M.Iqbal.M
Entah Subjek Apapun Itu, Hidup Tetap Berupa Kompleksitas Chaos sekaligus Nothingness: Sekilas Membaca Stirner dari Perspektif Abolisionis-Insureksioner (Glissement), Bukan dari Perspektif Triadik-Nietzsche
“…masyarakat mana pun, bahkan yang terorganisasi secara anarkis, dengan ide-ide mutual-aid dan solidaritas, akan memandang dengan kecurigaan setiap ekspresi individualisme avant-garde”—Michael Scrivener dalam The Anarchist Aesthetic
Dalam esai ini, saya hanya akan sekilas—secara singkat—membahas abolisionis/insureksioner/glissement yang sebetulnya dapat saya uraikan panjang-lebar, entah dengan melakukan eksplorasi komparatif terhadap—katakanlah—‘Anarkis-Egois-Insureksioner’ dengan ‘Anarkis-Sosial-Revolusioner’ dari Tinjauan Fondasi Ontologis hingga Praksis Keseharian misalnya, entah menyertakan pandangan/melakukan komparasi atas korpus-korpus—semacam—Hakim Bey, Bellamy Fitzpatrick, Flower Bomb, Svein Olav Nyberg, Feral Faun, John Moore, Saul Newman, Alyson Escalante, Kathy .E. Ferguson, dan seterusnya, atau sekedar David Graeber, Errico Malatesta, dan seterusnya. Namun lantaran terbatasnya waktu/situasi-kondisi yang tidak memungkinkan, maka pada kesempatan kali ini, saya tidak membahas topik ini secara detail/komprehensif, setidaknya esai ini dapat menjadi prolegomena atau pemantik kuriositas seputar topik ini.
Term Abolisionis yang saya maksud dalam esai ini bukan sekedar term diskursus semacam penghapusan-hukuman ala Fillipo Gramatica, Olof Kinberg, Louk Hulsman, atau yang lebih ‘purba’ macam Hegel, Aquinas, Rosseau, dan seterusnya—sangat-sangat jauh dari itu—Abolisionis di sini merupakan term yang mengacu pada suatu glissement; yakni term yang akan saya bahas hingga akhir esai ini.
Saya mulai dari pengertian destruksi yang bukan merupakan term peyoratif. Destruksi (merusak, menghancurkan, sampai menghilangkan) sesuatu tanpa kehendak untuk membangun yang baru (kreasi) itu bukan sebuah persoalan/masalah. Subjek-subjek Stirnerite (saya pakai term Stirnerite ala Rooum dalam Anarchist Quarterly (1987) bukan term Stirnerian), saya baca sebagai subjek-subjek abolisionis yang tidak segan untuk menghilangkan fasis (insureksi) yang ada di dunia tanpa melakukan pembangunan civilization/terbangunnya harmony-civilization yang ‘indah’ setelahnya (revolusi). Abolisionis adalah ‘pemberontak’ yang entah berlaku statis/dinamis, ia tetap ‘memberontak’. Entah menjadi-diri-sendiri/menolak-menjadi-diri-sendiri, ia tetap ‘memberontak’.
