a-f-anarchist-federation-of-rio-de-janeiro-anarkis-5.png

Dokumen disetujui pada Kongres Pertama yang diselenggarakan pada tanggal 30 dan 31 Agustus 2008

Kongres pertama FARJ diadakan dengan tujuan utama memperdalam tinjauan kita mengenai masalah organisasi dan meresmikannya menjadi sebuah program. Perdebatan ini telah terjadi dalam organisasi kita sejak tahun 2003. Kita telah menghasilkan materi-materi teoretis, memantapkan pemikiran kita, belajar dari keberhasilan dan kegagalan praktik politik kita, dan menjadi semakin penting bagi kita untuk mendorong perdebatan ini lebih jauh lagi dan meresmikannya sehingga pengetahuan ini tersebar baik secara internal maupun eksternal. Dokumen “Anarkisme Sosial dan Organisasi” meresmikan posisi kita setelah semua pertimbangan ini. Lebih dari sekadar dokumen teoretis, tulisan-tulisan ini mencerminkan kesimpulan yang disadari setelah lima tahun penerapan praktis anarkisme dalam perjuangan sosial rakyat kita. Dokumen ini dibagi menjadi 16 bagian dan telah diterbitkan dalam bahasa Portugis dalam sebuah buku yang diterbitkan bersama oleh Faísca dan FARJ.

Kongres Pertama Federasi Anarkis Rio de Janeiro memberikan penghormatan kepada rekan-rekannya:

Juan Perez Bouzas (1899-1958)

Tukang sepatu anarkis asal Galicia, Spanyol yang, dengan bakat dan tekadnya yang luar biasa, telah menekankan kebutuhan untuk memperdalam perjuangan. Pada tahun 2008, kita mengenang ulang tahun kelima puluh kematiannya (05/09/1958).

Ideal Peres (1925-1995)

Dengan kepekaan dan visi cakrawala politik yang luas, ia telah menjamin pemeliharaan poros sosial anarkisme dan hubungannya dari satu generasi ke generasi militan lainnya.

Plínio Augusto Coêlho (1956-...)

Tanpa henti mewujudkan mimpi-mimpi kita, dengan benang panjang ia menghubungkan dan mengikat kita dengan mereka-mereka yang telah mendahului kita, baik dalam aksi revolusi yang tenang maupun yang bergejolak.

“Jika kalian terus terasing satu sama lain, jika masing-masing kalian bertindak sendirian, kalian pasti tidak berdaya. Tetapi jika kalian berkumpul dan mengorganisir kekuatan kalian—tidak peduli betapa lemahnya saat pertama kali dimulai—hanya dengan aksi bersama, yang dipandu oleh gagasan dan sikap bersama, dan dengan bekerja sama untuk tujuan bersama, maka kalian menjadi tidak terkalahkan.”

Mikhail Bakunin

Pengantar Daun Malam

Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.

Di hadapan murid, seorang pendidik harus memberikan teladan yang baik;
di antara murid, pendidik harus menciptakan inisiatif;
dari belakang, pendidik memberikan dorongan dan arahan.

Ki Hajar Dewantara

Buku yang Anda pegang ini adalah salah satu sumbangsih terpenting bagi pengorganisasian anarkis. Menggunakan istilah especifismo untuk membedakan diri dari berbagai aliran anarkis lain, konsep-konsep dalam dokumen ini sejatinya merupakan buah dari 50 tahun lebih pengalaman anarkis di Amerika Selatan. Especifismo, atau secara kasar dapat diterjemahkan sebagai “Spesifikisme”, merujuk pada perlunya organisasi yang secara khusus terdiri dari para anarkis yang memiliki kesatuan dalam hal teori, ideologi, strategi dan taktik. Fungsinya adalah untuk bekerja dengan lebih efektif di tengah-tengah gerakan sosial. Organisasi pertama yang mempromosikannya adalah Federasi Anarkis Uruguay (Federación Anarquista Uruguaya—FAU) yang didirikan pada tahun 1956. Sebagai sebuah sumbangsih yang lahir dari kombinasi teori dan praktik, especifismo saat ini telah memiliki arusnya sendiri di seluruh dunia. Dalam dokumen ini, Federasi Anarkis Rio de Janeiro (FARJ), yang mewarisi semangat especifista, memaparkan konsep-konsep organisasinya setelah lima tahun berdiri.

Ciri khas aliran ini adalah pembagian aktivitasnya ke dalam dua ruang lingkup yang berbeda. Yang pertama, level sosial, sebuah ruang yang besar tempat para anarkis membaur dengan masyarakat luas, seperti aktivitas dalam serikat-serikat buruh, gerakan komunitas masyarakat, gerakan pendudukan ruang dan tunawisma, gerakan perempuan dan kaum non-biner, dan lain sebagainya. Dan yang kedua adalah level politik, yaitu “rumah politik” khusus anarkis, ruang bagi para anarkis militan untuk bertemu dan berdiskusi dengan lebih mendalam, membangun strategi dan taktik bersama, mengorganisir diri, dan meninjau ulang aktivitas-aktivitasnya di gerakan sosial. Beberapa penulis menyebut ciri khas ini dengan sebutan dualisme organisasi atau pengorganisasian ganda.

Sejak populernya anarkisme di Indonesia pada 2016 dan mencapai pemahaman publik secara meluas pada 2018, sudah banyak prakarsa di level sosial muncul: dapur umum ala Food Not Bomb, aliansi pelajar, gerakan pendudukan petani, gerakan anti penggusuran, okupasi urban, serikat-serikat buruh, perpustakaan jalanan, pasar gratis, klub sepak bola mandiri, dan banyak lainnya. Beberapa prakarsa ada yang masih hidup sampai sekarang, beberapa lagi mati dengan cepat. Sejauh ini, hanya ruang-ruang di level sosial yang kita miliki. Dengan terbitnya buku ini, kami berharap inilah waktu yang tepat bagi kaum anarkis yang lebih militan untuk berhimpun dan meningkatkan keampuhan aksinya dengan membangun level politik: merancang dan membangun “rumah politik”nya sendiri.

Penerbitan naskah ini juga mempertimbangkan fakta bahwa selama ini hampir sebagian besar literatur anarkis di Indonesia adalah reproduksi pemikiran dari Amerika Utara dan Eropa Barat. Padahal, Indonesia sebagai negara dunia ketiga memiliki lebih banyak kemiripan keadaan dengan negara-negara Amerika Latin, negeri berkas jajahan yang tak sepenuhnya bebas dari feodalisme, dan yang belum sepenuhnya terindustrialisasi tetapi sedang mengarah ke sana; memiliki kesamaan pengalaman kediktatoran dan masih berkuasanya kaum militer; wilayah hutan hujannya juga banyak lenyap dalam pembukaan perkebunan dan tambang yang meluas; terasanya dampak langsung atas proses industrialisasi, baik di perkotaan maupun pedesaan; secara formal cenderung konservatif dan relijius; dan adanya keberagaman budaya dengan berbagai potensi swapemerintahan komunitas adat.

Banyak konsep penting dalam naskah ini yang dapat menjadi lelucon bagi para anarkis modern di Indonesia, sebab, bahkan pada tahun 2023, kami masih mendengar selentingan bahwa menjadi anarkis berarti tidak boleh berorganisasi. Apalagi membahas soal komitmen, tanggung jawab, disiplin diri, dan militansi. Saat ini, masih banyak yang menganggap organisasi dan anarkisme sebagai dua hal yang berbeda, seolah organisasi hanya bisa dilakukan secara vertikal, otoritarian, dan hierarkis—sementara anarkisme hanya bisa dilakukan dengan nge-punk. Dokumen ini mencoba menguraikan model pengorganisasian yang horizontal, anti-otoritarian, dan non-hierarkis.

Satu istilah lagi yang mungkin menggegerkan bagi para anarkis kekinian adalah penggunaan kutipan Malatesta yang memakai istilah “partai anarkis”. Memang, pernah ada zaman di mana istilah “partai” tidak berkonotasi negatif seperti sekarang. Pada abad 19 kaum anarkis menggunakan istilah partai secara netral karena pada saat itu kata “partai” hanya berarti sekelompok orang yang dipersatukan oleh seperangkat asas yang sama. Pada zaman kolonialisme Hindia Belanda, tokoh kemerdekaan Ernest Douwes Dekker pernah membentuk sebuah organisasi politik paling maju pada zamannya, Partai Hindia (Indische Partij). Partai Hindia tidak mengikuti pemilihan umum, dan menjadi organisasi lintas bangsa (Eropa dan pribumi) pertama yang progresif. Dekker adalah militan anarkis yang menganjurkan sabotase dan aksi langsung, terinspirasi oleh para anarko-sindikalisme di Eropa, yang menjadikan Indische Partij sebagai kendaraan politiknya.

Di tempat lain, meskipun menggambarkan dirinya sebagai seorang liberal, sang revolusioner anarkis Meksiko, Flores Magon, menyadari sepenuhnya bahwa aliran politik yang dianutnya adalah anarkisme. Meski begitu, selancar politiknya adalah organisasi non-parlementer bernama Partai Liberal Meksiko (Partido Liberal Mexicano). Dalam sebuah surat kepada saudara laki-lakinya dan Praxedis Guerrero yang ditulis dari penjara pada tahun 1908, Magon menerangkan bahwa ini adalah perkara taktik:

…jika kita menyebut diri sebagai anarkis sejak awal, tidak akan ada seorang pun, atau paling banter hanya sedikit, yang akan mendengarkan kita. Tanpa menyebut diri anarkis, kita telah menyalakan kebencian rakyat terhadap kaum pemodal dan kasta pemerintah.

Tidak ada partai liberal di dunia ini yang memiliki kecenderungan anti-kapitalis seperti kita, yang telah membuka revolusi di Meksiko. Kita tidak akan mungkin mencapai ini dengan mendaku diri sebagai sosialis atau anarkis. Jadi, semua hanya masalah taktik.

Organisasi politik anarkis abad silam memang bisa memakai nama-nama yang mengejutkan bagi para anarkis masa kini. Misalnya, organisasi anarkis bernama Vanguard Group (Kelompok Pelopor) di Amerika Serikat yang aktif pada 1932-1939 dan publikasinya yang berjudul sama. Konsep kepeloporan (vanguardism) ini di kemudian hari hanya digunakan oleh kaum otoritarian untuk menyebut golongan revolusioner profesional dari partai yang mencoba membimbing massa. Hingga batas tertentu, istilah “minoritas aktif” dalam dokumen ini terkesan punya kesamaan dengan para pelopor (vanguard). Tetapi yang perlu digarisbawahi adalah, minoritas aktif tidak menempatkan dirinya lebih tinggi, lebih berhak memutuskan, lebih paham, dan atau paling terdepan di antara rakyat. Dengan etika, minoritas aktif, seperti yang akan ditekankan berulang-ulang kali dalam dokumen ini, melebur dan bekerja dalam gerakan sosial untuk memperkuat dan membangun sifat-sifat revolusioner dan libertarian dalam gerakan sosial.

Saat ini partai merujuk kepada dua jenis kelompok politik otoritarian: 1) partai politik parlementer, yang mencalonkan kandidatnya sebagai anggota dewan melalui pemilihan umum dan berfungsi untuk mencari suara sebanyak mungkin, dan 2) partai politik “revolusioner”, serupa Partai Komunis Indonesia di masa lalu yang selalu berusaha merebut kekuasaan Negara untuk kemudian menerapkan sosialisme/komunisme dari atas dengan kediktatoran. Kedua praktik politik partai ini jelas berkebalikan dengan maksud kaum anarkis. Oleh karena itu, kami tidak menyarankan istilah partai ini digunakan lagi atau dijadikan sebagai nama organisasi khusus anarkis.

Akhir kata, penerbitan dokumen ini memang dimaksudkan untuk mendorong para anarkis memulai organisasi khusus politiknya sendiri. Dengan cara inilah kita bisa memastikan gagasan anti-otoritarian beregenerasi dan siap menghadapi pasang surutnya perjuangan. Dokumen ini dapat menjadi panduan untuk proses tersebut, dan dapat disesuaikan kembali dengan keadaan dan kebutuhan kita.

Yogyakarta, 18 Mei 2023

Pengantar Penerjemah Bahasa Inggris

Dokumen ini pertama kali diterbitkan dalam bahasa Portugis dengan judul Anarquismo Social e Organização dan diterapkan pada Kongres Pertama Federasi Anarkis Rio de Janeiro pada bulan Agustus 2008. Dokumen ini berusaha memetakan konsep teoretis FARJ tentang anarkisme perjuangan kelas yang terorganisir dan, "Lebih dari sekadar dokumen teoretis, [...] merenungkan kesimpulan-kesimpulan yang disadari setelah lima tahun penerapan praktik anarkisme dalam perjuangan sosial rakyat kita".

Di dalam dokumen ini, FARJ menelusuri akar sejarah dan organisasinya melalui sejarah-sejarah militan dari anarkis Carioca* seperti Ideal Peres, yang berjuang untuk menjaga api anarkisme tetap menyala pada hari-hari gelap kediktatoran, hingga militan lain seperti ayahnya, Juan Perez Bouzas, anarkis imigran Galicia yang terlibat dengan teguh dalam Pertempuran Sé pada 1934, "ketika kaum anarkis menolak Integralitas** di bawah semburan tembakan senapan mesin".

