Ted Kaczynski
Muslihat Rapi Sistem yang Berkuasa
“Kemewahan tertinggi masyarakat teknologi adalah pemberian bonus pemberontakan yang tak berguna dan senyum persetujuan tanpa protes.” – Jacques Ellul [1]
Sistem yang berkuasa telah memainkan tipu dayanya terhadap para calon revolusioner dan pemberontak saat ini. Tipu daya ini sangat manis dan jika memang diciptakan secara sadar dan terencana maka kita patut mengaguminya karena keeleganannya yang matematis.
1. APA YANG BUKAN SISTEM
Mari kita mulai memperjelas apa yang bukan Sistem yang berkuasa saat ini. Sistem itu bukanlah Presiden George W. Bush dan anak buahnya, bukan juga polisi yang menganiaya para pendemo, bukan pula bos-bos perusahaan multinasional, dan bukan pula para ilmuwan gila yang dengan sembarangan bermain-main dengan gen makhluk hidup di laboratorium. Orang-orang ini adalah para pelayan Sistem, tapi mereka sendiri bukanlah Sistem itu. Bila dilihat lebih jauh, bisa saja nilai-nilai dan prinsip-prinsip pribadi mereka malah bertentangan dengan tugasnya yang harus melayani Sistem.
Sebagai contoh, Sistem yang berkuasa mengharuskan kepatuhan terhadap hak-hak kepemilikan, namun para bos, polisi, ilmuwan, dan politisi kadang-kadang mencuri juga. (Ketika berbicara tentang mencuri, pengertiannya bukan berarti hanya mencuri objek-objek secara fisik. Bisa juga berarti menerapkan cara-cara ilegal untuk memperoleh properti, misalnya seperti mengemplang pajak, menerima suap, dan bentuk-bentuk lain dari sogokan dan korupsi). Tapi kenyataan bahwa para bos, polisi, ilmuwan dan politisi kadang mencuri ini bukan berarti bahwa mencuri adalah bagian dari Sistem. Bahkan sebaliknya, ketika seorang polisi atau politisi mencuri sesuatu, sebenarnya dia sedang memberontak terhadap aturan Sistem yang mengharuskan kepatuhan pada hukum dan hak kepemilikan. Namun tetap saja, bahkan ketika orang-orang inipun mencuri, mereka tetap pelayan-pelayan Sistem, selama mereka secara terbuka mempertahankan dukungannya terhadap hukum dan hak kepemilikan.
Apapun tindakan ilegal yang dapat dilakukan politisi, polisi, atau para bos secara individual: pencurian, penyogokan, dan korupsi tetaplah bukan bagian dari Sistem, malah inilah penyakit di dalam Sistem. Semakin sedikit ada pencurian, semakin baik Sistem bekerja. Itulah sebabnya para pelayan dan penggerak sistem selalu mengadvokasikan kepatuhan terhadap hukum secara terbuka, bahkan ketika merekapun kadang-kadang melanggar juga secara diam-diam.
Ambil contoh lain, walaupun polisi adalah penegak hukum, kebrutalan polisi bukanlah bagian dari Sistem. Ketika polisi memukuli seorang tersangka, mereka sedang tidak menjalankan Sistem, mereka hanya sedang melepaskan kemarahan dan kebencian mereka. Tujuan dari Sistem bukanlah kebrutalan atau mengekspresikan kemarahan. Terkait pekerjaan polisi, tujuan Sistem adalah untuk memaksa kepatuhan terhadap aturan-aturan yang telah dibuat dan untuk mencapai tujuan ini sangat tidak diharapkan adanya gangguan, kekerasan, dan citra buruk. Oleh karenanya, dari sudut pandang Sistem yang berkuasa, polisi ideal adalah polisi yang tidak pernah marah, menggunakan kekerasan seminimal mungkin, dan sebisa mungkin mengandalkan manipulasi daripada pemaksaan secara fisik dalam mengendalikan keadaan. Kebrutalan polisi hanyalah salah satu penyakit Sistem, bukan bagian dari Sistem itu sendiri.
Buktinya, lihat saja sikap media. Media-media mainstream secara keseluruhan mengutuk kekerasan yang dilakukan polisi. Tentu saja sikap media mewakili, seperti sebuah aturan, konsensus opini di antara kelas-kelas berkuasa di masyarakat kita yang menentukan apa yang baik buat Sistem.
Apa yang baru saja dibahas tentang pencurian, korupsi, dan kebrutalan polisi juga berlaku untuk isu-isu diskriminasi seperti rasisme, seksisme, homofobia, kemiskinan, dan upah murah. Kesemuanya buruk untuk Sistem. Sebagai contoh, saat orang kulit hitam semakin dicemooh atau dikucilkan, semakin mereka akan menjadi-jadi melakukan tindak kejahatan dan sedikit kemungkinan mereka mengedukasi dirinya untuk meniti karir yang kelak akan berguna untuk Sistem.
