Tim Katalis
Fobia Seksual Para Ulama dan Birokrat Islam
Represi Seksual oleh Agama dan Pemberontakan Libido
RUU APP:Fobia Seksual Para Ulama dan Birokrat Islam
Represi Seksual oleh Agama dan Pemberontakan Libido
Introduksi
RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP), sebelum mencapai keputusan peresmiannya, kini telah mulai memakan korban. Belasan pengecer koran ditangkap karena menjual tabloid-tabloid dan media-media yang dianggap porno, sementara para pemimpin redaksi media tersebut hanya dikenai hukuman wajib lapor; dua orang perempuan yang berprofesi sebagai penari tarian tradisional, ditangkap karena meliuk-liukkan tubuhnya dan dianggap mengundang berahi. RUU ini juga akan mengkriminalkan semua perempuan yang sekedar berpakaian dengan pusar yang terlihat, ia juga akan menyerang siapa saja yang mengekspresikan afeksinya dengan berciuman. Pada hakekatnya, RUU ini, menurut para pendukungnya, akan mengurangi kehancuran moral bangsa Indonesia. Dengan menggunakan pasal-pasal yang multitafsir, sedikit demi sedikit ia mendekati titik final pengesahannya—tidak peduli seberapa banyak penentangnya—pada bulan Juni 2006.
Fenomena lain memperlihatkan bahwa pada akhirnya RUU APP ini mengarah pada tudingan bahwa hal ini adalah agenda politik tertentu, seperti yang dikatakan oleh Ayu Utami bahwa, "Keadilan tidak memiliki batas waktu, politik yang punya batas waktu." Bahkan lebih jauhnya lagi, RUU ini mau tidak mau dicurigai sebagai sebuah agenda politik para elit Islam semata—mengingat bahwa RUU ini dicetuskan pertama kalinya oleh wakil dari PKS, dan didukung di tataran akar rumput oleh para ulama termasuk oleh Aa Gym yang terkenal reaksioner itu, dan bahkan juga oleh teror FPI yang mengancam akan mensweeping siapa saja anggota DPR yang masih tidak setuju pada RUU ini serta yang berpotensi menggagalkan pengesahannya. Kecurigaan ini memang tidak berlebihan, semenjak MUI, selaku elit dan birokrat kediktatoran yang berkedok agama Islam, pada tahun 2005 lalu memfatwakan bahwa pluralisme adalah haram. Saat sebuah fatwa anti-pluralisme diputuskan, maka mutlak para pengikutnya akan memiliki nilai kebenaran yang tak dapat ditawar lagi: selain kebenaran yang mereka pegang, semua kebenaran lain adalah salah dan layak dihancurkan dengan cara apa pun. Tak akan ada lagi tersisa dialog.
Perda Anti-Pelacuran yang diluncurkan di kota Tangerang, bahkan bertindak lebih parah lagi dan mulai mengingatkan pada horor yang dialami oleh perempuan-perempuan di Afghanistan pada era kekuasaan Taliban. Sweeping dilakukan oleh polisi, untuk menangkapi perempuan-perempuan yang berada di luar rumah lewat pukul 7 malam—karena bagi mereka, semua perempuan yang masih berada di luar rumah dianggap pelacur. Korbannya, seorang ibu rumah tangga yang sedang minum teh botol di pinggir jalan, seorang istri yang hamil dua bulan dan sedang menunggu angkutan kota sepulangnya ia dari tempat kerja, seorang istri di kamar hotel yang sedang menunggu suaminya keluar membeli makan. Mengesampingkan semua fakta tersebut, Pemerintah Kota Tangerang mengaku bahwa polisi mereka tidak bertindak asal tangkap, dan selektif dalam memilih siapa yang harus ditangkap.
Di sana, di sini, berbicara tentang pornografi yang berarti berbicara tentang seks, seakan sebuah monster yang mengerikan yang harus dikikis dari dunia yang dianggap bermoral, setidaknya dari sudut pandang agama. Kini pertanyaannya, sehoror apakah seks itu? Mengapa ia selalu dituding sebagai sumber kehancuran kehidupan sebuah bangsa?
