Mikhail Isaiah
Israel sebagai Bangsa Anarkis
Kegagalan Raja-Raja Manusia
“Apabila engkau telah masuk ke negeri yang diberikan kepadamu oleh Tuhan, Allahmu, dan telah mendudukinya dan diam di sana, kemudian engkau berkata: Aku mau mengangkat raja atasku, seperti segala bangsa yang di sekelilingku, maka hanyalah raja yang dipilih Tuhan, Allahmu, yang harus kau angkat atasmu. Dari tengah-tengah saudara-saudaramu haruslah engkau mengangkat seorang raja atasmu; seorang asing yang bukan saudaramu tidaklah boleh kau angkat atasmu. Hanya, janganlah ia memelihara banyak kuda dan janganlah ia mengembalikan bangsa ini ke Mesir untuk mendapat banyak kuda, sebab Tuhan telah berfirman kepadamu: Janganlah sekali-kali kamu kembali melalui jalan ini lagi. Juga janganlah ia mempunyai banyak isteri, supaya hatinya jangan menyimpang; emas dan perakpun janganlah ia kumpulkan terlalu banyak. Apabila ia duduk di atas takhta kerajaan, maka haruslah ia menyuruh menulis baginya salinan hukum ini menurut kitab yang ada pada imam-imam orang Lewi. Itulah yang harus ada di sampingnya dan haruslah ia membacanya seumur hidupnya untuk belajar takut akan Tuhan, Allahnya, dengan berpegang pada segala isi hukum dan ketetapan ini untuk dilakukannya, supaya jangan ia tinggi hati terhadap saudara-saudaranya, supaya jangan ia menyimpang dari perintah itu ke kanan atau ke kiri, agar lama ia memerintah, ia dan anak-anaknya di tengah-tengah orang Israel.”
Perjanjian Lama kerap ditafsirkan dan dipotong kisahnya sebagai keberhasilan para raja-raja, kemegahan dan kejayaan mereka di bawah perlindungan Tuhan, dan bagaimana kita perlu mencontoh keberhasilan kerajaan-kerajaan itu dalam kehidupan negara politik modern kita sekarang. Tetapi, jika kita memperhatikan lebih jeli, Perjanjian Lama pada dasarnya adalah kumpulan kitab yang merangkum berbagai catatan penting para tiran yang secara tidak langsung bersikap antipati kepada kekuasaan. Pada dasarnya, ini adalah dokumentasi historis dan sastrawi dari laporan penindasan masa lalu. Kita akan mengisahkannya secara berturut-turut dan ringkas mengenai kegagalan raja-raja manusia ini, para raja-raja Israel, dimana para Kristen pendukung negara kerap menjadikan kisah-kisah mereka sebagai pembenaran atas Kerajaan Manusia, dan bukannya Kerajaan Allah, serta pelanggaran mereka atas hukum tentang raja sebagaimana diatur dalam Ulangan 17.
Samuel mengurapi Saul sebagai raja pertama, menguraikan kepada bangsa itu hak-hak kerajaan, “menuliskannya pada suatu piagam dan meletakkannya di hadapan Tuhan”. Semenjak itu, Israel menjadi masyarakat monarki, atau lebih tepatnya teokrasi, dimana kekuasaan manusia mendapatkan legitimasinya dari yang ilahi. Samuel berkata: “Kamu lihatkah orang yang dipilih Tuhan itu? Sebab tidak ada seorang pun yang sama seperti dia di antara seluruh bangsa itu” (I Samuel 10:24-25). Pada zaman itu, raja-raja Israel dipandang memiliki aturan-aturan khusus yang diberikan kepada mereka. Raja-raja kafir dianggap sebagai dewa; mereka membuat hukum mereka sendiri dan tidak bertanggung jawab kepada siapa pun. Sebaliknya, raja Israel harus bertanggung jawab kepada otoritas yang lebih tinggi, yaitu Tuhan. Samuel, sebagai bentuk tanggungjawabnya kepada raja dan bangsa Israel, ingin memastikan bahwa pemerintahan raja Israel berbeda dengan rekan-rekan kafir mereka. “Meletakkannya di hadapan Tuhan” artinya Samuel meletakkan gulungan kitab, sebagai saksi atas kesepakatan itu, di tempat khusus di Mizpa.
Pada masa itu, Israel sangat rentan untuk diserbu oleh suku-suku perampok seperti bani Amon dari timur Sungai Yordania. Nahas dari Amon mengepung Yabesh-Gilead dan memberikan waktu kepada mereka tujuh hari guna mencari pasukan untuk menolong mereka. Nahas memperkirakan bahwa Israel belum terorganisir, sehingga tidak ada seorang pun yang akan datang menolong kota itu. Maka utusan datang kepada Saul, dan ia mengumpulkan milisi sipil dengan mengambil sepasang lembu, dipotong-potongnya, lalu potongan-potongan itu disebarkan ke seluruh daerah Israel dengan perantara utusan sambil mengancam: “Siapa yang tidak maju mengikuti saul dan Samuel, lembu-lembunya akan diperlakukan juga demikian.” Sebagai raja pertama, Saul menunjukkan potensi besar. Dia kuat, tinggi, dan rendah hati. Roh Allah turun ke atasnya, dan Samuel menjadi penasihatnya. Ia menang dan bangsa Israel bersukacita. Semenjak itu Saul mulai membangun tentaranya, memerangi bangsa-bangsa lain dan melepaskan Israel dari tangan orang-orang yang merampasi mereka. Kemudian dari kemenangan-kemenangan itu ia mengumpulkan semua pahlawan dan orang gagah perkasa (1 Samuel 14:52), dan dengan demikian genaplah peringatan Samuel kepada bangsa Israel mengenai militerisme.