Teknologi modern, dengan sarana transportasi jarak jauhnya dan gangguannya terhadap cara hidup tradisional, telah mencampuradukkan populasi, sehingga di zaman sekarang orang-orang dari berbagai ras, kewarganegaraan, budaya dan agama harus hidup dan bekerja berdampingan. Jika seseorang membenci atau menolak orang lain karena alasan ras, etnis, agama, preferensi seksual dan lainnya, maka konflik yang ditimbulkan karenanya dapat mengganggu jalannya fungsi Sistem yang berkuasa. Terlepas dari sedikit relik tua yang telah menjadi fosil seperti Jesse Helms (pemimpin pergerakan konservatif yang dikenal rasis), para pemimpin Sistem ini tahu dengan sangat baik dan karenanya kita diajari di sekolah dan melalui media untuk percaya bahwa rasisme, seksisme, homofobia dan semacamnya itu adalah setan-setan sosial yang harus dilenyapkan.
Tidak heran beberapa pemimpin sistem ini, para politisi, ilmuwan, dan para bos, secara diam-diam merasa bahwa tempat wanita adalah di rumah, atau bahwa homoseksual dan pernikahan beda ras itu menjijikkan. Tetapi bahkan ketika mayoritas dari mereka merasa seperti itu pun, bukan berarti rasisme, seksisme, dan homofobia adalah bagian dari Sistem – sama seperti mencuri, walaupun dilakukan para pemimpin Sistem, adalah bukan bagian dari Sistem. Hanya saja Sistem harus mempromosikan kepatuhan pada hukum dan hak kepemilikan demi menjaga keamanan agar Sistem yang berkuasa ini dapat terus berjalan. Untuk alasan yang sama, Sistem juga menolak rasisme dan bentuk-bentuk lain diskriminasi.
Buktinya, lihat lagi sikap media mainstream. Terlepas dari sesekali adanya perbedaan pendapat dari sedikit orang, propaganda media sangat mendukung kesetaraan gender, ras, dan penerimaan homoseksualitas dan pernikahan yang berbeda ras.[2]
Sistem yang berkuasa membutuhkan populasi yang lembut, tanpa kekerasan, terjinakkan, penurut, dan patuh. Ia perlu menghindari dirinya dari berbagai jenis konflik dan gangguan yang bisa menghambat fungsi mesin sosial yang berjalan tertib. Selain meredakan permusuhan antar ras, etnis, agama dan grup lainnya, Sistem ini juga harus menekan dan memberangus tendensi-tendensi lain yang bisa menciptakan hambatan dan kekacauan, seperti machismo (sikap maskulin yang ekstrim/harga diri berlebih terhadap kejantanan), dorongan untuk berbuat agresif dan semua kecendrungan kekerasan lainnya.
Secara alamiah, antagonisme ras dan etnis tradisional mati secara perlahan-lahan. Machismo, sifat agresif, dan dorongan untuk melakukan kekerasan tidak mudah dihilangkan, dan sikap terhadap seks dan identitas gender tidak bisa ditransformasi dalam waktu semalam. Karenanya ada banyak orang yang menolak perubahan ini, dan Sistem harus mengatasi perlawanan mereka.[3]
2. BAGAIMANA SISTEM MENGEKSPLOITASI DORONGAN UNTUK MEMBERONTAK
Kita semua yang hidup di masyarakat modern dikepung oleh jaringan peraturan dan regulasi yang padat. Kita hidup di atas belas kasihan organisasi-organisasi besar seperti korporasi, pemerintahan, serikat buruh, universitas, gereja, dan partai politik, dan karenanya kita tidak berdaya. Sebagai hasil dari perhambaan kita, ketidakberdayaan, dan penghinaan-penghinaan yang dibebankan Sistem ke kita, muncul rasa frustrasi yang berkembang, yang menyebabkan munculnya dorongan untuk memberontak. Dan disinilah dimana Sistem yang berkuasa memainkan tipu dayanya yang sangat lihai: melalui campur tangan yang brilian, ia mengubah pemberontakan menjadi keuntungan bagi dirinya.
Banyak orang tidak memahami akar dari rasa frustrasinya, sehingga pemberontakan mereka menjadi tanpa arah. Mereka tahu mereka ingin memberontak tetapi tidak tahu memberontak melawan siapa/apa. Untungnya, sistem mampu mengisi kebutuhan memberontak mereka dengan menyediakan sederetan isu standar dan klise: rasisme, homofobia, isu-isu wanita, kemiskinan, upah murah…semua timbunan isu “aktivis”.
Para calon pemberontak dalam jumlah besar menangkap umpan ini. Dalam berperang melawan rasisme, seksisme, dll, dll, mereka hanya melakukan kerja-kerja yang dibuat Sistem. Meskipun begitu, mereka berimajinasi bahwa mereka sedang memberontak melawan Sistem. Bagaimana itu mungkin?
