Tim Katalis
Bertarung untuk Hidup Kita
Kamu Mungkin Seorang Anarkis
Benar. Jika idemu tentang hubungan manusia yang sehat adalah acara santap malam bersama sahabat-sahabatmu, di mana setiap orang menikmati suasana persahabatan, tanggung jawab dibagi-bagi secara sukarela dan tidak ada orang yang memberi perintah atau menjual sesuatu, maka kamu adalah seorang anarkis, mudah dan sederhana.
Ketika kamu bertindak tanpa menunggu perintah atau perizinan formal, kamu adalah anarkis. Ketika kamu melanggar peraturan yang konyol ketika tidak ada yang mengawasi, kamu adalah anarkis. Dan kamu adalah anarkis ketika kamu menggagas ide-ide, inisiatif-inisiatif dan solusi-solusi.
Seperti kamu lihat, anarkisme terdapat dalam kehidupan sehari-hari dan membuatnya lebih menarik. Bayangkan jika kita selalu menggantungkan hidup pada otoritas, spesialis dan teknisi untuk mengurus berbagai hal—kita bukan saja akan menemui dunia yang sangat bermasalah—tapi juga dunia yang sangat membosankan. Saat ini kita hidup dalam dunia yang membosankan seperti itu, persis karena kita telah melepaskan banyak tanggung jawab dan kendali pada hidup kita sendiri, dan di saat yang bersamaan menyerahkannya pada orang lain, atau pun otoritas.
Akar dari anarkisme adalah impuls sederhana bertindak untuk diri kita sendiri: hal-hal lainnya menyusul.
Genealogi of Force
Pada awalnya, keharmonisan: berbagai kelompok manusia hidup berdampingan—bersama-sama mengumpulkan dan meramu bahan pangan; makan, bermain, tidur, bernyanyi, bercinta dan bercerita. Kadang kala terjadi ketidak cocokan di antara mereka, pertentangan terjadi. Mereka yang berkonflik saling melontarkan kata-kata kasar, kemudian terjadilah pertarungan.
Ketika hal tersebut terjadi, orang-orang di dalam sebuah kelompok di mana konflik terjadi, bertemu untuk mencari solusi. Masalah yang tidak dapat diselesaikan dalam suatu kelompok akan membawa perpecahan pada kelompok tersebut. Anggota-anggota kelompok mengalami kelaparan dan/atau menemui bencana: diserang binatang buas atau bergabung dengan kelompok lainnya yang lebih mampu menyelesaikan masalah. Konflik antar kelompok juga diselesaikan dengan cara yang sama. Cara hidup seperti itu bertahan selama ribuan tahun.
Namun pada suatu hari, terjadilah konflik yang tidak terselesaikan. Penyelesaian melalui dialog, dengan cara damai maupun dengan kekerasan tidak dapat menuntaskan masalah. Mungkin perubahan budaya dan nilai-nilai spiritual atau inovasi teknologi, mempertahankan antagonisme dan memicu mereka untuk terus-menerus bersaing setelah konflik mereda. Mereka tidak dapat lagi hidup berdampingan secara damai. Mereka menjadi mesin perang. Hubungan mereka dengan alam pun berubah: mereka mendisiplinkan tanah, agar mereka dapat menghasilkan pangan dalam jumlah berlebih sebagai persediaan—ketika mereka hidup dalam kondisi di mana perang dapat terjadi sewaktu-waktu. Hubungan antar manusia pun mengalami perubahan: mereka memandang orang lain sebagai orang yang berpotensi untuk menjadi kamerad seperjuangan atau sebagai musuh, menilai orang berdasarkan kekuatan di atas kualitas-kualitas manusia lainnya.
Kelompok-kelompok di wilayah sekitar pun tidak dapat terhindar dari konflik-konflik yang terjadi. Kelompok-kelompok tersebut pun akhirnya terlibat dalam konflik-konflik tersebut dan harus bersaing—suatu kondisi yang tidak pernah mereka alami sebelumnya. Banyak kelompok yang akhirnya musnah; yang lainnya yang mampu bertahan dengan beragam cara akhirnya menjadi mesin perang. Mereka juga menaklukan alam dan binatang, memperbudak musuh yang telah mereka kalahkan, bahkan orang-orang dari kelompok mereka sendiri; apapun yang terpikirkan akan dilakukan untuk bertahan dalam situasi yang penuh teror tersebut.