Tetapi Saul secara sengaja tidak menaati Allah dan menjadi seorang raja yang jahat. Saul tidak taat waktu orang Filistin datang menyerang, bukannya menunggu imam, Saul mempersembahkan kurban sendiri, dan ini bertentangan dengan hukum-hukum Allah (Ulangan 12:5-14) dan bertentangan dengan anjuran khusus dari Samuel (I Samuel 10:8). Saul juga mengutuk siapapun orang Israel yang makan sebelum “aku membalas dendam terhadap musuhku [orang Filistin].” Ia mengangkat sumpah tanpa memikirkan akibatnya, ini membuat orang-orangnya menjadi terlalu lelah untuk berperang, dan mereka begitu lapar sehingga mereka memakan daging yang masih ada darahnya, hal yang melanggar hukum Allah (lihat misalnya Imamat 7:26; 27). Kutukan itu juga sekaligus menimpa Yonatan, anaknya sendiri, yang menciduki madu ke mulutnya ketika di hutan, tetapi mereka terus maju melawan Filistin hingga menang. Mengetahui bahwa Yonatan mendapati kutuk dari sumpahnya sendiri, dan umatnya memakan daging dengan darah segar, Samuel menyesal: “Beginilah kiranya Allah menghukum aku, bahkan lebih lagi dari pada itu.”
Yonatan diampuni karena permintaan rakyat, tetapi sekali lagi Saul melanggar firman Tuhan ketika melawan orang Amalek dengan merampas lembu-lembu terbaik dan tidak membunuh Agag, raja orang Amalek. Tuhan berfirman kepada Samuel: “Aku menyesal telah menjadikan Saul raja, sebab ia telah berbalik dari pada Aku dan tidak melaksanakan firman-Ku” (I Samuel 15:11) dan Samuel menghardik Saul: “Karena engkau telah menolak firman Tuhan, maka Ia telah menolak engkau sebagai raja” (I Samuel 15:23). Saul masih bertakhta, tetapi ia tidak lagi berkenan di hati Allah. Karena itu, Samuel mengurapi Daud sebagai raja yang berikut bagi Israel. Berbeda dengan Saul, Daud adalah seorang berbadan kecil, ketika Samuel menghendaki raja berikutnya yang tinggi dan tampan, Allah memperingatkan bahwa “manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati” (I Samuel 16:7). Daud dengan cepat mengalahkan Goliat, berkawan karib dengan Yonatan, tetapi dengan sabar menunggu Allah berurusan dengan Saul. Walaupun Daud sudah diurapi menjadi raja Israel selanjutnya, dia harus menunggu bertahun-tahun untuk merealisasikan janji ini.
Ketika Saul menyadari bahwa Daud kelak akan menjadi raja, ia menjadi sangat iri hati dan berusaha membunuh Daud dalam beberapa kesempatan. Ia melempar tombak ke Daud ketika Daud menghiburnya bermain kecapi, dan mencoba menjerat Daud dengan melamarkannya menjadi menantu. Ia membantai para imam di Nob, sejumlah delapan puluh lima orang, juga penduduk Nob, beserta ternak mereka dan Daud terus dalam pelarian selama pemerintahan Saul. Sisa kitabnya adalah kisah kejahatan dan iri dengki Saul terhadap Daud.
Saul mati di tangan orang Filistin, dan Daud mengambil kerajaan yang retak yang ditinggalkan Saul dan membangun sebuah kekuatan bersatu yang kuat. Di bawah kepemimpinan Daud, kerajaan Israel menguat. Terjadi banyak perubahan seiring dengan pertumbuhan tersebut: dari kebebasan suku ke pemerintahan yang tersentralisir, dari kepemimpinan hakim-hakim ke monarki, dan dari ibadah yang terdesentralisasi ke ibadah di Yerusalem. Tetapi kejahatan umat Israel dan upahnya seperti diperingatkan Samuel, tidak berhenti di situ.
