r-r-rikki-rikardo-marxis-otonomis-makhluk-apalagi-1.jpg

Kebangkitan radikalisme antiotoritarian di ujung abad ke-20 ditandai dengan adanya perkembangan beragam gerakan politik baru, di antaranya adalah kelompok-kelompok anarkis dalam beragam variannya dan juga kelompok-kelompok politik lainnya yang menyerap kecenderungan Marxian.


Marxis Otonomis berawal dari kelompok-kelompok Marxis Italia yang mengidentikkan gerakan mereka sebagai “operaismo” atau “buruh-isme”, di mana kekuatan revolusioner bertumpu pada beragam inisiatif buruh untuk melakukan swaaktivitas yang bebas dari intervensi serikat buruh atau pihak luar lainnya. Swaaktivitas ini beragam; mulai dari pencurian, perlambatan kerja, sabotase, mogok liar (wildcat strikes), hingga pendudukan pabrik.

Inisiatif yang awalnya muncul di pabrik-pabrik di Italia Utara pada dekade 1950-1960an ini memunculkan beragam respon dari para militan dan memicu perkembangan teori serta analisis tentang dinamika konflik dalam sistem kapitalisme—mulai dari komposisi kelas pekerja, fungsi kerja dalam sistem kapitalisme, hingga perluasan gagasan tentang kemungkinan-kemungkinan realisasi alternatif dari masyarakat kapitalistik.

Otonomis menekankan analisisnya pada bagaimana kekuatan pemberontakan kelas pekerja telah memaksa kapital untuk berevolusi (kelas pekerja sebagai subyeknya). Sementara analisis Marxis tradisional terus menerus terlalu menekankan pada kemampuan kapitalis untuk memaksa dan membatasi kelas pekerja (kapitalisme sebagai subyeknya). Di sini kita dapat mengatakan bahwa evolusi sistem manajemen dan produksi kapitalis merupakan adaptasi-adaptasi dalam mengimbangi resistensi kekuatan kelas pekerja—dan krisis kapital adalah akibat dari menguatnya resistensi pekerja terhadap kapital.

Harry Cleaver, aktivis Marxis yang melakukan banyak kajian tentang gerakan Otonomis mengatakan bahwa “hanya dengan memahami kekuatan kita, kita dapat menentukan langkah apa yang akan kita lakukan berikutnya”. Berbeda dengan beragam varian Marxisme yang selalu menekankan pada bagaimana kita telah dibatasi oleh kapital untuk melakukan ini dan itu, yang ironisnya cenderung seperti memuji kehebatan kapitalisme.

Kekuatan revolusioner proletariat dimaknai ulang. Definisi perjuangan tidak lagi dibatasi oleh tembok pabrik. Sekarang kaum ini tidak hanya mencakup mereka-mereka yang menjadi bagian langsung dari proses produksi kapitalis dan aliran uang, namun juga semua pihak yang terdominasi dan terjajah oleh rezim akumulasi kapital.[1] Mobilisasi swadaya yang dilakukan oleh masyarakat adat, perempuan, mahasiswa (termasuk di dalamnya pelajar, tentunya) dan kelompok-kelompok subsisten—menunjukkan lingkup “otonomi pekerja” yang jauh lebih luas dari yang dibayangkan sebelumnya. Pemberontakan untuk menuntut pembaharuan pada relasi gender (oleh kaum perempuan dan LGBTQIA), pemberontakan pelajar, pemberontakan masyarakat adat—adalah contoh-contoh insurgensi kelas pekerja yang diorganisir secara otonom oleh para pelakunya.

Penolakan terhadap kerja adalah pengembangan dari teori otonomis yang didasarkan pada analisis konflik. Tuntutan kelas pekerja utamanya adalah pengurangan jam kerja dan perbaikan upah—tuntutan-tuntutan ini diperhadapkan langsung dengan sistem kapitalisme, yang merupakan suatu sistem yang mensubordinasikan seluruh bentuk kehidupan pada kerja dan memaksakan pembebanan kerja yang tidak terbatas.

Perkembangan-perkembangan teoritis tersebut menguatkan strategi politik dan praktek gerakan otonomis. Kita menemui gerakan seperti “Wages for Housework”/“Upah untuk Pekerjaan Domestik”, di mana warga menuntut upah pada kolektif kapitalis, yaitu Negara. Contoh gerakan lainnya adalah yang dikenal dengan gerakan “Self-Reduction”/”swareduksi” yang merupakan suatu gerakan di mana orang-orang sepakat untuk membayar harga barang atau jasa lebih rendah dari harga resmi yang ditetapkan. Swareduksi dilakukan untuk menolak kenaikan harga jasa layanan publik. Secara konsisten, tuntutan otonomis di pabrik-pabrik ditekankan pada pengurangan jam kerja dan kenaikan upah, serta penolakan yang sangat serius terhadap konsep “produktivitas” (penambahan efisiensi kerja).

Dekonstruksi dan resistensi terhadap relasi-relasi dalam kapital memunculkan sisi lain—yaitu proses konstruksi menuju realisasi-realisasi subyektif yang melampaui kapital.[2] Realisasi-realisasi alternatif tersebut berulang kali terjadi di setiap ledakan pemberontakan ketika penghancuran relasi lama secara simultan tergantikan dengan relasi-relasi baru—dalam revolusi-revolusi besar dan kecil.

