja karena alasan politik tapi juga karena alasan ekonomi, sudah mmpertimbangkan sumber-sumber daya ekologi, seperti unsur hara tanah dan populasi serangga bermanfaat, sebagai persediaan modal dalam perhitungan mereka.
Kendati beberapa masalah lingkungan dapat dipermak di sana-sini dalam konteks kapitalisme, tapi tidak demikian halnya dengan masalah lingkungan secara keseluruhan. Itu karena kecenderungan capital untuk berekspansi secara internasional – ketika capital dibatasi di tingkat lokal (contohnya, ketika pemerintah setempat menanggapi tekanan dari para environmentalis dan menerapkan regulasi berbiaya tinggi pada industri swasta demi perlindungan lingkungan), maka ia akan pindah.
Tindakan Politik
Dalam pemahaman akhir, tuntutan akan rasionalitas ekologis dalam skala besar merupakan tuntutan radikal karena pemenuhannya membutuhkan perubahan structural yang mendasar. Hal itu tentu tidak dipahami sepenuhnya oleh gerakan lingkungan, banyak partisipannya melihat bahwa tuntutan dan tujuan aksi-aksi mereka hanyalah untuk menerapkan perangkat-perangkat khusus perlindungan lingkungan. Peran khusus dari sayap kiri (ekologis sosial dan Marxis) dalam gerakan lingkungan adalah untuk secara berkelanjutan mengekspresikan politik dari keprihatinan ekologis-bahwa kemerosotan lingkungan bukan lah masalah “industri” atau “modernisasi” yang lepas dari hubungan-hubungan social produksi dan pertukaran. Bukan pula persoalan ideologi, yang selesai dengan kesadaran lingkungan yang lebih besar atau perubahan dalam gaya hidup perorangan. Kemerosotan lingkungan adalah persoalan kontrol yang tidak demokratis atas sumber daya-sumber daya dan proses pengambilan keputusan.
Walaupun pandangan ekologi sosial dan Marxis memiliki kesamaan dalam humanisme dan anti kapitalismenya, sesungguhnya mereka berbeda dalam cara mewujudkannya. Dalam praktek politik, posisi tegas Marxisme adalah bahwa ekologi tidak dapat (secara tersendiri) menjadi tujuan khusus dari suatu masyarakat atau suatu program. Sebaliknya, ekologis sosial, seperti yang mereka tunjukkan dalam analisis-analisis dan peran politiknya dalam partai-partai Hijau dan organisasi-organisasinya, mendefinisikan politiknya dalam konteks ekologi dan menurunkan model masyarakat mereka dari ekologi atau kriteria-kriteria ekologis. Misalnya, ekologis sosial melihat desentralisasi sebagai elemen kunci dari masyarakat yang rasional secara ekologis. Namun, seperti dinyatakan oleh O’Connor, merujuk pengalaman Cina, desentralisasi industri, dalam ukuran ekonomi, mempersulit upaya untuk mewujudkan pengelolaan limbah, dan menyebabkan permasalahan-permasalahan polusi yang parah di tingkat lokal.[20] Terlebih lagi, menentukan ekologi sebagai satu-satunya kriteria untuk aksi, seseorang mungkin akan menolak kapitalisme tapi tak tahu ke mana harus pergi. Seperti dipahami oleh Gorz, “ekologi tidak perlu melakukan penolakan terhadap otoritarianisme, solusi-solusi teknofasis,”[21] karena dengan itu aturan-aturan dan kegiatan-kegiatan perlindungan lingkungan dapat diterapkan pada penduduk secara paksa.
Konflik yang sering dikedepankan adalah, di satu sisi, antara lapangan kerja atau keberlangsungan ekonomi dan, di sisi lain, kualitas lingkungan. Konflik tersebut sebenarnya tidak ada. Contohnya, menghadapi perlawanan kaum pecinta lingkungan (environmentalist)—terakhir paling terlihat dalam kampanye Redwood Summer tahun 1990 untuk menyelamatkan Redwoods yang sudah lama tumbuh di California utara-industri kayu California menyalahkan upaya-upaya pelestarian atas hilangnya lapangan kerja perkayuan. Kenyataannya industri itu sendiri yang bertanggung jawab. Dalam dekade terakhir saat produksi kayu di Humboldt County (salah satu lokasi aksi-aksi Redwood Summer) meningkat hingga lebih 50%, jumlah pekerja perkayuan menurun hingga 35%. Otomatisasi dan ekspor gelondongan untuk digergaji di luar negeri menyebabkan hilangnya lapangan kerja, dan walau ada penebangan berlebihan lapangan kerja perkayuan akan tetap menurun di kemudian hari.