Ini adalah dokumen penjelasan paling komprehensif mengenai konsep anarkisme especifista Amerika Latin yang sekarang tersedia dalam bahasa Inggris. Dokumen Anarkisme Sosial dan Organisasi ini mengusut dan menguraikan pengaruh-pengaruh teori dan praktik pemahaman FARJ tentang organisasi anarkis dan strateginya untuk menciptakan perubahan sosial. Dokumen ini menganjurkan sebuah pemahaman anarkisme yang membagi kegiatan anarkis ke dalam dua lingkup. Pertama adalah lingkup sosial (dalam gerakan sosial atau 'massa') dan kedua dalam lingkup politik (dalam organisasi khusus anarkis). Alasannya, pendekatan dual-organisasionalis terhadap organisasi anarkis ini sesuai dan dapat dilacak kembali sampai ke gagasan dan praktik Mikhail Bakunin dalam Aliansi Demokrasi Sosialis Internasional. FARJ menelusuri silsilah politik kembali ke Bakunin melalui pengalaman

  1. Pengalaman Federación Anarquista Uruguaya (FAU) dan Aliança Anarquista tahun 1918 dan Partido Comunista (partai komunis yang beraliran libertarian) tahun 1919;

  2. Pengalaman kaum Magonista selama Revolusi Meksiko dan fase radikal Partido Liberal Mexicano (Partai Liberal Meksiko—PLM);

  3. Pengalaman kelompok Federación Anarquista Iberica (FAI) dan kelompok Agrupación de los Amigos de Durruti (Perhimpunan Sahabat Durruti) selama Revolusi Spanyol 1936;

  4. Pengalaman para penulis Platform Organisasional Komunis Libertarian (atau yang biasa disebut “Platform”);

  5. hingga pengalaman Errico Malatesta dalam pemahamannya mengenai partai anarkis.

Berangkat dari pengalaman hilangnya “vektor sosial anarkisme” (pengaruh sosial anarkisme) pada akhir periode kejayaan anarkisme, FARJ menganjurkan perlunya organisasi anarkis spesifik (organisasi khusus anarkis). Organisasi ini haruslah tertata dengan ketat, dan terdiri dari para militan bertekad tinggi yang sangat bersatu dalam hal teori dan strategi. Para militannya terlibat serta mendukung gerakan dan perjuangan rakyat melawan penghisapan dan penindasan, serta berusaha untuk mempengaruhi gerakan dengan asas-asas anarkis dan mendorongnya ke arah yang revolusioner dan libertarian. Tujuan akhirnya adalah untuk merebut kembali pengaruh sosial anarkisme sebagai langkah penting menuju pengenalan sosialisme libertarian melalui revolusi sosial.

Dalam rangka meningkatkan pengaruh sosial anarkisme, FARJ menegaskan kembali agar anarkisme semakin bersentuhan dengan kelas-kelas yang dieksploitasi. Perjuangan kelas diidentifikasi sebagai medan juang paling penting dan subur di mana asas-asas dan praktik anarkis dapat disebarkan. Supaya bisa mengakar, sangat penting bagi kaum anarkis yang terorganisir untuk melakukan propaganda, kerja organisasi, dan pendidikan yang berkelanjutan dan konsisten di dalam gerakan dan organisasi kelas-kelas yang dieksploitasi. Secara kritis FARJ menekankan hal fundamental bahwa kaum anarkis mesti bertindak dengan cara yang sesuai dengan apa yang kita sebut sebagai "etika militan". Anarkisme Sosial dan Organisasi menguraikan konsep FARJ tentang berbagai tugas organisasi spesifik anarkis, serta strukturnya, dan proses-proses untuk menarik anggota baru dan orientasinya terhadap gerakan sosial—semuanya sesuai dengan nalar lingkaran konsentris.

Dokumen ini merumuskan jawaban strategis atas pertanyaan, "di mana kita berada?", "ke mana kita ingin pergi?" dan "bagaimana kita dapat meninggalkan tempat kita berpijak dan sampai ke tujuan yang kita inginkan?". Anarkisme Sosial dan Organisasi mengartikulasikan pemahaman FARJ mengenai kelas-kelas sosial di bawah "masyarakat eksploitasi dan dominasi", yaitu kapitalisme dan negara, serta tujuan akhirnya yaitu revolusi sosial dan sosialisme libertarian, dan bagaimana tampilannya ketika diwujudkan. Demikianlah dokumen ini menjelaskan pemahaman FARJ mengenai "organisasi rakyat" yang menyatukan berbagai gerakan sosial yang berjuang untuk kebebasan dan menghimpun pengalaman serta pencapaian-pencapaian yang diraihnya dalam perjuangan kelas sehari-hari. Ketimbang merepresentasikan sejumah gerakan sosial yang saling terpisah-pisah satu sama lain, organisasi rakyat membentuk kekuatan sosial yang jauh lebih besar dan saling terhubung. Pada saat ia menjadi lebih besar dari negara dan kapital, ia pun harus dengan tegas memutus hubungan dengan sistem saat ini dan, dengan menggunakan kekerasan sebagai respons penting dalam menghadapi kekerasan negara dan kapital, memulai transisi menuju sosialisme libertarian melalui revolusi sosial. Sejak awal dokumen ini diterbitkan, FARJ telah menggunakan istilah "kekuasaan rakyat" (“popular power”) sebagai pengganti "organisasi rakyat" (“the popular organization”), dan telah mendorong pemahaman lebih lanjut mengenai konsep yang sangat penting bagi especifismo ini.

Selama lebih dari tiga tahun sejak penerapan dokumen ini, FARJ telah mengalami sejumlah perkembangan teoretis, seperti: 1) memperdalam pemahamannya tentang kelas berdasarkan kategori "dominasi" dan mempertimbangkan kelas ekonomi sebagai salah satu jenis dominasi; 2) penelitian dan pemahaman baru tentang sejarah anarkisme Brasil pada dekade 1940-an dan 1950-an; 3) teori dan metode analisis dan pendalaman beberapa topik tentang organisasi anarkis. Ada juga beberapa perkembangan dalam hal praktik, termasuk pengembangan "kerja sosial" dengan gerakan-gerakan berikut: Gerakan Pekerja Pengangguran Akar Rumput (MTD-Pela Base), Gerakan Tanpa Tanah (MST), Gerakan Dewan Rakyat (Movimento Conselhos Populares) dan terlibat dalam penciptaan tendensi "Organisasi Rakyat".

Dokumen ini pertama kali diterbitkan dan diadopsi lebih dari tiga tahun sebelum terjemahan (Bahasa Inggris) ini hadir. Meskipun dokumen ini berlatar belakang Amerika Latin, ia tetap merupakan kontribusi yang berwawasan dan instruktif bagi teori dan praktik anarkis kontemporer global. Dokumen ini relevan bagi siapa pun yang bertekad untuk menemukan dalam praksis anarkis sebuah jawaban yang paling cocok untuk menjawab pertanyaan, "bagaimana kita bisa meninggalkan tempat kita berpijak dan sampai ke tujuan yang kita inginkan?". Saya harap terjemahan ini dapat menjelaskannya dengan baik.


Jonathan Payn

Johannesburg, Maret 2012


Catatan:
* Seseorang yang berasal dari Rio de Janeiro
** Gerakan fasis Brasil

Latar belakang Kongres 2008 dan Perdebatan Tentang Organisasi


“Untuk berteori secara efektif, kita harus bertindak.”

Federasi Anarkis Uruguay (FAU)

Tujuan utama diadakannya kongres pertama FARJ adalah untuk memperdalam pemikiran kita mengenai masalah organisasi dan meresmikannya menjadi sebuah program.

Sejak tahun 2003, perdebatan seputar organisasi telah berlangsung dalam organisasi kami. Kami telah menghasilkan materi-materi teoretis, menyempurnakan pemikiran kami, belajar dari keberhasilan dan kegagalan praktik politik kami, dan menjadi semakin penting bagi kami untuk memperdalam bahasan ini dan meresmikannya, menyebarkan pengetahuan ini baik secara internal maupun eksternal.

Kerja praktik dari dua front kami, yaitu front pendudukan/okupasi dan front komunitas masyarakat, benar-benar penting bagi tinjauan teoretis yang kami buat saat ini. Front tersebut bahkan menyumbang pada penciptaan front ketiga kami di awal tahun 2008—front agroekologis, yang disebut Anarkisme dan Alam.

Setahun yang lalu kami memutuskan untuk berdebat seputar organisasi, dengan kedalaman yang diperlukan, demi merumuskan kesimpulan tersebut ke dalam sebuah dokumen yang akan disahkan pada Kongres 2008. Untuk alasan ini, masih di tahun 2007, kami mengambil beberapa tindakan untuk turut andil pada kematangan teoretis yang akan sangat diperlukan bagi jalan yang ingin kami tempuh:

  • Aktivasi Sekretaris Pendidikan Politik

  • Pelaksanaan Seminar Pendidikan Internal

  • Pengembangan Buku Saku Pendidikan untuk Para Militan

Tindakan-tindakan ini dilakukan agar setiap militan organisasi kami mendapatkan struktur, ruang, dan dukungan yang diperlukan sehingga bahasan ini dapat berlangsung dengan cara yang paling kita inginkan. Kami berusaha keras untuk membaca, menulis, berdebat, meninjau ulang materi-materi yang telah ditulis, memperdalam bahasan, membuat perbaikan; singkatnya, merencanakan dengan sepenuh hati hal-hal yang diperlukan untuk perdebatan ini.

Namun, kami tidak hanya ingin memberikan ruang untuk bertukar pikiran. Kami ingin mencapai posisi kesimpulan, yaitu memperdalam garis politik organisasi. Salah satu ciri model organisasi kami adalah kesatuan teoretis dan ideologis. Oleh karena itu, kami ingin menggunakan waktu ini untuk memperdalam persoalan teoretis dan ideologis, dan, pada akhirnya, sampai pada posisi konkret yang dapat dipertahankan dan disebarluaskan oleh keseluruhan organisasi.

Selama lima tahun terakhir, kami selalu beranggapan bahwa untuk mengembangkan garis politik, kita harus mempertimbangkan pengaruh timbal balik antara teori dan praktik, sebab keduanya tidak dapat dipisahkan. Ketika keduanya terjalin secara timbal balik, dan dengan cara yang positif, mereka meningkatkan hasil dari semua kerja organisasi. Dengan teori yang baik, praktik menjadi lebih baik. Demikian pula dengan praktik yang baik, teori menjadi lebih baik. Tidak mungkin memahami organisasi anarkis hanya dengan teori saja dan tanpa praktik, atau pun mengembangkan sebuah teori dan mencoba berpraktik persis seperti teori tersebut.

Sejak awal kami mengetahui bahwa kita tidak boleh membangun sebuah organisasi yang berjarak dari perjuangan, menulis teorinya, dan kemudian berpraktik dengan tujuan menyesuaikan praktik dengan teori tersebut. Demikian juga, tidak mungkin bagi kita untuk membayangkan organisasi anarkis yang hanya berpraktik saja dan tidak memiliki teori, atau menganggap teori sebagai sesuatu yang sepenuhnya terjadi dalam praktik. Kami selalu mencari keseimbangan. Di satu sisi, kita tidak harus berteori secara mendalam untuk bisa mulai bertindak dan, di sisi lain, kita berusaha memastikan bahwa tindakan kita sejalan dengan teori. Menurut pemahaman kami, teori dapat memperkuat upaya para militan tanpa mereka harus kehilangan banyak energi, yang sebenarnya bisa dihindari.

Dalam perdebatan yang berlangsung dalam dua tahun terakhir ini, yang dirumuskan dalam dokumen ini, kami ingin mengembangkan sebuah teori yang tepat, dan bukan hanya pengulangan teori-teori lain yang telah dikembangkan di tempat dan waktu berbeda. Tentu saja, dari awal sampai akhir, keseluruhan teori kami terilhami oleh teori-teori dan para penulis lain yang hidup dan berperilaku dalam konteks situasi berbeda. Tidak mungkin, misalnya, membayangkan teori anarkis yang konsisten tanpa sumbangsih dari kaum anarkis klasik. Namun, kami telah lama mempelajari hal ini—teori dan pemikiran para penulis ini—dan apakah mereka masuk akal dengan keadaan kami hari ini.

Kami berusaha menciptakan konsep yang layak dan memberikan ciri otentik pada teori yang ingin kami ciptakan. Soal ini kami pikir kami sangat berhasil. Kami telah membangun dan merumuskan sebuah teori yang koheren, memadukan teori-teori klasik dan kontemporer sekaligus juga pemahaman kami sendiri. Meskipun begitu, kami tidak percaya bahwa teori ini sudah selesai. Banyak sisi yang bisa diperdalam dan ditingkatkan. Intinya... yang terpenting adalah untuk memperjelas bahwa kami telah mengambil langkah awal di jalan panjang yang ingin kami tempuh ini.