Latar Belakang Meletusnya Pemberontakan Libido
Para pendukung RUU APP selalu mengacu pada kenyataan bahwa seks telah menjadi sedemikian tak terkendali di tengah kehidupan masyarakat modern. Dan hal itu yang selalu didengung-dengungkan oleh para imam pengkotbah di masjid-masjid maupun media-media internal mereka. "Seks telah menjadi sangat menyimpang," demikian kata seorang imam di kala ceramah hari Jum’at di sebuah masjid Bandung, "dan sebelum segalanya terlambat dan terlalu merusak, kita harus segera menghentikan semua praktek penyimpangan itu." Maka, dengan kata lain, menurutnya, seks hanyalah sebuah aksi prokreasi alias sekedar untuk memperpanjang keturunan, dan semua aktifitas seksual yang memberi nilai lebih pada sisi kenikmatannya dianggap sebagai sebuah penyimpangan. Berbicara mengenai penyimpangan, publik Indonesia lebih akrab dengan aktifitas seksual “tak biasa” yang dapat dirunut pada buku yang ditulis oleh seorang penderita voyeurisme, Jakarta Undercover, di mana dilaporkan olehnya bahwa di Jakarta praktik seks memang telah menjadi sedemikian “tak biasa”.
Tapi sebelum langsung mencap hal tersebut sebagai sebuah penyelewengan, ada baiknya kita melihat konsep yang dikemukakan oleh salah seorang penggiat Frankfurt School, Herbert Marcuse, bahwa pada kodratnya seksualitas adalah polymorphous perverse, penyimpangan yang beraneka ragam. Konsep Marcuse tentang seksualitas lahir seiring dengan analisa dan refleksinya tentang revolusi seks yang dicemaskan oleh para ulama Islam di Indonesia.
Abad pertengahan, agama berkaitan erat dengan politik. Sesuatu yang benar menurut politik dan dilegitimasi oleh agama, menjadikan politik itu sendiri sebagai sesuatu yang suci. Segala sesuatu diatur oleh aturan berdasarkan norma agama, termasuk seks. Seks ditentukan oleh kekuatan dan kekuasaan di luar individu, yang artinya seperti apa definisi seks, bagaimana praktik yang diperbolehkan, sejauh apa pemahaman tentangnya diterima, semua didikte keras oleh agama melalui instrumen politiknya. Dan tentu, seperti penyakit kronis yang dialami oleh banyak agama, dengan demikian pandangan soal seks dipersempit dengan hanya mendefinisikannya sebagai aktifitas reproduksi semata.
Situasi ini berubah dengan datangnya masyarakat borjuis. Ciri masyarakat borjuis adalah sikap mental yang mengarah pada efisiensi, penumpukan modal dan perluasan investasi yang kompetitif. Untuk meraih itu semua, diperlukan rasio yang kuat dan dingin. Maka, ciri lain masyarakat tersebut adalah juga rasionalitas. Segala sesuatu dikontrol oleh rasio, dan di bawahnya, seks yang dipersempit maknanya dan ditindas oleh masyarakat agama, kini dikontrol oleh rasio. Rasio mengatur bagaimana agar seks menjadi efektif, tidak hanya sebagai prokreasi, tapi juga untuk memajukan iklim kompetitif itu sendiri. Jelas, upaya ini tidak berhasil, mengingat bahwa seks adalah bagian dari hidup emosi dan afeksi manusia. Seks, tak bisa diatur dan ditundukkan oleh rasio, kecuali apabila semuanya dijalankan oleh represi. Maka, hal itu menjadi pilihan rasionalisme masyarakat borjuis, yang dengan dalih membebaskan seks dari represifitas agama, kembali merepresinya. Akhir abad sembilan belas, situasi berubah drastis. Seksualitas manusia bangkit membebaskan diri dari represifitas yang dipraktekkan atas mereka selama berabad-abad. Dua orang teoris ternama hadir di garda depan pemberontakan ini, Sigmund Freud dan Herbert Marcuse.