Perubahan-perubahan aneh terjadi pada bumi dan menular dari kelompok ke kelompok seperti kanker. Kelompok-kelompok kecil menggabungkan diri untuk menjadi kelompok besar dan pada akhirnya nasion; pemimpin-pemimpin militer temporer menjadi bangsawan-bangsawan yang mempertahankan posisi tersebut secara turun-temurun. Kelompok-kelompok ini tidak hanya mengalami perubahan dari segi kemiliteran. Wilayah diklaim dan ditandai dengan batas-batas yang kemudian menjadi sumber munculnya konflik-konflik baru. Ekonomi pasar diciptakan; orang-orang yang tidak lagi saling mempercayai bersikeras untuk menerapkan perdagangan, di mana dahulu orang saling berbagi. Mereka menyibukkan diri dengan persaingan dagang dan untuk menghasilkan keuntungan, bahkan dalam kondisi damai. Patriaki muncul: perang yang tidak pernah dideklarasikan antar seks, peran gender antara kaum ksatria dan kaum pelayan, dilembagakan dan diterapkan oleh satu generasi dan diwariskan ke generasi lainnya. Agama yang terorganisir diciptakan: sekarang manusia tidak lagi bersaing untuk lahan, pangan, hak milik, tapi juga untuk menguasai pikiran dan nurani orang lain.
Semua inovasi tersebut adalah bencana bagi manusia. Mereka mencoba mengimbangi akibat-akibat yang terjadi dengan inovasi-inovasi baru, yang sebenarnya merupakan bencana baru yang lebih dashyat. Pemerintah dibentuk untuk melindungi masyarakat, mengutip pajak dari mereka dan menikmati keringat dan kerja mereka; polisi memenuhi jalan-jalan untuk mencegah kejahatan tapi menjadi pihak yang melakukan kejahatan terburuk dengan leluasanya. Ketika mereka melindungi diri mereka dari kegananasan peradaban, keganasan dan monster-monster yang lebih dashyat muncul.
Nasion-nasion kecil yang berada dalam ancaman serangan dari nasion-nasion yang lebih besar mempersiapkan kekuatan bersenjata. Reaksi yang pada awalnya merupakan bentuk pertahanan diri berkembang secara berlebihan dan berlanjut—menjadi peperangan-peperangan untuk menaklukan bangsa-bangsa lainnya, sampai mereka menjadi imperium megah. Imperium Romawi bermula dari resistensi petani desa terhadap serangan Etruscan, dan ini menjadi awal persaingan di antara imperium-imperium Eropa, di mana perang berlangsung selama ratusan tahun. Di kemudian hari sejarawan akan melihat bahwa perang-perang berdarah sepanjang peradaban sebagai bukti dari “kegelapan nurani” barbarisme haus darah. Mungkin juga kaum barbar pecinta kedamaian yang mempertahankan diri mereka dari barbar haus darah. Mungkin juga kegelapan nurani sejatinya berada di tengah-tengah imperium-imperium tersebut, di pusaran badai, di mana kekerasan menjadi sesuatu yang mendarah daging dalam kehidupan manusia dan tidak terlihat lagi dengan mata telanjang: para budak yang berada di jalanan sepertinya bukan karena adanya paksaan tapi atas kehendak mereka sendiri, tidak berdaya untuk memberontak; gladiator yang saling membunuh pada sirkus-sirkus—sesuatu yang dianggap sebagai hiburan.
Kampanye militer yang berikutnya adalah gejala dari keganasan sosial, bukan didasari pada suatu tujuan yang diperjuangkan. Saat ini kekerasan ekonomi yang tidak kasat mata mengkomandokan kekerasan militeristik yang kasat mata. Tentara menaklukan wilayah-wilayah jajahan agar lebih banyak sumberdaya yang dapat dinikmati oleh para saudagar, dan masyarakat di daerah jajahan menjadi basis konsumen baru—perluasan pasar. Benua-benua ditaklukan dan penghuninya diperbudak dan kemelaratan mereka dianggap sebagai suatu bukti bahwa mereka berasal dari ras yang lebih rendah, oleh penjajah yang merampas dunia mereka. Misionaris merupakan garda depan dari penaklukan tersebut. Agama memaksakan kuasa tuhan pencemburu yang esa, sama seperti tentara memaksakan kuasanya yang brutal. Teror untuk suatu wilayah, darah untuk uang, uang untuk darah—tuhan memerintahkan semua itu seperti juga semua itu memerintahkan tuhan.