Pertama, 50 tahun lalu Sistem belum mengakui persamaan hak untuk orang kulit hitam, wanita dan homoseksual, jadi aksi yang mendukung isu tersebut benar-benar suatu bentuk pemberontakan. Konsekuensinya, isu-isu tersebut secara konvensional dianggap sebagai isu pemberontak. Status isu-isu tersebut dipelihara hingga hari ini hanya karena tradisi, karena setiap generasi pemberontak menjiplak generasi sebelumnya.
Kedua, ada orang-orang dengan jumlah yang signifikan, seperti yang dibahas sebelumnya, yang menolak perubahan sosial seperti yang Sistem inginkan, dan orang-orang tersebut bahkan termasuk figur-figur otoritas, seperti polisi, hakim atau politisi. Para penolak perubahan tersebut menyediakan target untuk para calon pemberontak, yakni seseorang untuk diprotes dan ditolak. Komentator seperti Rush Limbaugh membantu proses ini dengan menghina-hina balik aktivis — sebab dengan melihat ada orang yang bereaksi terhadap aksi mereka dapat memelihara ilusi bahwa mereka sedang memberontak.
Ketiga, untuk membawa diri mereka masuk ke dalam konflik bahkan dengan mayoritas pemimpin Sistem yang setuju menerima perubahan sosial yang sistem inginkan, para calon pemberontak bersikeras terhadap solusi-solusi yang lebih jauh lagi daripada yang dianggap pas oleh para pemimpin Sistem, para calon pemberontak ini juga menunjukan kemarahan berlebih pada hal-hal sepele. Contohnya, mereka menuntut pembayaran ganti rugi untuk orang kulit hitam, dan sering mengamuk pada kritikan yang ditujukan ke grup minoritas, tidak peduli betapa hati-hati dan beralasannya kritik tersebut.
Dengan ini para aktivis mampu mempertahankan ilusi bahwa mereka memberontak terhadap Sistem. Tapi ilusi ini absurd. Agitasi melawan rasisme, seksisme, homofobia dan semacamnya tidak lebih membangun pemberontakan daripada agitasi melawan korupsi politik dan semacamnya. Mereka yang bekerja melawan korupsi tidak sedang memberontak tapi malah bergerak sebagai penegak Sistem: Mereka membantu membuat para politisi patuh kepada hukum. Mereka yang bekerja melawan rasisme, seksisme dan homofobia juga berbuat seperti penegak Sistem: Mereka membantu Sistem memberangus sikap-sikap rasis, seksis, dan homofobik yang menyebabkan masalah untuk Sistem.
Tapi aktivis tidak hanya beraksi seperti penegak Sistem. Mereka juga melayani seperti sebuah penangkal petir yang melindungi Sistem dengan mengalihkan kebencian publik menjauh dari Sistem itu sendiri dan institusi-institusinya. Contohnya, ada beberapa keuntungan buat Sistem jika wanita bisa keluar dari rumah dan memasuki dunia kerja. Lima puluh tahun lalu, jika Sistem, seperti yang direpresentasikan oleh pemerintah atau media, tiba-tiba memulai kampanye propaganda bahwa wanita yang lebih memilih bekerja di kantor bisa diterima secara sosial, penolakan alami manusia terhadap perubahan bisa menyebabkan munculnya kebencian publik kepada Sistem. Apa yang sebenarnya terjadi adalah perubahan ini dipelopori oleh feminis-feminis radikal, dimana institusi-institusi Sistem membuntuti mereka di jarak aman. Kebencian kaum konservatif di masyarakat terutamanya diarahkan kepada feminis radikal dibanding kepada Sistem dan institusinya, karena perubahan yang disponsori Sistem terlihat lebih perlahan dan moderat dibanding dengan solusi radikal yang diadvokasi para feminis, dan bahkan perubahan yang termasuk pelan ini pun terlihat seperti dipaksakan ke Sistem oleh kaum radikal.
3. MUSLIHAT SISTEM YANG RAPI
Singkatnya, muslihat sistem yang berkuasa adalah:
-
Demi efisiensi dan keamanannya, Sistem harus membuat perubahan sosial yang radikal dan mendalam untuk beradaptasi dengan perubahan kondisi yang disebabkan oleh kemajuan teknologi.
-
Rasa frustrasi yang muncul dalam situasi yang disebabkan oleh Sistem menyebabkan bangkitnya dorongan-dorongan untuk memberontak.
-
Dorongan untuk memberontak ini dikooptasi Sistem untuk melayani perubahan sosial yang dibutuhkan. Aktivis “memberontak” melawan nilai-nilai lama dan usang yang sudah tidak dibutuhkan Sistem dan mendukung nilai-nilai baru yang Sistem ingin kita terima.
-
Dengan ini dorongan-dorongan untuk memberontak yang seharusnya berbahaya untuk Sistem, dialihkan, sehingga bukan saja jadi tidak berbahaya, malah menjadi berguna untuknya.
-
Banyak kebencian publik yang muncul karena perubahan-perubahan sosial ditarik menjauh dari Sistem dan institusinya, dan diarahkan ke kaum radikal yang mempelopori perubahan itu.