Sigmund Freud dalam menghadapi represi seksual, tampak mendua. Satu sisi ia melakukan protes keras terhadap represi seksual, tapi di sisi lain ia begitu khawatir juga terhadap gelora dahsyat naluri seksual. Seperti pemikir borjuis lain, Freud yakin, bahwa peradaban manusia bisa dipertahankan hanya apabila ia mampu mengontrol naluri seksualnya. Bukan dengan cara merepresinya seperti yang dilakukan oleh para penguasa sebelumnya, tapi dengan mengarahkannya atau dengan kata lain, mensublimasikannya. Bukan represi libido, tapi manajemen libido.
Sementara Herbert Marcuse berpendapat bahwa peradaban modern dibangun di atas represi rasio atas spontanitas manusia. Spontanitas manusia ditindas agar masyarakat mampu menghasilkan lebih dan lebih, sesuai dengan prinsip hasil dan keuntungan dari masyarakat borjuis. Atas penindasan inilah, yang menurut Marcuse akhirnya meletupkan revolusi seksual di tahun 1960-an. Para aktifis revolusi seksual tahun 1960-an, yakin bahwa represi terhadap naluri seksual telah mengarah pada agresifitas yang tak tersalurkan secara seksual dan terepresentasikan melalui agresifitas fasisme dan perang, termasuk kekerasan harian yang melingkari peradaban manusia modern. Menurut mereka, apabila seks dibebaskan, maka ia juga akan membebaskan manusia dari kejahatan-kejahatan yang ditimbulkannya apabila ia direpresi. Maka, praktik seks mulai diumbar di mana-mana dan secara terang-terangan. Di manapun dan kapan pun. Melihat konteks ini maka konsep Marcuse menjadi jelas, bahwa seks adalah sebuah polymorphous perverse. Pertama, karena ragam praktik seksual mulai berlawanan dengan praktik seksual yang biasa; kedua, karena tak kenal batas itu pulalah sesungguhnya kodrat dan hakikat seksualitas manusia itu sendiri. Hanya dengan menuruti kodrat itulah maka manusia tidak hanya menjadi jujur dan otonom, tapi juga terbebas dari penindasan terhadap nalurinya.
Dengan memperhatikan apa yang terjadi di Indonesia, dari meluasnya industri pornografi terselubung hingga praktik seksual yang telah terjadi di kalangan anak-anak muda secara terbuka, masyarakat sedang berjalan menuju keterbukaan. Di bawah bendera keterbukaan, segala sesuatu dituntut menjadi otonom, sementara otonomi menolak dogma-dogma atau ideologi-ideologi yang bersifat mengikat. Dan itulah yang sangat ditakutkan oleh ulama-ulama Islam.
RUU APP: RUU APP:Fobia Seksual Para Ulama dan Birokrat Islam
Paradoks Pemberontakan Libido: Deseksualisasi Seks
"Sex is missing, it's because we have too much sex this day.”
—Jean Baudrillard
Revolusi seksual yang seringkali dianggap sebagai sebuah pelepasan belenggu represifitas, ternyata juga tidak melulu sempurna. Represi masih ketat berlangsung di tengah-tengah masyarakat yang dianggap telah membebaskan seks. Seks justru menjadi sebuah industri baru yang terang-terangan. Dan dalam dampak lainnya, seks tidak lagi bersifat privat, melainkan publik. Seks bukan lagi sekedar keintiman terdalam dari dua orang manusia. Seks yang berkekuatan sangat dahsyat menjadi lepas tak terkendali. Masalahnya, dalam seks yang meninggalkan posisi sebagai bentuk keintiman sebuah relasi, ia memaksa manusia untuk menjadi pribadi-pribadi eksibisionis.
Eksibisionis di sini bukan sekedar dalam artian seseorang yang gemar mempertontonkan alat kelaminnya pada publik seperti yang dipahami oleh banyak orang. Eksibisionis di sini ialah dalam artian bagaimana seorang individu bukan lagi mempertontonkan ketelanjangannya, melainkan individu yang mendapat kenikmatan saat dirinya ditonton. Ini terlihat jelas dalam dunia mode fashion. Mode bermain-main dalam batas-batas imajinasi—ia mempermainkan imajinasi. Orang tidak perlu lagi telanjang, tapi ia justru memainkan fantasi ketelanjangan. Orang juga berlomba-lomba untuk tampil seksi—tak peduli perempuan atau lelaki. Batasan-batasan tentang keseksian juga mulai dibentuk dalam masyarakat industri. Perhatikan saja iklan di televisi, perempuan yang seksi adalah mereka yang berambut hitam dan berkilau, serta menggunakan ponsel keluaran terbaru. Sementara lelaki, adalah mereka yang menenggak minuman penambah energi, menghisap rokok merk tertentu atau seperti yang dikatakan oleh salah satu iklan, "Kerempeng, mana keren?"