Para penerus misionaris yang sekarang eksis menyembah langsung pada pasar. Pendeta-pendeta ini bahkan lebih berhasil dibandingkan dengan para tentara dalam menerapkan kekuasaan: akan datang suatu hari ketika belenggu tidak lagi diperlukan untuk membuat para budak tunduk, ketika beragam jenis pemberhalaan dapat menundukkan dan mengadu domba mereka. Sekarang tidak seorang pun yang dapat mengingat bentuk kehidupan yang lain—anak berperang dengan bapak, bapak berperang dengan tetangga. Raja-raja, presiden-presiden, jendral-jendral berkuasa dan dijatuhkan oleh kekuasaan; namun sistem ini dan hirarki tetap berlangsung. Kompetisi adalah pemegang tahta, memilih dan menjungkalkan para pemenang tanpa ada rasa iba.
Setiap orang yang berada dalam hubungan yang penuh kekerasan ini masih (bahkan benar-benar ingin) melarikan diri dari hubungan tersebut. Tetapi mereka terlanjur membawa bibit-bibit kekerasan tersebut pada diri mereka, menghancurkan setiap suaka yang mereka masuki—seperti pengungsi yang melarikan diri menuju “Dunia Baru” dan kaum komunis yang menjatuhkan Czar. Bahkan mereka yang melarikan diri, seperti para seniman dengan komune-komune mereka yang menghiasi wilayah sekitar, dengan beragam inovasi provokatifnya, menjadi preseden untuk tren fotografi pada generasi berikutnya.
Kekerasan mencapai tingkatnya yang paling tinggi. Kekerasan menghantui kehidupan sehari-hari kita—tawuran antar pelajar, geng anak muda, tawuran kampung, pemerkosaan. Penjara-penjara dibanjiri. Jutaan nyawa hilang dalam pembasmian, genosida; mereka yang selamat selanjutnya memulai pembasmian-pembasmian berikutnya. Kita semua berada dalam daftar hukuman mati. Bahkan mereka yang tinggal di gedung-gedung yang diproteksi dengan perangkat keamanan paling canggih, mereka yang memegang polis asuransi jiwa paling lengkap—tidak lagi mempunyai rasa aman—pesawat udara kandas dan gedung bertingkat runtuh. Teror mengancam kita semua.
Malam ini, kaum muda Palestina sedang melakukan perhitungan: apakah musuh mereka telah memenuhi hidup mereka dengan cukup penderitaan hingga dia merasakan lebih banyak kebencian untuk mereka dari pada kecintaannya terhadap hidupnya sendiri? Dia berpikir tentang bapaknya yang cacat, rumahnya yang dibuldoser, teman-teman yang telah meninggalkannya—mereka melakukan perhitungan yang sama setiap harinya.
Di mana rasa cinta atas semua hal yang telah dilalui tersebut? Cinta masih ada dalam bentuknya yang masih sama seperti dulu: keluarga yang makan bersama, pertemanan, pemberian yang diberikan hanya karena memberi itu menyenangkan. Kita masih memaafkan, berbincang-bincang, merasakan jatuh cinta yang dashyat; kadang kelompok-kelompok manusia menyatukan diri untuk menghadapi musuh yang sama—bukan karena kebencian tapi demi kedamaian, mencoba menyelesaikan konflik seperti dulu, sebelum ada perang dan perdagangan. Momen-momen tersebut, bahkan ketika hanya terjadi di antara segelintir individu, masih merupakan sesuatu yang bernilai dan bermakna. Dan momen-momen tersebut masih mempunyai daya tular, sedashyat daya tular kebencian dan kekerasan.
Dunia saat ini sedang menunggu suatu perang melawan perang, cinta yang dipersenjatai, dan pertemanan yang dapat melindungi dirinya sendiri. Anarki adalah satu kata yang dipakai untuk mendeskripsikan momen-momen di mana kekuasaan dan kekuatan tidak dapat memaksa kita, dan ketika kehidupan tumbuh subur seperti memang seharusnya demikian. Anarkisme adalah sains yang menciptakan dan mempertahankan momen-momen tersebut. Ia adalah senjata yang mengaspirasikan ketidakbergunaan—satu-satunya senjata yang akan kita pakai dengan berharap melawan harapan, melalui alkemi baru, bahwa senjata kita itu tidak akan kemudian berbalik menghancurkan kita sendiri, nantinya. Kita mengetahui bahwa setelah revolusi, setelah setiap revolusi, perjuangan antara cinta dan kebencian akan terus berlanjut; namun saat ini dan selalu, pertanyaan yang penting adalah—pada sisi manakah engkau berada?