Sejumlah eksperimen tersebut merupakan sebuah kemampuan dalam mengelaborasi masa depan pasca-kapitalisme. Potensi otonom dari berbagai sektor dalam kelas proletariat membawa kita pada pembaharuan pemahaman tentang apa yang kita sebut sebagai “proyek komunis”—yang bukan lagi seperti yang dibayangkan Marxis tradisional dengan komunismenya yang seragam—namun realisasi komunis yang bertujuan untuk merealisasikan keragaman eksistensi yang dilakukan secara otonom oleh subyek-subyek yang terlibat.

Otonomi dan Realitanya

“Marxis Otonomis” telah menjadi tradisi spesifik yang dapat kita identifikasi dalam tradisi Marxis yang lebih luas. Konsep ini mendapatkan maknanya lewat beragam gerakan, aktivitas politik, dan inisiatif yang menekankan pada kekuatan otonom pekerja—yang otonom dari kapital dan bahkan otonom dari organisasi formal mereka (seperti serikat buruh dan partai politik). Kelompok-kelompok ini secara spesifik juga dapat bertindak secara otonom dari kelompok lainnya (misalnya gerakan perempuan yang otonom dari lelaki). “Otonomi” berarti kemampuan untuk mendefinisikan kepentingan-kepentingan mereka sendiri yang kemudian mereka perjuangkan. Konsep ini melampaui sekedar reaksi dari eksploitasi kapitalis dalam membentuk perjuangan kelas dan mendefinisikan masa depan.

Dalam tradisi Marxis Otonomis, salah satu awal tercetusnya kesadaran tentang otonomi kelas pekerja adalah dari kajian-kajian yang dilakukan oleh C.L.R. James dan Raya Dunayevskaya. James dan Dunayevskaya menelaah perkembangan kapitalisme di Amerika dan Uni Soviet sebagai titik tolak dalam memahami perjuangan kelas dan Perang Dunia II. Kajian tersebut terbit dengan judul State Capitalism and World Revolution. James menganalisis moda produksi Taylorisme dan Fordisme sebagai suatu era baru dalam perjuangan kelas.

Seperti para ahli teori Mahzab Frankfurt, James juga menyadari tentang dominasi teknologi terhadap manusia. Namun tidak seperti kelompok Frankfurt, dia juga menganggap kekuatan kelas pekerja sebagai sebuah aspek yang sangat penting. Kelompok Frankfurt dan James/Dunayevskaya memiliki pandangan yang serupa tentang totalitarianisme modern dari sistem yang diterapkan di Amerika Serikat dan Uni Soviet, namun James/Dunayevskaya berhasil mengungkap beragam swaaktivitas kelas pekerja yang berkembang dalam totalitarianisme tersebut.

Salah satu pemberontakan signifikan yang pernah terjadi adalah pemberontakan dewan-dewan pekerja di Hungaria yang menentang intervensi Soviet pada tahun 1956. James mengungkapkan bahwa inisiatif proletariat seperti ini adalah untuk memecah bentuk-bentuk organisasi lama melalui proses yang bebas dan kreatif. Ia mencontohkan lebih jauh beragam swaaktivitas lainnya, di antaranya Paris 1793, Komune 1871, dan Soviet 1905.

James menyimpulkan bahwa organisasi populis dan pekerja pada zaman itu bukanlah sesuatu yang direka oleh para intelektual ataupun para pelopor (vanguard). Pergolakan-pergolakan yang terjadi di seputar tahun 1950-an di Jerman Timur, Nantes (Prancis), dan Inggris juga menjadi bagian dari analisis James tentang kemampuan beragam subyek untuk melakukan beragam swaaktivitas.

Munculnya gelombang resistensi para pekerja yang otonom dari pengaruh partai ataupun serikat buruh yang terjadi di sentra-sentra manufaktur di Italia Utara menjadi subyek diskusi dan katalis pengembangan teori di kalangan generasi baru militan di sana. Dari studi tentang kenyataan otonomi resistensi kelas pekerja, terutama di Amerika, para militan Italia mulai mengartikulasikan posisi kelas pekerja yang secara aktif mampu menggagas resistensi. Faktanya, para pekerja bukanlah korban yang pasif dan reaktif sebab mereka telah berulang kali memaksa kapital untuk terus menerus melakukan penataan ulang pada sistem pengelolaannya.

Raniero Panzieri, salah satu militan yang tergabung dalam Quaderni Rossi, melakukan analisis pada perkembangan Fordisme di Italia dengan mengkaji ulang teori Frankfurt dan karya Marx tentang dominasi teknologi. Melalui analisis tersebut, dia membuat suatu kesimpulan bahwa evolusi teknologi dan sistem manajemen kapitalis sebenarnya merupakan respons terhadap resistensi kelas pekerja. Ia melihat bahwa kapitalisme beradaptasi terhadap resistensi kelas pekerja melalui perencanaan yang semakin diperketat. Satu-satunya elemen yang tidak dapat direncanakan adalah kelas pekerja itu sendiri.

