Vadim Damier & Kirill Limanov
Anarkisme di Indonesia
GERAKAN SAYAP KIRI di Hindia Belanda dengan jelas muncul lewat pengaruh dari para Sosial Demokrat dan Sosialis Belanda. Tetapi hanya sedikit gagasan tentang Anarkis yang diketahui.[1] Walau begitu salah satu yang pertama kali mengkritik sistem kolonialisme di Hindia Belanda adalah penulis-anarkis Edward Douwes Dekker, yang dikenal dengan nama samarannya yaitu ‘Multatuli’ (1820–1887). Ia bekerja pada tahun 1842–1856 di dalam pemerintahan kolonial Hindia Belanda, di situ ia berkenalan dengan kebrutalan kolonialisme dan membuat pidato, karya seni serta artikel yang menyerang, dan mencoba untuk membangkitkan opini publik melawan penjajah. Pada awal abad ke-20, teks-teks Multatuli memberi pengaruh signifikan pada pekerja Anarkis dan sindikalis di Belanda.[2]
Cucu laki-laki Multatuli, Ernest François Eugène Douwes Dekker (1879 – 1950), campuran dari keluarga Eropa-Indonesia, menjadi salah satu pejuang gerakan anti-kolonial di Hindia Belanda. Selama perjalanannya ke Eropa pada tahun 1910–1911, ia menjalin kontak dengan pejuang gerakan radikal untuk pembebasan koloni, termasuk dengan Shyamaji Krishnavarma India, yang kemudian hari menggambarkannya sebagai “anarkis politik,” yang menjalankan taktik-taktik gerakan individual dan pembunuhan. Di majalah Het Tijdschrift yang diterbitkan oleh E.F.E. Douwes Dekker di Jawa sejak tahun 1911, artikel-artikel dari penulis kiri dan radikal asing diterbitkan, termasuk Krishnavarma dan anarkis India Har Dayal. Penerbit di dalam penekanan dirinya yang dia tulis, mengingatkan pembatasan hak pekerja di Eropa itu sendiri, dan dia tidak percaya bahwa demokrasi parlementer dapat berguna sebagai jalan menuju masyarakat yang ingin ia ciptakan. Dia mengisyaratkan kemungkinan untuk menggunakan metode kekerasan yang revolusioner, meskipun dia menambahkan bahwa jalur revolusioner yang diusulkan tidak selalu menggunakan metode kekerasan. Pada bulan Februari 1913, dia secara terbuka menulis bahwa perlawanan terhadap kolonialisme adalah tugas moral, karena tidak peduli seberapa “lunak” rezim kolonial, sistem ini selalu didasarkan pada ketidaksetaraan, ketidakadilan dan hak istimewa para penguasa, dan oleh karena itu mau tidak mau kolonialisme adalah bentuk dari despotisme dan tirani. Sebagai metode perjuangan, E.F.E Douwes Dekker menyebutkan demonstrasi, agitasi, revolusi, perlawanan pasif, pemogokan (terutama di bidang komunikasi dan transportasi), boikot dan pemberontakan. Dia menyambut baik gerakan revolusioner modern di berbagai negara yang ada di dunia dan, mendukung propagandis anarkis dan sosialis di Eropa, menyambut sabotase dan sindikalisme, mengutuk sosialisme reformis. Dia menyebut Yesus Kristus sebagai “seorang anarkis yang agung” dan pejuang bagi kebebasan.[3] Meskipun demikian, pada tahun 1912 Douwes Dekker mendirikan Indische Partij, tidak ada anarkisme dalam programnya, juga dalam aktivitas organisasi ini.
Serikat pekerja yang muncul di Hindia Belanda dari dekade pertama abad ke-20, dipengaruhi oleh kaum sosialis Marxis, yang pada bulan Mei 1914 membentuk Perhimpunan Sosial Demokrat Hindia (ISDV). Anggota perhimpunan tersebut juga bekerja secara aktif di ketentaraan kolonial dan angkatan laut, yang bergabung dalam serikat adalah anggota-anggota dari armada kapal Hindia Belanda yang memiliki pangkat rendah. Selama Perang Dunia Pertama –kelompok yang menyebut dirinya “Serikat Tentara dan Pelaut” (Union of Soldiers and Sailors), pada bulan November 1918 melakukan pemberontakan tentara dan angkatan laut di Surabaya, juga melakukan pembentukan Dewan Deputi Tentara dan Pelaut. Terlepas dari hegemoni Sosial-Demokrasi di dalam gerakan ini, ada pula referensi tentang pengaruh anarkis di dalamnya, meskipun tidak sepenuhnya jelas dari sumber tersebut, apakah mereka merupakan pendukung gagasan anarkis yang sadar, atau definisi ini hanya merujuk pada sentimen kata anarkis itu sendiri.