Sekalipun tanpa menjadi subjek-dinamis, Abolisionis paham kontekstual antara menjadi Egois atau menjadi Fasis (proto-fasis, kripto-fasis, fasis-kiri/tengah/kanan, dan segala jenis fasis). Menjadi egois—katakanlah—adalah melakukan apapun yang relevan untuk personalitasnya (bahkan landasannya hanya relevan/tidak-relevan [a.k.a berlandaskan nothing], bukan senang/tidak-senang, bukan enjoy/tidak enjoy), sedangkan menjadi fasis—katakanlah—adalah melakukan tindakan pemaksaan kepada subjek ‘diluar dirinya’ untuk mengikuti apa yang dirinya mau; laiknya Hitler beserta Autschwitz-nya atau Lenin beserta Gulag-nya. Itulah subjek Abolisionis yang tidak mempunyai conatus/the-will untuk menuhankan/menyakralkan apapun; tidak menyakralkan statis/dinamis, diri-sendiri/bukan-diri-sendiri, bahkan lebih jauh lagi melampaui ‘representasi-bahasa’ macam; penegasan yang-unik/non-unik, human/inhuman; singkatnya—tidak menyakralkan segala-galanya. Hal ini senada dengan uraian Feyerabend dalam Againts Method (1993) dengan istilah anything-goes; yakni apapun metodenya, entah statis/dinamis, tetap sah-sah saja, yang penting metode tersebut bersifat terbuka (bebas berubah bila perlu). Ini artinya, tidak terlalu penting pula istilah subjek-nomadik ala Deleuze-Guattari (kecuali istilah body-without-organs yang senada dengan anything-goes; yakni tubuh/mesin-hasrat yang bebas menjadi apapun). (Deleuze & Guattari, 1983). Meski tentu bebas dalam pengertian worldview ke-diri-an (dalam hal ini Abolisionis) yang memiliki peralatan kognitif dan peralatan observatif yang ketat, memadai, sekaligus singular (katakanlah tidak ‘moron’, lantaran ‘moronitas’ dapat mengarah pada pola-berpikir proto-fasis) yang inheren dengan pertimbangan silogisme, pertimbangan linguistik, pertimbangan epistemologi, aksiologis, ontologi, dan seterusnya, sebagai peralatan tinjauan-kritis dalam melihat suatu fenomena (walau pada taraf/konteks tertentu peralatan-peralatan ini dapat menjadi spooks juga tentunya), sehingga dapat memahami ada-tidaknya unsur fasis, proto-fasis, kripto-fasis, fasis-kiri/tengah/kanan, dan segala jenis fasis pada suatu fenomena.
Itulah mengapa, tidak dapat/tidak relevan membaca Stirner dari perspektif Nietzsche. Sebab triadik Nietzsche tidak berlaku untuk korpus Stirner. Stirner dalam Stirner’s Critics (Stirner, 2012:55–56) itu—menurut interpretasi saya—tidak berbicara soal menjadi-‘Aku/tidak-menjadi-Aku’ (menjadi nihilis-negatif, nihilis-aktif, nihilis-pasif, nihilis-reaktif, nihilis-kreatif/unta, singa, bayi, dst), melainkan bicara soal tidak adanya Revolusi, yang ada hanya Insureksi sebab yang-unik (dalam hal ini nihilis-abolisionis) bukanlah sebuah entitas (subjek revolusioner). Ia juga bukanlah sebuah konsep (harapan revolusioner), ia tidak merujuk pada apapun (abolisionis-insureksioner). Menurut interpretasi saya lagi, istilah creative-nothing bukan mengacu pada kehendak untuk menghancurkan dan membangun kembali, creative-nothing hanyalah sebagai istilah yang mengacu pada Tindakan (creative) yang Tidak Terpaku Suatu Pendasaran/Beban-Historis/Kehendak-Futuristik (nothing) maupun Penciptaan Ulang (revolution). Itulah tindakan insureksi, bukan revolusi. Itulah Abolisionis, yang tidak terikat oleh tradisi-konvensi-sosial (kultur, sub-kultur, atau konter-kultur sekalipun) ataupun terpaku oleh harapan-harapan terbangunnya civilization (harmony-civilization yang ‘indah’), melainkan hanya melakukan ‘pemberontakan’ yang relevan untuk ia lakukan, hanya itu. Itulah Abolisionis yang hanya menghendaki—katakanlah—’the unique of one’, sekalipun beririsan dengan suatu afinitas/asosiasi-bebas; yakni dalam bahasa Stirner sebagai voluntary-egoist—bukan involuntary-egoist federasi/kolektif/dst—, atau dalam bahasa Bey sebagai Union-of-Self-Owning One’s (Bey, 1994) yang 11/12 juga dengan bahasa Deleuze-Guattari sebagai subjek-subjek non-fasis di tataran molar (Deleuze & Guattari, 1983) yang secara tersirat semacam istilah Group-Subject; yakni interaksi antara subjektivitas yang kompleks/bukan Sufojugated-Subject (Wilden, dalam Lacan, 1968).
Bahkan pengertian creative-nothing melebihi pengertian semacam the-desire-for-destruction-is-also-a-creative-desire ala diktum Bakunin/secara tersirat juga macam Malatesta/Rocker/Chomsky/Bookchin, dan seterusnya, yang masih bercorak terikat oleh pendasaran/harapan terbangunnya harmony-civilization kedepan; yakni semacam setiap individu dapat hidup berdampingan, orang tua dan bayi sehat secara standar sosio-psikis, berkeluarga, beregenerasi, dan seterusnya. Entah lantaran masih terikat oleh beban-historis atau kehendak-futuristik.