Daud jatuh ke dalam dosa, dan catatan mengenai hawa nafsu, perzinahan, dan pembunuhan dengan mudah dapat dibaca (II Samuel 11-13). Daud melakukan perzinaan dengan Batsyeba, dan mengutus suaminya, Uria, untuk maju berperang agar terbunuh dalam suatu muslihat yang terselubung, dan dinikahinya Batsyeba. Pemberontakan nasional terjadi pada Daud oleh anaknya sendiri, Absalom, yang mengangkat dirinya menjadi raja dan menyediakan baginya sebuah kereta serta kuda dan lima puluh orang yang berlari di depannya (II Samuel 15:1), dengan demikian genaplah peringatan Samuel bahwa raja dapat menyuruh anak-anak muda berlari di depan keretanya. Daud beserta pengikutnya melarikan diri, Absalom terbunuh dan takhta kembali kepada Daud, hanya untuk menghadapi kembali pemberontakan dari Seba. Selama masa tuanya Daud, Adonia, anak dari Hagit, meninggikan diri dengan berkata: “Aku ini mau menjadi raja.” Sama seperti Absalom, Adonia melengkapi dirinya dengan kereta-kereta dan orang-orang berkuda serta lima puluh orang berlari di depannya, menggenapi kembali untuk kedua kalinya peringatan Samuel pada bangsa Israel (I Raja-raja 1:5). Daud meninggal, dan Salomo anaknya menggantikan ia. Sebelumnya meninggal, Daud berpesan agar Salomo menaati hukum-hukum Allah dan “hidup menurut jalan yang ditunjukkan-Nya” (I Raja-raja 2:3).
Kitab Amsal, yang ditulis oleh Salomo pada masa awal pemerintahannya, memberikan hikmat-hikmat bagi orang muda, bagi semua orang dan bagi para pemimpin. Ini adalah nasihat bijak, yang sayangnya, tidak dapat ia laksanakan sendiri. “Padaku ada nasihat dan pertimbangan, akulah pengertian, padakulah kekuatan. Karena aku para raja memerintah, dan para pembesar menetapkan keadilan” (Amsal 8:14-15). Ia memberikan banyak nasehat agar tidak berzinah, untuk “janganlah menginginkan kecantikannya dalam hatimu, janganlah terpikat oleh bulu matanya” dan “janganlah hatimu membelok ke jalan-jalan perempuan itu, dan janganlah menyesatkan dirimu di jalan-jalannya” (Amsal 6:25 & 7:25), juga “jangan bersusah payah untuk menjadi kaya, tinggalkan niatmu ini.” (Amsal 23:4).
Salomo mengalami segala sesuatu lancar baginya, namun ketika ia menjadi kaya, membangun tentara yang kuat, dan menikahi banyak istri yaitu tujuh ratus isteri dari kaum bangsawan dan tiga ratus gundik, hatinya berbalik dari Allah (I Raja-raja 11:3). Salomo tampaknya juga yang telah memperkenalkan kuda sebagai bagian dari militerisasi pada Israel (I Raja-raja 4:26). Salomo juga memberikan 20 kota kepada Hiram dari Tirus (I Raja-raja 9:10-14), dengan demikian genaplah peringatan Samuel bahwa raja akan memakai tanah orang Israel untuk kepentingan pribadinya. Ia mengikat banyak kesepakatan dengan luar negeri melalui cara menikahi perempuan-perempuan kafir, membiarkan istri-istrinya memengaruhi kesetiaannya kepada Allah. Ia begitu rakus dan menikmati kemewahan dan makan yang terlalu berlimpah, serta emas yang sangat banyak (I Raja-raja 4:21-34; 1 Raja-raja 10:14-28; II Tawarikh 9:13-28). Salomo membebani pajak secara berlebihan atas rakyatnya dan mengerahkan mereka dalam kerja paksa dan angkatan bersenjata. Ia melakukan program kerja rodi dalam membangun Bait Suci (I Raja-raja 5:13-18; II Tawarikh 2:17-18), dengan demikian genaplah peringatan Samuel bahwa raja akan mempekerjakan rakyat menjadi budak-budaknya.
Dengan mengumpulkan kereta perang dan kuda, harem yang sangat besar dan kekayaan yang luar biasa, Salomo melanggar perintah-perintah Allah bagi seorang raja sebagaimana disampaikan dalam Ulangan. Allah melarang tindakan-tindakan ini karena Ia mengetahui bagaimana tindakan ini akan menyakiti bangsa Israel baik secara politik maupun secara rohani. Semakin mewah istana Salomo, semakin tinggi pajak yang dibebankan kepada bangsa Israel. Pajak yang berlebihan menimbulkan keresahan, dan segera kondisi menjadi matang untuk sebuah pemberontakan. Yerobeam, yang dipandang Salomo sebagai orang yang rajin, yang dipilihnya sebagai pengawas proyek, pasti mendengar keluh-kesah para pekerja rodi, sehingga ia tampil sebagai tokoh pemberontakan kelak. Setelah memiliki semua yang diinginkannya, Salomo melupakan Allah dan membiarkan pengaruh-pengaruh kafir masuk ke istananya melalui istri-istri kafirnya, sehingga mempercepat kerusakan rohani bangsa Israel. Lagi, Tuhan berfirman: “Oleh karena begitu kelakuanmu, yakni engkau tidak berpegang pada perjanjian dan segala ketetapan-Ku yang telah Kuperintahkan kepadamu, maka sesungguhnya Aku akan mengoyakkan kerajaan itu dari padamu…” (I Raja-raja 11:11).