Akhirnya, kami ingin kita membangun diskusi ini dan perumusannya secara kolektif. Tidak cukup bagi kita jika ada satu atau beberapa rekan menulis semua teori organisasi sementara yang lainnya hanya mengamati dan mengikuti posisi mereka. Karena itulah sepanjang periode ini kami berusaha mempertimbangkan semua posisi-posisi mengenai organisasi dan bukan hanya posisi seseorang militan saja. Menurut kami, hal ini juga memberi nilai tambah pada naskah ini. Ia tidak berasal dari isi kepala seorang cerdik pandai yang menganggap bahwa politik terlepas dari kenyataan. Sebaliknya, tulisan ini adalah hasil dari lima tahun perjuangan dan pengorganisasian anarkisme dalam interaksi tanpa henti dengan perjuangan di zaman kita, selalu mencari jalan untuk perubahan sosial revolusioner menuju sosialisme libertarian. Singkatnya, dokumen ini adalah hasil dari lima tahun kegiatan berpraktik.

Demi satu sumbangsih lagi, dan untuk secara teoretis mengesahkan apa yang telah terkumpul dalam sejarah singkat kami, kami pun mengadakan Kongres pertama—yang berlangsung bersamaan dengan peringatan lima tahun hari jadi FARJ—pada 30 dan 31 Agustus 2008. Pelbagai pemikiran utamanya dicatat di bawah ini.


Etika, Tekad, Kebebasan!

Anarkisme Sosial, Perjuangan Kelas, dan Hubungan Antara Pusat dan Pinggiran

“[…] karena anarkisme adalah ideologi yang menolak untuk menciptakan
sistem pusat baru dengan area-area pinggiran baru.”

Rudolf de Jong

Bagi kami, anarkisme adalah ideologi, yakni serangkaian pemikiran, dorongan, harapan, nilai, sebuah tatanan atau sistem pemahaman yang berhubungan langsung dengan tindakan—yang kami sebut sebagai praktik politik. Ideologi membutuhkan perumusan tujuan akhir (jangka panjang, pandangan ke depan), penafsiran kenyataan di tempat kita hidup, dan perkiraan-perkiraan tentang perubahan kenyataan ini. Berangkat dari pemaparan ini, ideologi bukanlah seperangkat nilai dan gagasan mengawang dengan sifat yang sepenuhnya pemikiran dan tercerabut dari praktik, melainkan sistem pemahaman yang diamini bersamaan dengan praktik dan kembali lagi ke praktik. Dengan demikian, ideologi menuntut tindakan sukarela dan sadar untuk menanamkan keinginan akan perubahan sosial pada masyarakat.

Kami memahami anarkisme sebagai ideologi yang memberikan panduan untuk bertindak dalam menggantikan kapitalisme, negara dan lembaga-lembaganya dengan sosialisme libertarian, yaitu sebuah sistem yang dilandaskan pada swakelola dan federalisme, tanpa klaim-klaim ilmiah ataupun profetik.

Seperti ideologi lainnya, anarkisme memiliki sejarah dan latar belakang tertentu. Ia tidak muncul dari kaum cendekiawan atau pemikir yang tercerabut dari praktik, yang hanya mengejar perenungan langitan. Anarkisme memiliki sejarah yang berkembang dalam perjuangan kelas yang besar di abad kesembilan belas. Mulanya ia diteorikan oleh Proudhon dan menemukan bentuknya di tengah-tengah Asosiasi Buruh Internasional (International Workers Association—IWA) dengan kerja-kerja yang dilakukan oleh Bakunin, Guillaume, Reclus, dan lainnya. Mereka menganjurkan sosialisme revolusioner, yang berlawanan dengan sosialisme reformis, legalis, dan statis (pro-negara). Kecenderungan IWA ini kemudian dikenal sebagai “federalis” atau “anti-otoritarian” dan berlanjut dalam militansi Kropotkin, Malatesta, dan lainnya.

Di dalam IWA anarkisme terbentuk, “dalam perjuangan langsung kaum pekerja melawan kapitalisme, dari kebutuhan kaum buruh, dari cita-cita mereka akan kebebasan dan kesetaraan, yang secara khusus hidup dalam massa buruh di masa-masa paling gagah berani”[1]. Penciptaan teori anarkisme dilakukan oleh para pemikir dan buruh yang secara langsung terlibat dalam perjuangan sosial, yang membantu merumuskannya serta menyebarkan perasaan terpendam mereka dalam gerakan massa. Demikianlah anarkisme dapat berkembang dalam teori dan praktik selama bertahun-tahun. Di satu sisi, anarkisme secara unik berperan dalam episode-episode perubahan sosial sembari terus mempertahankan karakter ideologisnya, misalnya dalam Revolusi Meksiko (1910-1917), Revolusi Rusia (1917), Revolusi Spanyol (1936), atau bahkan dalam episode sejarah Brasil, seperti Pemogokan Umum tahun 1917 dan Pemberontakan 1918.

Di sisi lain, dalam keadaan tertentu, anarkisme juga pernah mengambil tabiat tertentu yang merupakan kemunduran dari watak ideologisnya. Akibatnya, ia menjadi sebuah konsep mengawang yang hanya berupa sebentuk pengamatan kritis terhadap masyarakat. Selama bertahun-tahun, bentuk anarkisme ini mengandaikan identitasnya sendiri dan menemukan rujukannya dalam sejarah. Namun pada saat bersamaan, ia kehilangan karakternya dalam perjuangan untuk perubahan sosial. Hal ini nampak jelas pada paruh kedua abad kedua puluh. Pemikiran yang berasal dari anarkisme semacam ini tidak lagi berfungsi sebagai alat perjuangan untuk mencapai pembebasan kaum tertindas, melainkan berakhir menjadi sekadar hobi, pemuas keingintahuan, topik perdebatan intelektual, identitas belaka, pengelompokan pertemanan, dll. Bagi kami, pandangan ini sangat mengancam makna anarkisme.

Pengaruh buruk terhadap anarkisme ini dicatat dan dikritik oleh berbagai anarkis. Pertamanya oleh Malatesta, ketika ia adu bantah dengan kaum individualis yang menentang organisasi[2], disusul dengan Luigi Fabbri[3] yang mengecam pengaruh borjuis dalam anarkisme pada awal abad kedua puluh. Dan akhirnya sampai ke Murray Bookchin, yang pada pertengahan 1990-an mencatat fenomena ini dan berusaha memperingatkan:

Mungkin saya salah—dan saya berharap demikian, tujuan sosial dan revolusioner anarkisme sedang terkikis hingga ke titik di mana kata anarki menjadi bagian dari kosakata borjuis yang elegan di abad berikutnya—tidak patuh, memberontak, tanpa beban, tetapi menyenangkan dan tidak berbahaya.[4]

Kami mendorong anarkisme merebut kembali watak ideologis asalnya, atau seperti yang kami jabarkan sebelumnya, menjadi sebuah “sistem pemahaman yang berhubungan langsung dengan tindakan, […] praktik politik”. Demi mengembalikan karakter ideologis ini serta membedakan diri dari arus lain dalam dunia anarkisme kontemporer yang luas, kami menganjurkan anarkisme sosial. Oleh karenanya kami mempertegas kritik Malatesta dan Fabbri. Kami juga membenarkan pembagian yang telah dijelaskan oleh Bookchin: bahwa saat ini ada anarkisme sosial yang kembali berjuang demi cita-cita perubahan sosial, dan ada anarkisme gaya hidup yang meninggalkan tawaran perubahan sosial serta menolak terlibat dalam perjuangan sosial zaman kita.

Bagi kami, anarkisme sosial adalah jenis anarkisme yang sebagai ideologi berupaya menjadi alat bagi gerakan sosial dan organisasi rakyat, membantunya menghadapi kapitalisme dan Negara, untuk membangun sosialisme libertarian—yang swakelola dan federalis. Demi tercapainya tujuan ini, ia mendorong agar kaum anarkis kembali ke perjuangan kelas secara terorganisir dan merebut kembali apa yang kami sebut sebagai vektor sosial[5] anarkisme. Kami percaya bahwa di kalangan kelas-kelas yang dijajah, yaitu korban utama kapitalisme, anarkisme dapat tumbuh subur. Seperti yang dikatakan Neno Vasco, jika harus melempar benih anarkisme ke tanah yang paling subur, bagi kami tanah ini adalah perjuangan kelas, perjuangan yang terjadi di tengah-tengah pengerahan kekuatan rakyat dan gerakan sosial. Demi mempertentangkan anarkisme sosial dengan anarkisme gaya hidup, Bookchin menegaskan bahwa:

Anarkisme sosial secara mendasar bertentangan dengan anarkisme yang berpusat pada gaya hidup, seruan neo-situasionis yang memabukkan, dan kedaulatan ego borjuis kecil yang semakin hari semakin kontradiktif. Asas yang menentukan mereka berdua sungguh berbeda—sosialisme atau individualisme.[6]

Seorang militan dan pemikir kontemporer lain, Frank Mintz, mengomentari bukunya yang berjudul Anarquismo Social (Anarkisme Sosial) dan menekankan bahwa: “judul ini seharusnya tidak perlu, karena kedua istilah tersebut (anarkisme dan sosial) secara implisit sudah sangat terkait. Hal ini pun bisa menyesatkan karena memberi kesan bahwa mungkin ada anarkisme non-sosial, yang berada di luar perjuangan”[7]. Demikianlah kami memahami bahwa anarkisme sosial sudah pasti menceburkan diri dalam perjuangan kelas.

Dalam pandangan kami tentang anarkisme sosial sebagai “sebuah alat penting untuk mendukung perjuangan harian”[8], kami juga perlu memperjelas pengertian kami tentang kelas. Menurut kami, perjuangan kelas memang hal sentral dan benar-benar relevan dalam masyarakat saat ini, tetapi kami juga menyadari bahwa ada kaum Marxis yang lebih memilih buruh pabrik sebagai subjek revolusi yang istimewa dan bersejarah. Akibatnya, mereka meremehkan semua golongan kelas-kelas tertindas lainnya, padahal orang-orang dari golongan lain juga adalah subjek yang berpeluang menjadi revolusioner. Pemahaman kaum otoritarian tentang kelas pekerja yang terbatas hanya pada golongan buruh industri ini sangatlah tidak mumpuni. Pemahaman ini tidak mampu menjelaskan kenyataan dari berbagai hubungan kekuasaan dan penindasan yang terjadi sepanjang sejarah, dan bahkan yang tengah terjadi dalam masyarakat saat ini. Pemahaman seperti ini gagal mengenali berbagai subjek-subjek revolusioner di masa lalu dan masa kini.

Berangkat dari kebutuhan untuk memperjelas pemahaman tentang kelas, kami memasukkan golongan lainnya ke dalam kelompok kelas tertindas. Sebagian besar dari golongan lain ini telah mendapat perhatian dari kaum anarkis sepanjang sejarah. Mereka bisa dan sebaiknya memang berperan dalam upaya perubahan sosial melalui perjuangan kelas. Definisi pemahaman kelas ini tidak mengubah perjuangan kelas sebagai medan utama bagi tindakan anarkisme sosial, melainkan menawarkan cara pandang yang berbeda dalam melihat tujuan kita: perubahan hubungan antara pusat-pinggiran, atau lebih jelasnya lagi, perubahan hubungan-hubungan dominasi yang dilakukan oleh pusat kepada yang terpinggirkan. Berdasarkan klasifikasi yang dilakukan Rudolf de Jong[9] dan sejarah perjuangan kami sendiri baru-baru ini, kami menalar semua kelas tertindas dari hubungan antara pusat dengan pinggiran. Jadi, yang termasuk dalam kelompok ini adalah:

  1. Budaya-budaya dan masyarakat-masyarakat yang sangat terasing dan jauh dari pusat, yang sama sekali tidak “terintegrasi”, dan “liar” di mata pusat. Contohnya, orang Indian di Amazon.

  2. Wilayah-wilayah pinggiran yang terkait dengan pusat dan termasuk dalam pranata sosial-ekonomi dan politiknya, tapi pada saat bersamaan juga berusaha mempertahankan identitasnya. Mereka dikuasai oleh pusat dan keberadaannya terancam oleh perluasan ekonomi pusat. Menurut standar pusat, mereka “terbelakang” dan tertinggal. Sebagai contoh, masyarakat adat Meksiko dan negeri-negeri pegunungan Andes. Contoh lain dalam golongan ini—mungkin kita sebut sebagai subkelompok B.1—adalah petani kecil, pekerja terampil, dan buruh tani yang keberadaan sosial dan ekonominya terancam oleh kemajuan pusat dan yang hingga kini masih berjuang untuk kemerdekaannya.

  3. Kelas-kelas ekonomi atau sistem sosial ekonomi yang dulu pernah menjadi milik pusat, tetapi kembali ke posisi pinggiran setelah terjadinya pembaruan teknologi dan perkembangan sosial ekonomi di pusat. Misalnya kaum lumpen-proletariat, pekerja serabutan dengan kondisi kerja dan upah yang tidak menentu, serta para pengangguran.

  4. Kelas-kelas dan kelompok sosial yang secara ekonomi menjadi bagian dari pusat, tapi terpinggirkan secara sosial, budaya, dan/atau politik: kelas pekerja, proletariat dalam masyarakat industri yang sedang berkembang, kaum perempuan, kaum berkulit hitam, kaum homoseksual.