Adimanusia adalah konsep yang bermasalah untuk memahami Stirner dan pengaruhnya, karena mengaitkannya dengan Yang-Unik. […] Zarathustra milik Nietzsche ingin menggalang massa sehingga mereka dapat mengorbankan diri mereka sendiri, memengaruhi transisi menjadi adimanusia. […] Adimanusia membentuk karakternya sendiri secara baru, namun menghargai kreativitas di atas segalanya. (Abissonichilista, 2015).
Revolusi dan insureksi hendaknya tidak dipandang sebagai sebuah sinonim. [...] Revolusi ditujukan pada susunan baru, sementara insureksi membawa kita untuk tidak lagi membiarkan diri kita diatur, melainkan untuk mengatur diri kita sendiri, dan tidak menaruh harapan cerah pada suatu ‘institusi sosial’. Ini bukan perjuangan melawan yang mapan [...] Lantaran sekarang tujuan ku bukanlah sekedar penggulingan tatanan yang telah ada, melainkan kebangkitan di atasnya, niat dan tindakan ku bukanlah niat dan tindakan politik atau sosial, melainkan karena apapun hanya ditujukan pada ku dan kepemilikan ku sendiri, yakni suatu niat dan tindakan egois. (Stirner, 2017).
Dengan itu, Abolisionis terbuka untuk menjadi apapun, bahkan boleh menjadi ‘pendendam’, namun bukan ‘pendendam’ dalam arti ressentiment ala Nietzsche atas pembacaan Newman dalam Anarchism and the Politics of Ressentiment (2004), melainkan ‘pendendam’ dalam arti hendak melawan-balik (resisten/fight-back) apapun aksiomatik yang telah dipaksakan kepadanya (tindakan fasistik yang dilakukan oleh para fasis/proto-fasis/kripto-fasis/fasis-kiri/tengah/kanan, atau segala jenis fasis kepadanya). Sebuah dendam yang timbul—katakanlah—secara kognitif dan observatif yang memadai, ketat, sekaligus singular/otentik (11/12 dengan pengertian Heidegger (1962) sebagai Eigentlichkeit-Da-Sein yang ‘mewaktu’), bukan dendam yang timbul dari ‘afeksi’ ‘sentimen/ressentiment abstrak’ belaka (dalam tanda petik tentunya).
Dia (Stirner/dalam hal ini Abolisionis-Insureksioner) tidak melepaskan dirinya dari kategori-kategori properti, alienasi, dan penindasannya, dia melemparkan dirinya ke dalam ketiadaan. (Deleuze, 1983).
Itulah Abolisionis/Insureksioner—atau katakanlah yang-tidak-terkatakan/tidak-terbahasakan (glissement atau—mudahnya—yang non-representasional)—yang bebas melakukan apapun, bebas menjadi statis/dinamis, diri-sendiri/bukan-diri-sendiri, bahkan bebas menjadi yang-unik/non-unik, human/inhuman, melakukan anti-prokreasionis/prokreasionis, anti-civilization/membangun-civilization (tentu civilization dalam pengertian sekedar sebagai ‘bonus’ insureksioner tertentu). Sebab abolisionis/insureksioner/glissement tahu bahwa—mau bagaimana pun, mau menjadi apapun, mau melakukan apapun, sampai kapan pun—dunia tetaplah berupa kompleksitas chaos sekaligus nothingness (kompleksitas khaos sekaligus ketiadaan). Maka, insureksi, bukan revolusi.