Yerobeam, memberontak kepada Salomo, sebab seorang nabi bernama Ahia mendatanginya dan menyampaikan firman Tuhan bahwa “Sesungguhnya Aku akan mengoyakkan kerajaan itu dari tangan Salomo dan akan memberikan kepadamu sepuluh suku… Maka engkau ini akan Kuambil supaya engkau memerintah atas segala yang dikehendaki hatimu dan menjadi raja atas Israel” (I Raja-raja 11:26-39). Ahia menyampaikan kekecewaan Tuhan karena Salomo sujud menyembah dewa-dewa lain, dan ia juga menyampaikan supaya Yerobeam mendengarkan segala apa yang diperintahkan oleh Tuhan. Mengetahui Yerobeam telah dinubuatkan untuk memecah kerajaannya, Salomo berikhtiar untuk membunuh Yerobeam, membuatnya mengungsi ke Mesir sampai Salomo mati.
Dalam kitab Pengkhotbah yang ditulisnya pada akhir masa kehidupannya, dapatlah kita liat nada kekecewaan, ketidakpuasan dan kehampaan dari seluruh kejayaan dan kenikmatan duniawi Salomo. Ia mengucapkan “(ke)sia-sia(an)” sebanyak 29 kali, dan ini ditujukan terhadap seluruh yang ia miliki, termasuk kebun anggurnya, budak-budaknya, gundik-gundiknya, kekayaannya, semuanya. Ia juga mengeluh mengenai “di tempat pengadilan, di situ pun terdapat ketidakadilan, dan di tempat keadilan, di situ pun terdapat ketidakadilan,” ia melihat “segala penindasan yang terjadi di bawah matahari, dan lihatlah, air mata orang-orang yang ditindas dan tak ada yang menghibur mereka, karena di fihak orang-orang yang menindas ada kekuasaan” (Pengkhotbah 3:16 & 4:1). Salomo menyindir dirinya sendiri: “Lebih baik seorang muda miskin tapi berhikmat dari pada seorang raja tua tetapi bodoh, yang tau mau diberi peringatan lagi” (Pengkhotbah 4:13), bahwa dirinya sebagai “orang yang dikaruniai Allah kekayaan, harta benda dan kemuliaan, sehingga ia tak kekurangan suatu pun yang diinginya, melainkan orang lain yang menikmatinya. Inilah kesia-siaan dan penderitaan yang pahit” (Pengkhotbah 6:2). Juga, “perkataan orang berhikmat yang didengar dengan tenang, lebih baik dari pada teriakan orang yang berkuasa di antara orang bodoh. Hikmat lebih baik dari pada alat-alat perang, tetapi satu orang yang keliru dapat merusakkan banyak hal yang baik” (Pengkhotbah 9:17-18). Tetapi kitab ini pun sia-sia, sebab apa yang ia lakukan tidak dapat diulangi kembali. Bagaimanapun juga, ini tidak sia-sia bagi kita, sebab dari pengalaman Salomo kita belajar lebih jauh bahwa manusia tidak akan menemukan makna dalam hidup ini melalui pengetahuan, uang, kesenangan, pekerjaan, atau popularitas. Kepuasan sejati berasal dari pengetahuan bahwa apa yang kita sedang lakukan merupakan bagian dari tujuan Allah untuk hidup. Inilah tulisan Salomo yang membantu membebaskan kita dari perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan, penerimaan, dan uang, dan menarik kita makin dekat kepada Allah.
Rahabeam, anaknya, menggantikan Salomo yang telah memerintah selama empat puluh tahun. Rahabeam meminta pajak lebih besar dari yang diminta Salomo. Rakyat Israel yang dipimpin Yerobeam yang kembali dari Mesir melakukan protes: “Ayahmu telah memberatkan tanggungan kami, maka sekarang ringangkanlah pekerjaan yang sukar yang dibebankan ayahmu dan tanggungan yang berat yang dipikulkannya kepada kami, supaya kami menjadi hambamu.” Lusanya dengan pongah ia berkata “Ayahku telah memberatkan tanggungan kamu, tetapi aku akan menambah tanggunganmu itu; ayahku telah menghajar kamu dengan cambuk, tetapi aku akan menghajar kamu dengan cambuk yang berduri besi” (I Raja-raja 12:1-16). Demikian genaplah peringatan Samuel bahwa raja akan meminta persepuluhan dari hasil panen dan ternak orang Israel.