Analisis politik yang lebih besar diperlukan untuk bergerak menuju tatanan yang lebih sosial dan rasional secara ekologis. Program yang menghubungkannya harus mencakup baik tujuan rasionalitas ekologis maupun tujuan keadilan dan demokrasi yang lebih didefinisikan secara sosial. Perspektif Marxis menyediakan elemen penting dalam analisis politiknya yang lebih besar¾dengan kritiknya pada kapitalisme dan khususnya teori akumulasi. Akumulasi kapitalis tidak hanya mendasari dan menggerakkan perusakan lingkungan, tapi juga penderitaan-penderitaan yang lain, seperti penerapan kontrol ekonomi dan politik oleh kepentingan kapitalis atas manusia di seluruh dunia. Hasilnya, jika kapitalisme adalah masalahnya, maka secara logis tidak lengkap dan secara politis dangkal jika membangun gerakan semata berbasis utama pada keprihatinan ekologis.
Akumulasi kapitalis, dan mobilitas, ekspansi, serta kontrol yang mengikutinya, memiliki implikasi langsung terhadap aksi politik kita di seputar isu lingkungan. Aksi kita harus diluaskan secara geografis jika tidak ingin menghasilkan kualitas lingkungan (yang baik) dan keselamatan untuk sekelompok orang tapi dengan mengorbankan lingkungan, kesehatan, atau nyawa orang lain. Contohnya, agitasi oleh para pecinta lingkungan dan konsumen di AS dalam menolak residu dari pestisida yang mengendap dan menyebabkan kanker (organoklorin seperti DBCP) telah membuat perusahaan-perusahaan yang memproduksinya “membuang” pestisida-pestisida tersebut ke Dunia Ketiga dan menggantinya dengan pestisida yang tidak menetap di tubuh tapi lebih beracun (organofosfat seperti parathion). Hasilnya, buruh tani di AS dan di luar negeri, yang mengerjakan tanaman budidaya untuk pasar AS, kemudian menderita lebih banyak keracunan dan tingkat kematian yang lebih tinggi.[22] Di AS sendiri, kaum pecinta lingkungan menghasilkan dampak yang tak merata—terdapat kecenderungan yang nyata untuk menempatkan sampah mematikan di lingkungan miskin orang-orang African-American, Latino dan penduduk asli Amerika berkaitan dengan rasisme dan kurangnya kekuatan politik komunitas-komunitas tersebut dibandingkan dengan warga yang lebih kaya atau tetangga kulit putih mereka.
Melemahnya negara-bangsa berhadapan dengan capital adalah alasan lain mengapa pengorganisasian lingkungan harus berlingkup internasional. Pada musim gugur 1989 misalnya, dalam menanggapi Belanda yang memberlakukan aturan emisi kendaraan, Prancis membawanya ke pengadilan Eropa. Pemerintah Prancis berargumen bahwa hukum Belanda menunjukkan pengingkaran terhadap kesepakatan Pasar Umum, karena mobil Prancis akan terhalangi untuk dijual di Belanda. Prancis memenangkan kasus tersebut.
Sebagai tambahan, untuk mengkonsolidasikan dan mempolitisir perlawanan-perlawanan lokal yang sudah ada—melawan pembuangan limbah beracun, pestisida, penambangan tak terkendali, dan lain sebagainya—demi kesatuan dan dampak politik yang lebih besar, kita perlu mulai mengkoordinasikannya dalam gerakan nasional dan internasional. Itu sama dengan internasionalisasi pengorganisasian buruh, yang diperlukan karena alasan yang sama.