Anarki—Apakah Mungkin?
Orang-orang yang mempunyai sedikit pengetahuan sejarah aktual sering mengatakan bahwa anarki tidak dapat diterapkan—tanpa menyadari bahwa anarki bukan saja dapat diterapkan dalam banyak kesempatan selama sejarah manusia, tapi juga dapat diterapkan pada saat ini. Untuk sekarang marilah kita lupakan Komune Paris, Republik Spanyol, Woodstock, sistem rekayasa program komputer open source, dan semua yang merupakan simbol keberhasilan anarkisme revolusioner. Anarki adalah sesederhana—kerja sama berbagai pihak, di mana setiap pihak berdaulat atas dirinya sendiri. Anarki merupakan kehidupan sehari-hari—bukan sesuatu yang hanya akan terjadi “setelah terjadi revolusi”. Anarki diterapkan oleh lingkar-lingkar pertemanan di mana-mana—kemudian bagaimana kita dapat memperluas relasi ekonomi kita yang anarkis? Anarki terjadi ketika orang-orang berada dalam suatu perkemahan atau ketika sekelompok orang memberikan makanan gratis kepada orang-orang lapar—bagaimana kemudian kita dapat memperluas interaksi seperti itu dalam interaksi kita di sekolah, di tempat kerja, di lingkungan sekitar kita?
Anarki adalah kekacuan, kekacauan adalah suatu tatanan. Sistem yang tertata secara alami—hutan hujan merupakan salah satu contoh tatanan hasil kekacauan, suatu komunitas yang bersahabat—merupakan keharmonisan di mana keseimbangan sistem dijaga oleh kekacauan dan kesempatan. Di sisi lain, kekacauan sistematis—disiplin yang dijalankan di sekolah, deretan-deretan tanaman jagung yang steril hasil rekayasa genetika yang diproteksi dari gulma dan hama—hanya dapat dipertahankan dengan tindakan-tindakan pemaksaan yang selalu dieskalasikan. Sebagian orang berpikir bahwa tidak adanya tatanan adalah tidak adanya suatu sistem dan menyalah artikannya sebagai anarki. Namun ketidakteraturan adalah sistem yang paling kejam—ketidakteraturan dan konflik, yang tidak terselesaikan, dengan cepat akan berkembang secara sistematis, memunculkan hirarki berdasarkan kehendak-kehendak—ketiadaan nurani, nafsu untuk mendominasi. Ketidakteraturan dalam tahapnya yang paling berkembang adalah kapitalisme: perang antar berbagai pihak, menguasai atau dikuasai, menjual atau dijual, dari tanah sampai langit.
Kita hidup dalam zaman yang dipenuhi dengan kekerasan dan hirarki. Para maniak yang berpikir bahwa mereka diuntungkan oleh hirarki, mengatakan bahwa akan terjadi lebih banyak kekerasan tanpa adanya hirarki—tanpa memahami bahwa hirarki dalam bentuk ketimpangan ekonomi atau pun ketimpangan kekuasaan politik merupakan akibat dan ekspresi dari kekerasan tersebut. Bukan juga berarti bahwa mencabut otoritas secara paksa akan secara instan mengakhiri gelombang kekerasan; sampai kita semua belajar untuk hidup berdampingan demi kita sendiri, bukan karena perdamaian yang dipaksakan, sebab tidak akan ada kedamaian di antara kita karena sebuah pemaksaan.
Keadaan yang ada pada saat ini dipertahankan bukan hanya dengan senjata, hirarki atau mentalitas membunuh atau dibunuh: keadaan ini juga dipertahankan dengan diciptakannya mitos tentang kesuksesan. Sejarah resmi mencatat masa lalu kita sebagai sejarah para tokoh, dan bahwa hidup kita tidak lebih merupakan akibat-akibat dari pencapaian-pencapaian mereka; sejarah seperti itu mengatakan bahwa hanya ada sedikit orang yang merupakan subyek sejarah—dan selebihnya, kita, hanyalah objek sejarah. Mitos tentang kesuksesan ini berujung pada suatu kepercayaan bahwa hanya ada segelintir orang yang dapat meraih kesuksesan tersebut: raja-raja (presiden-presiden, bintang film, para eksekutif, dll). Dalam mitos ini juga kita menemukan suatu kepercayaan, bahwa hal-hal seperti itu merupakan sesuatu yang lazim, dan bahwa kita harus ‘berperang’ untuk menjadi sukses, atau setidaknya menerima secara lapang dada posisi di bawah orang-orang sukses ini, dan bersyukur pada orang-orang yang berada di bawah kita karena rela diinjak-injak untuk menjamin harga diri kita.