Ada tulisan laporan mengenai aksi-aksi yang dijalankan oleh pelaut -militer di Surabaya tersebut, aksi itu berlangsung pada tanggal 7 Mei 1916, disebabkan oleh ketidakpuasan perlakuan oleh atasan, gizi dan perawatan kesehatan yang buruk, juga kurangnya kebersihan serta kemarahan karena merasa tersiksa atas perang. Surat kabar lokal, Soerabaijasch Nieuwsblad menyebutkan bahwa: seorang “pelaut yang sangat muda dengan ide anarkis yang jelas” mencoba meyakinkan rekan-rekannya untuk tidak menghentikan pelanggaran hukum. Demonstrasi tersebut diadakan tanpa persetujuan pimpinan Serikat Pelaut dan berujung pada bentrokan dengan polisi. Selama baku tembak, 5 orang terluka. Kaum Sosial Demokrat hampir tidak berhasil menghentikan protes tersebut. Dalam gelombang represi berikutnya, salah satu pengorganisir gerakan tersebut dijatuhi hukuman 8 bulan penjara, dan disusul oleh pemecatan 47 pelaut lainnya.[4] Pimpinan Serikat Pekerja Belanda di jajaran bawah mengkritik cabangnya di Surabaya karena tidak dengan cepat menjauhkan diri dari aksi tersebut, dan pemimpin Partai Pekerja Sosial Demokratik Belanda, Pieter Jelles Troelstra, bergumam bahwa telah terjadi ‘hilang kendali’ atas kepemimpinannya di serikat pekerja, akibatnya, “unsur-unsur anarkis di antara personil mendapatkan kebebasan bertindak.”[5] Partai tersebut menyatakan untuk perlunya melawan “elemen-elemen anarkis” di dalam serikat tentara (Union of Soldiers).[6] Sementara komandan dari Royal Dutch East Indies Army, Van Rietschoten, menepis fakta bahwa militer bergabung dengan serikat pekerja dan asosiasi yang membuat “propaganda anarkis” tersebut.[7]
Karya-karya propaganda di Hindia Belanda dilakukan oleh banyak anarkis-kristen dan Tolstoysian yang mengorganisir Gerakan untuk Kehidupan Bersih di Belanda pada tahun 1901. Pada tanggal 1 Januari 1907, gerakan tersebut mulai menerbitkan Majalah Levenskracht dalam skala waktu bulanan, yang disunting oleh Dirk Lodewijk Willem van Mierop (1876 – 1930), yang merupakan salah satu pejuang Perhimpunan Anarko-Komunis Religius (Union of Religious Anarcho-Communists). Publikasi tersebut menganjurkan non-kekerasan, kehidupan di alam, pakaian alami, vegetarianisme, dan sebagainya. Melalui publikasi itu, agitasi aktif juga dilakukan di Hindia Belanda, di mana pada tahun 1923 sebuah cabang dari gerakan ini dibentuk.[8]
Anarkis Cina mencoba menyebarkan gagasan revolusioner di kalangan penduduk Tionghoa di Belanda. Zhang Ji, yang nantinya akan berpartisipasi dalam Tokyo Asian Solidarity Society di tahun 1907, menghabiskan beberapa waktu di Jawa, di mana dia menerjemahkan bagian dari buku berbahasa Inggris, “The History of Java.” Ia juga mengobarkan perlawanan kelompok imigran China terhadap kekuasaan kolonial Belanda. Terjemahannya diterbitkan dalam surat kabar Zhongguo ribao, yang diterbitkan di Hong Kong sebagai bagian dalam surat kabar revolusioner China.[9]
Kerja-kerja anarkis Cina di Hindia Belanda dimulai sebelum Perang Dunia Pertama, para aktivis lokal bekerja dan menjalin kontak yang erat dengan anarkis-anarkis di China, Filipina dan Inggris Malaya (Malaysia). Awalnya, gagasan-gagasan revolusioner yang berbeda berkelompok di sekitar rumah bacaan China, yang mulai dibuka di seluruh Hindia Belanda sejak tahun 1909 dan menjadi semacam asosiasi politik yang menentang pihak berwenang Belanda dan China, lalu menciptakan surat kabar (“Hoa Tok Po,” “Soematra Po,” dll).[10] Setelah penggulingan monarki di China pada tahun 1911, kaum anarkis memusatkan perhatian pada pengorganisasian gerakan buruh dan menyebarkan gagasan revolusi sosial. Mereka melakukan pekerjaan, khususnya, melalui kantor “Partai Pekerja” (Gongdang/ Kungtong), yang notabene bukan bertindak sebagai partai politik, melainkan sebagai semacam asosiasi pekerja atau organisasi serikat pekerja. Atas prakarsa Biro Komunikasi Partai Buruh di Laut Selatan (Asia Tenggara) yang berbasis di Singapura, cabang-cabangnya didirikan di kota-kota Hindia Belanda seperti Makassar (Celebes), Batavia, Surabaya (di Jawa) dan Kupang (bagian barat pulau Timor).[11]
Rupanya, sel anarkis pertama muncul antara tahun 1914 dan 1916, seperti yang ditunjukkan oleh Review of the Anarchist Movement in the South Seas. Dalam catatan, yang dipublikasikan dalam publikasi anarkis China pada tahun 1927, disebutkan bahwa di Hindia Belanda ada “banyak kawan yang melakukan usaha terbaik untuk menyebarkan propaganda dalam bentuk koran yang dinamai Minsheng [Suara Rakyat] di pelabuhan pulau-pulau Asia Tenggara.”[12] Surat kabar Minsheng didirikan pada tahun 1913 di Cina selatan oleh seorang anarkis, Liu Shifu, dan diterbitkan sampai tahun 1916 dan juga di tahun 1921. Koran ini tersebar luas juga di kalangan orang Cina yang berada di luar China.