Tentu saja tipu daya ini tidak direncanakan sebelumnya oleh para pemimpin Sistem. Mereka tidak sadar bahwa mereka sedang memainkan muslihat ini. Cara bekerjanya kurang lebih seperti ini:
Ketika memutuskan posisi apa yang diambil dalam suatu isu, editor, penerbit, dan pemilik media harus secara sadar atau tidak sadar menjaga keseimbangan beberapa faktor. Mereka harus mempertimbangkan bagaimana pembaca atau pemirsa mereka akan bereaksi terhadap apa yang mereka cetak atau siarkan tentang sebuah isu, mereka harus mempertimbangkan bagaimana para pemasang iklan, rekannya di media, dan orang-orang berkuasa lainnya akan bereaksi, dan mereka mesti mempertimbangkan efek dari apa yang mereka cetak atau siarkan terhadap keamanan Sistem.
Pertimbangan-pertimbangan praktis ini biasanya akan menutupi penilaian pribadi mereka tentang isu tersebut. Perasaan pribadi para pemimpin media, pemasang iklan, dan orang-orang berkuasa bisa bervariasi. Mereka bisa jadi liberal atau konservatif, relijius atau ateistik. Satu-satunya kesamaan para pemimpin media adalah komitmen mereka kepada Sistem, keamanannya, dan kuasanya. Oleh karenanya, dalam keterbatasan hal yang mungkin bisa diterima publik, faktor prinsip atas apa yang bisa disebarluaskan oleh media ditentukan oleh konsensus pendapat diantara pemimpin-pemimpin media dan orang berkuasa lainnya sebagaimana baiknya untuk Sistem.
Sehingga, ketika seorang editor atau pemimpin media menentukan sikap yang akan diambil terhadap suatu isu, pikiran pertamanya adalah apabila isu tersebut memiliki akibat yang baik atau buruk terhadap Sistem yang berkuasa. Mungkin ia mengatakan pada dirinya sendiri bahwa keputusannya berdasarkan landasan moralitas, filsafat, atau agama, tapi adalah sebuah fakta lapangan bahwa dalam menerapkan keamanannya, Sistem ini telah mengungguli faktor-faktor lain dalam pengambilan sikap media.
Sebagai contoh, jika seorang editor koran melihat pergerakan milisi, ia mungkin saja bersimpati atau tidak bersimpati terhadap tujuan dan tuntutan mereka, tapi dia juga melihat bahwa ada konsensus yang kuat di antara para pemasang iklan dan rekan-rekannya di media bahwa pergerakan milisi secara potensial berbahaya untuk Sistem yang berkuasa dan bahwa gerakan tersebut harus dihentikan. Di bawah situasi ini sang editor tahu bahwa korannya sebaiknya mengambil sikap negatif terhadap pergerakan milisi tersebut. Sikap dan respon negatif media sepertinya adalah sebagian dari alasan mengapa pergerakan milisi tersebut akhirnya mati.
Ketika editor yang sama melihat feminisme radikal, ia melihat bahwa sebagian dari gerakan tersebut yang lebih ekstrim akan sangat berbahaya untuk Sistem, namun ia juga melihat bahwa feminisme bisa jadi sangat berguna untuk Sistem. Partisipasi wanita di bisnis dan dunia teknik akan lebih mengintegrasi mereka dan keluarga mereka ke dalam Sistem. Talenta mereka akan melayani Sistem dalam bisnis dan hal-hal teknis. Feminis yang memperjuangkan berakhirnya kekerasan dalam rumah tangga dan perkosaan juga melayani kebutuhan Sistem, karena perkosaan dan kekerasan rumah tangga, sama seperti tindak kekerasan lainnya, adalah ancaman untuk Sistem. Mungkin yang paling penting, si editor menyadari bahwa keremehan dan kesia-siaan pekerjaan rumah tangga modern dan isolasi sosial para ibu rumah tangga modern bisa menyebabkan frustrasi serius bagi banyak wanita. Rasa frustrasi ini bisa menimbulkan masalah untuk Sistem kecuali jika wanita diberikan jalan keluar melalui karir di bisnis dan dunia teknik.
Bahkan walaupun editor ini adalah pria bertipe macho yang sebenarnya diam-diam merasa nyaman jika wanita berada di posisi bawahan, dia tahu bahwa feminisme, setidaknya dalam bentuk yang relatif moderat, baik untuk Sistem. Dia tahu bahwa sikap editorialnya harus mendukung feminisme moderat, atau ia akan menghadapi ketidaksetujuan para pemasang iklan dan orang-orang berkuasa lainnya. Inilah mengapa sikap media mainstream pada umumnya suportif terhadap feminisme moderat, bercampur-aduk terhadap feminisme radikal, dan secara konsisten memusuhi hanya posisi-posisi feminis yang paling ekstrim.