  5. Hubungan pusat-pinggiran yang bersifat politis, baik hubungan antar negara atau hubungan di dalam suatu negara: hubungan kolonial atau imperialis, hubungan antara kota dan desa, dll. Hubungan dalam sistem kapitalis semacam ini dikembangkan bersamaan dengan hubungan ekonomi yang disebutkan di atas—atau, kelompok E.1: dominasi neo-kapitalis, penjajahan dan penindasan setempat.

Dengan menerima klasifikasi semacam ini, dan menyadari keterbatasannya, kami mengartikan golongan kelas yang dihisap sebagai wilayah pinggiran yang didominasi oleh pusat. Penting untuk ditekankan bahwa ada pribadi-pribadi yang secara teori berada di pinggiran tapi dalam praktiknya malah membangun hubungan dominasi terhadap orang lain sehingga mereka menjadi pusat yang baru—kami tidak menganggap mereka sebagai bagian dari kelas tertindas. Oleh karena itu, semua perjuangan kelas-kelas tertindas pun perlu memiliki sudut pandang revolusioner, agar mereka tidak melulu menjadikan wilayah pinggiran menjadi bagian dari pusat yang baru.

Berangkat dari pengertian ini, ada dua cara berpikir mengenai perubahan sosial: pertama adalah cara otoritarian, yang dalam sejarah dipakai oleh penerus Marxisme (yang revolusioner atau reformis), dan yang kedua adalah cara libertarian, yang digunakan oleh kaum anarkis.

Kaum otoritarian, termasuk beberapa orang yang menyebut diri mereka anarkis, menganggap pusat sebagai sebuah alat, dan kemudian mengkiblatkan politik mereka ke arah tersebut. Bagi mereka, pusat—termasuk di dalamnya adalah: negara, partai, tentara, jabatan penguasa—adalah perangkat yang dapat dipakai untuk mencapai pembebasan masyarakat, dan “revolusi berarti pertama-tama harus merebut dulu pusat dan struktur kekuasaannya, atau menciptakan pusat yang baru”[10].

Pemahaman sesungguhnya kaum otoritarian didasarkan pada pusat, dan ketika menjelaskan proletariat industri sebagai subjek revolusioner bersejarah—yang dideskripsikan pada poin D dalam klasifikasi sebelumnya—mereka malah mengasingkan serta meminggirkan golongan lain dari kelas-kelas tertindas yang berada di pinggiran, misalnya seperti: buruh tani.

Kaum libertarian tidak menganggap pusat sebagai alat dan bahkan kukuh berjuang melawannya. Kaum libertarian membangun pola revolusioner dan strategi perjuangan mereka ke arah semua yang terpinggirkan—yaitu ke arah semua golongan yang dijelaskan di atas, dari poin A sampai poin E. Artinya, perihal tindakan perjuangan kelasnya, anarkisme menganggap unsur-unsur ini sebagai bagian dari kelas yang dieksploitasi: komunitas masyarakat tradisional, buruh tani, pengangguran, setengah pengangguran, tunawisma, dan golongan-golongan lainnya yang seringkali diabaikan kaum otoritarian. “Dengan demikian perjuangan akan dijalankan oleh seseorang yang benar-benar [merasakan] dampak dari sistem, dan karenanya mereka dengan segera [perlu] melenyapkannya”.[11] Kaum anarkis merangsang gerakan sosial di pinggiran dari akar rumput, dan dengan solidaritas berusaha membangun organisasi rakyat untuk memerangi tatanan yang ada, serta menciptakan masyarakat baru yang didasarkan pada kesetaraan dan kebebasan, di mana pengkelasan sosial tidak lagi dianggap masuk akal. Dalam perjuangan ini, kaum anarkis menggunakan cara yang di dalamnya terkandung benih-benih masyarakat masa depan.

Pemahaman kaum anarkis tentang kekuatan-kekuatan sosial di balik perubahan sosial jauh lebih umum dibandingkan rumusan kaum Marxis. Tidak seperti Marxisme, ia tidak memberikan peran khusus kepada kaum proletar industri. Dalam tulisan-tulisan anarkis, kita menemukan semua jenis pekerja dan kaum miskin, semua yang tertindas, semua yang entah bagaimana termasuk dalam kelompok atau wilayah pinggiran, dan karenanya merupakan unsur berpeluang dalam perjuangan revolusioner untuk perubahan sosial.[12]

Dengan pemahaman kekuatan revolusioner ini, kami menegaskan bahwa “semuanya menunjukkan bahwa di ‘pinggiran’, api revolusi tetap menyala”[13]. Oleh karena itu, kesimpulan kami adalah bahwa anarkisme harus selalu menautkan diri dengan yang terpinggirkan agar dapat menggarap rancangan perubahan sosialnya.

Anarkisme di Brasil: Kehilangan dan Upaya Menemukan Kembali Vektor Sosial

“Kita adalah kesatria perang besar.

Semua pejuang saling ‘memahami’ bagaimana caranya berperang dan

memikul ‘tekad’, yang tanpanya tidak akan ada tindakan yang kompak.

Mereka yang ‘memahami’ hal ini tidak lagi

menjadi majikan atas kehendak diri mereka sepenuhnya,

mereka terikat oleh benang merah perjanjian yang ditandatangani.

Jika utas benang itu putus, perjanjian rusak,
jika ‘Kamu salah paham dan berhenti dari pertarungan bersama ini’,

Kamu melarikan diri dari perjuangan, Kamu meninggalkan kawan.”

José Oiticica

Anarkisme muncul di Brasil pada abad kesembilan belas sebagai sebuah unsur yang mengganggu tatanan. Anarkisme berpengaruh pada sejumlah pemberontakan pada masanya—seperti Pemberontakan Praieira tahun 1848—dan pada lingkungan seni dan budaya serta pada pengalaman-pengalaman percobaan koloni pertanian di akhir abad ini. Koloni Cecilia (1890-1894) adalah yang paling terkenal dari pengalaman ini. Di abad yang sama, ada laporan tentang pemogokan, surat kabar pekerja, dan upaya-upaya awal untuk mengorganisir pusat-pusat perlawanan buruh.

Kemunculan apa yang kita sebut sebagai “vektor sosial anarkisme” dimulai pada awal tahun 1890-an, didorong oleh meningkatnya peleburan sosial anarkisme ke dalam serikat-serikat buruh, dan mencapai puncaknya pada dekade kedua abad ke-20.

Vektor sosial anarkisme adalah gerakan-gerakan rakyat dengan pengaruh anarkis yang kuat—terutama terkait dengan sisi praktiknya—terlepas di sektor mana ia terjadi. Pengerahan kekuatan rakyat ini adalah buah dari perjuangan kelas. Ia bukanlah gerakan anarkis sebab orang-orang berhimpun untuk tuntutan khusus. Misalnya, dalam serikat pekerja, para pekerja berjuang untuk mendapatkan gaji yang lebih baik; dalam gerakan tunawisma, mereka berjuang untuk tempat tinggal; dalam gerakan pengangguran, mereka berjuang untuk mendapatkan pekerjaan, dll. Namun, berbagai gerakan tersebut adalah ruang-ruang peleburan sosial anarkisme, yang pengaruhnya akan menganugerahi gerakan sosial dengan tindakan-tindakan paling bersemangat dan otonom, menggunakan aksi langsung dan demokrasi langsung, dengan pandangan tertuju pada perubahan sosial. Pengerahan demi pengerahan yang merupakan vektor sosial anarkisme terjadi dalam gerakan sosial, ruang yang kami anggap cocok untuk kerja sosial dan penghimpunan kekuatan, dan bukan sebagai massa yang harus diarahkan.

Di Brasil, vektor sosial anarkisme mulai berkembang pada akhir abad kesembilan belas dengan pertumbuhan jaringan penduduk di perkotaan. Seiring pertumbuhan industri yang juga berakibat pada tumbuhnya eksploitasi pekerja; para korban dari hari-hari yang melelahkan, kondisi kerja yang tidak sehat, dan upah rendah di pabrik-pabrik yang turut mempekerjakan anak. Demi mempertahankan kelas pekerja dari kondisi penindasan yang tidak tertahankan ini, bangkitlah beberapa organisasi buruh, kerusuhan, pemogokan, dan pemberontakan—kesemuanya menjadi semakin umum terjadi.

Bergeloranya perjuangan kelas di Brasil disebabkan oleh pemogokan para kusir tahun 1900, dan sejumlah mogok kerja tahun 1903, yang memuncak pada pemogokan umum yang diprakarsai para penenun, serta pemberontakan-pemberontakan yang memuncak pada Pemberontakan Vaksin tahun 1904. Pada tahun 1903, Federasi Asosiasi Kelas (Federação das Associações de Classe) didirikan di negara bagian Rio de Janeiro. Organisasi ini mengikuti bentuk sindikalis revolusioner CGT Prancis. Ia kemudian dipindahkan ke ibu kota dan namanya diubah menjadi Federasi Pekerja Regional Brasil (Federação Operária Regional Brasileira—FORB) pada tahun 1906. Ini terjadi setelah kunjungan anggota Federasi Pekerja Regional Argentina (Federación Obrera Regional Argentina—FORA) dan kampanye solidaritas dengan pekerja Rusia.

Pada 1904, bisa dibilang bahwa anarkisme mampu menampilkan dirinya sebagai alat perjuangan ideologis dan, “tidak diragukan lagi, sindikalisme revolusionerlah yang bertanggung jawab atas tercapainya vektor sosial anarkis pertama di pusat-pusat besar Brasil”[14]. Pada 1905 di São Paulo, pembuat sepatu, tukang roti, tukang kayu, dan pembuat topi mendirikan Federasi Buruh São Paulo (Federação Operária de São Paulo—FOSP). Pada tahun 1906, muncul Federasi Buruh Rio de Janeiro (Federação Operária do Rio de Janeiro—FORJ), yang pada 1917 memimpin Serikat Pekerja Umum (União Geral dos Trabalhadores—UGT) dan mempersatukan “serikat-serikat perlawanan (yang militan, berdaya tempur)”. Pada 1919, UGT menjadi Federasi Pekerja Rio de Janeiro (Federação dos Trabalhadores do Rio de Janeiro—FTRJ) dan, pada 1923, FORJ didirikan kembali.

Di bulan April 1906, Kongres Buruh Regional Brasil (Congresso Operário Regional Brasileiro), yang kemudian dikenal sebagai Kongres Buruh Brasil Pertama (Primeiro Congresso Operário Brasileiro), berlangsung di Rio de Janeiro dan dihadiri oleh sejumlah delegasi dari beberapa negara bagian Brasil yang mewakili beragam golongan. Kongres menyetujui kelekatannya dengan sindikalisme revolusioner Prancis, menerapkan netralitas gerakan buruh (dalam hal ideologi politik), federalisme, desentralisasi, anti-militerisme, anti-nasionalisme, aksi langsung, dan pemogokan umum. Kongres Kedua dan Ketiga berlangsung pada 1913 dan 1920. Pada 1908, Konfederasi Buruh Brasil (Confederação Operária Brasileira—COB) didirikan.

Pilihan sindikalisme revolusioner terjadi melalui pengerahan kekuatan (mobilisasi) di bidang ekonomi dan karena adanya tawaran federalisme yang menarik, yang memungkinkan otonomi serikat pekerja dalam federasi, dan otonomi federasi dalam konfederasi. Selain itu ada pengaruh internasional dari penerapan model ini di belahan dunia bagian lain. Cara-cara perjuangan dengan mengerahkan kekuatan massa seputar isu-isu jangka pendek berfungsi sebagai “gimnastik revolusioner”, yang dapat mempersiapkan kaum proletar untuk revolusi sosial.

Kaum anarkis berharap bahwa dengan tindakan konkret, solidaritas, dan pengamatan atas pertentangan antara kapital dan buruh, yang terbukti dalam konflik, ada pelajaran besar yang bisa ditelaah para pekerja. Menurut mereka, itulah yang menjamin asas-asas ideologis diterima, bukan dengan khotbah atau buku petunjuk bertele-tele yang tercerabut dari pengalaman langsung, melainkan dengan praktik aksi revolusioner dan tindakan harian oleh massa.[15]

Selama dekade pertama abad ke-20, terhitung lebih dari seratus gerakan pemogokan terjadi, sebagian besar terjadi karena permasalahan gaji. Selama tahun 1917 hingga 1920, lebih dari dua ratus demonstrasi dan pemogokan terjadi di antara Rio de Janeiro dan São Paulo saja. Seluruh naik turunnya pengerahan ini terjadi dengan pengaruh kaum anarkis yang cukup besar, yang mencoba menjalankan propaganda mereka di serikat-serikat pekerja. Mereka tidak membatasi diri dalam ideologi anarkis—sebab serikat pekerja adalah untuk semua pekerja dan bukan hanya untuk pekerja anarkis saja—walaupun pekerja anarkis menggunakan serikat untuk menyebarkan gagasan-gagasan mereka.