Ini memantik pembangkangan sipil di antara bangsa Israel sehingga Rehabeam menjadi raja hanya atas Israel yang diam di kota-kota Yehuda. Pertempuran jalanan terjadi karena rakyat melempari Adoram yang menjadi kepala rodi sampai mati, bahkan Rahabeam hampir-hampir tidak dapat menaiki keretanya untuk melarikan diri ke Yerusalem. Yerobeam diangkat menjadi raja atas seluruh Israel, ia didukung oleh sepuluh suku Israel di utara, sementara kaum Yehuda dan Benyamin mendukung Rehabeam (I Raja-raja 17-20). Semenjak itulah kerajaan Israel terbelah menjadi dua, yaitu Israel di utara dan Yehuda di Selatan, yang secara historis, para sejarawan telah sepakat bahwa keduanya eksis antara 900-700 SM.
Kita akan mengulangi cerita yang membosankan dan sama saja dari kitab Raja-raja serta Tawarikh, juga peringatan dari kitab para nabi-nabi yang dengan terang-terangan menjadi pengkritik tajam para penguasa. Yerobeam kemudian memulai ibadah baru dan menyimpang dari jalan Allah, mereka “melakukan apa yang jahat di mata Tuhan dan mereka menimbulkan cemburu-Nya dengan dosa yang diperbuat mereka, lebih dari pada segala yang dilakukan nenek moyang mereka” (I Raja-raja 14:22) dan nabi Ahia menyampaikan kutukan Allah kepada istrinya: “Aku akan mendatangkan malapetaka kepada keluarga Yerobeam.” Kita akan menemukan keseluruhan kecurangan dan intrik politik, penindasan, kudeta berdarah, penyimpangan terhadap berhala, represi terhadap nabi serta hukuman Allah yang disampaikan melalui kritik dan peringatan nabi-nabi. Bangsa Israel telah melanggar hukum tentang raja agar tidak mengumpulkan kuda terlalu banyak (militerisasi), tetapi kuda serta kereta yang mereka gunakan terbukti secara simbolik mewakili kekuatan dan kejayaan Kerajaan Israel (lihat 2 Raja-raja 2:12 dan 2 Raja-raja 13:14)
Dari keseluruhan kisah raja-raja Israel, Marlow, mengutip Vernard Eller, memperhatikan suatu pola yang menunjuk pada suatu representasi monarki yang sistematis dalam Perjanjian Lama. Raja-raja yang efisien, yaitu mereka yang menjalankan kekuasaan politik yang normalnya memperkaya rakyat mereka, melakukan penaklukan, mengkonsolidasikan pemerintahan, dll, secara konsisten digambarkan sebagai pembunuh yang kejam dan tidak adil. Sebaliknya, raja-raja yang tidak efisien dan yang lemah, mereka yang membiarkan pemerintahannya hancur, yang kalah dalam perang dan lemah kesejahteraan rakyatnya, secara historis didefinisikan sebagai raja-raja besar. Seperti yang dikatakan Eller, “pengamatan ini berarti bahwa satu-satunya kekuatan yang dapat diterima dalam jangka panjang adalah yang terlemah, atau bahwa jika seorang pemimpin politik setia kepada Tuhan, ia tentu saja seorang pemimpin politik yang buruk” (Baca juga: Anarkisme dan Kekristenan). Nyanyian syukur Daud yang terakhir berbunyi: “Apabila seorang memerintah manusia dengan adil, memerintah dengan takut akan Allah, ia bersinar seperti fajar di waktu pagi, pagi yang tidak berawan, yang sesudah hujan membuat berkilauan rumput muda di tanah” (II Samuel 23:3-4).
Di samping setiap raja-raja kita memiliki penampilan figur yang paling karismatik dari mitologi Kristen -nabi, yang selalu menjadi pengkritik paling keras dari otoritas yang ada, dan selalu ditindas secara brutal oleh penguasa (misalnya Yesaya, Yehezkiel, Daniel, Elia). Allah memastikan bahwa ada seorang nabi hidup selama pemerintahan setiap raja Israel. Tugas-tugas utama nabi adalah mendorong bangsa Israel untuk mengikut Allah dan menyampaikan hukum dan rencana Allah kepada raja. Semua faktor ini memanifestasikan tradisi Alkitab yang secara mendalam memiliki sentimen anti-royalis dan anti-negara. Kritik, sumpah dan Firman Tuhan yang disampaikan nabi bersifat sangat anti-otoritarian.
Sebagian besar raja menolak nabi-nabi yang diutus Allah. Israel, kerajaan utara, tidak memiliki raja-raja yang setia kepada Allah sepanjang sejarahnya. Setiap rajanya jahat, benar-benar memimpin bangsa Israel untuk menyembah dewa-dewa kafir. Tidak banyak imam yang tersisa dari suku Lewi (sebagian besar sudah pergi ke Yehuda), dan imam-imam yang ditunjuk oleh raja Israel adalah yang bobrok dan tidak efektif. Selama 300 tahun berikutnya, nabi-nabi dan nabiah-nabiah ini memainkan peranan yang sangat penting di kedua bangsa, dengan mendorong rakyat dan para pemimpinnya untuk kembali kepada Allah.