Penutup: Entah Subjek Apapun Itu, Hidup Tetap Berupa Kompleksitas Chaos sekaligus Nothingness
Terlepas dari uraian singkat seputar abolisionis/insureksioner/glissement di atas, mungkin entah anarkis apapun itu, entah subjek apapun itu, sampai kapan pun, hidup tetaplah saja suatu kompleksitas chaos sekaligus nothingness yang senantiasa diregenerasi oleh spesies remeh-temeh bernama ‘manusia’ (‘kita semua’); spesies yang senantiasa berkutat dalam ketiadaan sekaligus khaos. (Iqbal, 2023). Dan mungkin yang dapat dilakukan hanya menjalani detik tiap detik, menjalani hidup entah menuju pada pilihan meredup atau meledak. Berada pada pilihan semata-mata menjadi fatalis (mengafirmasi segala variabel yang menerpa), semata-mata menjadi eskapis (menghindari segala variabel yang menerpa), atau menjadi ‘asketis’ (antara mengafirmasi sekaligus menghindari segala variabel yang menerpa). Mengambil tarikan nafas panjang, mengambil kain, bensin, dan botol kecap, atau tali gantungan. Entah dalam probabilitas segala eksperimen yang entah akan menghasilkan ‘ledakan dahsyat’ maupun sekedar ‘ledakan kecil’, entah secara konstan maupun sekedar insidental, entah justru lebih dulu/memilih ‘hangus di dalam bilik’. Entah sebagai ‘the-unique-and-its-property’ (Stirner, 2017) dengan ‘all-things-are-nothing-to-me’ (Blumenfeld, 2019). Atau semacam yang John Moore ungkapkan dalam Lived Poetry (2002) bahwa ini merupakan hidup yang dijalani sebagai tindakan ‘kreativitas spontan’ dan pengejawantahan lengkap teori ‘radikal’ dalam ‘tindakan’ (Moore, 2002) dengan memegang prinsip yang ‘relevan’ untuk ‘kita’ jalani […] tanpa adanya suatu klaim cetak-biru (Graeber, 2000) sehingga biarkan satu sama lain untuk bertindak seperti yang mereka anggap ‘relevan’ (Malatesta, 1995). Dan—sekali lagi—mau bagaimanapun itu—yang pasti (saya memang memilih diksi ‘yang pasti’)—dunia akan senantiasa berupa suatu kompleksitas chaos sekaligus nothingness.
Tidak di mana-mana
Februari 2024
Ditulis dalam terpaan khaos sekaligus ketiadaan
Surel Penulis: m.iqbal.m@protonmail.com
Bibliografi
Abissonichilista. (2015). The Unique One Meets the Overhuman. Anarchist Library
Bey, Hakim. (1994). Immediatism. San Francisco, CA: AK Press.
Blumenfeld, Jacob. (2018). All Things Are Nothing to Me. Winchester, UK: Zero Books
Deleuze, Gilles & Fellix Guattari. (1983). Anti-Oedipus: Capitalism and Schizophrenia. Mineapoliss USA: University of Minnesota Press.
Deleuze, Gilles. (1983). Nietzsche and Philosophy, New York: Columbia University Press.
Feyerabend, Paul. (1993). Againts Method. London, New York: Verso.
Graeber, David. (2000). Are You An Anarchist? The Answer May Surprise You!. Anarchist Library
Heidegger, Martin. (1962). Being and Time. Oxford UK & Cambridge USA: Blackwell Publishers.
Malatesta, Errico. (1995). The Anarchist Revolution: Polemical Articles 1924–1931, edited and introduced by Vernon Richards. London: Freedom Press
M, Iqbal. M. (2023). Nihilis-Anarkis yang Setiap Detiknya Senantiasa Berada di Ambang Kegagalan dan Kematian dalam Der-Einzige Zine: Political Discourse.
Moore, John. (2002). Lived Poetry: Stirner, Anarchy, Subjectivity and The Art of Living. dalam Changing Anarchism: Anarchist Theory and Practice in A Global Age. Ed. Jonathan Purkis and James Bowen. Manchester and New York. Manchester University Press
Newman, Saul. (2004). dalam John Moore, et.al/Various Authors. Anarchism and the Politics of Ressentiment dalam I Am Not A Man, I Am Dynamite!: Friedrich Nietzsche and the Anarchist Tradition. Booklyn, NY: Autonomedia
Rooum, Donald. (1987). Anarchism and Selfishness. In: The Raven. Anarchist Quarterly. London. vol. 1, n. 3
Scrivener, Michael. (1979). The Anarchist Aesthetic. dalam Black Rose, vol. 1, no. 1, Spring, 1979, page 7
Stirner, Max. (2012). Stirner’s Critics. USA. LBC Books & CAL Press Columbia Alternative Library.
Stirner, Max. (2017). The Unique and Its Property. Underworld Amusements. Baltimore
Wilden, Anthony. (1968). dalam Lacan. The Language of The Self: The Function of Language in Psychoanalysis. New York. A Delta Book.