Mantan aktivis Liga Persatuan di Cina, Bai Binzhou (Pai Pinchow), yang sebelumnya menggagas surat kabar Batavia bernama Hoa Tok Poe, dan seorang anarkis lainnya, Wang Yuting (1892 – 1967), tiba pada tahun 1918 dari Kuala Lumpur, lalu menerbitkan surat kabar anarko-komunis Zhenli Bao di Semarang.[13] Pada tahun 1918, seorang anarkis Liu Shixin, saudara laki-laki Shifu, mulai mengedit publikasi surat kabar Soematra Po [Surat Kabar Sumatera] di wilayah Deli (Medan).[14][15]
Menurut memoar Liu Shixin, ia pergi ke Asia Tenggara pada musim panas 1918 dengan kelompok beranggotakan 6 atau 7 orang. Awalnya mereka berhenti di Singapura, tapi kemudian mereka pindah ke Sumatra untuk mempropagandakan sosialisme. “Mereka tidak memiliki rencana dan konsep organisasi secara keseluruhan, dengan praktik yang juga sangat buruk.” Segera mereka menarik perhatian polisi setempat, yang memanggil mereka “Bushiwei” (“Bolshevik”).[16]
Pada tahun 1919, di kepulauan-kepulauan Indonesia, kelompok kecil yang bernama Society for the Truth of the Southern Seas yang berbasis di Singapura dibentuk, mereka menyebarkan materi tentang anarkisme.[17] Tokoh yang menonjol dalam Society of Truth, seperti yang dikatakan peneliti China Li Danyang, adalah Liu Shixin.[18] Pada bulan April 1919 di Semarang, pekerja Tionghoa menciptakan “Partai Buruh,” yang sebenarnya berada pada posisi anarkisme. Majalahnya adalah Zhenli Bao yang telah disebutkan sebelumnya, terbit dua kali sebulan. Agitasi aktif di surat kabar ini digaungkan oleh seorang anarkis bernama Wu Dunmin, yang tinggal di Malaya Inggris. Kepada pihak berwenang Inggris di Selangor dia menjelaskan selama interogasi bahwa Zhenli Bao diterbitkan oleh “Partai Buruh” dengan maksud untuk “mempromosikan hak asasi manusia.” Tapi sebenarnya, dia secara terbuka menyebarkan gagasan anarkis dalam publikasi ini. Jadi, dalam sebuah editorial pada tanggal 1 Mei 1919, dia secara jelas menyambut baik perjuangan kelas pekerja di seluruh dunia dan pencapaian gerakan sosialis, dengan menyatakan bahwa untuk mencapai “sebuah tanah komunis yang bebas dan bahagia saling membantu” pekerja mesti menggoyang “belenggu-belenggu yang diciptakan orang kaya,” lalu setelah itu mewujudkan anarkisme.[19] Pada tahun yang sama, Bai Binzhou dan Wang Yuting mendirikan surat kabar Sanbaolong Yuebao [Suara Semarang], diterbitkan sampai tahun 1922.[20]
Kerja-kerja anarkis juga dilakukan melalui cabang lokal Serikat Buruh Tiongkok, atau “Partai Pekerja” di Surabaya dan kota-kota lain.[21] Menurut intelijen Inggris, pihak berwenang Hindia Belanda pada tahun 1918-1920-an mengalami masalah besar dengan masyarakat anarkis Tionghoa di Jawa, Sumatra dan Sulawesi. Lewat pencarian polisi dan dengan banyaknya dokumen yang disita, menunjukkan hubungan anarkis China setempat dengan anarkis-anarkis di China dan Singapura.[22] Setelah itu, pada tahun 1918, oleh East Cost of Sumatra Institute, aktivitas beberapa organisasi pekerja menunjukan memiliki “motif ekonomi” dengan “landasan politik” tertentu. Perhatian khusus diberikan pada distribusi surat kabar berbahasa Mandarin dan Melayu, yang mengungkapkan “gagasan revolusioner dan sosialis.” Juga kerusuhan di perkebunan disertai dengan serangan berulang terhadap administrator Belanda.[23]
Sebagai tanggapan atas intensnya propaganda, pihak berwenang Belanda menahan dua editor Soematra Po pada bulan Maret 1919, termasuk Liu Shixin (dalam dokumen Inggris dia tampil sebagai Shek Sam), dan anarkis lainnya di Medan, dan juga Zhong Fen di Makasar, di pulau pesantren tepatnya. Alasan penangkapan tersebut adalah “dokumen mencurigakan” yang ditemukan oleh polisi, dengan rencana yang mereka sebut dengan “kampanye propaganda utama Bolshevik.”[24] Setelah 52 hari ditahan, Liu Shixin dideportasi dari Hindia Belanda karena menyebarkan gagasan anarko-komunisme dan revolusi Rusia. Pada musim panas 1919, dia kembali ke Guangzhou.[25] Ditangkap di Jawa, Wang Yuting dan Bai Binzhou dideportasi ke Hong Kong pada awal September 1919.[26] Zhong Fen dan agitator aktif lainnya juga dideportasi.
Terlepas dari represi ini, tidak memungkinkan pemerintah Hindia Belanda untuk melenyapkan gerakan anarkis. Dibuktikan pada 1920–1921 di Sumatra, gelombang pemogokan meletus di jalur kereta api milik Perusahaan Kereta Api Deli, juga pemogokan terbesar selanjutnya yang meletus pada awal bulan September 1920. Lima ribu pekerja kuli kontrak dan 10.000 pekerja kereta api sipil menuntut kenaikan gaji. Bergabung juga dalam pemogokan, karyawan pos dan telegraf. Selain itu, petani setempat bersimpati dengan para pemogok, memasok beras dan makanan lainnya.[28] Beberapa peserta dalam pemogokan tersebut menuntut pembalasan terhadap pejabat kolonial Belanda.[29] Banyak pasukan yang ditarik ke daerah Deli, meriam-meriam diarahkan ke bangunan tempat majelis pekerja diadakan.[30] Bermaksud untuk menggagalkan pemogokan tersebut, pemerintah setempat menahan sepuluh aktivis pada awalnya, menuduh mereka melanggar kontrak, dan ratusan pekerja dipenjara bersama dengan yang ditangkap, dengan mengatakan: “di penjara, kami akan memberi makanan yang lebih baik daripada di perusahaan.” Hasilnya adalah mereka yang ditangkap dibebaskan.[31] Di bawah ancaman pemecatan pada semua peserta pemogokan, setelah 15 hari pergulatan, perjuangan yang panjang tersebut pun berhenti dan berakhir.