Bahkan orang-orang yang sudah meraih kesuksesan itu pun tidak akan pernah benar-benar bebas untuk berjalan-jalan di tempat-tempat yang diinginkannya. Mengapa kita harus puas hanya dengan kebebasan yang seperti itu? Ketika pemaksaan lenyap—pada ranjang-ranjang egaliter pecinta sejati, dalam suatu demokrasi dengan perkawanan yang erat, pada federasi-federasi teman bermain yang sedang menikmati pesta-pesta yang hebat dan tetangga yang asyik mengobrol—kita semua adalah ratu dan raja. Apakah mungkin anarki dapat memberikan semua itu? Yang jelas adalah, bahwa hirarki tidak dapat memberikannya. Lihatlah kota-kota yang dibangun oleh suatu keteraturan hirarkis—kau akan duduk pada kendaraan-kendaraan pribadi dalam suatu kemacetan lalu lintas, di antara orang-orang yang berkeringat dan mengumpat dalam keterasingan kolektif, sungai-sungai yang mengalami pencemaran berat di sisi kananmu dan perkampungan kumuh di sisi kirimu di mana genk-genk orang-orang berseragam dan tanpa seragam, berkonflik—demikianlah yang dinobatkan sebagai kemajuan. Jika ini adalah keteraturan, kenapa tidak mencoba kekacauan?
Anarki Bukan Anarkisme
Dengan mengatakan bahwa anarkis mempercayai anarkisme adalah sama dengan mengatakan bahwa seorang pemain piano mempercayai pianoisme. Tidak ada Anarkisme—yang ada adalah anarki, atau lebih tepatnya, beragam anarki.
Semenjak adanya kekuasaan, semangat anarki telah melekat pada diri kita, baik diberi cap atau tidak. Para budak dan barbar yang melawan kekuasaan imperium Roma untuk kemudian hidup dalam kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan, ibu-ibu yang membesarkan anak perempuan mereka untuk mencintai tubuh mereka dengan menentang iklan-iklan pelangsingan tubuh dan pihak-pihak lain yang berani menghadapi masalah-masalah dan menanganinya secara mandiri: mereka semua adalah anarkis. Sama halnya, kita semua adalah anarkis, ketika kita melakukan hal-hal seperti itu. Anarkis saat ini adalah para pelajar yang bolos sekolah, mereka yang menipu sistem perpajakan, perempuan yang belajar untuk memperbaiki sepeda, para pecinta yang menghasratkan sesuatu di luar batas-batas hubungan normal. Mereka tidak perlu untuk mencoblos partai anarkis atau menyetujui garis partai—hal itu akan mendiskualifikasi mereka sebagai anarkis. Anarki adalah suatu pola bagaimana kita merespon suatu situasi dan berinteraksi dengan sesama manusia, suatu kelas sikap manusia, bukan kelas ‘pekerja’.
Lupakanlah sejarah anarkisme sebagai suatu ide—lupakan orang-orang tua berjenggot. Adalah satu hal mengungkapkan anarki sebagai sesuatu dalam bahasa, tapi adalah hal yang lain untuk menjalani anarki dalam kehidupan. Tentunya kita tidak akan mebicarakan teori, rumus-rumus, atau pun biografi para pahlawan—yang kita bicarakan adalah tentang hidupmu. Satu-satunya yang pokok adalah anarki, kemunculannya di mana-mana, bukan teori anarkisme, yang dikaji para peneliti-peneliti spesialis kebebasan. Kita akan menemui orang yang mencap dirinya sendiri sebagai anarkis, tanpa pernah mengalami satu hari yang anarkis dalam hidupnya—kita harus menyadari seberapa jauh kita dapat mempercayai mereka.