Pribadi-pribadi eksibisionis ini jelas menjadi cenderung narsistis. Ia memuja dirinya, bukan lagi sekedar merayakan tubuhnya. Ini juga diperparah oleh kondisi masyarakat urban modern yang telah memilah-milah manusia menjadi individu-individu yang terpecah dan tercerabut dari komunitasnya—dengan ilusi-ilusi individual yang ditawarkan oleh industri media seperti slogan "Gue banget." Ia juga dibentuk oleh lingkungan terdekatnya semenjak kecil dalam tipe keluarga nuklir yang teratomisasi, yang ironisnya justru menjadi tipe keluarga ideal masyarakat modern. Bagi pribadi-pribadi narsistis, mengutip kata-kata Erich Fromm, sebagai manusia yang hanya mementingkan "perasaannya, pikirannya, semangatnya, keinginannya, tubuhnya, keluarganya, pendeknya semuanya, yang merupakan adanya dan (dianggap) miliknya." Apa yang ada di luar dirinya adalah sesuatu yang sama sekali tidak penting. Ia tidak pernah menilai dirinya dari berbagai sudut pandang, tapi ia hanya menilai dirinya, dari dirinya sendiri dan terlepas dari segala sesuatu di luar dirinya. Hasil akhirnya mudah ditebak: individualisme yang terlepas dari komunitas, konsumerisme, luxurisme. Alienasi total. Ia hanya melihat segala sesuatu dari kenikmatan yang diperoleh dirinya, apabila sesuatu hal dianggap tak membuatnya nyaman, maka hal itu yang salah. Ia tak pernah melihat bahwa ada kemungkinan dirinyalah yang bermasalah.
Seks yang terpublikkan secara otomatis juga merajai ruang publik, telah mentransformasikan orgasme dalam segala bentuknya, ia telah mulai menghancurkan nilai kebebasan yang semula diusungnya. Di Jerman, ada sebuah pepatah yang berkata, die Vergesellschaftung des Orgasmus atau dengan kata lain: pemasyarakatan orgasme. Segala hal menjadi satu. Uang, materi dan seks, telah menjadi satu dalam satu tujuan: orgasme. Konsekwensinya, materi dan uang bisa ditawarkan dengan efektif, bila ia disatukan dengan seks. Ini jawaban mengapa iklan mobil mewah seringkali diembel-embeli dengan perempuan seksi, mengapa industri rokok menjajakan produknya dengan memanfaatkan perempuan-perempuan cantik dan seksi, begitu juga dengan produk lainnya. Lelaki dipaksa bekerja untuk mampu mengkonsumsi suatu produk, sementara perempuan dipaksa bekerja untuk menjajakan suatu produk. Dan keduanya diikat oleh kehausan (yang tersamarkan) untuk orgasme. Tatanan ideal masyarakat konsumer.
Pada gilirannya, revolusi seksual yang disuguhkan masyarakat industri justru telah mendeseksualisasikan seks.
Seks tidak lagi dinikmati dan dipahami sebagai seks. Seks kini dinilai dan ditemukan dalam sebuah produk. Seks menjadi kehilangan keutuhannya, ia telah terfragmentasikan. Kini, orang semakin haus akan orgasme yang mendalam, yang terus dicari melalui konsumsi segala hal, dari konsumsi produk yang tak terkait langsung dengan seks, maupun produk seks seperti alat-alat bantu seks, mode-mode seksi dan erotik, tawaran-tawaran entertainment seksual dan lain sebagainya. Tidak heran apabila lantas tabloid-tabloid yang belum lama ini marak dan memiliki oplah penjualan yang tak pernah surut, adalah tabloid yang bertemakan seks. Problemnya, semakin kedalaman orgasme itu dicari melalui seluruh produk tersebut, semakin ia menjauh. Tanpa sadar, seks telah menghilang dan memudar. Dan hal ini terjadi di tengah kondisi yang semakin permisif terhadap seks. Saat energi seksual dilepaskan tanpa kendali sama sekali dan diinkorporasikan dalam sebuah komoditi.