Inspirator kampanye pemogokan tersebut, menurut pihak berwenang, adalah Zhang Shimei seorang anarkis-komunis dari Fuzhou (di provinsi Fujian di China), yang datang ke Medan dari Singapura.[32] Rincian biografinya, dikutip dalam berbagai sumber, dikatakan menyimpang karena sifat memberontaknya.[33] Diketahui bahwa ia berbicara dengan faseh dalam bahasa Melayu, dan pemerintah takut Zhang akan melanjutkan propaganda anarkis bahkan walau dalam tahanan. Oleh karena itu, dia diasingkan ke New Guinea. Pada tahun 1923, dia diampuni oleh amnesti kerajaan dan dideportasi ke Singapura.[34]
Menurunnya gerakan anarkis di Hindia Belanda ini disebabkan tidak hanya oleh represi, namun juga oleh lenyapnya gerakan di negara tetangga, Malaya. Meskipun sejauh 1926–1927, cabang dari Serikat Pekerja Mekanika Hong Kong yang beroperasi di Hindia Timur mendukung sindikalisme.[35]
Salah satu jejak terakhir kehadiran anarkis China di Hindia Belanda adalah aktivitas Fu Wumen, yang mengagas berbagai publikasi anarkis antara tahun 1918 dan 1924, dan pada bulan September 1928 datang ke Surabaya. Sampai tahun 1929, dia tercatat sebagai pimpinan redaksi koran Dagong Shangbao.[36] Namun, tidak ada bukti keikutsertaannya dalam gerakan anarkis selama periode ini.
Di Belanda, beberapa pemuda Indonesia memiliki kontak dengan anarkis Belanda. Setelah menemukan diri mereka berada dalam lingkungan yang jauh lebih bebas daripada di bawah rezim kolonial di Hindia Belanda, banyak pemuda yang membangun hubungan dengan kekuatan politik sayap kiri (termasuk kaum Sosial Demokrat, kaum sosialis revolusioner, dan Komunis), dan mengambil bagian dalam pekerjaan Liga Internasional melawan Imperialisme dan Penindasan Kolonial, yang pada kongresnya juga para anti-militeris anarkis berbicara.[38] Beberapa pemuda menunjukkan ketertarikan pada anarkisme. Diantaranya, misalnya, perdana menteri pertama Republik Indonesia (1945–1948) Sutan Sjahrir. Sebagai teman dari Salomon Tas -mantan ketua Klub Mahasiswa Sosial Demokratik, Sjahrir telah melakukan kontak langsung dengannya setelah ia datang ke Amsterdam pada tahun 1929 -teman barunya itu “bergerak lebih jauh dan lebih jauh ke kiri untuk mencari rekan-rekan radikal,” sampai akhirnya bertemu dengan segelintir anarkis yang tinggal di komune. Namun, Sjahrir, menurut Tas, dengan cepat pindah dari sini dan tertarik pada sosialisme dengan bentuk yang “lebih praktis.”[39] Setelah Indonesia mendapatkan kemerdekaan, Sjahrir menjadi pemimpin Partai Sosialis Indonesia.
Kenyataan bahwa kaum nasionalis muda Indonesia pada akhirnya tidak sependapat dengan anarkis Belanda, bukanlah kebetulan. Meskipun anarkisme menentang dan melawan kolonialisme, namun sangat kritis terhadap gagasan untuk menciptakan negara-negara nasional baru. Anarkis Belanda menekankan bahwa kemerdekaan nasional tidak akan menghilangkan posisi pekerja yang dieksploitasi di koloni-koloni, namun hanya akan menggantikan penindasan para penjajah dengan penindasan oleh kaum borjuis mereka sendiri, militer mereka sendiri, dan sebagainya. Berbicara di sebuah kongres anti-kolonial di Brussels pada tahun 1927, perwakilan Komisi Antimiliter Internasional, anarko-sindikalis Arthur Müller-Lehning, memperingatkan masyarakat yang tertindas untuk tidak mengikuti teladan Barat dengan menciptakan negara-negara baru. Dia mendesak mereka untuk memperbarui kehidupan sosial dengan semangat menghilangkan kelas.[40] Dan di Kongres Liga melawan Imperialisme di Frankfurt am Main (1929), delegasi Biro Anti-Militeris Internasional, seorang anarkis yang bernama Bart de Ligt, menyatakan bahwa perjuangan seharusnya tidak hanya dilancarkan melawan kolonialisme dan kekuatan imperialisme “putih,” tapi juga melawan nasionalisme di antara negara-negara tertindas; bukan untuk kekuatan borjuasi nasional, tapi untuk “dunia Internasional yang bebas dan terbuka (tanpa sekat negara) … dari semua bahasa dan ras.” Dia menghubungkan perjuangan kaum nasionalis untuk menciptakan negara-negara merdeka dengan keinginan para elit negara-negara untuk mendominasi. “Di mana-mana di belahan dunia ini kita melihat munculnya kelas borjuis asli yang rindu untuk menciptakan kekuatannya atas dasar eksploitasi massa luas dengan negaranya.” Kelas baru ini pasti berjuang di sana untuk kemerdekaan nasional, namun pada saat bersamaan membangun sistem ekonomi baru yang dipinjam dari kaum borjuis putih…”- itulah penjelasan dari antimilitaris Belanda tersebut. Dia menyerukan perjuangan melawan militerisme dalam gerakan pembebasan, dan juga menyerukan anti-imperialisme, yang seperti ditunjukkan oleh pengalaman di China, hanya dapat mengarah pada imperialisme baru Tiongkok. Posisi opininya jelas, ia mendukung gerakan tidak bersenjata dan non-militeristik.[41] Jelas bahwa pernyataan semacam itu dapat tidak populer di kalangan aktivis yang ingin menciptakan negara borjuis nasional mereka sendiri.