Selanjutnya, bagaimanakah utopia anarkis akan berlangsung? Kami tidak akan terjebak lagi untuk menjawab pertanyaan itu. Apa yang kami bicarakan bukanlah visi utopis, bukanlah program atau ideal-ideal yang harus kita layani; anarki secara sederhana adalah bagaimana kita akan menghadapi dan menyikapi situasi dan masalah—karena pasti bahwa kita tidak akan selesai menghadapi masalah-masalah yang pasti akan terus menerus muncul. Menjadi anarkis bukanlah mempercayai anarki, apalagi anarkisme—tapi berarti bahwa kita bergantung pada diri kita sendiri dan mempunyai kendali dalam menjalani hidup dan bahwa suka atau tidak suka, hidup kita saling bergantung antara satu sama lain.
Apakah Demokrasi Seperti Ini?
Anarkis menggunakan demokrasi—tapi kita tidak akan membiarkan demokrasi menggunakan kita. Kita mengutamakan kebutuhan-kebutuhan manusia yang terlibat—sistem apapun yang digunakan bersifat sementara. Kita tidak akan memaksakan diri kita dengan pembatasan-pembatasan prosedur yang mapan—kita akan menggunakan prosedur, sejauh prosedur itu melayani kepentingan manusia. Ada baiknya kita menjawab pertanyaan ini secara serius, “apakah yang harus diutamakan, kita atau sistem?”
Kita bekerja sama dan hidup berdampingan dengan sesama manusia termasuk bentuk-bentuk kehidupan lainnya, sejauh hal itu memungkinkan. Tapi kita tidak akan memberhalakan konsensus, apalagi Aturan Hukum. Ketika kita tidak dapat mencapai kesepakatan, kita akan menempuh jalan kita masing-masing, daripada saling membatasi. Dalam kasus-kasus ekstrim, ketika pihak-pihak lain menolak untuk mengakui kebutuhan-kebutuhan kita, atau terus menerus melakukan hal-hal yang membahayakan, kita akan bertindak dengan segala cara yang diperlukan—bukan demi keadilan, tapi sekedar mewakili kepentingan kita.
Kami melihat hukum sebagai sesuatu yang tidak lebih dari bayang-bayang aturan-aturan para pendahulu, yang diperpanjang seiring dengan waktu sehingga terkesan lebih bijak dari penilaian kita sendiri. Hukum-hukum ini bertahan hidup seperti mahluk yang tidak pernah mati, memaksakan keharusan-keharusan yang tidak dapat menghadirkan keadilan—bahkan mengasingkan kita dari keadilan—sepertinya kita tidak mampu menegakkan keadilan tanpa formalitas kuno dan jubah hakim. Hukum-hukum ini berkembang biak dan seiring dengan waktu menjadi sesuatu yang begitu asing bagi kebanyakan orang, sehingga diperlukan kelas pendeta baru, para pengacara yang mencari kehidupan dari kita. Mereka yang bersikeras bahwa keadilan hanya dapat ditegakan melalui hukum, adalah orang-orang sama yang berdiri sebagai tersangka dalam pengadilan kejahatan perang dan bersumpah bahwa mereka hanya menjalankan perintah. Tidak ada keadilan—yang ada hanya kita.
Ekonomi Anarkis berbeda secara radikal dengan bentuk-bentuk ekonomi lainnya. Anarkis bukan hanya melakukan transaksi secara berbeda, demikian juga dengan alat tukarnya—bukan sesuatu yang dapat diubah menjadi aset yang diperebutkan kapitalis dan yang ada dalam Perencanaan Lima Tahun pemerintah komunis. Kapitalis, sosialis dan komunis bertukar produk; anarkis saling bertukar bantuan, inspirasi dan loyalitas. Ekonomi kapitalis, sosialis dan komunis mengubah seluruh interaksi manusia menjadi komoditas: penjagaan keamanan, pelayanan medis, pendidikan, bahkan hubungan seksual merupakan jasa yang diperjual belikan. Ekonomi anarkis, memfokuskan pada kebutuhan dan hasrat individual, mengubah produk kembali menjadi relasi sosial. Interaksi ekonomi pada ekonomi kapitalis adalah penjualan; dalam ekonomi anarkis adalah pemberian.