Marxis Otonomis bertumpu pada kekuatan pekerja dalam analisisnya mengenai konflik kelas dalam kapitalisme dan dinamika konflik-konflik tersebut. Di sini ada kebenaran sederhana bahwa hanya dengan adanya penilaian yang akurat tentang kekuatan kita barulah kita dapat berdebat tentang bagaimana cara membangun kekuatan tersebut. Jika kita terus menerus menghabiskan waktu kita berbicara tentang kekuatan kapital untuk melakukan ini, melakukan itu, membatasi kita dengan cara ini, atau memaksa kita melakukan itu—kita tidak akan menemukan petunjuk tentang apa yang harus dilakukan. Namun jika kita mulai meninjau kekuatan kita dan memahami bagaimana kapitalisme merespons kekuatan tersebut, tentunya kita dapat berpikir lebih jernih tentang bagaimana selanjutnya kita akan bergerak.

Dinamika Kekuatan Otonom Kelas Pekerja dan Perkembangan Teori Otonomis

Kenaikan upah dan pengurangan jam kerja merupakan tuntutan yang sangat familiar bagi gerakan pekerja, baik dalam gerakan tradisional maupun kontemporer. Pekerja selalu ingin meningkatkan kesejahteraan; mulai dari memiliki lebih banyak sumber daya untuk memenuhi beragam kebutuhan hingga memiliki lebih banyak waktu luang untuk melakukan beragam aktivitas di luar jam kerja.

Reorganisasi kapital sebagai respons terhadap tuntutan tersebut adalah diterapkannya konsep upah berdasarkan tingkat produktivitas. Penerapan apa yang disebut “productivity deal” ini merupakan reaksi kapital terhadap tuntutan kenaikan upah. Tingkat upah disesuaikan dengan tingkat produktivitas pekerja.

Analisis Antonio Negri dan Mario Tronti terhadap “productivity deal” di Italia pada 1960an memunculkan dorongan lebih lanjut pada perkembangan teori otonomis yaitu tentang penolakan kerja. Pertama mereka menyadari bahwa “productivity deal” merupakan suatu respons terhadap kekuatan resistensi kelas pekerja dengan tuntutan-tuntutannya. Mereka juga menyadari bahwa ledakan tuntutan untuk menaikkan upah dan berkembangnya penolakan kerja merupakan penyebab runtuhnya “productivity deal” dan terjadinya krisis ekonomi Italia.

Krisis yang terjadi di Italia tersebut menimbulkan suatu gejolak politik yang signifikan. Kelompok-kelompok Otonomis seperti Potere Operaio (PO) menyerang Partai Komunis yang mendukung kebijakan kapitalis dengan penerapan “productivity deal”nya. PO mendukung strategi otonom kelas pekerja untuk menuntut kenaikan upah dan pengurangan kerja (pengurangan produktivitas) —suatu strategi yang terang-terangan menolak konsep “productivity deal”.

Posisi PO dan kelompok otonomis juga didukung secara teoritis melalui dekonstruksi tentang konsep kerja yang dianut oleh kaum Kiri tradisional. Kaum Kiri tradisional menganggap bahwa perjuangan buruh adalah tentang pembebasan kerja dari kapital, menuju pada kerja yang tidak teralienasi. Visi Kiri tradisional ini sendiri dulunya berkembang di kalangan pengrajin terampil pada periode awal perkembangan kapitalisme, namun tidak dapat diterapkan pada buruh industri kontemporer yang tidak mempunyai keterampilan khusus. Tronti berpendapat bahwa bagi buruh industri, kerja sendiri merupakan suatu bentuk kontrol sosial. Pemahaman ini selanjutnya berkembang kepada realisasi sifat dasar perjuangan kelas pekerja. Kelas pekerja tidak hanya melakukan pemberontakan terhadap sistem kapital—pekerja juga memberontak terhadap eksistensi mereka sebagai kelas pekerja.

Merujuk pada Volume II Capital, Mario Tronti menganalisis proses akumulasi total. Tidak sulit baginya untuk melihat aspek fundamental yang diungkapkan Marx, yang intinya menyimpulkan bahwa proses akumulasi total adalah proses “akumulasi” kelas-kelas—kelas kapitalis dan kelas pekerja. Marx memberikan fokus pada sirkulasi dan reproduksi, yang berarti ada reproduksi kelas-kelas sosial. Hal ini menyangkal analisis ortodoks yang mengidentikkan kapitalisme dengan pabrik. Reproduksi kelas pekerja terjadi bukan hanya di pabrik, tapi juga di sektor domestik dan kehidupan bermasyarakat.

Hal ini juga dapat dikaitkan dengan analisis Marx tentang “pekerja cadangan” pada Capital Volume I di bagian yang membahas tentang akumulasi. Akumulasi berarti akumulasi “pekerja cadangan” dan juga pekerja aktif serta mereka-mereka yang bekerja untuk mereproduksi kelas. Pabrik di mana kelas pekerja bekerja adalah tatanan masyarakat secara keseluruhan—sebuah pabrik sosial. Ini berarti definisi kelas pekerja harus dimaknai ulang dengan menyertakan mereka-mereka yang bukan pekerja pabrik.