Pada saat proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, tidak ada tanda-tanda adanya gerakan anarkis dalam bentuk apapun di negara ini. Elit politik negara baru menggunakan label “anarkisme” untuk mengutuk lawan-lawan mereka. Setelah tahun 1945, para pekerja mulai secara spontan merebut rel kereta api, perusahaan industri dan perkebunan, membangun kontrol atas mereka, dan pihak berwenang setempat menjuluki gerakan ini “anarko-sindikalisme.” Seperti yang ditunjukkan oleh peneliti Jafar Suryomenggolo, istilah ini dipinjam dari literatur Marxis untuk menggambarkan bahaya dan risiko pekerja yang lepas kendali dari negaranya, namun label tersebut tidak dimaksudkan untuk menggambarkan proses sebenarnya dari kontrol pekerja, namun untuk menolak dan mengecap buruk fenomena dari gerakan kelas pekerja itu. Abdulmajid, yang menjadi pemimpin mahasiswa Indonesia setelah keberangkatan Hatta, dan kaum sosialis lainnya “membawa” ungkapan anarko-sindikalis dari Belanda. Seperti pada bulan Februari 1946, Wakil Presiden Hatta secara terbuka menyerang “sindikalisme,” berbicara pada sebuah konferensi ekonomi di Yogyakarta bahwa perusahaan-perusahaan tersebut telah melewati kontrol negara.[42] Presiden Soekarno, pada gilirannya, mengkhawatirkan kecenderungan “anarko-sindikalis” di Partai Buruh Indonesia yang diciptakan oleh serikat pekerja.[43] Tapi tuduhan ini tidak ada kaitannya dengan gerakan anarkis atau anarko-sindikalis yang sesungguhnya.
Diketahui, anarkisme muncul kembali di nusantara pada tahun 1990an. Pada tahun 1993–1994, sebuah skena punk Indonesia muncul. Perlahan-lahan, bagian itu beralih ke aktivitas anti-kediktatoran dan anti-fasis; mereka membangun hubungan dengan gerakan sosial dan dengan gerakan buruh. Seperti yang dideskripsikan oleh aktivis Indonesia, gerakan anarkis muncul sekitar tahun 1998. “Pada waktu itu anarki identik dengan punk, dan beberapa orang di komunitas itu mulai menaruh perhatian lebih pada ideologi dan nilai anarkis. Sejak saat itu, wacana anarkis mulai berkembang di antara individu dan kolektif di komunitas punk/hardcore, dan kemudian berada dalam kelompok aktivis, pelajar, pekerja yang lebih luas,…” Diskusi dimulai tentang bagaimana menciptakan kelompok dan organisasi secara non-hierarkis dan terdesentralisasi. Pertama-tama, majalah-majalah kecil mulai diterbitkan, di mana berbagai masalah gerakan sosial dibahas: pertanyaan tentang feminisme, nilai anarkis, anti kapitalisme, perlawanan sosial, antiglobalisasi, ekologi, dan lain-lain. Akses ke Internet juga turut memfasilitasi penyebaran anarkisme. Masalah serius waktu itu adalah kurangnya literatur anarkis dalam bahasa Indonesia, lalu pamflet-pamflet kecil tentang Mikhail Bakunin, E. Goldman, R. Rocker telah diterjemahkan dan diterbitkan…[44]
Partisipasi kaum anarkis muda Indonesia dalam gerakan sosial dimulai dengan membagikan makanan kepada yang membutuhkan (Food not Bomb), mendukung demonstrasi dan melakukan kerja-kerja anti-fasis. Jadi, pada bulan Agustus-September 1999, para aktivis Front Antifasis Bandung mendukung perjuangan para pekerja yang mogok dari pabrik Rimba Aristama, mengadakan aksi solidaritas dan demonstrasi. Pada bulan Desember 1999, perwakilan kelompok anti-fasis pemuda radikal dari seluruh Indonesia mengadakan pertemuan pertama “Jaringan Antifasis Nusantara” di Yogyakarta, yang memiliki orientasi gerakan anarkis.[45]
Beberapa kongres diadakan. Kelompok-kelompok itu belum begitu stabil, sering hancur dan diganti dengan yang baru. Pada akhir tahun 1990’an dan pada awal tahun 2000’an, Komite Aksi Rakyat Tertindas dan Anti Fasis-Rasis Action ada untuk beberapa waktu di Jakarta, dan ada info-shop Brainwashing Corporation yang mencoba menyebarkan informasi tentang anarkisme dan juga teori-teorinya. Di Bandung, kolektif konter-kultur aktif, melakukan aksi langsung “dalam kehidupan sehari-hari”; “Forum Bantuan Reksa Dana/Mutual Aid Forum” ada di Malang. Pada tahun 2001, sekelompok anarkis dari Jawa Barat memproklamirkan (berlawanan dengan orientasi budaya yang berkembang) gagasan untuk membentuk sebuah “anarko-platformis” dan gerakan anarko-sindikalis.