Kita semua telah memahami, saat sesuatu telah terinkorporasikan, maka sesuatu tersebut hanya dapat dimiliki apabila kita memiliki uang. Demikian juga dengan seks. Tanpa uang, tak akan ada seks.
Inilah paradoks yang lahir dari jalan panjang pembebasan sejak meletusnya pemberontakan libido: libido kini terpenjara dalam kapitalisme. Dan jelas, bahwa pembebasan seksual dalam masyarakat industri tidak memberikan jalan menuju pembebasan, ia hanya mengembalikan seks ke bawah represi seperti yang dialaminya di bawah kekuasaan otoritarian agama di abad-abad sebelumnya.
RUU APP: Fobia Seksual Para Ulama dan Birokrat Islam
Legitimasi untuk Menginvasi Ruang-Ruang Privat Terakhir
"It's because the real threats to Indonesia's fragile morality, particulary corrupt officials, are too dangerous to attack.”
—Inul Daratista, dalam interview dengan majalah Time.
Seperti telah diterangkan sebelumnya, seks seringkali dinilai sebagai sebuah urusan libido dan tubuh, yang pada gilirannya justru memperbudak tubuh dan gairah manusia sendiri. Sebelum meletusnya revolusi seksual, seks difragmentasikan sebagai sekedar aktifitas prokreasi yang jelas memenjarakan gairah dan kenikmatan yang dihadirkan, dan ia juga menjadi alasan untuk menghakimi tubuh. Seks terasing dari tubuh. Seks menjadi sesuatu yang tabu. Seks menjadi sebuah praktek yang disertai ketakutan dan perasaan bersalah.
Harus diakui, agama setidaknya ikut bersalah dalam fragmentasi seks. Agama yang merayakan keberadaan seks semestinya tidak memusuhi seks, menerima seksualitas dalam segala aspeknya, termasuk ketubuhannya. Hal ini yang sepertinya tidak dapat diterima oleh para ulama dan birokrat Islam, apabila tidak bisa dibilang bahwa ini adalah penyakit yang diderita oleh para ulama dalam MUI. Mereka memandang bahwa semakin mereka merendahkan seks demi alasan rohani, semakin mereka menjadi suci. Padahal kesucian tidak terjadi karena seseorang merepresi gairahnya sendiri, yang ada hanyalah represi yang kemudian ditransformasikan dalam bentuk kebencian terhadap tubuh—yang dalam masyarakat patriarkis seringkali ditargetkan pada tubuh yang dianggap membangkitkan gairah seksual oleh kaum lelaki: tubuh perempuan.
Perhatikan, betapa pasal-pasal dalam RUU APP jelas-jelas menyerang perempuan, memposisikan mereka sebagai sumber “kekotoran” dan segala kehancuran moral—dalam hal ini moralitas Islam. Perempuan dilarang memperlihatkan tubuhnya karena dianggap dapat membangkitkan gairah seks, gairah yang dianggap rendah dan tak suci. Hal ini artinya: tubuh perempuan itu rendah dan tak suci. Perempuan diajarkan untuk membenci tubuhnya sendiri. Di sisi lain, tubuh perempuan lantas diklaim melalui berbagai pembenaran sebagai "milik sang suami". Sebagai sebuah benda kepemilikan, ia tentu bisa diperlakukan dan digunakan kapan saja dengan menempatkan dosa dan hukuman bagi para perempuan yang tak bersedia menyerahkan tubuhnya bagi sang suami. Saat perilaku misogini (membenci perempuan) diadopsi, kebencian itu justru seringkali terletupkan dalam bentuk kekerasan seksual terhadap tubuh perempuan. Perhatikan saja, betapa di Arab Saudi yang merepresi seks melalui beragam aturan hukum dan undang-undangnya justru menjadi salah satu negara di mana kekerasan seksual terhadap perempuan menempati posisi yang tertinggi. Demikian juga Afghanistan di era kediktatoran Taliban yang misoginis.