Melalui tipe proses ini, gerakan pemberontakan yang berbahaya untuk Sistem mengalami propaganda negatif, sementara gerakan pemberontakan yang diyakini bisa berguna untuk Sistem diberikan semangat secara berhati-hati di media. Penyerapan tanpa sadar terhadap propaganda media mempengaruhi calon-calon pemberontak untuk “memberontak” dalam langkah yang malah melayani kepentingan Sistem.
Intelektual-intelektual universitas juga memainkan peran penting dalam membawa trik ini. Walaupun mereka mengira dirinya adalah pemikir-pemikir independen, para intelektual (mungkin pengecualian untuk beberapa individu) adalah grup yang paling oversocialized (terlalu banyak bersosialisasi), konformis, penurut dan jinak, yang paling dimanjakan, ketergantungan, dan rapuh di Amerika saat ini. Hasilnya, dorongan-dorongan memberontak mereka secara khusus sangat kuat, tapi karena mereka tidak sanggup berpikir merdeka, pemberontakan yang sebenarnya menjadi mustahil untuk mereka. Konsekuensinya adalah mereka jadi diperdaya Sistem, yang membiarkan mereka berbuat onar dan menikmati ilusi pemberontakan tanpa benar-benar menantang nilai-nilai dasar Sistem.
Karena mereka adalah para guru untuk orang-orang yang lebih muda, para intelektual universitas ada di posisi yang menolong Sistem memainkan muslihatnya pada orang-orang muda, yang mereka lakukan dengan menyetir dorongan-dorongan memberontak orang muda ini kepada target-target standar dan klise: rasisme, kolonialisme, isu wanita, dll. Orang-orang muda yang bukan mahasiswa belajar dari media atau melalui kontak personal tentang isu “keadilan sosial” yang diperjuangkan mahasiswa, merekapun akhirnya meniru para mahasiswa. Begitulah budaya di kalangan anak muda yang akhirnya berkembang.
Ada stereotype model pemberontakan yang menyebar melalui tiru meniru teman ini – sama seperti model rambut, model pakaian, dan ragam model lainnya.
4. MUSLIHATNYA TIDAK SEMPURNA
Secara alamiah, muslihat Sistem ini tidak bekerja secara sempurna. Tidak semua posisi yang diadopsi komunitas “aktivis” ini secara konsisten berguna untuk Sistem. Beberapa hal sulit yang dihadapi Sistem berkaitan dengan adanya dua tipe propaganda yang saling berkonflik yang digunakan, Propaganda Integrasi dan Propaganda Agitasi.[4]
Propaganda Integrasi adalah mekanisme prinsip sosialisasi dalam masyarakat modern. Inilah propaganda yang didesain untuk menanamkan di benak orang-orang mengenai sikap-sikap, kepercayaan, nilai-nilai, dan kebiasaan yang mereka harus miliki agar bisa berguna dan aman di dalam Sistem. Ia mengajarkan orang-orang untuk secara permanen membendung atau meredam dorongan-dorongan emosional yang berbahaya buat Sistem. Fokusnya adalah nilai-nilai mendalam dan sikap-sikap jangka panjang dalam penerapan yang luas, bukan pada sikap-sikap terhadap isu kekinian yang spesifik.
Propaganda Agitasi bermain dengan emosi orang-orang untuk memunculkan sikap-sikap dan tingkah laku tertentu dalam situasi spesifik yang sedang berlangsung. Bukannya mengajar orang untuk meredam emosinya, propaganda ini justru menstimulasi beberapa emosi untuk tujuan tertentu dalam waktu tertentu.
Sistem membutuhkan populasi yang secara tertib patuh, koperatif, pasif, dan ketergantungan padanya. Di atas semuanya, ia membutuhkan populasi yang tanpa kekerasan, sebab ia memiliki pemerintah yang sudah memonopoli penggunaan kekuatan fisik. Karena alasan inilah, propaganda integrasi mengajari kita untuk wajib cemas, takut dan gemetar menghadapi kekerasan, sehingga kita tidak tergoda untuk menggunakannya bahkan ketika kita sangat marah. (Kekerasan disini berarti menggunakan kekuatan fisik menghadapi orang lain). Lebih luas lagi, propaganda integrasi mengajari kita nilai-nilai kelembutan yang manis, ketiadaan sikap agresif, saling ketergantungan, dan kerja sama.
Sementara itu dalam konteks lain, Sistem harus menggunakan metode-metode agresif dan brutal untuk mencapai sasarannya. Contoh yang paling kelihatan dari metode tersebut adalah adanya perang. Di masa perang, Sistem mengandalkan propaganda agitasi. Agar dapat memenangkan persetujuan publik terhadap aksi militer, ia memainkan emosi orang untuk membuat mereka merasa terancam dan marah pada musuh yang sebenarnya ataupun yang disangkanya benar.
Di situasi ini ada konflik antara propaganda integrasi dan propaganda agitasi. Orang-orang yang telah ditanamkan di benaknya nilai-nilai kelembutan dan kebencian terhadap kekerasan tidaklah mudah dirayu untuk menerima adanya operasi militer yang berdarah-darah.