Semua harapan ini diletakkan pada revolusi sosial, yang menjadi semakin nyata sejak pertengahan 1910-an, dan memuncak pada tiga pengerahan yang relevan. Pertama, pada 1917 yang kemudian dikenal sebagai Pemogokan Umum 1917, ketika para pekerja São Paulo, yang sebagian besar terorganisir di seputar Komite Pertahanan Proletar berjuang melawan kelaparan, melakukan sabotase, dan memboikot produk-produk dari pabrik Crespi, Matarazzo, dan Gamba. Beberapa pencapaian gerakan pemogokan antara lain adalah ketika tuntutan delapan jam kerja sehari dan kenaikan upah dimenangkan oleh berbagai sektor gerakan. Pada 1918, pengerahan berlanjut dan di Rio de Janeiro Pemberontakan Anarkis terjadi. Pemogokan terjadi di pabrik carioca (Rio de Janeiro) dan para pekerja menduduki Campo de São Cristóvão. Para pemberontak ini ingin menyita gedung-gedung pemerintah dan membangun soviet pertama di kota Rio de Janeiro. Akhirnya, pada 1919, Serikat Pekerja Konstruksi Sipil (União dos Operários em Construção Civil–UOCC) memperoleh pencapaian terbesarnya: memenangkan tuntutan delapan jam kerja sehari untuk seluruh sektor kerja. Selain itu, di luar Rio de Janeiro dan São Paulo, pengerahan yang penting terjadi di negara bagian lain di Brasil: Rio Grande do Sul, Paraná, Santa Catarina, Minas Gerais, Pernambuco, Alagoas, Paraíba, Bahia, Ceará, Pará dan Amazonas.

Bahkan, ada gerakan budaya besar yang bekerja sama dengan pengerahan serikat dan menjadi anasir penting: sekolah-sekolah rasionalis yang terinspirasi oleh kaidahnya (Francisco) Ferrer y Guardia, pusat-pusat sosial, teater pekerja, dan prakarsa lain yang menjadi landasan dalam menempa budaya kelas, dan menjadi pemersatu di waktu-waktu perjuangan.

Ketika perjuangan tengah meningkat, dibentuk pula dua organisasi politik dan ideologis anarkis yang berusaha bekerja dengan gerakan serikat. Yang pertama adalah Aliansi Anarkis Rio de Janeiro (Aliança Anarquista do Rio de Janeiro), didirikan pada 1918 karena adanya kebutuhan akan organisasi anarkis untuk bekerja di dalam serikat buruh, dan menjadi unsur penting bagi pemberontakan 1918. Namun, seiring terjadinya penindasan, Aliansi dibubarkan dan terhimpun kembali di bawah Partai Komunis pertama dengan cita-cita yang libertarian, yang didirikan pada 1919. Baik Aliansi Anarkis dan Partai Komunis menjadi tempat bergabungnya para anggota dari sektor anarkisme yang disebut “organisasionalis”, yang memahami perlunya membedakan aksi ke dalam dua tingkat kegiatan: 1.) tingkat politik, yang secara ideologis anarkis, dan 2.) tingkat sosial, seperti dalam pengerahan serikat buruh. Para militan ini memahami perlunya keberadaan organisasi yang secara spesifik anarkis untuk beraksi bersama serikat-serikat pekerja. Penting untuk ditekankan bahwa pada saat ini, kaum anarkis sudah sibuk berkegiatan dengan organisasi spesifik mereka.

Dapat kita katakan bahwa vektor sosial anarkisme terus meningkat hingga awal tahun 1920-an. Selanjutnya, secara perlahan anarkisme dan gerakan serikat buruh mulai diterpa krisis. Puncaknya adalah pada tahun 1930-an, pengerahan mulai tampak loyo dan vektor sosial ini mulai lenyap. Bagi kami, hilangnya vektor sosial anarkisme adalah hasil dari dua keadaan krisis: yang pertama karena situasi, dan yang kedua karena anarkisme itu sendiri.

Pertama, kala itu ada penindasan terhadap serikat pekerja dan anarkisme dengan disahkannya revisi ketiga Undang-Undang Adolfo Gordo tahun 1921. Aturan baru ini menyediakan jalan untuk menindas dan mendeportasi kaum anarkis. Ditambah lagi ada deportasi para militan ke koloni tahanan Clevelândia, yang kini terletak di negara bagian Amapá, antara tahun 1924 dan 1926. Selain itu, perjuangan sosial di seluruh dunia juga sedang surut seiring munculnya keputusasaan atas hasil perjuangan yang terjadi setelah Revolusi Rusia 1917. Faktor yang juga penting adalah ketika Perang Dunia Pertama berakhir dan pabrik-pabrik di Eropa berjalan lagi. Mereka kembali melakukan ekspor (termasuk ke Brasil) dan jumlah pekerja di wilayah perkotaan pun berkurang. Di saat bersamaan, Partai Komunis Brasil, yang didirikan pada 1922, sejak tahun 1924 mulai berselisih dengan serikat pekerja dan bersekutu dengan kaum reformis. Mereka mengusulkan keterlibatan dalam pemilihan umum sebagai bentuk ekspresi politiknya. Akhirnya, pemberangusan serikat pekerja oleh negara disahkan pada tahun 1930 dan 1931 oleh pemerintahan Vargas. Puncaknya adalah pada 1932, serikat pekerja secara resmi diwajibkan untuk mendapatkan persetujuan pemerintah dan wajib ikut aturan berkegiatan yang ditentukan oleh negara.

Kedua, perihal krisis anarkisme itu sendiri, utamanya ditandai oleh kebingungan mengenai tingkat aktivitas yang berbeda-beda. Serikat pekerja adalah vektor sosial dan sarana untuk beraksi yang akan mengarah pada sebuah tujuan—perwujudan revolusi sosial dan terbentuknya sosialisme libertarian. Namun, bagi banyak militan, serikat pekerja berakhir menjadi tujuan itu sendiri. Gejala ini telah menjadi perhatian dalam anarkisme dan menjadi topik perdebatan yang sengit antara Malatesta dan Monatte di Kongres Anarkis Internasional Amsterdam pada 1907. Monatte, pembela “sindikalisme murni”, melihat kesamaan besar antara sindikalisme dan anarkisme sehingga ia berpendapat bahwa “sindikalisme saja sudah cukup”[16]. Sementara Malatesta, dengan posisi yang sangat berbeda, menganggap sindikalisme sebagai “sebuah ruang yang sangat mendukung penyebaran propaganda revolusioner dan juga berfungsi sebagai titik pertemuan antara kaum anarkis dengan massa”[17]. Dengan demikian, Malatesta berpendapat perlunya dua tingkat kegiatan: satu, kegiatan yang secara politik anarkis, dan satunya lagi, kegiatan sosial di dalam serikat buruh, yang akan menjadi tempat bagi kaum anarkis untuk membaur.

Posisi Malatesta dan Monatte merangkum posisi kaum anarkis Brasil. Di satu sisi, sebagian kaum anarkis membela kebutuhan akan organisasi khusus anarkis, yang akan terus melakukan peleburan sosial dalam serikat-serikat. Di sisi lain, ada kaum anarkis yang telah meyakini militansi dalam serikat sebagai satu-satunya tugas mereka, dan kemudian “lupa membentuk kelompok-kelompok khusus (anarkis) yang mampu mendukung praktik revolusioner”[18].

Terkait peristiwa sosial pada awal abad ke-20 di atas, posisi kami sejalan dengan posisi Malatesta. Di Brasil, posisi ini diambil oleh José Oiticica, yang pada saat itu mempermasalahkan minimnya organisasi khusus anarkis. Pada tahun 1923, ia telah memperingatkan fakta bahwa kaum anarkis telah mendedikasikan diri sepenuhnya hanya pada kegiatan serikat dan meninggalkan kegiatan ideologis, tidak mampu lagi membedakan peran serikat, yang adalah sarana peleburan sosial, dengan tujuan yang ingin mereka capai. Baginya, penting untuk menciptakan “federasi anarkis di luar serikat-serikat buruh”[19]. Meskipun Aliansi tahun 1918 dan Partai tahun 1919 adalah kelompok atau federasi sejenis ini, mereka, sayangnya, tidak mumpuni untuk tugas yang hendak diwujudkan.

Bagi Oiticica, seperti yang telah kami jelaskan sedikit, penting pada saat itu untuk mengarahkan kekuatan menuju pembentukan berbagai kelompok anarkis yang “tertutup”, dengan program aksi dan komitmen yang jelas, yang dipikul dalam diam oleh para militannya.[20] “Sentralisasi” kekuatan-kekuatan anarkis dalam perjuangan melawan borjuasi, lanjutnya, harus dibedakan dengan “desentralisasi” yang khas organisasi libertarian. Dia kemudian menegaskan dua langkah mendesak untuk efisiensi aksi anarkis: “penyaringan militan dan pemfokusan kekuatan”. Dan ia menyimpulkan: “Hanya ini yang akan memberikan kita kesatuan tindakan”.[21]

Kami percaya bahwa ketiadaan organisasi anarkis dalam mendukung perjuangan kelas, yang pada saat itu paling terwujud dalam serikat buruh, juga sangat bertanggung jawab atas hilangnya vektor sosial anarkisme. Akibat organisasi ideologis tidak terbentuk, situasi krisis serikat pada akhirnya meluas menjadi krisis anarkisme itu sendiri. Dengan demikian, krisis di tingkat sosial juga akan berimbas ke tingkat politik karena pada saat itu tidak ada pemisahan nyata antara keduanya.

Bagi kami wajar jika tingkat sosial, yang pada saat itu diwakili oleh serikat buruh, mengalami pasang surut, kala naik dan turun. Organisasi khusus anarkis berfungsi justru untuk mengumpulkan berbagai hasil dari perjuangan tersebut dan terkadang untuk mencari ruang-ruang lain untuk berkegiatan, ruang lain untuk membaur. Masalahnya adalah, tanpa organisasi anarkis, ketika tingkat sosial—atau salah satu bidang tingkat sosial—memasuki krisis, kaum anarkis tidak mampu menemukan ruang lain untuk peleburan sosial.

Begitu vektor sosial hilang, dan tanpa organisasi khusus yang mampu mempertahankan perjuangan ideologis dengan tempo yang lebih panjang, mustahil bagi kaum anarkis untuk sesegera mungkin menemukan ruang lain untuk peleburan [...] Pencapaian yang diraih dengan masuknya (kaum anarkis) ke dalam serikat-serikat buruh sangat mungkin telah membuat mereka terlampau percaya diri bahwa potensi berbagai asosiasi kelas tidak akan pernah habis atau bahkan lebih unggul dari keadaan yang berubah-ubah.[22]

Dengan demikian, krisis dalam gerakan sindikalisme revolusioner juga mencerabut vektor sosial dari kaum anarkis. Akibatnya, para anarkis kemudian mulai “menghimpun diri mereka ke dalam kelompok-kelompok budaya untuk melestarikan ingatan”[23].

★★★

FARJ ingin melanjutkan militansi Ideal Peres dan kerja-kerja perjuangan yang telah dilakukannya. Ideal Peres adalah putra dari Juan Perez Bouzas (atau João Peres), seorang anarkis imigran asal Galicia Spanyol, juga seorang pembuat sepatu, yang memainkan peran penting dalam anarkisme Brasil sejak akhir 1910-an. Dia adalah seorang militan aktif dari Aliansi Pengrajin Alas Kaki (Aliança dos Artífices em Calçados) dan Federasi Buruh São Paulo (Federação Operária de São Paulo–FOSP). Ia telah terlibat dalam berbagai pemogokan, barisan penjaga pemogokan (picket line), dan demonstrasi. Pada tahun 1930-an, ia aktif di Liga Anti-rohaniwan (Anticlerical League). Pada 1934 dengan tegas ia terlibat dalam Pertempuran Sé, ketika kaum anarkis menolak Integralistas (kaum fasis) di bawah semburan senapan mesin. Tahun berikutnya kaum anarkis juga terlibat dalam pembentukan Aliansi Pembebasan Nasional (Aliança Nacional Libertadora–ANL), sebuah koordinasi yang mendukung perjuangan anti-fasis dalam melawan imperialisme dan tuan tanah.

Ideal Peres lahir pada tahun 1925 dan memulai militansinya dalam situasi krisis, ketika vektor sosial anarkisme telah hilang. Ini terjadi pada 1946 ketika ia terlibat dalam Pemuda Libertarian Rio de Janeiro (Juventude Libertária do Rio de Janeiro), dalam terbitan berkala Aksi Langsung (Ação Direta) dan Obor (Archote), dalam Perhimpunan Anarkis Rio de Janeiro (União dos Anarquistas do Rio de Janeiro), dalam Kongres Anarkis (Congresso Anarquistas) yang berlangsung di Brasil, dan dalam Perhimpunan Pemuda Libertarian Brasil (União da Juventude Libertária Brasileira). Ideal Peres juga sangat terlibat dalam Pusat Studi Profesor José Oiticica (Professor Centro de Estudos José Oiticica–CEPJO), wadah bagi serangkaian kursus dan ceramah yang menggunakan anarkisme sebagai “latar belakangnya”. Namun, CEPJO dibubarkan oleh diktator pada 1969 dan Ideal Peres pun dipenjara selama sebulan di Departemen Ketertiban Sosial dan Politik (Departamento de Ordem Politica e Social–DOPS), pertama di Pangkalan Udara Galeao dan kemudian di barak Polisi Militer di jalan Barao de Mesquita, pusat penyiksaan milik kediktatoran militer.