Itu juga hal yang ironisnya tak mampu ditangkap oleh rata-rata muslimah sendiri. Puluhan muslimah selalu turut unjuk rasa di jalan-jalan menuntut agar pelegalan RUU APP dipercepat sesegera mungkin. Perhatikan ucapan Neno Warisman mengenai RUU APP yang belum lama berselang, "RUU ini bagus karena berguna bagi anak-anak dan generasi mendatang yang selama ini selalu digempur oleh tayangan-tayangan yang berbau porno dan membangkitkan syahwat. Maka saran saya adalah agar mereka yang selama ini gencar melakukan penolakan, tolonglah agar mereka memahami betul isi pasal-pasal RUU itu."
Jelas, komentar tersebut adalah komentar dari seorang yang imbisil, seperti yang rata-rata diderita oleh para selebriti yang eksibisionis.
Ia, seperti juga para pendukungnya yang lain, sekedar melihat RUU APP dalam kacamata moralitas Islam. Hal yang lebih mengerikan dari RUU tersebut seperti bagaimana ia bisa mendapatkan legalitas untuk menyerang siapa saja yang memiliki keyakinan berbeda. Dan mereka telah menyatakan diri mereka sendiri sebagai seorang yang secara intelektual tak mampu melihat problematika yang ada di balik fenomena maraknya pornografi dan pornoaksi (yang sebenarnya sebuah terminologi mengada-ada yang tak terdapat dalam kamus apa pun—sesuatu yang makin membuktikan bahwa mereka tak lebih dari sekedar makhluk imbisil).
Problematika fragmentasi seksual yang membuat seks menjadi teralienasi dengan hidup itu sendirilah yang seharusnya dipahami dan dicari solusinya. Sekedar menyerang seks sebagai sebuah gairah kebinatangan (seperti yang selalu dilakukan oleh media massa, di mana di satu sisi seks dieksploitasi habis-habisan, di sisi lain gairah seks dianggap rendah seperti dengan seringnya kata itu diganti dengan "gairah kebinatangan", atau "nafsu purba" yang selalu berkonotasi merendahkan) tak akan membawa ke mana-mana selain justru mengasingkan dan merendahkan diri mereka sendiri. Abad pertengahan telah memperlihatkan pada kita semua tentang hal demikian, belum lagi negara-negara yang mengaku menerapkan syariat Islam dengan membenarkan sikap misoginisme mereka, juga Perda kota Tangerang yang mulai memangsa korban-korban perempuan.
Dalam kasus demikian, dengan alasan apa pun, penerapan aturan demikian hanya akan menyerang semua orang, dengan korban pertamanya adalah perempuan, anak-anak dan mereka yang miskin. Perempuan yang terpaksa bekerja sekedar untuk bertahan hidup di bawah kepungan rezim ekonomi yang semakin represif, yang melakukan segala cara yang dianggap mungkin demi menghidupi anak-anaknya, adalah target-target pertama. Setelah mereka, tentu saja, anak-anak para perempuan itulah yang menjadi korban selanjutnya. Dan itu semua hanya akan dialami oleh mereka yang miskin. Dan pada gilirannya, laki-laki juga akan menjadi korban akibat pelimpahan berbagai tanggung jawab yang seharusnya dapat dibagi bersama partner perempuannya.
Maka jelas, para pendukung RUU APP hanyalah kelas menengah ke atas yang dapat dengan seenaknya menyalahkan seseorang atas hidup yang dijalaninya, tanpa mampu memahami mengapa hidup berjalan seperti ini. Ia mengenakan kedok Islam untuk mendapatkan legalitas dan dukungan publik, melibas seluruh kekuatan yang berseberangan dengannya—termasuk kekuatan-kekuatan Islam sendiri. RUU APP hanyalah sebuah usaha negara dan kelompok dominan yang kebetulan Islam, untuk mendominasi individu-individu di dalamnya hingga ke ruang-ruang yang paling privat. Seperti novel terkenal George Orwell, 1984, di mana ruang-ruang privat tidak lolos dari cengkeraman negara. Manusia kehilangan kebebasannya, hingga ke pelosok yang terdalamnya.
Selamat, kita sedang menuju sebuah negara totaliter dengan Big Brother yang bernama MUI, beserta barisan tentaranya yang bernama FPI.