Ruth Kinna
Teori dan Praktik Anarkisme
(The Theory and Practice of Anarchism)
Anarkisme secara rutin menarik pers untuk menarasikan keburukan. Tindakan segelintir ‘kelakuan propagandis’ membentuk persepsi populer di abad kesembilan belas. Kisah para pembom dan pembunuh ini bukan hanya bentuk kesanggupan dari literatur murahan, mereka juga menata penggambaran anarkis Joseph Conrad. Cerita Conrad tentang intrik dan pengintaian sekarang dapat dianggap sebagai peninggalan budaya Victoria, tetapi ketika Twin Towers dihancurkan di Manhattan, perhatian terhadap anarkisme melonjak; sejumlah komentar yang dimaksudkan untuk menunjukkan asal-usul anarkis menyusul dari kekerasan Al-Qaeda. Meski kurang dramatis, tetapi sama-sama mengatakan, adalah ‘tuduhan’ yang baru-baru ini diajukan kepada anggota Extinction Rebellion, bahwa gerakan itu adalah kedok untuk aktivisme anarkis.
Apa itu Anarkisme?
Munculnya Gerakan
Anarkisme muncul sebagai arus yang khas dalam sosialisme Eropa pada tahun 1870-an ketika perselisihan antara Mikhail Bakunin, seorang veteran revolusi 1848, dan Karl Marx, tokoh sosialisme internasional, yang akhirnya menjadi pemimpin di Asosiasi Pekerja Internasional (Internasional Pertama). Asal usul argumen intelektual mereka dapat dilacak pada perselisihan sebelumnya antara Marx dan Pierre-Joseph Proudhon, penulis What is Property? (1840) yang menciptakan frase tidak bermoral: ‘properti adalah pencurian’. Tetapi penyebab langsung perpecahan itu adalah penolakan Bakunin terhadap proposal Marx untuk organisasi partai-partai sosialis. Rencana itu masih bersinar di mata Marx, tetapi menurut Bakunin itu membuka jalan untuk menghasut sosialisme melalui perebutan kekuasaan negara. Gagasan mengambil kekuasaan untuk mengakhiri kekuasaan kelas sangat konyol, menurut Bakunin: lebih memungkinkan menghasilkan korupsi daripada transformasi. Dan bahkan jika perwakilan sosialis berhasil menahan rayuan kekuasaan, dia mengira rencana Marx salah besar karena negara bukan hanya alat kekuasaan kelas. Itu adalah sistem dominasi yang memisahkan penguasa dari yang diperintah. Pencapaian tanpa kelasnya hanya akan membuat hierarki ini tetap utuh. Akan ada semacam kesetaraan tetapi otoritas akan tetap ada.
Menyebut diri mereka ‘anti-otoritarian’, kaum Bakuninis mencap Marx dan para pengikutnya sebagai sosialis ‘otoritarian’. Pada akhir dekade, label telah berubah. Anti-otoritarian menjadi anarkis dan Marxis terorganisir sebagai ‘sosial demokrat’. Label ini bertahan sampai Lenin mencap ulang kaum sosial demokrat sebagai ‘reformis’ dan menyebut sosialisme revolusioner sebagai ‘komunisme’.
Batas-batas antara sosialis masih cukup melebur untuk sebagian besar pada akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh, tetapi dua peristiwa—Komune Paris tahun 1871 dan Pengadilan Haymarket tahun 1887—menjadi titik fokus pengorganisasian anarkis, memicu penciptaan jaringan global gerakan sosialis libertarian. Kedua peristiwa ini juga menghasilkan profil publik dari kaum anarkis sebagai penjahat dan sejumlah anggapan radikalisasi aktivis dari kejadian itu. Komune didirikan pada akhir perang Perancis-Prusia sebagai tanggapan atas permintaan yang dibuat oleh pemerintah nasional yang baru dideklarasikan untuk menyerahkan senjata kota. Menolak, para pekerja Paris membalas tuntutan dengan menunut adanya pemerintahan sendiri, bertahan melawan pihak berwenang selama dua bulan. Perlawanan berakhir dengan pertumpahan darah, pembantaian terbesar di Eropa pada abad kesembilan belas. Dua puluh ribu Komunard[1] diperkirakan telah dieksekusi dan ratusan lainnya dipenjarakan atau dideportasi. Mereka tidak semuanya anarkis, tetapi demonisasi[2] Komunard sebagai revolusioner yang berjuang untuk pemerintahan sendiri diiringi dengan politik anti-otoritarian.