Setelah keluar dari penjara, pada 1970-an, Ideal Peres mengorganisir sebuah kelompok belajar di rumahnya yang bertujuan untuk mengumpulkan orang-orang muda yang tertarik pada anarkisme dan salah satu kegiatannya adalah menghubungkan orang-orang muda tersebut dengan para militan sebelumnya serta membangun hubungan dengan anarkis lainnya di Brasil. Kelompok belajar ini kemudian menjadi nukleus dari Lingkar Studi Libertarian (Círculo de Estudos Libertários–CEL), yang dirawat oleh Ideal dan pasangannya, Esther Redes. CEL beroperasi di Rio de Janeiro dari 1985 hingga 1995, berhubungan dekat dengan (atau bahkan terlibat di dalam) pembentukan kelompok-kelompok lain seperti Kelompok Anarkis José Oiticica (Grupo Anarquista José Oiticica–GAJO), Kelompok Anarkis Aksi Langsung (Grupo Anarquista Ação Direta–GAAD), Kolektif Mahasiswa Anarkis 9 Juli (Coletivo Anarquista Estudantil 9 de Julho–CAE-9), kelompok Mutirão, juga terbitan-terbitan seperti Libera...Amore Mio (didirikan tahun 1991 dan masih ada sampai sekarang), majalah Utopia (1988-1992), dan jurnal Mutirão (1991). Selain itu, CEL mempromosikan acara, kampanye, dan lusinan (kalau bukan ratusan) ceramah dan diskusi.

Dengan meninggalnya Ideal Peres pada Agustus 1995, CEL memutuskan untuk menghormatinya dengan mengubah nama menjadi Lingkar Studi Libertarian Ideal Peres (Círculo de Estudos Libertários Ideal Peres–CELIP). CELIP melanjutkan pekerjaan CEL, bertanggung jawab untuk menghimpun militansi di Rio de Janeiro dan oleh karena itu melanjutkan perbaikan teoretisnya. Selain itu, CELIP muncul dengan diterbitkannya Libera, yang melaluinya CELIP membangun hubungan dengan kelompok-kelompok di seantero negeri dan luar negeri. Terbitan ini mengemukakan pemikiran libertarian penting mengenai isu-isu yang menjadi agenda di Brasil dan seluruh dunia pada saat itu, serta berperan dalam penyebaran naskah dan berita dari berbagai kelompok di negeri ini. Berbagai ceramah dan diskusi terus menarik militan-militan baru, dan interaksi beberapa militan dengan Federasi Anarkis Uruguay (Federación Anarquista Uruguaya–FAU) akhirnya benar-benar mempengaruhi bentuk anarkisme yang sedang dikembangkan di dalam CELIP. CELIP adalah salah satu penyelenggara Pertemuan Nasional Mahasiswa Libertarian Rio de Janeiro (ENELIB) pada 1999, dan juga terlibat dalam Pertemuan Internasional Kebudayaan Libertarian di Florianopolis pada tahun 2000, serta berperan serta pada kegiatan Institut Kebudayaan dan Aksi Libertarian di São Paulo (ICAL). Ia juga mempelajari perjuangan para pekerja industri minyak, dan membangun kembali hubungan antara kaum anarkis dengan serikat pekerja di industri minyak—hubungan yang dimulai pada tahun 1992/1993, ketika mereka bersama-sama menduduki gedung kantor pusat Petrobras (Edifício Sede da Petrobrás–EDISE) dalam pendudukan bangunan “publik” pertama pasca kediktatoran militer. Pada 2001, perjuangan kaum anarkis dan pekerja industri minyak ini berlanjut. Puncaknya pada 2003, kaum anarkis dan pekerja industri minyak berkemah 10 hari lebih untuk memperjuangkan amnesti bagi rekan-rekannya yang secara politis diasingkan. Selain itu, CELIP melakukan berbagai kegiatan lainnya.

Pada tahun 2002, kami memprakarsai kelompok studi untuk memeriksa ulang kemungkinan pembangunan organisasi anarkis di Rio de Janeiro, yang hasilnya adalah pendirian FARJ pada 30 Agustus 2003. Bagi kami, ada hubungan langsung antara militansi Ideal Peres, pembangunan CEL, fungsinya, perubahan namanya menjadi CELIP, dan berikutnya, pendirian FARJ.

Ketika kami berbicara tentang pencarian “vektor sosial anarkisme”, kami perlu merujuk pada kegiatan yang diprakarsai oleh Ideal Peres, yang bahkan di tahun 1980-an telah mulai bekerja dengan gerakan-gerakan sosial, dengan maksud untuk menarik anarkisme keluar dari batas-batas ranah budaya sejak krisis tahun 1930-an.

Pada paruh pertama 1980-an, Ideal dan Esther [Redes] mulai terlibat gerakan sosial, sebagai pendiri dan anggota Asosiasi Sahabat dan Warga Leme (Associação dos Moradores e Amigos do Leme–AMALEME). Pada tahun 1980-an, sejumlah federasi pemukiman, asosiasi-asosiasi favela (kota kecil/perkampungan kumuh) dan komunitas muncul di Rio de Janeiro, dan Ideal yang terlibat dalam AMALEME mencoba mendorong mereka untuk menerapkan praktik swakelola dan menunjukkan solidaritas dengan komunitas miskin di Morro do Chapéu Mangueira. Ideal terpilih menjadi wakil presiden asosiasi pada tahun 1984 dan sebagai presiden pada 1985. Perhatiannya pada asosiasi pemukiman lahir di asosiasi lain, Asosiasi Penduduk Lauro Muller dan Sekitarnya (ALMA), yang mungkin merupakan asosiasi pertama yang menunjukkan dorongan berdaya juang dan swakelola, dan yang akhirnya mempengaruhi asosiasi-asosiasi lain[24].

Stimulasi dari Ideal Peres dan perkembangan militansi di Rio de Janeiro menunjukkan adanya kebutuhan praktis untuk kerja dan peleburan sosial kaum anarkis, yang menjadi semakin dalam setelah berkontak dengan FAU pada pertengahan 1990-an. Melalui Libera dan interaksi dengan kelompok-kelompok lain di Brasil, kami membantu prakarsa Konstruksi Anarkis Brasil (CAB) pada 1996, menyebarluaskan dokumen berjudul “Perjuangan dan Organisasi”, yang berupaya untuk memberikan dukungan bagi pembentukan kelompok-kelompok organisasional yang akan mempertahankan gagasan anarkisme “especifista“. Dapat kami katakan bahwa semua anarkisme especifista di Brasil telah mendapatkan pengaruhnya dari CAB dan FAU secara langsung, demikian halnya dengan kami.

Sejak saat itu, gagasan peleburan sosial dan pemulihan vektor sosial terus menerus meluas. Sejarah Brasil, dan pengamatan yang lebih strategis tentang alasan keberadaan anarkisme itu sendiri, membuat kami semakin yakin bahwa especifismo adalah bentuk organisasi anarkis yang paling sesuai dengan tujuan kami. Bagi kami, jalan menuju pemulihan vektor sosial mestilah melalui anarkisme yang terorganisir secara khusus, yang memiliki tingkat kegiatan berbeda-beda dan hadir dalam perjuangan kelas. Namun, tidak seperti di awal abad ke-20 ketika medan perjuangan kelas yang diistimewakan hanyalah serikat pekerja. Serikat pekerja memang dapat menjadi sarana peleburan, tetapi sekarang ini kami melihat ada yang lain juga yang jauh lebih penting. Seperti yang telah kami terangkan sebelumnya, saat ini golongan kelas-kelas yang tertindas sangat luas. Kaum anarkis dapat melakukan kerja sosial serta membaur di dalamnya: kaum pengangguran, buruh tani, kelompok yang tidak memiliki tanah, tunawisma, dll. Bagi kami, terorganisir dengan baik di tingkat politik (ideologis) akan memungkinkan kita menemukan jalan terbaik untuk mengembalikan vektor sosial anarkisme ini, di mana pun ia memungkinkan.

Semua perenungan anyar kami adalah untuk memikirkan ulang tentang bentuk strategis organisasi yang mampu memulihkan vektor sosial anarkisme, sebab vektor sosial dapat mengarahkan kita ke tujuan, yaitu melemahkan kapitalisme dan negara serta membentuk sosialisme libertarian. Dalam kerangka ini, apa yang kami cari hanyalah sebuah pangkalan dalam perjuangan, seperti yang kami tekankan dalam pendirian kami: “Inilah FARJ, yang tidak meminta apa pun selain sebuah stasiun pertempuran, supaya janganlah padam mimpi indah dan berbudi luhur ini.”[25]

Masyarakat Dominasi dan Eksploitasi: Kapitalisme dan Negara

“Kekayaan segelintir orang dibuat dengan kesengsaraan orang lain.”

Peter Kropotkin

“Bagi mereka yang berkuasa, musuhnya adalah rakyat biasa.”

Pierre-Joseph Proudhon

Kapitalisme sebagai sebuah sistem telah berkembang sejak akhir Abad Pertengahan dan dimapankan pada abad ke-18 dan ke-19 di Eropa Barat. Ia membentuk dirinya sendiri sebagai sebuah sistem ekonomi, politik, dan sosial, yang mendasarkan diri pada hubungan antar dua kelas yang saling bertentangan. Di satu sisi, ada kelas yang disebut “borjuasi”, yang akan kita sebut dalam naskah ini sebagai “kapitalis”, yakni pemegang kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi,[26] yang mengikat kontrak dengan pekerja untuk tenaga kerja yang diupah. Di sisi lain, ada yang disebut “proletariat”,[27] yang akan kita sebut dalam naskah ini sebagai “pekerja”, yaitu orang-orang yang tidak memiliki apa pun selain kekuatan tenaga kerjanya, dan harus menjual tenaga kerja tersebut demi imbalan upah. Seperti yang telah kami tekankan sebelumnya, para pekerja upahan—yang merupakan objek analisis klasik sosialis abad kesembilan belas, bagi kami saat ini hanyalah satu dari banyak golongan kelas yang dieksploitasi.

Tujuan para kapitalis adalah memproduksi barang dan mendapatkan keuntungan. “Perusahaan (kapitalis) tidak peduli dengan kebutuhan masyarakat. Satu-satunya tujuan mereka adalah untuk meningkatkan keuntungan pemilik bisnis”.[28] Dengan sistem kerja upahan, para kapitalis membayar pekerja seminimal mungkin dan mengambil semua surplus hasil kerja mereka, yang disebut dengan nilai lebih. Hal ini terjadi karena kaum kapitalis harus mengeluarkan biaya serendah mungkin, dengan modal sesedikit mungkin, untuk meningkatkan keuntungan mereka. Mereka menjual hasil produknya semahal mungkin dari harga pasar, sehingga yang mereka dapatkan selalu lebih tinggi dari yang mereka keluarkan—kesenjangan antara pendapatan dan pengeluaran ini disebut keuntungan (profit). Untuk menekan biaya, dan akhirnya meningkatkan keuntungan, para kapitalis menyiapkan berbagai tindak lanjut. Salah satu tindak lanjutnya adalah dengan meningkatkan produktivitas dan menurunkan biaya produksi. Ada beberapa cara untuk melakukannya, seperti: memaksakan beban kerja yang lebih banyak pada para pekerja dan memotong upah pekerja.

Hubungan antara kapitalis dan pekerja menghasilkan ketidaksetaraan sosial, salah satu kejahatan besar masyarakat tempat kita hidup saat ini. Hal ini telah dinyatakan oleh Proudhon, ketika ia menyelidiki masalah ini sejak abad ke-19:

Saya telah menegaskan bahwa semua penyebab ketidaksetaraan sosial dapat dikerucutkan menjadi tiga: 1) perampasan kekuatan kolektif, 2) ketidaksetaraan dalam perdagangan, 3) hak untuk mendapatkan keuntungan. Dan, karena ketiga cara perampasan milik orang lain ini pada dasarnya dibangun di atas penguasaan properti, saya menolak keabsahan properti dan menyatakan identitasnya sebagai pencurian.[29]

Bagi kami, properti pribadi, seperti yang Proudhon tuliskan, adalah pencurian, sebab sistem kerja upahan telah memberikan surplus hasil tenaga kerja buruh kepada kaum kapitalis. “Setelah membuat buruh terjerumus ke dalam riba, [hak kepemilikan properti] membunuh mereka perlahan dengan kelelahan”.[30]

Selain menjadi sistem yang menciptakan dan mempertahankan ketidaksetaraan sosial, kapitalisme dilandaskan pada dominasi dan eksploitasi yang ia hasilkan. Dominasi ada ketika seseorang atau sekelompok orang menggunakan “kekuatan sosial dan waktu orang lain, untuk mencapai tujuan si pendominasi—yang berbeda dengan tujuan si subjek yang ditundukkan”[31]. Ciri khas sistem kapitalis adalah adanya pemanfaatan tenaga kerja buruh untuk memperkaya kaum kapitalis. Oleh karena itu, kapitalisme merupakan sistem yang dominatif dan eksploitatif karena keberadaannya “menandakan adanya kemampuan dan hak untuk hidup dari eksploitasi tenaga kerja orang lain, hak untuk mengeksploitasi tenaga kerja orang-orang yang tidak memiliki properti atau modal, dan yang terpaksa menjual kekuatan produktif mereka kepada pemilik yang beruntung memiliki keduanya (properti maupun modal)”[32].