Pada awal abad 21, gerakan anarkis di Indonesia tetap bubar; kelompok yang berbeda dan aktivis individu mengikuti versi anarkisme dan bentuk taktis yang berbeda. Meskipun demikian, mereka dapat bergabung dalam usaha mereka untuk melaksanakan proyek bersama, seperti mengadakan demonstrasi di hari besar. Dengan demikian, dalam proses pengorganisasian ini, pada tanggal 1 Mei 2007, kelompok-kelompok seperti Affinitas (Yogyakarta), Jaringan Otonomis (Jakarta), Apokalips (Bandung), Jaringan Otonomi Kota (Salatiga), aktivis individu dari Bali dan Semarang, juga beberapa orang dari band punk Jakarta melakukan koordinasi. Penyatuan ini untuk memulai gerakan tertentu yang disebut dengan “Jaringan Anti-Otoritarian.” Aksi May Day tahun 2007 mengumpulkan lebih dari 100 orang dan menandai kemunculan anarkisme di dalam pandangan publik. Setelah itu, kelompok-kelompok baru muncul di berbagai kota, dan anarkisme mengambil bagian aktif dalam demonstrasi sosial, tindakan melawan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir, dll.[46]
Pada May Day 2008, 200 orang ambil bagian dalam demonstrasi anarkis. Meskipun kelompok dari Bandung (“Apokalips”) dan Salatiga (“The Melawan Syndicate”) menolak untuk mendukungnya, demonstrasi ini digagas oleh kolektif di Jakarta dan “Affinitas” dari Yogyakarta. Aksi tersebut ditujukan terhadap perusahaan besar yang diakhiri bentrokan dengan polisi di dekat gedung perusahaan milik milyuner dan politisi Aburizal Bakrie. Peserta dalam aksi tersebut ditangkap. Represi Mei 2008 memperlambat pertumbuhan gerakan anarkis muda di negara ini. Beberapa kelompok putus. Meski begitu, aktivis dan kelompok baru muncul dan terus berpartisipasi dalam perjuangan sosial, termasuk dalam bentuk radikal, bentrokan, tindakan sabotase dan pendudukan. Pada tahun 2010, kelompok anarkis beroperasi di pulau Jawa (di Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Pati, Surabaya, Rembang, Randublatung, Salatiga, Porong), Sumatra (di Palembang, Pekanbar, Medan, Ace), Kalimantan (di Balikpapan), Sulawesi (di Makassar, Manado dan Gorontalo) dan di Bali.[47] Beberapa anarkis Indonesia sekarang tertarik pada anarko-sindikalisme.[48] Sehingga, pada awal tahun 2010, sekelompok aktivis di Surabaya, Jakartadan daerah lain menciptakan sebuah inisiatif kecil, yang bernama Workers Power Syndicate, yang mengklaim diri sebagai anarko-sindikalis dan pada tahun 2012 membantu karyawan pabrik garmen Garmondo Jaya di Bogor selama ada konflik buruh.[49]
Pada tahun 2016, dengan dukungan Anarcho-Syndicalist Federation Australia (ASF Australia), Persaudaraan Pekerja Anarko-Sindikalis (PPAS) diorganisir. PPAS menggambarkan dirinya sebagai “gerakan buruh libertarian” yang didasarkan pada prinsip-prinsip anarko-sindikalisme, mengumumkan tujuannya “sebuah masyarakat yang didasarkan pada kebebasan, bantuan timbal balik (mutual aid), federalisme dan administrasi sendiri,” sekaligus bermaksud untuk memperjuangkan perbaikan situasi sehari-hari masyarakat pekerja.[50] Persaudaraan Pekerja Anarko Sindikalis meminta semua serikat pekerja dan aktivis individu “yang tertarik” untuk bergabung dengannya. Anggota kelompok tersebut mengambil bagian dalam demonstrasi May Day tahun 2016 dan 2017. Pada tanggal 1 November 2016, PPAS juga berpartisipasi dalam demonstrasi pekerja di Surabaya menuntut tingkat upah yang rendah. Di tahun 2017, PPAS memasukkan kelompok-kelompok lokal di Jakarta dan Surabaya, serta beberapa anggota serikat pekerja independen dari driver Uber (KUMAN). Di tahun yang sama yakni tahun 2017, serikat driver uber (KUMAN) memasuki konflik tenaga kerja serius pertama dengan perusahaan Uber, berusaha meningkatkan gaji dan memperbaiki kondisi kerja; pemogokan dan demonstrasi pun diorganisir. Aksi tersebut didukung oleh anarko-sindikalis Internasional, International Workers Association (IWA). Pada panggilan IWA tanggal 7 September 2017 di sejumlah negara di seluruh dunia, aksi solidaritas dengan perjuangan driver Uber Indonesia dijalankan.[51] Anggota Sekretariat IWA yang mengunjungi Indonesia pada bulan September 2017 mengadakan serangkaian diskusi mengenai anarkisme dan anarko-sindikalisme yang berlangsung di kantor pusat PPAS Jakarta dan juga di tempat anarkis Yogyakarta.
[1] Sejarawan anarkis terkenal Max Nettlau bahkan percaya bahwa di Indonesia, tampaknya, “hanya propaganda komunis yang tersedia.” Cf. M. Nettlau. A Short History of Anarchism. London, 1996. Hlm 259.
[2] J.M. Welcker. Eduard Douwes Dekker // Biografisch Woordenboek van het Sosialisme en de Arbeiderbeweging di Nederland. 5. 1992. Hlm 45–58 – http://hdl.handle.net/10622/5E1ECE1F-ED0F-4D66-89F3-2726DFACF952
[3] K. van Dijk. The Nederlands Indies and the Great War, 1914–1918. Leiden, 2007. Hlm 47–50. Anggota Indian Social Democratic Union menyebut Douwes Dekker sebagai “nationalis anarkis” (cf. Socialisme en Indonesiё. Vol.1. De Indische Sociaal-Democratische Vereening, 1897 – 1917. Bronnenpublicatie / Bewerkt en ingeleid door F. Tichelman. Dordrecht, Cinnamisson, 1985. Р.187). Pemimpin Sosial Demokratik Belanda Henri van Kohl menyebutnya “anarchist of action” (cf. J.W. Schilt. 100 jaar Indonesische onafhelijkheidsstrijd: Ernest Douwes Dekker en de Indische Partij // website “NPO Geschiedenis” –
http://www.npogeschiedenis.nl/nieuws/2014/februari/Ernest-Douwes-Dekker-Indische-Partij.html).
[4] R. L. Blom, Th. Stelling Niet voor God en niet voor Vaderland. Linkse soldaten, matrozen en hun organisaties tijdens de mobilisatie van ‘14 -‘ 18. Amsterdam, 2004. Hlm 741–743.
[5] Ibid. Hlm 745–746.
[6] Ibid. Hlm 780, 782.
[7] Ibid. Hlm 809.