Peristiwa Haymarket sepenuhnya merupakan peristiwa anarkis. Menyusul penembakan terhadap para pemogok yang terlibat dalam kampanye kerja delapan jam sehari pada Mei 1886, kaum anarkis di Chicago mengorganisir unjuk rasa di Haymarket Square kota. Ledakan bom dan tembakan yang menyusul kepanikan menyebabkan tujuh petugas polisi tewas. Polisi berasumsi bahwa kaum anarkis bertanggung jawab dan delapan aktivis terkenal dituduh melakukan konspirasi. Tidak ada bukti kuat untuk menyatakan bersalah ke siapapun dari mereka dan ketidakberesan persidangan diketahui pada tahun 1893 ketika hukuman dibatalkan. Namun keputusan ini datang terlambat untuk lima terdakwa, empat di antaranya telah digantung dan satu orang bunuh diri sambil menunggu eksekusi. Selain itu, pada saat itu, The Red Scare[3] yang disulut Haymarket juga telah mempercepat terciptanya gerakan sosialis libertarian yang mencirikan semua pemerintahan—liberal atau otokratis—sebagai tirani.
Melawan Dominasi
Kaum anarkis terkadang dikritik karena menolak mengakui keuntungan dari pemerintahan liberal. Ini tidak akurat. Kaum anarkis biasanya mengakui bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara rezim demokratis dan otoriter dan bahwa dimungkinkan untuk membedakan antara bentuk-bentuk pemerintahan. Argumen mereka adalah pemerintah memerlukan dominasi, yaitu mempertahankan ketidaksetaraan kekuasaan, dan ini membentuk hubungan sosial. Bagi Proudhon, pembelaan atas kepemilikan pribadi, yang diabadikan dalam konstitusi republik dan liberal, adalah bentuk ketimpangan kekuasaan yang paling jahat. Ini menegaskan kembali prinsip ‘properti untuk disia-siakan’. Deskripsi grafis Dostoevsky tentang Mikolka, petani pemabuk dalam Crime and Punishment yang berkali-kali mengakui hak kepemilikannya untuk membela kudanya dari pembunuhan secara brutal, menggambarkan inti dari kritik Proudhon. Dalam rezim properti, pemilik dapat memperluas perkebunan mereka tanpa henti dan membiarkannya mangkrak. Hak mereka juga mencetuskan adanya hubungan ketergantungan: kesejahteraan tanpa properti bertumpu pada keinginan mereka. Ketidakadilan peraturan itu disorot oleh penegak hukum monopoli kekerasan negara. Pekerja ditetapkan sebagai agen bebas. Mereka tidak tunduk pada perintah tuannya. Faktanya, mereka bebas menandatangani kontrak dan pekerja serta majikan bisa mengharapkan hukuman jika salah satu dari mereka melanggar ketentuan perjanjian mereka. Tetapi dalam hubungan ini tangan pemilik selalu berada di atas. Mereka dapat melarang pekerja mengakses properti mereka. Mereka dapat mengurangi upah untuk kebutuhan sehari-hari dan memanggil polisi jika para pekerja melakukan pemogokan.
Kaum anarkis menggambarkan situasi tanpa properti terhadap perbudakan oleh kuasa tunggal. Lucy Parsons, seorang anarkis kulit hitam yang terlahir sebagai budak, berpendapat bahwa Perang Sipil Amerika telah dilakukan dengan sia-sia: perbudakan belum dihapuskan, melainkan hanya berubah. Secara teori, dia sekarang adalah wanita bebas, namun dia masih bergantung pada niat baik majikan-majikan untuk kelangsungan hidupnya. Puluhan ribu tunawisma, pekerja yang kelaparan berada di posisi yang sama.