Di dalam pasar, hubungan antara modal dan tenaga kerja tidaklah setara, sebab kaum kapitalis pergi ke pasar untuk mendapatkan keuntungan, sementara para pekerja terpaksa melakukannya karena perlu bekerja. Tanpa bekerja, kaum pekerja berisiko mengalami kekurangan dan tidak memiliki kondisi hidup yang layak. Pertemuan ini adalah sebuah “pertemuan antara prakarsa demi keuntungan dan, di pihak yang lain, prakarsa demi keluar dari kelaparan—pertemuan antara tuan dan budak”[33].

Selain itu, pengangguran pun terjadi karena para kapitalis melihat jumlah pekerja yang melimpah di pasar. Ada lebih banyak pasokan pekerja daripada permintaan (untuk pekerja):

[…] pemukiman miskin di kota dan pedesaan penuh dengan manusia malang yang anak-anaknya menangis di depan piring kosong. Begitulah, bahkan ketika pabrik belum selesai dibangun, para pekerja sudah datang untuk meminta pekerjaan. Seratus tenaga kerja dibutuhkan, tetapi yang hadir seribu orang.[34]

Dengan demikian, kaum kapitalis merasa pantas untuk memaksakan kondisi kerja. Para pekerja pun menerimanya, sebab “mereka takut menerima kenyataan bahwa dirinya bisa digantikan oleh yang lain dan akhirnya menjual dirinya sendiri dengan harga terendah. […] Begitu menyadari bahwa dirinya hidup dalam kemiskinan, para pekerja terpaksa menjual tenaga kerjanya dengan imbalan upah yang teramat kecil, dan akibat menjual tenaganya dengan sangat murah, mereka pun tenggelam dalam penderitaan yang semakin menjadi-jadi”[35].

Sebagai sistem yang kompleks, kapitalisme menggabungkan berbagai bentuk produksi dan kelas-kelas sosial. Petani, kendatipun merupakan bagian dari proses produksi pra-kapitalis, masih tunduk pada tuntutan persaingan di pasar kapitalis: mereka masih perlu membeli elemen-elemen pokok yang dijual di pasar kapitalis agar dapat tetap berproduksi. Dalam dunia kompetisi, karena kesulitan soal produksi dan teknologi, para petani berada dalam posisi yang kurang beruntung dibandingkan dengan perusahaan agribisnis besar. Ada juga petani yang menjual tenaga kerja mereka, yang kami anggap sebagai buruh pedesaan dalam sistem kapitalis tradisional. Jadi, seperti yang telah kami bahas, petani juga merupakan bagian dari kelompok kelas yang dieksploitasi.

Kapitalisme bahkan seharusnya tidak dibagi hanya ke dalam dua kelas besar—kaum kapitalis dan kaum pekerja—, sebab sebenarnya ada tiga kelas di dalamnya. Kelas ketiga disebut “kelas manajerial”, yang bertanggung jawab untuk mengendalikan sisi-sisi penting dari kapitalisme dan mewujudkan sisi penting lain dari kapitalisme, yaitu pembagian kerja yang hierarkis. Sepanjang sejarah kapitalisme, kelas manajerial ini semakin menjadi bagian dari kelas kapitalis, khususnya karena kepentingan yang mereka bela selama proses perjuangan kelas. Saat ini, sosok borjuis tradisional, sang pemilik, menjadi semakin tidak umum. Kuasa atas perusahaan-perusahaan saat ini dilakukan oleh para manajer, sementara para pemiliknya semakin berbentuk kelompok multinasional atau bahkan para pemegang saham yang tidak diketahui nama-namanya. Hari ini, sebagian besar kelas manajer adalah bagian dari kelompok kapitalis, atau yang juga kita sebut sebagai kelas penguasa.

Ada juga aktor lain di pasar kapitalis seperti pekerja di sektor perdagangan dan jasa, yang mendistribusikan produk-produk perusahaan kapitalis atau melakukan suatu pekerjaan untuk mereka. Kedua sektor tersebut kurang lebih mengikuti nalar kapitalisme dan juga berperan dalam persaingan pasar: mereka menopang keberadaan sang pemilik, seringkali juga dengan menggunakan tenaga kerja upahan, turut menikmati hasil dari hubungan yang tidak adil antara modal dan tenaga kerja, dan berniat untuk melipatgandakan keuntungan.

Sebagai sistem yang menghasilkan ketidakadilan, kapitalisme memisahkan kerja manual dan kerja intelektual. Pemisahan ini merupakan hasil dari (hak istimewa) warisan dan juga pendidikan, karena ada perbedaan pendidikan untuk si kaya dan si miskin. Jadi:

[…] selama ada dua atau lebih tingkat pendidikan untuk lapisan masyarakat yang berbeda-beda, (masyarakat tersebut) pasti akan memiliki kelas-kelas, artinya: hak istimewa politik dan ekonomi adalah untuk segelintir orang yang beruntung, sementara perbudakan dan kesengsaraan untuk mayoritas orang lainnya.[36]

Sepanjang sejarahnya, kapitalisme telah berkembang dan terlibat dalam struktur politik negara-negara Eropa pada akhir abad kesembilan belas. Kapitalisme melahirkan imperialisme dan saat ini mencapai tahap ekspansinya, yang dapat disebut sebagai globalisasi ekonomi. Menurut analisis Subcomandante Marcos dari Tentara Zapatista: “Ini bukan lagi kekuasaan imperialis dalam pengertian klasik, yang mendominasi seluruh dunia, tetapi sebuah kekuasaan ekstra-nasional baru”.[37] Secara umum, globalisasi ekonomi dicirikan dengan adanya integrasi proses-proses produksi, distribusi, dan pertukaran dalam lingkup global. Produksi dilakukan di beberapa negara, barang diimpor dan diekspor dalam jumlah sangat besar dan melewati jarak yang sangat jauh.

Dipantik sejak 1970-an dan 1980-an, “globalisasi” menyebar luas ke seluruh dunia, “dari sudut pandang ideologis, filosofis, dan teoretis, ia mendasarkan dirinya pada asas neoliberalisme”[38], yang menganjurkan adanya pasar bebas dengan sesedikit mungkin campur tangan negara. Gagasan dasarnya adalah bahwa kapital memerlukan tempat dengan kondisi terbaik untuk reproduksinya. Karena produksi tentu membutuhkan tenaga para pekerja, maka perusahaan-perusahaan kapitalis melakukan migrasi bidang produksinya ke negeri-negeri dengan “biaya produksi” yang lebih rendah, yaitu negara dengan undang-undang ketenagakerjaan yang lemah, gerakan lingkungan hidup yang lemah, organisasi serikat buruh yang lemah, tingkat pengangguran tinggi, dan lainnya. Singkat kata, perusahaan mencari negara atau wilayah di mana eksploitasi dapat dilakukan tanpa intervensi negara sehingga memungkinkan mereka untuk membayar sesuka hati tanpa ada kewajiban untuk memberikan tunjangan kepada para pekerjanya. Pekerja dapat diberhentikan kapan pun si kapitalis mau dan bahwa selalu ada lebih banyak pekerja yang akan mengisi posisi tersebut sehingga biaya produksi menjadi semakin rendah dan lebih rendah lagi. Pekerjaan dengan kondisi yang tidak pasti (pekerja lepas/outsource) diperbanyak dan digalakkan. Sistem ini, di satu sisi bisa saja memperlakukan pengangguran dengan lebih baik. Tapi di sisi lain ia memungkinkan adanya pemerasan, di mana kerentanan kerja terpaksa diterima, dan organisasi buruh semakin dikendalikan penguasa serta terdesak ke pinggiran. Seperti dijelaskan oleh Chomsky:

Konsep ‘efisiensi’ dan ‘ekonomi sehat’, yang merupakan kesukaan orang kaya dan kaum yang memiliki hak istimewa, tidak memiliki apa pun untuk ditawarkan pada sektor populasi yang sedang bertumbuh, yaitu orang-orang tidak berpunya, yang terdorong ke dalam kemiskinan dan keputusasaan. Jika mereka tidak dapat dikurung di perkampungan kumuh, mereka harus dikendalikan dengan cara lain.[39]

Neoliberalisme—yang merangsang kebebasan aliran modal, dan bukan kebebasan gerakan rakyat ataupun perbaikan kondisi kerja—mempertanyakan kembali seluruh tuntutan “kesejahteraan” yang diserukan pada negara selama mobilisasi besar yang menandai dunia pada abad kesembilan belas dan keduapuluh. Kapitalisme telah mencari ruang baru, memperluas dirinya baik secara internal maupun eksternal, menciptakan perusahaan-perusahaan kapitalis baru melalui privatisasi, dan memelihara kebutuhan-kebutuhan palsu dengan cara mengiklankan hal-hal yang tidak sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat. “Asas neoliberal, terlepas dari apa pun anggapan orang tentangnya, telah merusak pendidikan dan kesehatan, meningkatkan ketimpangan sosial, dan mengurangi hak tenaga kerja dalam distribusi pendapatan”.[40]

Kapitalisme kontemporer juga bertanggung jawab atas krisis ekologi besar yang melanda dunia saat ini. Didorong oleh nalar keuntungan, perusahaan-perusahaan swasta bertanggung jawab dalam memperluas hierarki kelas ke dalam relasi manusia dengan lingkungan. Polusi, penggundulan hutan, pemanasan global, pemusnahan spesies langka, dan ketidakseimbangan rantai makanan hanyalah akibat-akibat dari hubungan hierarkis ini.

Hierarki, kelas-kelas (sosial), sistem properti, dan lembaga politik, yang muncul bersamaan dengan dominasi sosial, secara konseptual dipindahkan ke hubungan antara manusia dan alam. Alam juga semakin dilihat sebagai sumber daya belaka, sebuah objek, bahan mentah yang bisa dieksploitasi seenak jidat, layaknya budak di perkebunan besar.[41]

Negara Brasil sudah terintegrasi dengan baik ke dalam logika global ini akibat kebijakan yang diterapkan oleh pemerintahnya di masa lalu. Brasil juga mengalami dampak global dari tahap baru kapitalisme ini.

★★★

Kami menganggap negara sebagai seperangkat kekuasaan politik suatu bangsa, yang terbentuk melalui “lembaga politik, legislatif, yudikatif, militer, keuangan, dll”[42], dan dengan demikian, negara memiliki arti lebih luas daripada pemerintah. Sejak kemunculannya di zaman dahulu, melewati Mesir milik para firaun dan negara budak-militer Roma, negara selalu menjadi alat untuk mengabadikan ketidaksetaraan dan sebuah elemen pemusnah kebebasan, apa pun bentuk produksi yang digunakan di dalamnya. Sepanjang sejarah, lembaga dominasi ini mengalami periode kekuatan yang naik turun, tergantung pada waktu dan tempat mana yang hendak kita bahas. Negara, seperti yang kita amati hari ini (negara modern), berasal dari abad ke-16.

Pada Abad Pertengahan, kaum barbar modern, yang ingin menghancurkan peradaban perkotaan, akhirnya memperbudak semua orang yang mengorganisasi diri mereka berdasarkan prakarsa dan pemahaman yang merdeka. Seluruh masyarakat disamaratakan, berlandaskan pada ketertundukan terhadap tuan tanah. Gereja dan negara dideklarasikan sebagai satu-satunya penghubung antar individu dan bahwa hanya lembaga-lembaga inilah yang berhak membela kepentingan komersial, perindustrian, seni, dll. Negara dibentuk melalui dominasi, untuk berbicara atas nama masyarakat, dan akhirnya dianggap sebagai masyarakat itu sendiri.

Negara memiliki ciri "permainan ganda": berjanji pada orang kaya untuk melindungi mereka dari orang miskin, dan berjanji pada orang miskin untuk melindungi mereka dari orang kaya. Sedikit demi sedikit, kota-kota kecil, yang adalah korban dari otoritas, mati perlahan dan akhirnya menyerah pada negara. Negara pun semakin mengembangkan perannya sebagai penakluk dan bergerak lebih jauh lagi dengan berperang melawan negara-negara lain, selalu berusaha untuk memperluas dirinya dan menaklukkan wilayah-wilayah baru. Pengaruh negara atas perkotaan dan pedesaan menimbulkan malapetaka. Peran negara di perkotaan pada periode abad ke-16 dan ke-17 adalah:

…untuk memusnahkan kemerdekaan kota-kota, merampok gilda-gilda[43] kaum pedagang dan seniman kaya, memusatkan perdagangan eksternal di tangan mereka dan kemudian menghancurkannya. Negara merebut seluruh administrasi internal gilda dan menundukkannya pada perdagangan dalam negeri, serta pembuatan segala sesuatu, hingga ke detail terkecil, diserahkan ke tangan para pejabat yang tidak transparan. Dengan cara ini mereka membunuh perindustrian dan seni; menguasai milisi-milisi lokal dan seluruh administrasi kota; dengan pajak, kaum lemah dipaksa menguntungkan yang kaya, dan menghancurkan negeri dengan peperangan.[44]

Setelah Revolusi Industri muncullah sesuatu yang disebut sebagai “masalah sosial”, yang memaksa negara untuk mengembangkan program bantuan sosial demi meminimalkan dampak kapitalisme pada pekerja. Pada akhir abad ke-19, muncul pemahaman negara yang lebih intervensionis (berkewajiban campur tangan) sebagai ganti dari liberalisme. Negara semacam ini, di satu sisi berusaha menciptakan kebijakan "kesejahteraan sosial", tapi di sisi lain menerapkan metode-metode untuk menahan laju prakarsa sosialis, yang cukup kuat pada masa itu.