Dominasi dan Pembebanan Kerja yang Tidak Terbatas Dalam Kapitalisme

“Tujuan dari kelas pekerja adalah untuk tidak menjadi pekerja, untuk tidak menjadikan kerja sebagai agama” —Mario Tronti

Kebanyakan Marxis tradisional mendefinisikan kapitalisme sebagai suatu pola atau sistem ekonomi saja dan tidak membahas substansinya. Artinya mereka memfokuskan seluruh kajian-kajiannya pada bentuk-bentuk spesifik bagaimana kapital mengeksploitasi pekerja—sistem pengupahan. Definisi yang sering dilontarkan adalah “proletariat yang diupah”.

Selanjutnya, tujuan politis dari para Marxis tradisional adalah penghapusan sistem upah. Fokus pada upah tersebut didasari atas pemahaman teoritis bahwa kerja adalah sesuatu yang alamiah dan bahwa kerja adalah ciri fundamental yang mendefinisikan eksistensi manusia. Bahwa penghapusan kapitalisme berarti menggeneralisasi relasi kerja berdasarkan pada definisi sosialisme dan komunisme—yaitu masyarakat berkelas tunggal di mana setiap orang bekerja—tanpa eksploitasi dan untuk pemenuhan kepuasan personal dan kolektif.

Ada perbedaan pandangan antara Marxis otonomis dan Marxis tradisional dalam hal kerja. Perbedaannya terletak dalam pembacaan teori Marxis dan strategi politik untuk penghapusan kapitalisme serta tentang apa yang akan menggantikan kapitalisme. Secara substansi, Otonomis fokus pada relasi-relasi sosial dalam kapitalisme—relasi yang didominasi kerja. Kapitalisme bukan hanya sekedar sistem sosial dan kita tidak dapat mengakhiri eksploitasi dengan tetap mempertahankan kerja. Kapitalisme merupakan suatu sistem yang mensubordinasi seluruh kehidupan di bawah relasi kerja, dan karenanya membatasi manusia untuk mengeksplorasi jalur-jalur menuju aktualisasi diri.

Pensubordinasian kehidupan pada kerja berarti kita dipaksa untuk menyisihkan sebagian besar waktu untuk bekerja—hingga bahkan aktivitas lain selain kerja direduksi menjadi hanya sekedar rekreasi (pemulihan) untuk dapat bekerja kembali. Contohnya dapat ditemukan pada sebagian besar dari kita yang harus bekerja secara rutin. Sebagian besar dari hidup kita (selain tidur) didominasi oleh kewajiban untuk bekerja secara langsung pada kapitalis. Dan kita juga menemukan bahwa sebagian besar waktu luang kita (di luar waktu kerja) digunakan untuk mempersiapkan diri kita untuk bekerja (perjalanan menuju dan pulang dari tempat kerja, pemulihan, dan hal-hal lain yang dilakukan agar kita dapat kembali bekerja pada hari berikutnya).

Bagi mereka yang tidak diupah (biasanya ibu rumah tangga), banyak waktu luang sebenarnya dicurahkan untuk kerja-kerja rumah tangga. Seorang ibu rumah tangga tidak hanya mengurusi hal-hal domestik dan melayani suaminya yang bekerja, tapi juga melakukan kerja-kerja dalam merawat dan membesarkan anak yang kemudian hari akan menjadi pekerja. Perempuan (terkadang dengan suaminya) dan guru-guru di sekolah harus membesarkan anak-anak untuk dapat menerima perintah, untuk dapat mengontrol hasrat dan spontanitasnya. Perempuan (ibu rumah tangga) melakukan kerja-kerja untuk suami secara rutin, sebagian besar waktu seorang istri dicurahkan untuk mereproduksi kembali tenaga kerja sang suami—menyediakan makanan, mengelola lingkungan rumah, memberikan jasa seksual dan psikologis—sehingga sang suami dapat kembali bekerja esok harinya dan tidak berpikir untuk membunuh majikannya. Argumen ini bukan hanya ingin menunjukkan bahwa kapital telah memperluas mekanisme kontrolnya melampaui batas pabrik (seperti yang telah diungkapkan Mahzab Frankfurt). Lebih jauh lagi, kapital telah menciptakan mekanisme pembebanan kerja—dalam mereproduksi kehidupan sebagai kerja. Argumen-argumen ini dapat dikembangkan lebih jauh lagi dengan mengambil contoh beragam jenis kerja tanpa upah, seperti tugas sekolah dan universitas, dan kerja-kerja yang dilakukan petani subsisten. Ini semua menunjukkan bagaimana kapital bertujuan untuk mengubah segala bentuk kehidupan menjadi kerja, untuk kemudian mereproduksi kapital, serta bagaimana kapital bertujuan untuk mengubah seluruh masyarakat menjadi satu “pabrik sosial” atau tempat kerja yang sangat besar.