Kaum anarkis mengidentifikasi hubungan ketergantungan yang serupa di ranah domestik. Perempuan didominasi oleh laki-laki seperti halnya pekerja didominasi oleh majikan, meskipun dampaknya terasa berbeda: pemerkosaan dalam pernikahan, penolakan hak atas anak, akses pendidikan yang terbatas dan pengecualian secara rutin dari partisipasi kehidupan publik. Dan dalam hubungan internasional, juga, negara-negara Eropa mendominasi orang-orang non-Eropa dengan cara yang paling brutal, secara bergiliran memperlakukan penduduk pribumi layaknya anak-anak dan non-human animals[4]. Bagaimanapun, ‘peradaban’ dapat dikatakan bergantung pada aturan tuan-tuan yang tercerahkan.
Kekerasan Komune dan Haymarket meyakinkan kaum anarkis bahwa transformasi sosial yang dijanjikan oleh kaum revolusioner abad kedelapan belas di Inggris, Amerika, dan Prancis telah gagal terwujud. Rezim konstitusional baru yang dirancang untuk menggantikan otokrasi hanya melembagakan bentuk-bentuk penindasan baru. Kaum anarkis mengakui bahwa layak untuk membayangkan penyembuhan perubahan dalam rezim-rezim ini—hukum perburuhan yang lebih bebas dan feminisasi hukum keluarga, misalnya. Tetapi mereka menyimpulkan bahwa upaya untuk membuat undang-undang untuk kesetaraan hanya akan menghasilkan pelestarian norma-norma yang berlaku, yang mendorong perjuangan permanen atas supremasi. Anarki adalah satu-satunya solusi.
Anarkis, Sosialis, dan Libertarian
Kaum anarkis mendefinisikan diri mereka sebagai sosialis libertarian anti-kapitalis. Sementara mereka setuju dengan kaum Marxis bahwa penghapusan keunggulan kelas adalah syarat kunci atas emansipasi, kritik Proudhon terhadap properti menyoroti kebodohan yang mengganti kepemilikan pribadi dengan kepemilikan negara. Semua instrumen represi akan tetap ada, sekarang itu digunakan untuk memaksakan pandangan partai tentang kebaikan umum terhadap proletariat. Sosialisme anarkis menuntut agar semua institusi negara—parlemen, pengadilan, polisi, militer—ditinggalkan bersama dengan hak eksklusif atas properti. Bagi kebanyakan kaum anarkis, ini berarti melandasi ulang pengambilan keputusan dalam asosiasi lokal pada model Komune Paris, dan membangun solidaritas melalui federasi ‘dari bawah ke atas’ atas dasar kesetaraan ekonomi.
Pada tahun 1880-an mungkin sebagian besar anarkis diidentifikasi sebagai komunis dan menyerukan agar semua properti dimiliki bersama untuk mencegah siapa pun mengklaim kepemilikan selamanya. Yang lainnya mengadvokasi properti yang digunakan (sebagaimana Proudhon menyebutnya). Proposal mereka adalah untuk memberikan hak akses individu ke sebidang kecil tanah, peralatan dan apapun yang mereka hasilkan, memfasilitasi pertukaran dengan orang lain. Properti akan dimiliki sebagai kepemilikan sementara, bukan aset permanen. Komunis khawatir bahwa skema ini masih menimbulkan masalah akumulasi dan diasumsikan bentuk dari budaya persaingan juga. Beberapa produsen akan lebih efisien daripada yang lain atau memiliki bahan mentah atau peralatan yang lebih baik dan dapat memperkaya diri mereka sendiri. Ini akan memberikan insentif kepada mereka untuk melindungi keuntungan dan menghidupkan kembali sistem negara guna menjalankannya.
