M.Iqbal.M
Kehidupan adalah Kematian yang Melampaui The Other, Dualitas, dan Finalitas
Tesis ini merupakan penafsiran hermenutis sekaligus pengembangan saya terhadap korpus-korpus ontologis yang telah disusun oleh para begawan ontologis sekaliber Schopenhauer, Stirner, Nietzsche sampai Camus atau bahkan yang lebih kontemporer; diskursif ontologis gelombang kedua yakni korpus ontologis dari traktat yang disusun oleh Nancy.
Namun, tesis yang saya susun pada kesempatan kali ini sebatas berupa selayang pandang yang sedikit mengelaborasi apa yang ingin saya uraikan mengenai pelampauan terhadap The Other, dualitas, dan finalitas, lantaran keterbatasan ruang. Mungkin di lain kesempatan saya akan mengelaborasi topik ini lebih ketat dan lengkap lagi.
Berjarak dan Meniada Melampaui sang Ada
Kembali pada topik utama tulisan ini, jika kita tercebur kedalam lautan diskursus ontologis, agaknya kita bisa memulai tulisan ini dari postulasi bahwa hidup ialah soal kehendak diri (kehendak yang berarti “kebertubuhan” dalam terminologi Nietzschean bukan dalam diktum metafisika ala Schopenhauer), akan tetapi seringkali kehendak diri tersebut justru dikonstruksi oleh orang lain, “agen”, atau oleh atomisme hegemoni kehendak budaya-sejarah (culture). Dan kedirian tersebut menganggap bahwa kehendaknya itu sungguhlah kehendak yang muncul dari dirinya sendiri (nature).
Seperti misalnya pengakuan bahwa seseorang Ada (secara ontis maupun ontologis). Seringkali seseorang disekitar kita melakukan sesuatu demi untuk menunjukan bahwa ia Ada lantaran jika ia diakui oleh orang lain bahwa ia Ada, maka ia akan merasa senang dan telah menjadi manusia yang benar-benar hidup sebagaimana selayaknya menjadi manusia (komunal [koloni?], baca: koloni sebagai catatan kritis yang krusial dalam kajian mutakhir atas komunalistik). Hal ini terkesan—jika kita amati secara kasar—bercorak ontologi Cartesian yang berujung pada kebuntuan Marxian.
Atau bisa juga memang Ada nya merupakan kehendak yang sungguh muncul dari dirinya sendiri, maka ia sudah merasa senanag ketika ia Ada tanpa pengakuan oleh orang lain. Atau lebih dari itu, ia membutuhkan sang Ada lantaran ia takut terhadap suatu ke-Tiada-an, sehingga mau tidak mau ia tetap menjadi sang Ada. Sedangkan hal ini terkesan—jika kita amati secara kasar—bercorak ontologi Kierkegaardian yang berujung pada konservatisme Rortyan.
Padahal—terlepas dari nature dan culture—jika kita menyempatkan diri untuk memberi jarak kepada sang Ada (segala entitas yang berwujud fenomena maupun noumena), maka yang akan kita dapat ialah kesadaran atas Ada yang sudah semestinya justru patut untuk di-Tiada-kan. Atau setidaknya memperbesar ke-Tiadaan-nya sang Ada. Sebab—singkatnya―dunia kehidupan ini tidak membutuhkan drama dan tragedi yang diciptakan oleh sang Ada, dan sang Ada pun sesunguhnya tidak bersifat terikat oleh dunia kehidupan ini. Hanya saja, kesadaran semacam ini sering ditakuti oleh sang Ada, sehingga ketakutan tersebut terbawa secara umum maupun turun-temurun.
Kalau sudah memberi jarak semacam itu, mungkin kita akan sepakat dengan aforisma bayi berikut ini; "Kita harus menjadi dewasa laiknya bayi; sesosok makhluk yang tidak dapat mengusik makhluk lain (bayi lain), lantaran kehendak yang ia punya sangat sederhana. Berbeda dengan kehendak orang dewasa yang tidak bisa lepas dari sisi superioritas atau inferioritas dari (hantu dualitas yang senantiasa menakut-nakuti sang Ada, atau “spooks” dalam korpus Stirner) kehendak untuk menjadi Ada".
Itu artinya, kita menjalani hidup dengan menciptakan drama dan tragedi berlandaskan dari dorongan kehendak sekaligus ketakutan atas hantu dualitas. Namun, yang demikian saya anggap bukan sebuah Kehendak yang Sia-Sia (une passion inutile), melainkan kehendak yang haruslah diberi jarak sesuai dengan kemampuan kita masing-masing sebagai ketidakpenuhan Ada serta keengganan kita untuk menjadi Ada (keenggannya merupakan upaya sebuah istilah yang saya gunakan untuk menyebut entitas yang berjarak dengan sang Ada atau secara radikal me-Tiada-kan sang Ada).