Pada skala global, kita dapat mencoba memahami situasi di Selatan dan juga di Utara. Sejak awal, kapitalisme merupakan sistem yang berusaha mengglobal. Mulai dari periode akumulasi primitif, perbudakan Afrika, dan perampasan yang dilakukan di berbagai wilayah di dunia—merupakan bagian integral dari perkembangan kapitalisme di Amerika dan Eropa Utara. Orang Afrika menjadi budak di lahan-lahan yang dirampas dari orang Indian Cherokee. Para budak memanen kapas yang diperlukan dalam mendukung pembebanan kerja pada buruh Inggris yang bekerja di pabrik-pabrik tekstil di Manchester. Kisah tentang imperialisme adalah tentang perampasan kekayaan, pembukaan pasar, dan perebutan ruang untuk kapital.

Seluruh contoh peristiwa yang disebutkan di atas adalah momen-momen dalam proses global untuk mengubah masyarakat dunia menjadi pekerja. Secara simultan, terjadi perkembangan beragam jenis pengendalian terhadap kelas pekerja. Di abad 19, penjajah Inggris melakukan pemotongan ibu jari para penenun India demi mempertahankan pekerjaan di pabrik-pabrik tekstil di Inggris. Puluhan tahun kemudian, para pekerja di Asia dan Amerika Latin diperkerjakan di pabrik-pabrik yang telah dipindahkan dari Amerika Utara dan Eropa Utara.

Penolakan Kerja

Konsep “menolak kerja” merupakan peringatan penting bahwa kelas pekerja selalu melakukan resistensi sejak zaman akumulasi primitif hingga sekarang. Terkadang, pengurangan kerja—pembebasan hidup dari kerja—menjadi sebuah tuntutan yang eksplisit. Contohnya, perjuangan untuk mengurangi waktu kerja dari 10 jam menjadi 8 jam sehari. Dalam rentang waktu 1880–1940, resistensi pekerja di Amerika berhasil mengurangi hari kerja dan pekerja mendapatkan libur akhir pekan. Di masa-masa lainnya—khususnya di masa ketika gerakan pekerja resmi memegang kekuasaan—tuntutan ini malah direpresi dan dikaburkan, dan hanya dapat terlihat dalam bentuk perlawanan pasif dan sabotase yang dilakukan pekerja dalam kesehariannya.

Munculnya tuntutan penolakan kerja yang eksplisit, dan yang dapat diartikulasikan dengan baik, telah membangkitkan teori Marxis secara signifikan. Selama dekade 1950an, bahkan para otonomis pun masih berpandangan bahwa tujuan dari revolusi adalah melenyapkan kerja dengan cara mengambil alih kendali atas kerja. Penolakan kerja secara masif yang terjadi di Italia merupakan peringatan tentang kebenaran fundamental bahwa selama ada dominasi dalam bentuk pembebanan kerja, pekerja akan selalu melakukan resistensi terhadap kerja (dan juga terhadap statusnya sebagai seorang pekerja). Kita dapat melihat beragam konflik sosial yang terjadi di akhir tahun 1960an dan 1970an sebagai resistensi terhadap kerja meskipun para protagonisnya tidak mengartikulasikan tuntutan mereka sebagai penolakan kerja secara eksplisit.

Kebanyakan dari pemberontakan yang dilakukan oleh mahasiswa merupakan penolakan terhadap kerja (sebab sekolah/universitas menciptakan pekerja), yang dibarengi dengan tuntutan untuk sebuah sistem pendidikan yang dapat memberikan mereka kesempatan untuk mempelajari hal-hal yang mereka inginkan. Pemberontakan mahasiswa menuntut universitas untuk tidak hanya mencekoki mereka dengan materi-materi yang akan membentuk mereka menjadi seorang pekerja demi melanggengkan kepentingan akumulasi kapital. Sedangkan pemberontakan yang dilakukan oleh perempuan adalah suatu penolakan terhadap peran tradisional mereka di dalam pabrik sosial: melahirkan dan merawat tenaga kerja. Pemberontakan perempuan dibarengi juga dengan tuntutan untuk relasi gender dan sosial yang baru. Sedangkan tuntutan dari sektor lain, seperti yang dilakukan oleh masyarakat berkulit hitam, masyarakat adat, atau masyarakat subsisten, bukanlah sekedar teriakan ketidakberdayaan, namun suatu pemberontakan dalam menentang peran yang diberikan kepada mereka dalam aliran akumulasi kapital: sebagai “stok pekerja cadangan” dalam pasar tenaga kerja. Dalam aliran kapital, mereka dianggap sebagai orang-orang yang sekedar menjalani kehidupan subsisten dan kelompok yang tidak mempunyai akses pada partisipasi politik.

Malangnya, banyak sekali Marxis dengan fokus tradisionalnya pada “kerja yang tidak teralienasi sebagai keniscayaan eksistensi manusia” gagal melihat antagonisme fundamental dalam kapitalisme dan terjebak pada ideologi revolusioner dari awal abad 20 yang menyerukan “pengambilalihan alat produksi” dan “pengambilalihan pabrik” dengan tujuan akhir untuk menjadi pengelola sekaligus pekerja.

