Title: Manifesto Seni Proletar
Language: Bahasa Indonesia
Date: 1923
Source: Diakses pada 28 Februari 2024 dari https://libcom.org/article/manifesto-seni-proletar
Notes: “Manifesto Proletkunst” (Manifesto Seni Proletar), sebuah teks yang ditulis oleh seniman Belanda, Theo van Doesburg, diterbitkan dalam majalah Kurt Schwitters Merz #2 pada bulan April 1923 (Hannover, hal.24-25), dengan tanda tangan oleh seniman terkenal dari avant-garde internasional (Schwitters, Hans Arp, Tristan Tzara, dan Christof Spengemann). Diterjemahkan oleh Dani Hayam ke dalam bahasa Indonesia (2024).

Seni yang mengacu kepada golongan masyarakat tertentu (kelas sosial) sebenarnya tidak ada, dan jikapun ada, maka itu tidak penting sama sekali bagi kehidupan manusia.

Kami bertanya kepada mereka yang ingin menciptakn perihal seni proletar, “Seni proletar itu apa? Apakah seni tersebut dibuat oleh kaum proletar itu sendiri? Atau seni yang [hanya] ditujukan untuk melayani kaum proletar? Ataukah sebagai seni yang membangkitkan naluri proletar (secara revolusioner)?” Seni yang dibuat oleh kaum proletar itu tidak ada, karena ketika kaum proletar menciptakan sebuah seni, mereka tidak lagi menjadi seorang proletar, melainkan menjadi seorang seniman. Seniman bukanlah seorang proletar atau borjuis, dan apa yang ia ciptakan bukanlah milik proletar maupun borjuis, tetapi milik semua orang.

Seni merupakan fungsi spiritual manusia yang bertujuan untuk melepaskan dirinya dari kehidupan yang kacau, yang disebut sebagai tragedi. Seni itu bebas dalam menggunakan setiap sarana yang ia miliki, dan hanya terikat kepada hukum-hukumnya sendiri. Dan ketika sebuah karya menjadi seni, ia jauh lebih unggul dibandingkan perbedaan kelas antara proletariat dan borjuasi. Namun, jika seni hanya diperuntukkan bagi kaum proletar, terlepas dari fakta bahwa proletariat sudah terjangkit selera borjuis, maka seni ini akan terbatas, sama terbatasnya dengan seni borjuis secara spesifik. Kesenian seperti itu tidak akan bersifat universal, tidak akan tumbuh dari rasa kebangsaan dunia, namun dari pandangan individu, sosial, serta waktu dan ruang yang terbatas.

Jika seni ingin membangkitkan insting proletar secara tendensius, maka pada dasarnya ia [akan] menggunakan cara yang sama dengan seni gerejawi atau nasionalis. Meski kedengarannya klise, tetapi pada dasarnya sama saja apakah seseorang melukis tentara merah dengan Trotsky sebagai pemimpinnya atau tentara kekaisaran dengan Napoleon sebagai pemimpinnya. Namun, jika nilai gambar tersebut dilihat sebagai sebuah karya seni, bukan sebuah persoalan lagi apakah insting proletar atau perasaan patriotik yang ingin dibangkitkan, karena keduanya, dalam sudut pandang seni adalah sebuah penipuan. Seni seharusnya hanya menggunakan caranya sendiri untuk membangkitkan kekuatan kreatif dalam diri manusia. Tujuannya adalah manusia yang matang, bukan kaum proletar atau borjuis [dan nasionalis].

Hanya talenta kecil saja (yang) karena kekurangan pengetahuan budaya dan tidak dapat melihat gambaran yang lebih besar, dalam keterbatasan, mereka membuat sesuatu seperti seni proletar (yaitu politik dalam bentuk lukisan, atau keadaan politik yang “dilukiskan"). Namun, bagaimana pun, seniman sejati tidak berkecimpung dalam bidang khusus organisasi sosial. Seni [seperti] yang kita inginkan, [seni itu] bukan proletar ataupun borjuis, karena seni itu mengembangkan kekuatan yang cukup kuat untuk memengaruhi seluruh budaya, alih-alih dipengaruhi oleh kondisi sosial. Proletariat adalah kondisi yang harus diatasi, borjuasi juga adalah kondisi yang harus diatasi. Namun, ketika kaum proletar dengan kultus proletarnya meniru kultus borjuis, merekalah yang justru mendukung budaya borjuis yang korup ini, dan tanpa disadari; [telah] merugikan seni dan budaya.

Melalui kecintaan konservatif mereka terhadap bentuk-bentuk ekspresi lama yang sudah usang dan ketidaksukaan mereka yang sama sekali tidak dapat dimengerti terhadap (bentuk) seni baru, mereka memelihara apa yang ingin mereka lawan menurut program mereka: budaya borjuis. Akibatnya, sentimentalisme borjuis dan romantisme borjuis masih tetap ada dan bahkan dipupuk kembali, meskipun para seniman radikal berusaha keras untuk menghancurkannya. Komunisme sudah menjadi urusan borjuis seperti sosialisme mayoritas, yaitu kapitalisme dalam bentuk baru. Borjuasi menggunakan aparatur komunisme, yang tidak diciptakan oleh kaum proletar, tetapi oleh kaum borjuis, hanya sebagai alat pembaruan untuk budaya mereka sendiri yang telah busuk (Rusia).

Oleh karena itu, seniman proletar tidak berjuang untuk seni ataupun kehidupan baru di masa depan, melainkan untuk borjuasi. Setiap karya seni proletar hanyalah sebuah plakat untuk borjuasi. Sedangkan apa yang kita persiapkan adalah keseluruhan dari karya seni (Gesamtkunstwerk; total work of art; karya seni total), yang melampaui semua plakat, baik itu dibuat untuk selebrasi [pesta] (Sekt; sampanye), Dada(isme), ataupun kediktatoran komunis.

THEO VAN DOESBURG. KURT SCHWITTERS.

Hans arp. TRISTAN TZARA.

CHR. SPENGEMANN.

d. Haag 6.3.23.