Jadi, bukan soal menjadi Ada untuk mencapai sebuah tujuan atau sebuah Esensi, atau sebaliknya, melainkan justru ketika kita menyempatkan diri untuk memberi jarak kepada sang Ada, maka yang kita temukan ialah kesadaran untuk me-Tiada-kan Ada agar kita tidak terjebak kedalam drama dan tragedi yang didorong oleh hantu-hantu dualitas yang menakuti-nakuti kita. Inilah sebuah kondisi dimana kita sesungguhnya telah menempuh perjalanan tanpa berjalan atau melakukan perjalanan sedikitpun. Inilah kondisi dimana kita menyadari bahwa kehendak yang kita miliki untuk menjalani hidup bukanlah kehendak yang sia-sia atau tidak sia-sia, sebab kita telah menyadari bahwa dualitas hanyalah berupa hantu-hantu yang inheren dengan sang Ada sehingga sudah sepatutnya kita bertransformasi menjadi “bayi yang dewasa” dalam upaya untuk me-Tiada-kan sang Ada.
Kesimpulannya ialah, kita tidaklah sama dengan tokoh mitologi Sisifus yang terjebak pada paradoksitas yang sia-sia ataupun tidak sia-sia, melainkan kita serupa dengan tokoh mitologi Prometheus yang dapat menyadari batas kemampuannya untuk menjalani hidup dengan merengkuh sebuah upaya altruistik-asketik berupa me-Tiada-kan sang Ada untuk mengisi sisa hidupnya (perjalanan tanpa berjalan) tanpa terperosok kedalam kehendak untuk menjadi Ada demi mencapai Esensi, maupun mencapai Esensi untuk menjadi Ada, serta tanpa ketakutan terhadap hantu-hantu dualitas pemicu timbulnya pelbagai drama dan tragedi.
Demikianlah perjalanan kita yang justru berkehendak menyempatkan diri untuk memberi jarak kepada sang Ada guna me-Tiada-kan sang Ada, dalam upaya pelampauan terhadap kesadaran dan ketidaksadaran ontologis, pelampauan terhadap menjadi Ada demi mencapai Esensi—atau sebaliknya—Esensi demi mecapai Ada, pelampauan terhadap kesia-siaan dan ketidaksia-siaan, pelampauan terhadap persoalan pelbagai macam dualitas sekalipun itu berupa drama maupun tragedi.
Melampaui sang ADA, Filsafat Waktu, dan Finalitas
Seruan untuk meniada tidaklah bernada angkuh dan sok tahu, sebab hanya upaya me-Tiada-lah yang ditemukan oleh sang Ada ketika ia memberi jarak kepada sang Ada. Itulah yang sekarang bisa dilakukan oleh sang Adauntuk mengisi durasi ke-Ada-an nya dihadapan hari esok yang entah sang Ada akan terus Ada sebagai yang meniada atau sebagai sang Adayang bertemu dengan ke-Tiada-an final (fixed nothingness).
Bagi sang Ada yang telah meyadari bahwa kita harus me-Tiada, hari esok tidaklah untuk dikhawatirkan seperti analisis Heidegger terhadap sang Ada, sebab sang Ada yang telah menyadari tersebut menganggap bahwa hari esok bukanlah sebuah soal, sebab ada tidaknya final dihari esok, sang Ada sudah senantiasa merasakan ke-Tiada-an, lantaran sang Ada terus-menerus me-Tiada-kan ke-Ada-an-nya. Itu artinya, filsafat waktu hanyalah deskripsi untuk mendeskripsikan atau membingkai Ada dalam arti yang sangat abstrak. Padahal sang Ada telah melampaui abstraksi, absurditas, atau dualitas apapun itu.
Dengan begitu, filsafat waktu tidak diperlukan lagi bagi sang Ada yang me-Tiada, begitu pula dengan konsep finalitas beserta konsep angst yang dikemukakan oleh Heidegger dan para begawan penerusnya, lantaran sang Ada beserta “ketidakpenuhan-kebertubuhannya” (meminjam term ontologis hermeneutik ala Nietzsche) tidak terpaku oleh ke-Ada-an Ada (keada-adaan) yang berada diluar “ketidakpenuhan-kebertubuhannya”—tentunya sebagai “ketidakpenuhan-kebertubuhan sang Ada yang me-Tiada. Atau bisa diartikan bahwa filsafat waktu hanyalah merupakan percikan dari The Other yang terkunkung oleh dualitas.