Nabi Elia adalah yang pertama dalam barisan panjang nabi-nabi penting yang diutus Allah ke Israel dan Yehuda, pada masa pemerintahan raja Ahab. Izebel, Ratu Israel, istri Ahab, secara kejam memerintahkan supaya Nabot dibunuh dan dirampas perkebunan anggurnya yang terletak di samping istana Ahab secara paksa (I Raja-raja 21:5-16), dengan demikian genaplah peringatan Samuel bahwa raja akan mengambil hasil terbaik dari ladang-ladang dan kebun anggur orang Israel. Pada masa itu, Izebel menjalankan represi besar-besaran terhadap nabi-nabi Tuhan. Obaja, kepala istana, melindungi seratus nabi, dan melindunginya masing-masing lima puluh dalam gua dengan mengurus makanan dan minuman mereka. Bertemu dengan Obaja, ia meminta pesan agar Obaja mempertemukannya dengan Ahab. Di situ Elia mengerjakan mukjizat besar dengan mengalahkan nabi-nabi Baal, Ratu Izebel membalas dendam dengan mengancam nyawa Elia. Lalu Elia lari dan berlindung di padang gurun. “Ahab bin Omri melakukan apa yang jahat di mata Tuhan lebih daripada semua orang yang mendahuluinya” (II Raja-raja 16:30-33). Elisa kemudian diurapi menjadi nabi mengganti Elia, yang menyatakan melalui tindakan-tindakannya pentingnya menolong orang-orang biasa yang membutuhkan, khususnya dari kelas tertindas dan melakukan mukjizat-mukjizat dengan membutakan Tentara Aram.
Sementara itu, Hosea memperingatkan Israel yang “hanya mengutuk, berbohong, membunuh, mencuri, berzinah, melakukan kekerasan dan penumpahan darah menyusul penumpahan darah” (Hosea 4:2) dan secara terang-terangan menujukan pada para imam, kaum Israel dan keluarga raja, “sebab mengenai kamulah penghukuman itu” (Hosea 5:1). “Mereka menyukakan raja dengan kejahatan mereka, dan para pemuka dengan kebohongan mereka” (Hosea 7:3). Kehidupan keluarga Hosea mencerminkan hubungan “zina” yang telah dibangun Israel dengan dewa-dewa politeistis. Meskipun Gomer, istrinya, melarikan diri dari Hosea dan tidur dengan pria lain, dia tetap mencintainya dan memaafkannya. Demikian juga, meskipun orang-orang Israel menyembah dewa-dewa palsu, Allah terus mengasihi mereka dan tidak meninggalkan perjanjiannya dengan mereka.
Nabi Amos, pada masa Yerobeam II dari Israel dan Uzia dari Yehuda, menyampaikan penghukuman atas Israel karena berpuas diri, menyembah berhala dan menindas kaum miskin. Orang-orang kaya di Israel menikmati kedamaian dan kemakmuran, mabuk dalam kemewahan, berpuas diri menindas orang miskin dan menjadikan mereka sebagai budak. Amos tampil sebagai pembela kelas tertindas: “Dengarlah ini, kamu yang menginjak-injak orang miskin, dan yang membinasakan orang sengsara di negeri ini” (Amos 5:24). Ia memperingatkan mereka yang “menjual orang benar karena uang dan orang miskin karena sepasang kasut; mereka menginjak-injak kepala orang lemah ke dalam debu dan membelokkan jalan orang sengsara” (Amos 2:6-7) dan “kamu yang mengubah keadilan menjadi ipuh dan yang mengempaskan kebenaran ke tanah!” (Amos 5:7), mengingatkan bahwa Tuhan berfirman “Aku akan mengubah perayaan-perayaanmu menjadi perkabungan, dan segala nyanyianmu menjadi ratapan” (Amos 8:10). Ia menyampaikan firman bahwa keadilan jauh lebih penting ketimbang kegiatan ritual: “Aku menghinakan perayaanmu… biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalur” (Amos 5:21-24). Karya apokrifa The Lives of the Prophets mencatat bahwa Amos dibunuh oleh putra Amazia, imam Betel. Lebih lanjut menyatakan bahwa sebelum dia meninggal, Amos kembali ke tanah kelahirannya dan dimakamkan di sana.
Mikha yang melayani sezaman dengan Hosea pada masa kira-kira pemerintahan Yotam hingga Hizkia (742-687 SM), menjadi yang pertama dalam nubuat-nubuat awalnya, yang meramalkan kehancuran Samaria dan Yerusalem untuk dosa mereka masing-masing. Ia mengutuk: “Celakalah orang-orang yang merancang kedurjanaan dan yang merencanakan kejahatan di tempat tidurnya; yang melakukannya di waktu fajar, sebab hal itu ada dalam kekuasaannya; yang apabila menginginkan ladang-ladang, mereka merampasnya, dan rumah-rumah, mereka menyerobotnya; yang menindas orang dengan rumahnya, manusia dengan milik pusakanya!” (Mikha 2:1-2). Ini ditujukan juga pada “para kepala kaum Yakub, dan para pemimpin kaum Israel! Hai kamu yang muak terhadap keadilan dan yang membengkokkan segala yang lurus” (Mikha 3:9). Mikha juga menegur Israel karena ketidakjujuran mereka di pasar dan korupsi dalam pemerintahan. Dia memperingatkan orang-orang, atas nama Tuhan, tentang kehancuran yang tertunda jika jalan dan hati tidak diubah. Dia memberi tahu mereka apa yang dituntut Tuhan dari mereka: “Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut Tuhan dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?” (Mikha 6:8).