Dari perspektif kaum individualis, komunisme bernada persetujuan yang represif. Individualis, mereka khawatir, akan diwajibkan untuk menghormati praktik komunal. Komunis menanggapi dengan menyatakan bahwa pengaturan mereka didasarkan pada ‘kesepakatan bebas’. Artinya, keputusan akan diambil langsung oleh anggota asosiasi sesuai dengan aturan fleksibel yang dapat disesuaikan untuk melindungi dari dominasi. Dengan kata lain, komunis mengakui bahwa beberapa lebih kuat daripada yang lain tetapi percaya bahwa, dengan tidak adanya otoritas yang dilembagakan, kekuatan yang tidak setara otomatis batal satu sama lain. Dalam anarki, tidak ada yang bisa secara permanen memaksakan kehendak mereka pada orang lain dan semua orang dibatasi oleh prinsip non-dominasi.
Bagaimana perselisihan itu diselesaikan? Dalam praktiknya, kaum anarkis telah mengadopsi metode campuran. Dalam revolusi Spanyol (1936–1939), kolektif pertanian sering memulihkan tanah kota dan mesin sebagai hal yang biasa sementara mengizinkan individu untuk memiliki beberapa properti untuk diri mereka sendiri.
Anarkisme Dievaluasi Ulang
Antara tahun 1881 dan 1914, kaum anarkis bertanggung jawab atas beberapa pembunuhan yang mencolok. Kepala negara Rusia, Prancis, Italia, Spanyol, dan AS dibunuh oleh kaum anarkis. Tetapi alasan anarkisme menarik pers untuk menarasikan keburukan bukan karena terjebaknya segelintir aktivis dalam siklus kekerasan, mengadopsi taktik yang telah disempurnakan oleh kaum republik guna menjawab represi negara. Kekerasan anarkis jarang dikaitkan dengan penolakan terhadap tirani dalam masyarakat yang sopan, meskipun beberapa kaum liberal diam-diam menyatakan bahwa Tsar Alexander II mungkin melakukan pembunuhan atas dirinya sendiri. Pandangan yang luar biasa adalah bahwa kekerasan yang dilakukan kaum anarkis melambangkan penolakan umum untuk terikat oleh norma-norma sosial. Anarki yang dulu, dan masih dibayangkan sebagai jenis gangguan terburuk: pengabaian hukum, bahkan dari semua aturan. Kaum anarkis berpendapat berbeda. Aturan adalah bagian dari kehidupan sosial. Penyalahgunaan hukum untuk membela kepentingan segelintir, membungkam perubahan dan menentukan isi moralitas adalah masalahnya. Untuk elit industri-militer, sebagaimana C. Wright Mills menyebut mereka, pengabaian hukum mengancam kekacauan. Bagi kaum anarkis, ini menjanjikan prospek pemerintahan sendiri, menggantikan kepercayaan pemerintah pada ‘rakyat’ dengan keyakinan yang tulus bahwa orang dapat mengatur urusan mereka sendiri dengan bekerja sama dengan orang lain.
Tentang Penulis
Profesor Ruth Kinna adalah Dosen Politik di Universitas Loughborough, Inggris. Dia adalah co-editor jurnal Anarchist Studies dan penulis The Beginner’s Guide to Anarchism (Oneworld, 2005/2009) dan Kropotkin: Reviewing the Classical Anarchist Tradition (University of Edinburgh, 2016). Penelitiannya berfokus pada sosialisme dan anarkisme di Inggris abad ke -19.
[1] Anggota komune –Penerj.
[2] Secara metaforis merujuk pada propaganda atau kepanikan moral yang ditujukan kepada individu atau kelompok –Penerj.
[3] Promosi ketakutan yang meluas dari kenaikan potensi komunisme atau anarkisme oleh masyarakat atau negara –Penerj.
[4] Gagasan bahwa hewan-hewan tertentu memiliki status moral yang signifikan –Penerj.