Kontinum
Jika Mereka Berani Potong-Potong Subsidi, Kita Juga Harus Berani Macam-Macam!
Tentu saja ini bukan kali pertama pemotongan subsidi diberitakan di media massa. Hampir tiap tahun, negara mengumumkan maklumat serangannya kepada kelas pekerja demi melindungi kapital. Caranya bisa dengan mencabut subsidi, pemberlakukan aturan-aturan yang mengekang dan konyol, atau menyelenggarakan pemilu.
Semenjak kehidupan kita dikontrol di bawah dikte-dikte ekonomi pasar, maka aturan-aturan (beberapa kalangan masih setia mempertahankan eufimisme dengan menyebutnya kebijakan) seperti pencabutan subsidi sosial yang menyebabkan naiknya harga, niscaya akan selalu ada.
Aksi-aksi protes pun juga senantiasa muncul sebagai reaksi atas serangan ekonomi tersebut. Tetapi mengapa perlawanan itu kadangkala tak membangun perbedaan berarti?
Bagi kami, ada sebuah permasalahan mendasar di kalangan pemrotes menyangkut bagaimana melihat dunia ini beroperasi dan taktik menginterupsinya. Dunia tidak bisa dirubah oleh niat baik semata!
Selamat datang di masyarakat spectacle
Aksi-aksi protes damai yang berkeinginan untuk menggagalkan sebuah aturan baru, jelas terbukti mandul dan konyol.
Selamat datang di masyarakat spectacle, dimana kesan-kesan yang ditimbulkannya menjadi lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri. Aksi para pemrotes yang berdialog, menuntut dan mengemis pada anggota parlemen daerah, misalnya, hanyalah tindakan yang tidak lebih dari tontonan belaka. Ini bukanlah upaya serius untuk membuat sebuah perubahan.
Bandingkan aksi-aksi ibu-ibu miskin di kawasan Tallo dan Ujungtanah, Makassar beberapa tahun lampau, saat mereka kesulitan minyak tanah untuk memasak sehari-hari. Naiknya harga dan langkanya suplai tidak membuat ibu-ibu depresi dan meratap di hadapan anggota DPRD. Mereka justru membajak mobil tanki Pertamina berisi minyak tanah dan menjarah isinya untuk dibagi-bagikan secara gratis ke semua tetangga. Hal itu adalah bentuk pelampauan masyarakat spectacle.
Menggiring ibu-ibu miskin radikal itu ke gedung parlemen, adalah sebuah gurauan tidak lucu lagi pula norak ala Opera Van Java.
Beberapa kelompok seringkali berlindung di balik argumentasi dangkal. Bahwa mereka melakukan aksi damai untuk menggalang simpati dan partisipasi luas dari masyarakat luas untuk ambil bagian dalam perjuangan. Jelas ini adalah tipe vanguard yang berambisi menjadi hero atau penolong masyarakat. Sebuah diagnosa dari penyakit dunia modern yang paling hina.
Mereka akan mencabut subsidi! Lalu?
Penolakan atas pencabutan subsidi bukan berarti mendorong agar lebih banyak subsidi dipertahankan oleh negara. Atau dalam makna spesifik, mendukung taktik perebutan kekuasaan negara untuk menaikkan pemerintahan yang pro-rakyat.
Istilah dan konteks subsidi hanya ada dalam relasi pasar. Hanya ada dalam sebuah ekonomi yang berambisi mempertahankan keseimbangan antara daya beli dan produksi untuk profit. Subsidi berarti kita harus tetap memeluk kapitalisme dan segala variannya (misalnya ekonomi kerakyatan ala Keynessian Kiri). Karena kami tidak ingin terjebak pada pandangan naif, agenda kami adalah peruntuhan kapitalisme, dan bukan mereformasinya!