Yesaya melayani selama 60 tahun sebelum ia dihukum mati pada pemerintahan Manasye dari Yehuda. Tradisi mengatakan bahwa selama pembantaian besar-besaran yang dilakukan Manasye, Yesaya digergaji menjadi dua ketika dia berusaha bersembunyi di dalam sebatang kayu yang berlubang (Ibrani 11:37-38). Nabi-nabi lain mungkin juga dibunuh pada waktu pembantaian ini. Hampir separuh dari kitabnya berisi kritikan dan pernyataan pedas ketika dia memanggil Yehuda, Israel dan bangsa-bangsa sekitar untuk bertobat dari dosa mereka. Ia menyerukan agar “berhenti berbuat jahat, belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda!” (Yesaya 1:17). Ia mengeluh mengenai Yerusalem “yang dahulu setia sekarang sudah menjadi sundal! Tadinya penuh keadilan dan di situ selalu diam kebenaran, tetapi sekarang penuh pembunuh, …para pemimpinmu adalah pemberontak dan bersengkongkol dengan pencuri. Semuanya suka menerima suap dan mengejar sogok” (Yesaya 1:21-23). Ia menyatakan bahwa “Tuhan semesta alam menetapkan suatu hari untuk menghukum semua yang congkak dan angkuh serta menghukum semua yang meninggikan diri, supaya direndahkan,” (Yesaya 2:12) dan ia mengutuk “mereka yang menyerobot rumah demi rumah dan mencekau ladang demi ladang, sehingga tidak ada lagi tempat bagi orang lain dan hanya kamu sendiri yang tinggal di dalam negeri!” (Yesaya 5:8).
Banyak ramalan dan peringatan mengenai kehancuran kedua kerajaan ini oleh para nabi jika mereka tidak bertobat. Yeremia dan Habakuk tampil sebagai nabi dalam pelayanan mereka menjadi yang terakhir dalam menegur Israel: “demikianlah malunya kaum Israel, yakni para rajanya, pemukanya, para imamnya dan nabinya, yang berkata kepada sepotong Kayu: Engkaulah bapaku! dan kepada batu: Engkaulah yang melahirkan aku!” dan “sampai-sampai pada bajumu terdapat darah orang-orang miskin yang tidak bersalah; bukan waktu mereka membongkar untuk mencuri kau dapati mereka!” (Yeremia 2:26-27; 34). Yeremia mengancam pula mereka yang “menjadi orang besar dan kaya, orang gemuk dan gendut. Di samping itu mereka membiarkan berlalu kejahatan-kejahatan, tidak mengindahkan hukum, tidak memenangkan perkara anak yatim, dan tidak membela hak orang miskin” dan “para nabi bernubuat palsu dan para imam mengajar dengan sewenang-wenang, dan umat-Ku menyukai yang demikian! (Yeremia 5:27-28;31).
Habakuk secara langsung menyampaikan hukuman bagi para penindas dalam kitab yang ia tulis, pasal 2:6-20: “celakalah orang yang menggaruk bagi dirinya apa yang bukan miliknya -berapa lama lagi? dan yang memuati dirinya dengan barang gadaian… celakalah orang yang mengambil laba yang tidak halal untuk keperluan rumahnya, untuk menempatkan sarangnya di tempat yang tinggi, dengan maksud melepaskan dirinya dari genggaman malapetaka!… celakalah orang yang mendirikan kota di atas darah dan meletakkan dasar benteng di atas ketidakadilan.” Ia berdoa: “Engkau berjalan maju untuk menyelamatkan umat-Mu, untuk menyelamatkan orang yang Kau urapi. Engkau meremukkan bagian atas rumah orang-orang fasik dan Kau buka dasarnya sampai batu yang penghabisan” (Habakuk 3:13). Ia mendapatkan firman bahwa Yehuda akan segera dihancurkan oleh kekuatan Babel karena dosa-dosanya.
Tapi tidak banyak yang mendengarkan seruan para nabi-nabi itu, kecuali beberapa raja saja, misalnya Hizkia pada zaman pelayanan Yesaya. Kerajaan Israel akhirnya hancur pada 720 SM karena serangan Asyur sementara kerajaan Yehuda hancur pada 586 SM oleh serangan Nebukadnezar dari Babel, karena “semua pemimpin di antara para imam dan rakyat berkali-kali berubah setia dengan mengikuti segala kekejian bangsa-bangsa lain” (II Tawarikh 36:14). Sementara itu, Daniel menyampaikan penglihatan malaikat mengenai masa depan Israel, dimana mereka akan ditindas oleh raja-raja asing (Daniel 11:2-45).
