Title: Perang dan Cinta
Subtitle: 'hancurnya pengorbanan dan sastra'
Author: Okty Budiati
Topics: egoism, Nihilism, Poetry
Language: Bahasa Indonesia
Date: 31/01/2021

"The greatest danger to the State is independent intellectual criticism; there is no better way to stifle that criticism than to attack any isolated voice, any raiser of new doubts, as a profane violator of the wisdom of his ancestors. Another potent ideological force is to deprecate the individual and exalt the collectivity of society."

- Murray N. Rothbard dalam karyanya yang berjudul ANATOMY OF THE STATE


Sesaat, kembali teringat kepada Marquis de Sade untuk kekejaman suatu pikiran yang begitu liar dan brutal, halusinasi yang sangat gelap horor, sesuatu yang dipenuhi oleh intrik dan rahasia, sebagai hadiah yang terkemas indah di atas panggung agung. Namun, di waktu yang lain, Louise Bourgeois mengingatkanku, bahwa; "The twentieth-century artist who uses symbols is alienated because the system of symbols is a private one. After you have dealt with the symbols you are still private, you are still lonely, because you are not sure anyone will understand it except yourself. The ransom of privacy is that you are alone."

Lantas, apakah para seniman, intelektual, hingga ahli sastra tidak lebih sebagai sekumpulan individual kaum bejat?

Aku menolak pendapat ini. Aku menolak jika karya sebagai ekspresi hanya diperuntukan pada pola modus dalam mengekploitasi kehidupan manusia, bahkan menjadikan manusia sebagai objek massal bagi kaum intelektual genit.

Di sini Mpu Tantular mengatakan dengan penuh sedih, "Umandya donta carweka" dalam Kakawin Sutasoma, CXL 2:4. Tidak hanya mitologi sebagai suatu bentuk kontemplasi dalam membaca matriks, namun isi syair hingga kalimat sederhana yang puitis dalam mitologi menyampaikan makna rahasia dari labirin suatu karya. Demikian, "he who knows others is wise; he who knows himself is enlightened." yang bagi Lao Tzu menjadi pencerahan pengetahuan, wujud dari mahakarya, sesuatu yang liar sekaligus ilahiah. Bahwa, mitologi sebagai mahakarya dari setiap masa dan bangsa menjadi simbol bahasa yang kompleks. Namun di sanalah kearifan pencipta dalam menempatkan individunya sebagai sang pencipta dan penciptaannya.

"What is done out of love always takes place beyond good and evil." (Friedrich Wilhelm Nietzsche). Sebagaimana perang dalam corpus delusional telah menenggelamkan bara yang tipis, teramuk badai. Kekuasaan tercatat di rapuhnya kertas dalam abad medieval. Semacam antioch dan qanon pada spiral kembar dizigotik, namun Damascus masih tersangkut dalam manuskrip Syria. Kemanusiaan dan keilahian menjadi peta catur keberadaan individu. Kristus dan Ishmael, semacam maya pada masa Obidos dalam krisis anarkis tentang Portuguese Interregnum.

"Deep in the sea
all molecules repeat
the patterns of one another
till complex new ones are formed.
They make others like themselves
and a new dance starts."

- Richard Feynman

Aku melihatnya sebagai bentuk formasi garuda. Para individu mendadak sewujud raksasa dan tercerai berai. Gemuruh ini mengenai jantungku. Aku terluka dalam mencari perlindungan di mana segala yang remuk telah tunduk pada Porusada. Atlas pada batu prasasti itu seakan terlupakan, sementara slogan tinggallah slogan. Bhineka Tunggal Ika kehilangan nahkoda; "The Union of Egoists ini terjebak kawat berduri!" Perkabungan bagi modern atas Max Stirner.

Dan pada milenial ini, kaum seniman, intelektual, hingga para ahli sastra di tanah pertiwiku sebagai pendukung tatanan dunia telah mengabaikan studi satu-satunya proses koordinat sosial bagi dataran Mataram untuk risiko yang kini ditimbulkan.