Dan dengan begitu pula, proyek ontologis yang dibangun oleh Nancy akan runtuh. Secara singkat, proyek Nancy dapat saya tafsir dan uraikan sebagai berikut; Jika “mereka” (entah itu agen atau spooks) di Tiada kan dari keber-Ada-an sang Ada, maka sang Ada tidak akan dapat menunjukan keber-Adaan (keada-adaan dalam term Nietzschean) sang Ada. Sang Ada hanya dapat hadir (tersingkap) jika “mereka” telah mengafirmasi ke-Ada-an sang Ada.
Akan tetapi, satu hal yang luput dari pengamatan atau penyelidikan yang dilakukan oleh Nancy, yakni pencarian makna yang hanya sebatas simbolisme “keada-adaan” yang membuat sang Ada merasa nyaman dalam kehampaan (emtiness bukan nothingess) jurang “keada-adaan” yang diciptakan oleh “mereka” sebagai agen atau spooks. Disamping itu, Nancy juga luput bahwa “mereka” terkadang melupakan sang Ada jika sang Ada menyatu dengan “mereka”.
Dengan kata lain, Nancy tetap terjebak dan berkutat pada persoalan bagaimana nasib sang Ada. Padahal, tesis yang saya tawarkan dalam tulisan singkat ini hendak melampaui sang Ada dalam paradigma primitif, klasik, atau kontemporer sekalipun. Dan tesis yang saya tawarkan ini agaknya senada dengan Stirner yang menganggap hidup hanyalah fluksi dari proses me-Tiada yang “berdedikasi” namun jugalah seperti Nietzsche yang hendak melampaui “dedikasi” sebab proses me-Tiada itu sendiri sudah merupakan “dedikasi”.
Lagi-lagi saya tidak akan menunjukan diktum yang dikemukakan oleh Stirner atau Nietzsche sesuai dengan yang termaktub dalam traktat yang mereka susun, dengan kata lain, saya akan menafsir diktum Stirner dan Nietzsche yang berkaitan dengan konteks ini sebagai berikut;
“Tidak Ada ke-ada-adaan yang diatas sang Ada yang me-Tiada [...]lihatlah, lelucon-lelucon terjadi disini atas nama hantu-hantu dan lainnya”, ungkap Stirner.
Sedangkan Nietzsche melanjutkan; “Sang Ada yang menyadari ke-Tiada-an-nya harus memastikan bahwa dalam prosesnya dia tidak menjadi sang Ada atau sang Tiada. Dan jika sang Ada yang me-Tiada menatap cukup lama ke dalam ke-Tiada-an, maka ke-Tiada-an akan menatap kembali ke sang Ada yang me-Tiada”.
Sampai disini, kita bisa menyimpulkan bahwa kita bisa melampaui persoalan The Other, dualitas, dan finalitas terjatuh ke dalam lelucon-lelucon variabel dramatis dan tragis yang hampa (emtiness) seperti halnya akibat-akibat dari fondasi ontologi Cartsian sampai Marxian, atau Kierkegaardian sampai Rortyan . Sisanya ialah tinggal bagaimana kita bersikap terhadap sang Ada yang me-Tiada dalam merilis ke-Tiada-an-nya secara konkret ditataran epistemologis dan tentunya tetap dalam bingkai “ketidakpenuhan-kebertubuhan”.
Dengan demikian sampailah juga kita pada diktum Camus yang—lagi dan lagi—saya tafsir sekaligus saya kembangkan sebagai berikut; “Ketika kita menyelesaikan pergumulan ontologi antara hidup dan mati, maka kita tidak akan lagi mempersoalkan ke-Ada-an atau ke-Tiada-an, sebab hidup adalah kematian begitu pula sebaliknya, inilah kita sebagai “ketidakpenuhan-kebertubuhan” yang melampaui The Other, dualitas, maupun finalitas. Inilah Camus yang bagi saya bukanlah Sisifus, melainkan Prometheus (baca: sikap hidup dihadapan Ada dan Tiada, Hidup dan Mati, dalam mitologi Sisifus dengan Prometheus).
Terlepas dari penjelasan-penjelasan saya diatas yang teramat bercorak ontologis (dan juga singkat), saya juga menjelaskan soal posisi epistemologis yang diambil oleh proyek pelampauan terhadap The Other, dualitas, dan finalitas ini, beserta contoh konkret yang diproduksi oleh epistemologi tersebut. Namun adanya kerterbatasan ruang, penjelasan epistemologis tersebut akan saya pisah sehingga menjadi satu tulisan tersendiri yang berfokus pada proyek epistemologi tersebut.