Yehezkiel adalah nabi yang sezaman dengan Yeremia, tetapi lebih muda. Ia mengungkapkan nubuat mengenai kehancuran Yerusalem yang segera jatuh kepada Babel, restorasi ke tanah Israel, dan apa yang beberapa orang sebut sebagai penglihatan mengenai Kuil Milenial (atau Kuil Ketiga). Ia memperingatkan bahwa hukuman sudah pasti datang karena dosa mereka dan bahwa Allah sedang memurnikan umat-Nya. Ia ikut dalam pembuangan ke Babel dan menjadi “pengkhotbah jalanan” selama 22 tahun. Yehezkiel panjang lebar menyampaikan dosa-dosa Yerusalem, mulai dari penyembahan berhala, mesum dan zinah, hingga “masing-masing pemimpin Israel mengandalkan kekuatannya di tengah-tengahmu untuk menumpahkan darah. Padamu ayah dan ibu dihina dan di tengah-tengahmu orang melakukan pemerasan terhadap orang asing, padamu anak yatim dan janda ditindas… padamu orang menerima suap untuk mencurahkan darah, engkau memungut bunga uang atau mengambil riba dan merugikan sesamamu dengan pemerasan, tetapi Aku kau lupakan, demikianlah firman Tuhan Allah” (Yehezkiel 22:6-12).
Kehendak Israel karena berpaling dari Allah dan menghendaki raja manusia dan membentuk Kerajaan Manusia, adalah eksperimen gagal. Mereka kemudian semakin berbuat jahat dan berpaling pada Allah lain, dan menindas sesama mereka. Kekuasaan berujung pada kekayaan dan penindasan, kesenjangan sosial, dan perselisihan di antara mereka. Allah berulangkali mengampuni, menghukum, mengingatkan, mengampuni, menghukum dan seterusnya, hingga akhirnya apa yang difirmankan olehnya melalui suara nabi-nabi mengenai kejatuhan bangsa Israel, tergenapi.
Habakuk termasuk nabi yang berbeda, karena selain penyampaiannya yang sangat puitis, ia melihat ketidakadilan di antara umatnya dan bertanya mengapa Tuhan tidak mengambil tindakan: “Berapa lama lagi, Tuhan, aku berteriak, tetapi tidak Kau dengar, aku berseru kepada-Mu: “Penindasan!” tetapi tidak Kau tolong? Mengapa engkau memperlihatkan kepadaku kejahatan, sehingga aku memandang kelaliman? Ya, aniaya dan kekerasan ada di depan mataku; perbantahan dan pertikaian terjadi. Itulah sebabnya hukum kehilangan kekuatannya dan tidak pernah muncul keadilan, sebab orang fasik mengepung orang benar; itulah sebabnya keadilan muncul terbalik” (Habakuk 1:2-4). Tulisan-tulisan itu membahas pertanyaan-pertanyaan mengapa Allah membiarkan orang fasik makmur; mengapa Tuhan menunda menjawab doa; dan, mengapa Tuhan terkadang diam. Tetapi kita harus kembali pada peringatan Samuel: “Pada waktu itu kamu akan berteriak karena rajamu yang kamu pilih itu, tetapi Tuhan tidak akan menjawab kamu pada waktu itu” (I Samuel 8:18).
Akan tiba datangnya ketika Kerajaan Allah dipulihkan kembali, untuk menggenapi bahwa: “Maka Tuhan akan menjadi Raja atas seluruh bumi; pada waktu itu Tuhan adalah satu-satunya dan nama-Nya satu-satunya” (Zakharia 14:9). Demikian juga dilantunkan oleh Yesaya mengenai hamba Tuhan yang menderita: “Sebab itu Aku akan membagikan kepadanya orang-orang besar sebagai rampasan, dan ia akan memperoleh orang-orang kuat sebagai jarahan, yaitu sebagai ganti karena ia telah menyerahkan nyawanya ke dalam maut dan karena ia terhitung di antara pemberontak-pemberontak, sekalipun ia menanggung dosa banyak orang dan berdoa untuk pemberontak-pemberontak” (Yesaya 53:12). Penyelamatan Israel dan raja Mesias telah dikabarkan pula oleh Mikha: “Tetapi engkau, hai Bethlehem Efrata, hai yang terkecil di antara kaum-kaum Yehuda, dari padamu akan bangkit bagi-Ku seseorang yang akan memerintah Israel, yang permulaannya sudah sejak purbakala, sejak dahulu kala” (Mikha 5:1). Kerajaan Allah ini telah disiarkan oleh Yesus, sang anarkis, sebab Kerajaan Allah adalah kekuasaan Tuhan, satu-satunya. Amin.
Referensi:
-
Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan Seri: Life Application Study Bible (2014). Lembaga Alkitab Indonesia.
-
Marlow. (2009). Anarchism and Christianity. Diakses dari The Anarchist Library.
-
Anderson, Francis I., dan David Noel Freedman, Amos, The Anchor Yale Bible, vol. 24A, New Haven: Yale University Press, 2008. hlm 24.