[8] P. Hoekman. Dirk Lodewijk Willem van Mierop // Biografisch Woordenboek van het Socialisme en de Arbeiderbeweging di Nederland. 6. 1995. P.142–147 – http://hdl.handle.net/10622/8749DD55-7ED7-40E5-A629-96EEEB93561E
[9] R.E. Karl. Staging the World. Chinese Nationalism at the Turn of the Twentieth Century. Duke University Press, 2002. Hlm 168.
[10] A. Claver. Dutch Commerce and Chinese Merchants in Java. Colonial Relationships in Trade and Finance, 1800 – 1942. Leiden; Boston, 2014. Hlm 197–198.
[11] Socialisme en Indonesiё. Vol.1. Р.41. “Partai Buruh” (Gongdang), yang merupakan semacam campuran antara serikat pekerja, dan organisasi pembelaan diri / perlindungan hak-hak pekerja, pertama kali muncul di China pada bulan Desember 1911, namun dihancurkan oleh Yuan Shikai pada tahun 1913. Meski demikian, organisasinya mulai diciptakan lagi di tahun 1913 oleh orang Tionghoa di Asia Tenggara. Pada tahun 1917, setelah pembebasan Guangzhou dari kekuatan militeris China Utara, di sana -, dengan dukungan dari “Partai Pekerja” yang beroperasi di Asia Tenggara dan Hong Kong – Federasi Industri Cina Rantau dibentuk, yang menjadi dasar “Serikat Pekerja Umum” Guangzhou.
[12] Ou Xi. Nanyang wuxhengfu zhui yundong zhi gaikuang // http://raforum.info/spip.php?article1992 [18.10.2015].
[13] C.F. Yong. The Origins of Malayan Communism. Singapore, 1997. P.19.
[14] Surat kabar “Soematra Po” (“Somuntaplap Po” / “Sumendala Bao”) didirikan pada tahun 1908 (cf. Huaqiao huaren baike quanshu: xinwen chuban juan Vol.6, Beijing, 1990. P.474) atau di 1909 (cf. A. Claver. Op. Cit. Р.197) oleh anggota Liga Persatuan. Sejak akhir tahun 1914, pertama-tama diterbitkan oleh Kuomintang sebagai surat kabar mingguan, dan setelah tahun 1924 sebagai surat kabar harian yang berjudul “Sumatra Pin Po” (“koran rakyat Sumatra”). Setelah Perang Dunia Kedua dipandu oleh Liga Demokratik China. Pada tahun 1960 ini ditutup oleh pihak berwenang Indonesia.
[15] Guang Xushan, Liu Jianping. Zhongguo wuzhengfu zhui shi. Changsha, 1989. Hlm152; Lu Zhe. Zhongguo wuzhengfu zhui sixiang shi. Beijing, 1994. Hlm 111; C.F. Yong. Op. cit. P.15.
[16] Wuzhengfu zhui sixian ziliao xuan. Vol.2. Beijing, 1984. P.935. Chinese anarchist Tanzu In confirmed that Liu Shixin “get to Indonesia to edit “Sumendala Bao”” (Fang Tanzu In – http://www.xzbu.com/1/view-328258.htm)
[17] Kitayskie anarhisty i internazionalnyi anarhicheskiy kongress // Anarhicheskiy Vestnik. 1923. No.5–6. Hlm 76–77; J.-J. Gandini. Aux sources de la revolution chinoise: les anarchisres. Paris, 1986. Hlm 170.
[18] Li Danyang. AB hezuo zai Zhongguo gean yanjiu: Zhen(li) she jian zita // Jindai shi yanjiu (Modern Chinese History Studies). 2002. № 1. Hlm 50. – http://jds.cass.cn/UploadFiles/zyqk/2010/12/201012141215396273.pdf.
[19] C.F. Yong. Op. cit. P.23–27.
[20] Wenshi ziliao cungao xuanbian: shehui // Zhonnguo renmin zhengzhi xeshang huiyi: Quanguo weiyuanhui: Wenshi ziliao weiyuanhui. Vol.25. Beijing, 2002. Hlm 21.
[21] Report respecting Bolshevism and Chinese Communism and Anarchism in the Far East // British documents on foreign affairs: reports and papers from the Foreign Office confidential print. Part II. From the First to the Second World War. Series E, Asia, 1914–1939. Vol.26. October 1921 – February 1922. [Bethesda, MD], 1994. Hlm 72.
[22] Ibid. Р.72, 74.
[23] A.L. Stoler. Capitalism and Confrontation in Sumatra‘s Plantation Belt, 1870 – 1979. 2nd. ed. Ann Arbor, 1995. Hlm 62–63.
[24] British documents on foreign affairs: reports and papers from the Foreign Office confidential print. Part II. Vol.23. [Bethesda, MD], 1996. Hlm 289.
[25] Ou Xi. Op.cit.; C.F. Yong. Op. cit. P.15.
[26] C.F. Yong. Op. cit. P.19.
[28] Yugo-Vostochnaya Aziya: ocherki ekonomiki i istorii. Moskwa, 1958. P.157.
[29] .C.F. Yong. Op. cit. P.17.
[30] Ye.P. Zakaznikova. Rabochiy klass i nacionalno-osvoboditel‘noye dvizheniye v Indonezii. Moskwa, 1971. P.91.
[31] Ibidem.
[32] Known also as Zhang Hungcheng, Chung Honsen, Chung Wansen, Chung Ximei or Wong Tekchai.
[33] C.F. Yong mencatat bahwa Zhang Shimei bekerja di Singapura pada tahun 1920–1921 dan datang ke Medan pada tahun 1921. Dia mengorganisir sebuah pemogokan pekerja kereta api melawan pihak berwenang Belanda, setelah ditangkap dan dipenjara selama 3 tahun (CF Yong Op.cit..17). Menurut sumber anarkis China, Zhang adalah “motor” pemogokan teknisi elektro pada tahun 1920 dan dijatuhi hukuman 6 tahun penjara (Ou Xi Op.cit.). Akhirnya, adalah mungkin untuk menemukan informasi bahwa Zhang Shimei memimpin gerakan pekerja di Jawa pada tahun 1920 dan bahwa dia ditangkap kemudian dan dideportasi dari Hindia Belanda ke China pada tahun 1924 (http://anti-generationism.blogspot.com/2010 /07/blog-post_5310.html ).