Ekonomi anarkis bergantung pada modal sosial, yang berlawanan dengan properti pribadi. Modal pribadi berkurang ketika digunakan, seperti uang yang dibelanjakan oleh buruh-buruh harian untuk makanan—atau jika diperhitungkan untuk menumpuk kekayaan, bertambah dengan mengorbankan pihak lain, seperti dalam kasus korporasi yang mengeksploitasi buruh harian. Di sisi lainnya, modal sosial tersedia dalam jumlah yang besar—bahwa sebenarnya modal tersebut jika digunakan—akan menambah modal si pemberi dan juga yang lainnya: kebun kolektif di mana semakin banyak hasil yang didapat ketika semakin banyak orang yang terlibat di sana, gedung yang diduduki yang akan semakin bermanfaat ketika lebih banyak orang yang berkomitmen pada pengelolaannya. Anarkis mengembangkan suatu visi tentang dunia tanpa batas dalam berbagi.
Hedonisme Sipil
Visi kami tentang relasi yang sehat adalah tentang penghapusan dikotomi—pribadi versus umum, kepentingan pribadi versus pengorbanan pribadi—yang seperti dikotomi-dikotomi lainnya hanyalah ilusi yang diciptakan. Mereka yang mengkotbahkan pengorbanan diri untuk kepentingan umum, masih memegang pemikiran dari model individual versus masyarakat; begitu juga dengan mereka yang beraspirasi menjadi individualis yang mandiri; bagi kami individual dan komunitas adalah seperti titik temu-titik temu dalam jaringan eksistensi—dan tidak dapat dipisah-pisahkan satu dengan yang lainnya. Kebebasan dan otonomi yang kita hargai hanya dimungkinkan dalam suatu konteks kultur yang kita bangun bersama, namun tiap-tiap dari kita harus membangun individual-individual tersendiri sebelum dapat berkontribusi pada penciptaan kultur bersama. Bahwa jika engkau dapat menyelamatkan dirimu, engkau dapat menyelamatkan dunia—tapi engkau juga harus menyelamatkan dunia untuk menyelamatkan dirimu sendiri.
Revolusi dan Bukan Perang
Berhati-hatilah dengan perjuangan. Tidak sedikit kaum radikal yang terlibat dalam politik karena mereka mengetahui semuanya tentang perlawanan, tapi sangat sedikit tentang hal lainnya. Mereka merubah semua bentuk interaksi menjadi konflik antara baik versus jahat, memapankan sikap dan membuat batasan-batasan, sampai akhirnya pertarungan adalah antara mereka versus dunia. Untuk mereka yang berprofesi sebagai agitator, sikap itu jelas cara yang baik untuk mempertahankan karir mereka—namun hal tersebut tidak menghasilkan apapun selain mengagitasi orang-orang. Kebanyakan orang akan berhenti memperhatikan para agitator—siapakah orang yang secara pribadi tidak mempunyai cukup antagonisme dan kejengkelan-kejengkelan dalam hidupnya?
Kita akan selalu menemui perang yang sedang menunggu keterlibatan orang-orang—lawan, lawan, lawan. Anarkis membuat perang menjadi sesuatu yang basi, dengan melampaui oposisi. Itu adalah revolusi.
Jangan bergabung dengan konflik yang sedang berlangsung dan melakukan pemihakan pada salah satu pihak; jangan menjadikan diri kita korban dari konflik yang terjadi: definisikan berulang-ulang proses terjadinya konflik, misalnya “orde baru versus reformasi” menjadi “demokrasi langsung versus kekuasaan elitis”.
Jika engkau ingin memprovokasi pemberontakan—jangan merumuskan program yang harus disetujui oleh semua pihak, jangan melakukan perekrutan, apalagi ‘mendidik massa’. Lupakanlah bahwa engkau harus merayu orang lain agar setuju dengan kau, berikanlah orang-orang dorongan agar mereka dapat mengembangkan ide mereka sendiri. Setiap orang yang mempunyai ide-idenya sendiri adalah lebih anarkis dibandingkan dengan setiap orang yang mempuyai “Ide Anarkis”. Organisasi sentralis ataupun otoritas yang diakui sebagai pemberontak hanya akan meredakan pemberontakan.
Untuk sebuah propaganda, jangan mengklaim kebenaran, bermain-mainlah dengan kebenaran—sisipkanlah pertanyaan-pertanyaan—tapi ingat bahwa tidak semua pertanyaan berakhir dengan tanda tanya. Bagi sebuah propaganda revolusioner, esensi dari pernyataannya bukanlah apakah ia benar secara obyektif—esensi dari propaganda adalah sejauh mana propaganda tersebut dapat memprovokasi respon dari mereka yang menerimanya, bukan sejauh mana propaganda tersebut adalah benar secara obyektif—pendekatan yang seperti ini membedakan revolusioner dengan para filsuf bajingan.