Disinilah tipu daya Sistem menjadi bumerang sampai batas tertentu. Para aktivis, yang selama ini “memberontak” mendukung nilai-nilai propaganda integritas, melanjutkan pemberontakannya selama masa perang. Mereka menolak perang bukan hanya karena perang adalah tindak kekerasan, tapi juga karena perang itu “rasis”, “kolonialis”, “imperialis”, dsb. Kesemuanya kontras dengan nilai-nilai kelembutan yang ditanamkan propaganda integrasi.
Tipu daya Sistem juga menjadi bumerang ketika perlakuan terhadap binatang disorot. Tak dapat dipungkiri, banyak orang memperlakukan binatang dengan nilai kelembutan yang sama seperti mereka memperlakukan sesama manusia. Mereka ngeri melihat binatang disembelih untuk dimakan dagingnya, dan praktek-praktek lain yang menyakiti hewan, seperti eksploitasi ayam yang dijadikan seperti mesin bertelur yang diletakkan di penjara kecil dan penggunaan binatang dalam eksperimen ilmiah. Sampai kepada titik dimana oposisi terhadap penganiayaan binatang menjadi berguna untuk Sistem. Sebab diet vegan lebih efisien dalam hal pemanfaatan sumber daya dibanding diet karnivora, karena jika diadopsi secara masal, veganisme bisa mengurangi beban sumber daya bumi yang terbatas karena pertumbuhan populasi manusia. Tetapi desakan aktivis untuk mengakhiri penggunaan binatang dalam eksperimen ilmiah sebenarnya berkonflik dengan kebutuhan Sistem, sebab di masa mendatang mungkin tidak akan ditemukan makhluk hidup pengganti untuk jadi bahan penelitian.
Namun demikian, fakta bahwa muslihat Sistem ini bisa menjadi bumerang di sana sini tidaklah menghalanginya untuk menjadi alat efektif dalam mengubah dorongan-dorongan memberontak berbalik menjadi keuntungan baginya.
Harus diakui bahwa tipu daya yang dijelaskan di sini bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan arah dari dorongan-dorongan memberontak di masyarakat kita. Hari-hari ini, banyak orang merasa lemah dan tidak berdaya (untuk alasan yang benar karena Sistem memang membuat kita lemah dan tidak berdaya), dan karenanya secara obsesif mengidentifikasi diri mereka dengan para korban, dengan yang lemah dan yang tertindas. Itulah salah satu alasan mengapa isu-isu yang memiliki korban, seperti rasisme, seksisme, homofobia, dan neokolonialisme telah menjadi isu standar aktivis.
5. SEBUAH CONTOH
Saya memiliki sebuah buku antropologi[5] yang di dalamnya terdapat beberapa contoh yang pas tentang bagaimana intelektual universitas membantu Sistem yang berkuasa dengan cara menyamarkan kepatuhan pada Sistem menjadi terlihat seperti kritik untuk Sistem. Contoh yang paling manis terletak di halaman 132-36, dimana pengarangnya mengutip, dalam bentuk yang “diadaptasi”, sebuah artikel yang ditulis Rhonda Kay Williamson, seorang interseks (seseorang yang lahir dengan karakter fisik wanita dan pria sekaligus).
Williamson menyatakan bahwa suku Indian-Amerika tidak hanya menerima orang interseks namun secara khusus menghargai mereka[6]. Ia mengkontraskan hal ini dengan sikap orang Eropa-Amerika, yang ia samakan dengan sikap yang diambil orang tuanya terhadapnya.
Orang tua Williamson memperlakukannya dengan kejam. Mereka kerap menghinanya karena kondisi interseksualnya. Mereka mengatakan padanya bahwa ia “dikutuk dan diberikan pada setan”, dan mereka membawanya ke gereja karismatik untuk mengusir “setan” dalam tubuhnya. Bahkan mereka memberikan sapu tangan padanya sebab “setan akan keluar bersama batuknya”.
Tapi tentu saja menggelikan menyamakan sikap tersebut dengan sikap modern orang Eropa-Amerika saat ini. Mungkin itu sikap orang Eropa-Amerika 150 tahun lalu, sebab sekarang nyaris semua pendidik Amerika, psikolog, atau pendeta pada umumnya akan terkejut melihat perlakuan seperti itu dilakukan terhadap seorang interseks. Media tidak akan merespon dengan baik berita semacam itu. Rata-rata kelas menengah Amerika saat ini mungkin tidak bisa menerima kondisi interseksual sebagaimana orang Indian menerimanya dulu, tapi sebagian besar akan bereaksi terhadap perlakuan jahat yang ditujukan kepada Williamson.
Orang tua Williamson tentu saja aneh, terlalu relijius, yang sikap dan kepercayaannya tidak sejalan dengan nilai-nilai Sistem yang berkuasa. Karenanya, ketika mengkritisi masyarakat Eropa-Amerika modern, Williamson sebenarnya sedang menyerang kaum minoritas aneh yang telat secara budaya, yang belum beradaptasi dengan nilai dominan Amerika masa kini.