Kebanyakan dari interpretasi teori Marxis, terutama teori tentang nilai kerja, gagal membuat pembaca paham bahwa Marx tidak bermaksud mengakui bahwa satu-satunya nilai dalam masyarakat adalah kerja. Banyak pembacaan Marx lainnya secara akurat menanggapi analisis Marx tentang alienasi (dalam Manuskrip 1844) sebagai suatu kritik terhadap pemberhalaan kerja dalam kapitalisme, dan menyimpulkan bahwa sosialisme dan komunisme adalah tentang pembebasan kerja dari bentuk pemberhalaan tersebut. Kesalahan yang sering dilakukan adalah ketika banyak yang berasumsi bahwa fokus analisis Marx tentang kerja adalah hasil dari kepercayaannya bahwa “kerja yang tidak teralienasi” adalah suatu titik tertinggi dari eksistensi manusia—bahwa kerja merupakan sesuatu yang mendefinisikan kemanusiaan.

Dari Otonomi Menuju Realisasi Alternatif

Penolakan terhadap kerja akan mengarahkan kita pada praktik-praktik alternatif melampaui kapital.

Ketika teori kritis berhenti pada analisisnya tentang hegemoni dan dominasi kapitalis yang menyeluruh, teori otonomis mengungkap dan mengartikulasikan kekuatan masyarakat dalam memperjuangkan kehidupannya yang tereduksi menjadi sekadar kerja. Di satu sisi ada kapital yang selalu bergerak menyusup dan membentuk segala jenis bentuk kehidupan; di sisi lainnya adalah bagaimana seluruh jenis bentuk kehidupan ini akan memberontak. Setiap bentuk kehidupan menjadi relung insurgensi terhadap dominasi tersebut. Bukan saja perjuangan kelas yang ada di mana-mana, tapi juga penolakan pada kerja. Ada kesamaan perjuangan antara mereka yang berupah dan yang tidak—sebuah penolakan terhadap pereduksian hidup menjadi sekedar kerja dan perjuangan dalam mencari alternatif-alternatif realisasi diri.

Dalam Grundrisse dan Capital, Marx mengungkapkan perlawanan terhadap kerja. Tidak hanya “kerja dalam kapitalisme” (di mana pekerja dieksploitasi), namun semua bentuk kerja, karena hidup adalah lebih dari sekedar bekerja. Transformasi kualitas kerja dalam kapitalisme—sebagai alienasi—muncul bukan hanya karena bentuk pengorganisasian kerja, tapi juga karena adanya peningkatan kuantitas kerja. Dalam diskusinya tentang perlawanan terhadap hari kerja, Marx menyatakan bahwa kapital dapat mencapai dominasinya dengan perluasan kerja—melalui kerja lebih dan nilai lebih. Isu sentral pada bab tentang hari kerja membahas perjuangan kelas pekerja dalam menentang peningkatan kerja dan untuk kemudian mereduksi kerja. Sedangkan dalam Grundrisse, pokok pembahasan Marx adalah tentang reduksi kerja yang akan membawa kita pada penghapusan “nilai kerja” menuju “nilai sebagai waktu luang”. Marx membayangkan masyarakat pasca kapitalisme sebagai masyarakat yang terlibat dalam banyak hal, di mana kerja adalah hanya salah satu dari beragam aktivitas dalam eksistensi manusia yang kaya.

Penghapusan alienasi hanya dapat dicapai dengan pengurangan kerja secara kuantitatif hingga kerja menjadi salah satu bagian integral dari eksistensi manusia yang penuh keragaman. Pembebasan kerja hanya dapat terjadi dengan pembebasan dari kerja, dari pereduksian kapitalis terhadap kehidupan menjadi kerja. Jika kita bisa melihat semua ini, baru kita dapat terbebaskan dari ilusi “produktivisme sosialis tradisional”. Kita akan bebas untuk berpikir tentang perjuangan, revolusi, dan kebebasan, dan secara simultan mengembalikan kerja menjadi salah satu dari beragam aspek dalam kehidupan.

Seorang Marxis Otonomis, Antonio Negri, menyebut istilah swa-valorisasi (self-valorization), yang dimaknai sebagai pengembangan yang dilakukan secara mandiri oleh kelas pekerja. Swavalorisasi merujuk pada pengembangan diri kelas pekerja secara otonom dalam menghadapi kekuatan kapital. Di sini, Negri berbicara tentang bagaimana kelas pekerja tidak semata-mata hanya melakukan perlawanan terhadap kapital, kelas pekerja juga menciptakan beragam bentuk realisasi diri. Apa yang diungkapkan Negri secara mendasar sangat berbeda dengan pandangan Marxis tradisional yang ingin menggantikan kapitalisme dengan suatu bentuk sosialisme yang homogen. Padahal kita harusnya memahami komunisme sebagai keberagaman alternatif. Revolusi melibatkan ledakan, suatu pelarian dari pereduksian, dan bukan penggantian dari satu bentuk rezim penyeragaman ke rezim penyeragaman lainnya. Inilah pentingnya otonomi perjuangan beragam sektor dalam kelas.