Banyak gerakan lingkungan di Dunia Ketiga terdiri dari orang-orang yang lingkungan hidupnya mengalami ancaman langsung dari polusi dan ekstraksi sumber daya. Beberapanya secara sadar anti imperialis dan atau sosialis. Tapi gerakan dan organisasi-organisasi Dunia Ketiga tersebut biasanya kekurangan sumber daya untuk melakukan lebih banyak koordinasi internasional. Organisasi-organisasi lingkungan progresif yang berbasis di negeri-negeri yang lebih kaya dapat memainkan peran penting dalam internasionalisasi aktivisme lingkungan, tidak hanya dengan kerja solidaritas jangka panjang, seperti pekerjaan New World Agriculture Group di Nikaragua, tapi juga melalui pembangunan jaringan organisasi-organisasi dan koordinasi aktivisme dalam skala internasional. Contoh dari organisasi yang membantu membangun jaringan internasional dan mengkoordinir aksinya adalah Pesticide Action Network, Greenpeace (yang sudah mengangkat dan melawan ekspor pestisida serta limbah beracun berbahaya), dan mereka yang membantu mengorganisir Fourth Internasional Congress in the Fate and Hope of the Earth yang diselenggarakan di Managua bulan Juni 1989, termasuk Earth Island Institute dan Environmental Project on Central America (EPOCA).
Karena mustahil menerapkan rasionalitas ekologis dalam skala luas di bawah kapitalisme, para pecinta lingkungan dan gerakan lingkungan dapat, dan di beberapa bagian dunia sudah, menjadi agen-agen perubahan revolusioner. Untuk mewujudkan potensi itu, para aktivis harus mengingat bahwa:
-
permasalahan-permasalahan ekologi adalah masalah politis dalam makna bahwa masalah-masalah tersebut dihasilkan atau sangat dipengaruhi oleh kesenjangan-kesenjangan kontrol atas sumber daya dan kekuatan politik di antara kelompok-kelompok dan bangsa-bangsa;
-
ekologi tidak dapat menjadi program politik itu sendiri, melainkan harus menjadi bagian dari analisa dan program yang lebih luas;
-
perlu memehami kapitalisme, dan khususnya dinamika akumulasi modal, agar mengerti mengapa kerusakan lingkungan terjadi dan akan terus berlanjut dalam dunia yang kapitalistik;
-
oleh karena mobilitas dan ekspansi modal, serta melemahnya negara-bangsa, maka perlu mengkoordinasikan strategi secara internasional.
[1] Murray Bookchin, Zeta, April 1989, halaman 3
[2] Murray Bookchin, The Guardan, 3 Agustus 1988, halaman 23
[3] Ibid
[4] Howard Hawkins, Resist, Juli-Agustus 1989, hal 4
[5] Murray Bookchin, The Guardian, 3 Agustus 1988, hal 23
[6] Howard Hawkins, Zeta, Juli-Agustus 1989, hal 152
[7] Brian Tokar, berbicara di Mount Holyoke College, South Hadley, Massachusetts, 19 April 1990
[8] Gagasan tersebut disajikan dan dikaji oleh Richard Lewontin dalam esainya (yang tidak dipublikasikan) pada tahun 1989 Dialectics of Nature. Analogi “tangan yang tak terlihat” dibuat untuk saya oleh seorang ekologis, Douglas Bucher
[9] Richard Levins dan Richard Lewontin, editor, The Dialectical Biologist (Cambridge:Harvard University Press, 1985)
[10] Konsep dan istilah tersebut terdapat dalam esai Richard Levins (yang tidak dipublikasikan) Toward a Gentle, Thought-Intensive Technology, 1985
[11] Paul Sweezy, Socialism and Ecology, Monthly Review, September 1989, halaman 2
[12] James O’Connor, Zeta, Juni 1989, halaman 32
[13] Paul Sweezy, Socialism and Ecology, Monthly Review, September 1989; Paul Sweezy dan Harry Magdoff, Capitalism and The Environment, Monthly Review, Juni 1989
[14] Lihat, misalnya, John Vandermeer, A Struggle on Two Fronts: the Greening of Nicaragua, Green Letter, Spring, 1990
[15] Arthur MacEwan, Why Are We Still Socialist and Marxist After All This? DalamSocialist Register 1990, editor oleh Ralph Miliband dan Leo Panitch (London : Merlin Press, 1990)
[16] Michael Redclitt, Turning Nightmares into Dreams : the Green Movement in Eastern Europe, The Ecologist, September-Oktober, 1989, halaman 178
[17] Barry Commoner, Ecosphere vs Technosphere: Ending the War Against Earth, The Nation, 30 April 1990
[18] Michael Redclitt, Turning Nightmares into Dreams, halaman 182
[19] Andre Gorz, Ecology as Politics (Boston : South End Press, 1980)
[20] James O’Connor, Zeta, Juni 1989, halaman 31
[21] Andre Gorz, Ecology as Politics, halaman 17
[22] Lihat Laura Schere dan Dave Parks, The Guardian, 4 Juli 1990, hal 3