Haviland, pengarang bukunya, di halaman 12 menggambarkan antropologi kultural sebagai penantang tradisi lama (iconoclastic), yang mempertanyakan ulang asumsi-asumsi masyarakat barat modern. Hal ini sangat kontras dengan kenyataan. Ini lucu, jika tidak bisa dibilang menyedihkan. Antropologi Amerika modern pada umumnya merendahkan dirinya dengan tunduk pada nilai-nilai dan asumsi-asumsi Sistem yang berkuasa. Ketika para antropolog hari ini berpura-pura menantang nilai-nilai masyarakat, biasanya mereka hanya menantang nilai-nilai dari masa lalu – nilai-nilai yang sudah usang dan kuno yang sudah tidak laku lagi kecuali di kalangan yang telat mengadaptasi perubahan budaya.
Penggunaan artikel Williamson dalam buku Haviland menggambarkan ini sangat jelas, dan merepresentasikan secara umum kecenderungan isi buku Haviland. Haviland memainkan fakta-fakta etnografis yang mengajari pembacanya untuk menjadi “politically correct”, tapi ia mengecilkan dan menghilangkan fakta-fakta etnografis yang “politically incorrect”. Oleh karenanya, ia mengutip kata-kata Williamson hanya untuk menekankan penerimaan suku Indian terhadap orang-orang interseks. Ia tidak menyebutkan, contohnya, bahwa di kalangan suku-suku Indian, wanita yang berzinah dihukum dengan cara dipotong hidungnya[7], sementara hukuman tersebut tidak ditimpakan kepada pria yang berzinah, atau di kalangan Indian Crow seorang prajurit yang bersentuhan dengan orang asing harus langsung membunuh orang tersebut saat itu juga, atau dia akan dianggap ternoda oleh kaumnya [8], Haviland juga tidak membahas tentang penggunaan metode penyiksaan yang biasa dilakukan orang Indian di bagian timur Amerika [9]. Tentu saja, fakta-fakta tersebut merepresentasikan kekerasan, machismo, dan diskriminasi gender, maka mereka tidak sejalan dengan nilai-nilai masa kini yang diterapkan Sistem dan cenderung akan disensor sebab dipandang tidak benar secara politis (politically incorrect).
Namun saya tidak ragu bahwa Haviland sangat tulus dalam kepercayaannya bahwa antropolog menantang nilai-nilai yang sudah tertanam di masyarakat. Kapasitas untuk menipu diri sendiri di kalangan intelektual kita dengan mudah bisa berkembang sejauh itu.
Kesimpulannya, saya ingin menegaskan bahwa saya tidak mendukung pemotongan hidung untuk para pezinah, atau mentolerir kekerasan pada wanita, saya juga tidak berkeinginan melihat orang ditolak dan dicemooh karena mereka interseks, atau karena ras, agama, atau orientasi seksual mereka. Tapi dalam masyarakat kita hari ini, hal-hal tersebut adalah isu-isu reformis. Muslihat paling rapi Sistem ini ialah termasuk didalamnya mengubah dorongan memberontak yang kuat, yang mungkin bisa menjadi sangat revolusioner, berbalik hanya menjadi pelayan dari reformasi yang lembek.
[1] Jacques Ellul, The Technological Society, diterjemahkan oleh John Wilkinson, dipublikasikan Alfred A. Knopf, New York, 1964, halaman 427.
[2] Bahkan dalam ulasan paling dangkal media massa di negara-negara industri moderen, atau bahkan di negara berkembang, akan mengkonfirmasi bahwa Sistem berkomitmen untuk menghilangkan semua diskriminasi ras, agama, gender, orientasi seksual, dll. Akan sangat mudah menemukan ribuan contoh untuk menggambarkan ini, tapi disini kami hanya mengambil tiga kutipan, dari tiga negara berbeda.
Amerika: “Public Displays of Affection,” U.S. News & World Report, 9 September, 2002, halaman 42-43. Artikel ini memberikan contoh yang bagus tentang bagaimana propaganda berfungsi. Ada pengambilan posisi yang seolah-olah objektif dan netral mengenai hubungan homoseksual, memberikan sedikit ruang untuk mereka yang beroposisi terhadap penerimaan publik mengenai homoseksualitas. Namun siapapun yang membaca artikel ini, yang dengan simpati menjelaskan perlakuan yang diterima oleh pasangan homoseks, akan mendapatkan kesan bahwa penerimaan homoseksualitas diinginkan dan, dalam jangka panjang, tak terelakkan. Yang lebih penting adalah foto dari pasangan homoseks yang bersangkutan: pasangan yang secara fisik tampak menarik dipilih dan difoto dengan sangat menarik. Orang yang paham tentang propaganda pasti akan dapat melihat bahwa artikel tersebut merupakan propaganda untuk mendukung penerimaan homoseksualitas. Dan ingatlah bahwa U.S. News & World Report adalah media sayap kanan.