Dengan memposisikan ulang perhatian kita pada swavalorisasi, maka akan ada perubahan pada agenda-agenda politik kita. Sejalan dengan usaha kita untuk memahami bagaimana kekuatan pekerja mampu mempertahankan krisis kapitalisme sepanjang tahun 1970an sampai 1980an, kita juga mulai mengeksplorasi proses perkembangan mandiri kelas pekerja. Inilah faktor penting dalam memicu krisis dan mungkin menjadi satu titik tolak penting dalam menjelaskan secara lebih luas tentang komunisme yang terjadi sekarang.

Meskipun usaha-usaha yang dilakukan Negri masih sebatas eksplorasi teoritis dan kajian-kajian empirisnya dibatasi pada beberapa jenis industri utama, pihak-pihak lain telah melakukan kajian lebih lanjut terhadap perkembangan otonom kelas pekerja sepanjang tahun 1960an hingga 1970an (revolusi kultural di wilayah urban dan resistensi komunal petani serta kelompok-kelompok masyarakat adat). Kajian-kajian Negri sebagian besar terfokus pada pengembangan otonomi kelas pekerja dalam dunia kerja, sementara pihak-pihak lain mengkaji pengembangan otonomi dalam aktivitas-aktivitas yang tidak berhubungan dengan dunia kerja. Kajian-kajian tersebut telah memberikan pemahaman yang kaya tentang beragam pengalaman resistensi kreatif yang berlangsung selama krisis—tidak terlihat dan tidak dapat dihancurkan oleh represi ataupun kooptasi kapitalis.

Titik awal yang wajar agar kita bisa mengelaborasi strategi politis kelas pekerja adalah dengan memahami kekuatan kita. Konsep pengembangan mandiri ini membutuhkan kajian-kajian yang berfokus pada kekuatan kita—kekuatan yang telah mampu membatasi dan melawan dominasi kapitalis terhadap kita—, dan kemampuan kita untuk mengelaborasi berbagai alternatif. Contohnya, konsep penolakan kerja yang dapat memberikan pemahaman pada kita tentang beragam resistensi sosial yang telah menggulingkan kapitalisme ke dalam kondisi krisis. Begitu pula dengan konsep pengembangan otonom swavalorisasi yang mungkin dapat membantu kita untuk memahami dan mengelaborasi berbagai alternatif.

Seperti yang telah diungkapkan oleh Negri dalam bukunya Marx Beyond Marx yang merujuk pada Grundrisse, penciptaan komunisme bukanlah sesuatu yang terjadi di kemudian hari, tetapi sesuatu yang berulang kali muncul dalam perkembangan saat ini. Kekuatan untuk menolak kerja adalah kesempatan untuk mengkondisikan waktu dan ruang yang relatif bebas dari pembebanan kerja kapitalis. Kekuatan pengembangan diri adalah kemampuan untuk mengisi kebebasan tersebut dengan kegiatan alternatif dan bereksperimen dengan bentuk-bentuk baru relasi sosial—mengelaborasi masa depan komunistik di saat ini.

Perspektif ini membolehkan kita menyadari dan memahami (dalam kerangka teoritis dan politik Marxis) kreativitas dan imajinasi yang sedang berproses pada apa yang dikatakan sebagai “gerakan sosial baru”—yang bagi para Marxis tradisional dan Post-Marxist adalah sesuatu yang tidak berada dalam kerangka teori Marxis.

Apa yang disebut sebagai “gerakan sosial baru” adalah gerakan-gerakan yang selalu merupakan arus yang menentang keterkondisian kapital—terlepas dari apakah penggeraknya mengartikulasikan idenya demikian atau tidak. Misalnya, gerakan LGBTQIA dan gerakan perempuan tidak hanya menolak subordinasi kehidupan pada kerja tetapi juga telah memulai beragam eksperimen dalam pengembangan bentuk-bentuk baru relasi gender dan keluarga.

Gerakan ekologis, tidak hanya menyerang eksploitasi kapitalis terhadap alam, tapi juga mengembangkan beragam bentuk hubungan alternatif antara manusia dan lingkungannya. Dalam perkembangannya, gerakan-gerakan ini saling mempengaruhi, misalnya pengadopsian berbagai praktek kultural alternatif yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat adat dan pra-kapitalis. Tentu saja, bukan berarti gerakan-gerakan ini serta merta langsung terbebaskan dari kritik politik hanya karena kita telah menyertakan mereka ke dalam kerangka gerakan Marxis; seperti juga kita harus selalu bersikap kritis pada bentuk resistensi pekerja yang lebih familiar, seperti serikat buruh.

Tentunya juga, tidak semua kreativitas berguna dan secara otomatis menentang kapitalisme atau membantu kita dalam pembebasan diri untuk kemudian mencapai suatu kondisi yang lebih menarik. Tentunya kita akan menemui banyak pertentangan politis dengan gerakan-gerakan tersebut, seperti juga pertentangan politis kita dengan analisis sebagian besar kaum Marxis. Sama halnya dengan beragam bentuk “politik identitas”—yang selalu mengedepankan perbedaan politis dan menolak segala kemungkinan untuk melakukan dialog politis. Hal-hal yang mungkin lebih menarik untuk diperhatikan adalah pentingnya untuk memahami aspek-aspek positif dari beragam resistensi tersebut dan bagaimana kekuatan-kekuatan sosial tersebut dapat memberikan kontribusi dalam suatu konstruksi komunis.