[34] Ou Xi. Op.cit. Menurut C.F. Yong, Zhang Shimei kembali ke China pada tahun 1925 dan bergabung dengan Partai Komunis. Pada bulan Desember 1927, dia berpartisipasi dalam pemberontakan Partai Komunis di Guangzhou, dan digeledah oleh Kuomintang. Pada bulan Januari 1928, Partai Komunis China mengirimnya ke Malaya Inggris untuk membangun Komite Provisory Partai Komunis Laut Selatan. Dia ditangkap di Singapura 8 Maret 1928 dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup (C.F. Yong. Op.cit. P.17).
[35] Ye. Yu. Staburova. Anarhizm i rabocheye dvizheniye v Kitaye v nachale XX v. // Kitay: gosudarstvo i obshchestvo. Moskwa, 1977. Hlm 213.
[36] Liang Yingmin. Fu Wumen – Xinjiapo huawen bao ren – http://www.chinaqw.com/node2/node116/node117/node163/node820/node825/userobject6ai46284.html.
[38] Untuk kontak pelajar Indonesia di Belanda dengan organisasi kiri dan gerakan anti-kolonialisme internasional lihat, misal: K. Stutje. Indonesian Identities Abroad. International Engagement of Colonial Students in the Netherlands, 1908 – 1931 // BMGN – Low Countries Historical Review. 2013. Vol.128–1. Hlm 151–172.
[39] R. Mrázek. Sjahrir: Politics and exile in Indonesia. Ithaca, 1994. P.59, 61.
[40] A. Müller-Lehning. Der soziale und nationale Befreiungskampf Indonesiens // Die Internationale. 1929. April. Nr.6. S.15–17. Secara khusus, empat mahasiswa Indonesia dari Asosiasi Indonesia ambil bagian dalam kongres tersebut: wakil presiden independen Indonesia M. Hatta, N. Pamunchak, Gatot dan Subarjo (lihat: K. Stutje. Op.cit.). Sejumlah anarkis Eropa terkemuka berpartisipasi dalam kegiatan Liga melawan imperialisme dan kongresnya di Brussels dan Frankfurt, terlepas dari pengaruh kuat partai Komunis dalam gerakan tersebut. “… Berkat Liga, untuk pertama kalinya kami melakukan kontak nyata dengan masyarakat kolonial ..,” Müller-Lehning menjelaskan dalam sebuah surat kepada anarkis India M.P. Acharya pada tanggal 15 Agustus 1929. “Kami berusaha untuk bekerja di dalam Liga begitu lama, karena mungkin saja, bukan karena kami sangat senang bekerja dengan Komunis, tapi karena kami percaya bahwa jika tidak, kami akan kehilangan semua kontak dengan masyarakat kolonial ” cf. H. Piazza. The Anti-Imperialist League and the Chinese Revolution // The Chinese Revolution in the 1920s: Between Triumph and Disaster, L .; NY, 2002. P.174).
[41] B. De Ligt. Die wesentliche Einheit des Kampfes gegen soziale Unterdrückung mit dem Kampfe gegen Militarismus und Krieg // Die Internationale. 1929. Oktober. Nr.12. S.1–6. Di Kongres Liga, Hatta juga hadir
[42] J. Suryomenggolo. Worker‘s Control in Java, Indonesia, 1945–1946 // Ours to Master and to Own. Worker‘s Control from the Commune to the Present. Chicago, 2011. Hlm 222.
[43] G.A. van Klinken. Minorities, Modernity and the Emerging Nation. Christians in Indonesia, a Biographical Approach. Lejden, 2003. Hlm 193.
[44] Cf.: Interview mit AnarchistInnen aus Indonesien // Von Jakarta bis Johannesburg: Anarchismus weltweit. Münster, 2010. Hlm 238–247.
[45] Black Flag. [2000]. No.219. Hlm 12.
[46] Interview mit AnarchistInnen aus Indonesien…
[47] Ibid.
[48] Perlu dicatat bahwa pada tahun 2006, dua asosiasi serikat pekerja Indonesia (Federasi Serikat Pekerja Nasional Indonesia (FSPNI), yang menghubungi IWA pada bulan Maret 2005, dan bagian dari federasi ini, Pusat Serikat Pekerja Nasional, yang didirikan di 2005) diminta untuk bergabung dengan IWA. Mereka bekerja sama dengan World Federation of Trade Unions. Organisasi-organisasi ini tidak diterima di IWA, karena mereka bukan sindikat sindikat anarko-sindikalis atau revolusioner, mereka menyatakan dukungan mereka untuk UNO, Organisasi Perburuhan Internasional, dan mereka telah membebaskan fungsionaris dan struktur non-federalis. Kongres XXIII M.А.T. pada bulan Desember 2007 secara resmi menolak keanggotaan FSPNI (Lihat: XXIII Congress International Workers Association, Manchester, 8, 9 & 10 December 2006 // International Workers Association Archiv. BI003, Dec. 18, 2007. Hlm 50).
[49] Indonesian syndicalists fight for justice at PT Garmindo Jaya KNH – https://libcom.org/news/indonesian-syndicalists-face-30092012
[50] PPAS – Persaudaraan Pekerja anarko-sindikalis. Home – http://ppas.online/en/home/
[51] Pemogokan Driver Uber di Indonesia – https://libcom.org/news/uber-drivers-strike-indonesia-23082017; Solidarity with UBER drivers! // International Workers Association – Asociación Internacional de los Trabajadores – http://www.iwa-ait.org/content/solidarity-uber-drivers