Tetapi untuk saat sekarang kami harus menegaskan: pencabutan subsidi berarti nyata-nyata serangan terhadap hidup kami. Kami, seperti juga kalian semua, adalah orang-orang yang telah terjepit dan terpaksa menjual waktu dan tenaga untuk mendapatkan upah agar bisa bertahan hidup. Kami jelas tidak memilih diam. Penolakan pencabutan subsidi adalah perjuangan untuk hidup. Dan kami tidak berniat mewakili atau mengembalakan siapa-siapa.
Sekarang, mereka melakukannya lagi. Ini telah kali kesekian para borjuasi dan pejabat publik di pemerintahan berani melakukannya. Mengapa mereka berani melakukannya? Karena dulu, setiap mereka melakukan hal-hal seperti ini, kita tidak pernah melawannya. Tidak lebih kuat!
Kita hanya melakukan protes-protes tipikal, repetitif, membosankan dan terprediksi! Ia tak berdampak apapun selain menolong para jurnalis mendapatkan rekaman gambar yang bisa naik tayang. Protes-protes heroik, repetitif itu jelas-jelas tidak melampaui spectacle, tetapi justru memperkuatnya.
Menitipkan rasa frustasi kita melalui politisi adalah bodoh! Kamu tahu betapa omong kosongnya diwakili oleh salah seorang saja, diantara ratusan begundal di parlemen? Lantas, kita hanya demonstrasi membawa spanduk, berteriak-teriak dengan megaphone, membagi-bagi selebaran fotokopian yang jumlahnya tidak seberapa, dengan maksud menuntut keadilan. Sampai kapan?
Itu telah terjadi berkali-kali dan juga diulangi berkali-kali.
Kita jarang melakukan perhitungan dengan mereka. Aturan yang bikin hidup kita bertambah sengsara tidak dibalas dengan tindakan yang juga membuat mereka sengsara. Mereka terus macam-macam dengan hidup kita dan kita tidak pernah membalasnya setimpal! Kita tidak pernah macam-macam, kecuali berteriak di jembatan layang, mencari perhatian kepada pengguna jalan. Bukankah ini menyedihkan?
Kadang kala para organisatoris kariris membela ketololannya dengan mengatasnamakan ‘strategi dan taktik’, sentralisme demokrasi, atau karena tak ada instruksi dari pusat! Idiot! Hasrat liar tak ada kaitannya dengan perintah-memerintah. Karena hanya hasrat murni tanpa kontrollah yang bisa melandasi sebuah bangunan insureksional yang kuat.
Jadi, segala sesuatu haruslah bisa ditransformasikan menjadi alasan untuk melakukan tindakan ‘macam-macam’. Untuk membuat perhitungan dengan negara dan kapital! Sejak kami tidak lagi melihat perbedaan antara perjuangan melawan penggusuran yang bisa sedemikian hebat, dengan memperjuangkan kondisi hidup lebih baik, seperti menolak pencabutan subsidi, maka kami tidak melihat alasan mengapa mesti menerapkan taktik berbeda.
Kita juga harus berani macam-macam!
Perjuangan kita mestilah melampaui semua dunia superfisial yang ditawarkan oleh para korporat bedebah, intelektual dan akademisi menyebalkan, para tengik partai-partai Kiri, dan begundal-begundal LSM yang semuanya mencoba mengorganisir kembali dunia muram ini agar selalu terlihat menarik! Mereka selalu menawarkan cara: berdamai dengan sebagian kontradiksi!
Sebuah tindakan ‘macam-macam’ ini adalah bentuk bagaimana kita bisa mengakhiri kebosanan dalam kehidupan harian kita, ketimbang terjebak dengan spectacle. Melampaui semua itu, tindakan-tindakan tersebut merupakan sebuah ‘interupsi ekstrim dari rutinitas yang begitu-begitu saja’!
Ini adalah manifestasi merebut otonomi diri tanpa harus mengkompromikannya dengan tatanan yang terus menerus mengorganisir kodefikasi setiap hasrat dalam diri kita.
Menanglah! Dan jangan tertangkap, kamerad!