Daftar Pustaka

Buku
  1. Cleaver, Harri. 2000. Reading Capital Politically, 2nd ed. Texas: University of Texas Press.

  2. Nick Dyer-Withefold. 2004. Autonomist Marxism and the Information Society. Canberra: Treason Press.

  3. Wright, Steve. 2002. Storming Heaven – Class Composition and Struggle in Italian Autonomist Marxism. London: Pluto Press.

Website

Glosarium

  • Fordisme: Perkembangan sistem produksi industrial pasca Taylorisme, di mana “rasionalisasi produksi” diterapkan dengan pemecahbelahan proses produksi menjadi serangkaian unit-unit produksi dan pereduksian keterampilan pekerja seiring dengan ditingkatkannya fungsi beragam jenis mesin. (Lihat juga Taylorisme)

  • Pabrik sosial: Merujuk pada masyarakat kapitalis di mana kerja telah melampaui pabrik dan kantor, di mana seluruh aspek kehidupan didominasi oleh kerja untuk mereproduksi kapital. Contohnya, kehidupan domestik berfungsi untuk mengelola tenaga kerja dan mereproduksi tenaga kerja baru. Lihat tulisan ini yang memberikan argumen tentang bagaimana kapitalisme membentuk tatanan masyarakat yang secara fundamental adalah pabrik sosial.

  • Pembebanan kerja: Dalam perspektif otonomis, kapitalisme bukan hanya relasi sosial berdasarkan eksploitasi pekerja untuk mendapatkan nilai lebih dari kerja, tapi juga suatu sistem yang membebankan kerja pada seluruh aspek kehidupan. Berbeda dengan Marxis tradisional yang menganggap bahwa revolusi adalah tentang pembebasan kerja dari relasi kerja yang mengalienasi—bagi Otonomis, pendominasian waktu manusia secara kuantitatif oleh kerja merupakan alienasi itu sendiri. Di sini Otonomis berpendapat bahwa resistensi perlu diarahkan untuk pengurangan kerja secara substansial. Dalam perspektif ini, pasca-kapitalisme diartikan sebagai kemungkinan untuk menentukan pola-pola kehidupan yang terbebaskan dari kerja, di mana kerja hanya merupakan salah satu bentuk dari keragaman aktivitas dan eksistensi manusia.

  • Swavalorisasi (self-valorization): Merujuk pada kemampuan untuk menggagas, mencipta, dan mengembangkan berbagai relasi sosial, kesadaran, dan berbagai swaaktivitas lainnya yang merupakan alternatif dari relasi, kesadaran, dan aktivitas di bawah dominasi kapitalisme. Swavalorisasi dalam perspektif Otonomis merupakan hal-hal yang menyangkut konstruksi atau titik tolak penataan masyarakat pasca-kapitalisme. Seperti yang diungkapkan otonomis: “komunisme bukanlah sesuatu yang dikonstruksikan nanti, tapi merupakan sesuatu yang berkali-kali tercetus dalam sejarah dan kehidupan kontemporer”.

  • Sirkulasi resistensi: Konsep Otonomis untuk mendeskripsikan tentang penyebaran perlawanan terhadap kapitalisme seiring dengan perpindahan kapital. Contohnya, secara sederhana, perpindahan modal dari wilayah-wilayah yang dianggap sebagai negeri “kapitalisme lanjut” misalnya Jerman ke Vietnam (yang dianggap lebih terbelakang), salah satunya adalah akibat kekuatan resistensi terhadap modal di Jerman. Perpindahan modal seperti ini juga akan membawa perpindahan resistensi.

  • Swaaktivitas: Beragam tindakan, kegiatan, pengorganisasian, dan lain sebagainya, yang dilakukan oleh suatu kelompok berdasarkan keinginan, inisiatif, dan kepentingan kelompok itu sendiri (lihat juga swakelola).

  • Swakelola: Merujuk pada bagaimana suatu kelompok mempunyai kemandirian, bebas dari intervensi pihak luar dalam pengambilan keputusan, pengaturan, pengelolaan, dan pelaksanaan beragam hal. Swakelola tidak berarti absennya solidaritas, dukungan, atau kerjasama antar kelompok. Interaksi antar kelompok didasari pada suatu pengertian bahwa tidak ada kelompok yang mendominasi dan juga tidak ada kelompok yang didominasi.

  • Taylorisme: Konsep produksi yang berkembang sejak sebelum Perang Dunia I. Penerapannya sebagai sebuah sistem produksi bercirikan pada perencanaan jangka panjang dalam produksi, operasi, dan kendali. (Lihat juga Fordisme).

[1] Termasuk pekerja domestik (istri) yang tidak diupah, masyarakat adat, masyarakat subsisten, mahasiswa yang merupakan calon proletariat masa depan, dan orang-orang dari sektor lainnya yang terintegrasi ke dalam aliran akumulasi kapital—subyek-subyek yang terdominasi oleh disiplin pembebanan kerja kapitalis.

[2] Lihat konsep self-valorization (swavalorisasi) yang dijelaskan pada bagian Glosarium