Rusia: “Putin Denounces Intolerance”, The Denver Post, 26 Juli, 2002, halaman 16A. “MOSKOW – Presiden Vladimir Putin mengutuk prasangka relijius dan rasis…’Jika kita biarkan bakteri Chauvinist berkembang dalam intoleransi agama dan nasional, kita akan menghancurkan negara ini”, ujar Putin dalam sambutannya yang dengan jelas diulang-ulang di televisi Rusia hari kamis malam.” dsb.
Meksiko: “Persiste racismo contra indigenas” (“Rasisme kepada suku-suku asli berlanjut”),El Sol de Mexico, 11 Januari, 2002, halaman 1/B. Tulisan di bawah foto: “Sekalipun ada usaha untuk memberikan martabat pada orang-orang asli di negara kita, mereka tetap mendapatkan diskriminasi…” Artikel tersebut memberitakan usaha para uskup Meksiko dalam melawan diskriminasi, tapi juga menyatakan bahwa para uskup ingin “memurnikan” adat suku-suku asli untuk membebaskan wanita dari status sosial tradisionalnya sebagai kaum bawahan. El Sol de Mexico memiliki reputasi sebagai koran sayap kanan.
Siapapun yang mau bersedia menyibukkan dirinya bisa menemukan ribuan lain contoh lainnya. Bukti bahwa Sistem sendiri mau mengeliminasi diskriminasi sangat jelas dan sangat masif sehingga ironis apabila percaya bahwa melawan hal-hal ini termasuk dalam bentuk pemberontakan. Hal ini terkait ke fenomena yang sangat dikenal baik oleh ahli-ahli propaganda, yakni: orang-orang cenderung menghilangkan, atau gagal untuk melihat maupun mengingat, informasi-informasi yang bertentangan dengan ideologi mereka. Lihat artikel menarik, “Propaganda”, di The New Encyclopedia Britannica, Volume 26, Macropedia, Edisi 15, 1997, halaman 171-179, terutama halaman 176.
[3] Di bagian ini saya sudah sudah menyatakan tentang apa yang bukan Sistem, tapi saya belum menyatakan apa yang merupakan Sistem. Seorang kawan berpendapat bahwa hal ini bisa membuat pembaca kebingungan, jadi lebih baik saya jelaskan demi tujuan penulisan artikel ini bahwa tidaklah harus ada definisi persis tentang apa Sistem itu. Saya tidak dapat menemukan cara mendefinisikan Sistem dalam satu kalimat sempurna dan saya tidak mau merusak keberlangsungan artikel ini dengan kecacatan pendefinisian yang panjang, janggal dan tidak semestinya terkait dengan pertanyaan apa saja Sistem itu, jadi saya akan membiarkan pertanyaan ini tidak terjawab. Saya pikir kegagalan saya menjawabnya tidak akan menghalangi pengertian pembaca terhadap poin yang ingin disampaikan artikel ini.
[4] Konsep “Propaganda Integrasi” dan “Propaganda Agitasi” dijabarkan oleh Jacques Ellul di bukunya Propaganda, dipublikasikan oleh Alfred A. Knopf, 1965.
[5] William A. Haviland, Cultural Anthropology, Edisi Sembilan, Harcourt Brace & Company, 1999.
[6] Saya berasumsi bahwa pernyataan ini akurat. Pernyataan tersebut jelas menggambarkan sikap orang-orang Navaho. Lihat Glady A. Reichard, Navaho Religion: A Study of Symbolism, Princeton University Press, 1990, halaman 141. Buku ini pertamakali dipatenkan tahun 1950, jauh sebelum antropolog Amerika mulai terpolitisasi, jadi saya lihat tidak ada kecenderungan informasi tersebut dipoles.
[7] Ini terkenal. Lihat, Angie Debo, Geronimo: The Man, His Time, His Place, University of Oklahoma Press, 1976, halaman 225; Thomas B. Marquis (penerjemah), Wooden Leg: A Warrior Who Fought Custer, Bison Books, University of Nebraska Press, 1967, halaman 97; Stanley Vestal. Sitting Bull, Champion of the Sioux: A Biography, University of Oklahoma Press, 1989, halaman 6; The New Encyclopedia Britannica, Vol.13, Macropedia, Edisi ke-15, 1997, artikel “American Peoples, Native”, halaman 380.
[8] Osborne Russell, Journal of a Trapper, edisi Bison Books, halaman 147.
[9] Penggunaan penyiksaan oleh Indian di timur Amerika sangat dikenal. Lihat Clark Wissler, Indians of the United States, Revised Edition, Anchor Books, Random House, New York, 1989, halaman 131, 140, 145, 165, 282; Joseph Campbell, The Power of Myth, Anchor Books, Random House, New York, 1988, halaman 135; The New Encyclopedia Britannica, Vol.13, Macropedia, Edisi ke-15, 1997, artikel “American Peoples, Native”, halaman 385; James Axtell, The Invasion Within: The Contest of Cultures in Colonial North America, Oxford University Press, 1985, halaman kutipan tidak ada.