Saat ini, negara memiliki dua tujuan mendasar: yang pertama, menjamin kondisi bagi produksi dan reproduksi kapitalisme, dan yang kedua, menjamin keabsahan dan kendalinya. Karena alasan inilah, saat ini negara merupakan pilar penyangga yang kuat bagi kapitalisme.

Negara melampaui ruang lingkup politiknya dan berfungsi sebagai kaki tangan ekonomi kapitalisme. Negara berusaha mencegah atau meminimalkan dampak krisis atau penurunan tingkat keuntungan kapitalisme. Hal ini dilakukannya dengan beberapa cara: memberikan pinjaman kepada bidang-bidang ekonomi utama, memberikan insentif pada pengembangan bidang-bidang ekonomi, memutihkan utang, merumuskan ulang sistem impor/ekspor, mensubsidi produk, menghasilkan pendapatan melalui penjualan produk dari perusahaan milik negara, dll. Program bantuan juga memiliki peran penting karena meningkatkan daya beli sektor masyarakat, menggerakkan dan menghangatkan ekonomi kapitalis. Selain itu, negara menciptakan undang-undang yang bertujuan untuk menjamin akumulasi jangka panjang kaum kapitalis dan memastikan bahwa rasa haus kapitalis akan keuntungan tidak sampai membahayakan sistem itu sendiri.

Proses sejarah mencatat bahwa sebuah sistem tidak mungkin mempertahankan dirinya dengan hanya bergantung pada represi. Negara mempertahankan dirinya dengan cara represif selama bertahun-tahun, tapi secara bertahap ia pun harus memodifikasi diri demi terjaminnya pembenaran kapitalisme. Suatu negara yang secara terang-terangan membela posisi kapitalis dapat memperbesar perjuangan kelas. Oleh karena itu dari sudut pandang kapitalis tidak ada jalan yang lebih baik selain memberi kesan tidak berpihak pada negara. Ini seolah-olah membuat negara terlihat independen—atau bahkan otonom—dalam hubungannya dengan kelas penguasa atau dengan kapitalisme itu sendiri. Ketika negara mengembangkan kebijakan yang mendukung kelas-kelas yang dieksploitasi, tujuannya adalah selalu untuk meredam perjuangan kelas. Dalam kondisi kehidupan yang lebih baik, kemungkinan radikalisasi akan berkurang. Di sisi lain, gerakan buruh yang terorganisir mampu memaksa negara untuk mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan pekerja dan bahkan merugikan kaum kapitalis.

Sama halnya dengan demokrasi perwakilan, bagi negara, langkah-langkah untuk memperbaiki kondisi buruh selalu berfungsi sebagai alat ideologis untuk menyebarkan gagasan netralitas, kemandirian, dan otonomi negara. Namun, kita harus mempelajarinya dan menunjukkan bahwa, sebagaimana negara berkewajiban untuk menjamin hal-hal yang diklaimnya ini, seringkali ada ruang bagi para pekerja yang terorganisir untuk memaksakan kebijakan yang menguntungkan pekerja. Oleh karena itu, kita perlu:

[...] merebut segala perbaikan-perbaikan politik dan ekonomi (dari pemerintah dan kapitalis), yang dapat mempermudah kondisi perjuangan dan meningkatkan jumlah orang yang berjuang dengan kesadaran penuh. Oleh karena itu, kita perlu merebut kondisi tersebut dengan cara-cara yang tidak menunjukkan pengakuan terhadap tatanan saat ini dan yang dapat mempersiapkan jalan untuk masa depan.[45]

Meski begitu, perlu diingat bahwa negara, sebagai pilar penyangga yang kuat bagi kapitalisme, akan selalu berusaha untuk menopangnya. Dan jika kapitalisme adalah sistem eksploitasi dan dominasi, negara tidak bisa berbuat apa pun kecuali mempertahankan hubungan-hubungan kelas yang ada di dalamnya. Dengan cara ini, negara membela kaum kapitalis dan merugikan kaum pekerja, yang hanya memiliki “tangan mereka sebagai harta, dan tidak berharap apa pun dari negara sebab mereka tidak menemukan apa pun darinya selain sebuah organisasi yang dirancang untuk menghalangi pembebasan kelas pekerja dengan segala cara”[46].

Setiap upaya yang dilakukan oleh kelas yang dieksploitasi untuk mengubah sistem akan berhadapan dengan represi keji oleh negara. Ketika ideologi tidak lagi berfungsi, represi dan kekuasaan negara akan dikerahkan. Negara memonopoli penggunaan kekerasan di dalam masyarakat, maka kekerasan akan selalu digunakan untuk menegakkan hukum, dan karena hukum dibuat untuk menjaga hak istimewa kaum kapitalis, maka represi dan kendali negara akan selalu demi menjaga “ketertiban”. Artinya, untuk menjaga hak istimewa kapitalisme dan mempertahankan dominasi kelas penguasa. Jika ada secuil tanda-tanda ancaman dari kelas yang dieksploitasi, negara akan menindasnya secara brutal. Tujuannya selalu untuk melanggengkan sistem, dan kekerasan menjadi salah satu penopang utamanya.

Berlawanan dengan apa yang diyakini (dan masih diyakini) oleh kaum sosialis-otoritarian, negara bukanlah organisme yang netral, yang dapat melayani kepentingan baik kaum kapitalis maupun pekerja. Para anarkis telah menulis begitu banyak tentang negara. Wajar, sebab kritik terhadap kapitalisme adalah hal yang disepakati baik oleh kaum sosialis-libertarian maupun sosialis-otoritarian—perbedaan mereka adalah di persoalan negara. Kaum otoritarian mendukung perebutan kekuasaan negara dan penerapan kediktatoran proletariat sebagai tahap transisi, yang secara keliru disebut sosialisme—sebuah masa di antara kapitalisme dan komunisme. Namun, “sosialisme” yang mereka maksud adalah bentuk pemerintahan di mana minoritas memerintah mayoritas, yang “secara langsung dan pasti, berimbas pada semakin kokohnya keistimewaan politik dan ekonomi segelintir orang yang memerintah, dan perbudakan ekonomi dan politik bagi rakyat jelata”[47]. Sementara kami sosialis libertarian bersiteguh bahwa,

[...] tidak ada negara—sedemokratis apa pun bentuknya, bahkan republik politik paling kiri sekalipun, yang terkenal karena mengklaim dirinya perwakilan rakyat dan berdusta dapat memberikan rakyat apa yang mereka butuhkan: yaitu organisasi yang bebas untuk memperjuangkan kepentingan mereka, dari bawah-ke-atas, tanpa adanya campur tangan kaum perantara ataupun paksaan dari atas. Sebab semua negara, bahkan yang paling republikan dan demokratis sekalipun, bahkan yang mengaku pro-rakyat [...] pada dasarnya tetap adalah pemerintahan dari atas-ke-bawah, yang dipimpin oleh seorang cendekiawan, dan tentunya minoritas dengan hak istimewa, yang mengaku memahami kepentingan rakyat melebihi rakyat itu sendiri.[48]

Posisi libertarian, yang kami pegang saat ini, bermaksud membangun sosialisme. Negara harus dihancurkan bersamaan dengan kapitalisme melalui revolusi sosial, sebab “siapa pun yang mengatakan ‘negara’ berarti juga sedang mengatakan ‘dominasi’, yang mengakibatkan adanya perbudakan. Negara tanpa perbudakan, baik yang terang-terangan atau yang disembunyikan, adalah kemustahilan. Inilah mengapa kami adalah musuh negara”[49]. Negara menganggap dirinya memahami kebutuhan masyarakat lebih daripada masyarakat itu sendiri. Negara mendukung bentuk pengelolaan masyarakat yang hierarkis, sebuah cara agar suatu kelas sosial yang memegang kendalinya dapat mendominasi kelas-kelas lain yang tidak menjadi bagian dari struktur negara. Semua negara menciptakan hubungan dominasi, eksploitasi, kekerasan, perang, pembantaian, dan penyiksaan, dengan dalih melindungi “warga negara”. Negara juga menundukkan

provinsi dan kota yang dicaploknya, padahal sebagai kelompok-kelompok alamiah mereka semestinya menikmati otonomi penuh dan utuh. (Di bawah negara) mereka akan diperintah dan diatur, bukan lagi oleh diri mereka sendiri sebagaimana selayaknya asosiasi-asosiasi provinsi dan kota, melainkan oleh otoritas pusat dan sebagai populasi yang ditaklukkan.[50]

Dengan cara yang sama seperti sosialisme-kediktatoran, demokrasi perwakilan menyatakan bahwa perubahan bisa terjadi melalui negara. Ketika mendelegasikan hak berpolitik kita[51] kepada kelas politisi yang masuk ke sistem negara untuk mewakili kita, kita sebenarnya sedang memberikan mandat tanpa kontrol apa pun kepada orang-orang yang akan membuat keputusan untuk kita. Ada pembagian yang jelas antara kelas yang berpolitik dan kelas-kelas lain yang mematuhinya. Sejak awal sudah bisa dipastikan bahwa demokrasi perwakilan mengasingkan kita secara politis, sebab ia memisahkan rakyat dari orang-orang yang berpolitik atas nama rakyat: anggota dewan, deputi, senator, walikota, gubernur, dan sebagainya. Semakin besar tanggung jawab kaum politisi atas politik, semakin sedikit keterlibatan rakyat dalam politik, sekaligus semakin terasing serta menjauh rakyat dari proses pengambilan keputusan. Kondisi ini jelas mengutuk rakyat menjadi sekedar penonton dan bukan lagi “tuan atas dirinya sendiri” yang bertanggung jawab langsung pada pemecahan masalah mereka sendiri. Oleh karena itu, “pembebasan proletariat [...]” adalah hal yang “mustahil terjadi di negara mana pun, dan bahwa syarat pertama dari emansipasi ini adalah penghancuran semua negara”[52].

“Politikus” mewakili hierarki dan pemisahan antara yang memimpin dan yang dipimpin, di dalam dan di luar partai mereka. Untuk terpilih, partai politik harus memperoleh jumlah suara yang banyak dalam pemungutan suara, dan untuk itu ia perlu memilih sejumlah besar kandidat. Para politisi ini kemudian diperlakukan sebagai komoditas untuk diperjualbelikan di “pasar elektoral.” Agar bisa berkembang, partai melakukan segalanya—menggelapkan uang, menelantarkan program, bersekutu dengan siapa pun, dll. “Politikus” tidak berpolitik berdasarkan kehendak rakyat. Mereka membuat keputusan-keputusan yang menguntungkan partai dan kepentingannya sendiri, dan dari hari ke hari mereka semakin kecanduan kekuasaan. Akhirnya, politisi dan partai ingin mempertahankan posisi dan kekuasaan mereka, yang lambat laun menjadi satu-satunya tujuan mereka. Perdebatan mengenai isu-isu penting masyarakat dibatasi jumlahnya, bahkan tidak disinggung atau tidak pernah menjadi yang utama, sebab parlemen dan negara itu sendiri adalah pilar kapitalisme sehingga ia tidak akan membiarkan akarnya diubah. Demokrasi perwakilan menjadi konservatif, membatasi bahkan kemajuan kecil yang dapat terjadi. Untuk alasan ini kita tidak boleh mendelegasikan politik kepada:

[...] orang-orang tanpa pendirian, yang dapat berganti kostum liberal atau konservatif sewaktu-waktu, yang diizinkan untuk mempengaruhi (rakyat) dengan janji-janji, jabatan, sanjungan, atau kepanikan—kelompok kecil yang bukan siapa-siapa inilah yang dengan suaranya memutuskan semua persoalan negeri. Merekalah yang menjadikan atau menangguhkan hukum. Merekalah yang mendukung atau membubarkan kementerian dan mengubah arah politik.[53]

Kritik terhadap negara ini tidak hanya menunjuk pada satu bentuk negara saja, ia berlaku untuk semua bentuk negara. Oleh karena itu, setiap proyek perubahan sosial yang mengarah pada revolusi sosial dan sosialisme libertarian harus memiliki tujuan mengakhiri kapitalisme dan juga negara. Meskipun kami berpendapat bahwa negara adalah salah satu pilar kapitalisme terkuat, kami tidak percaya bahwa dengan berakhirnya kapitalisme, negara juga akan lenyap dengan sendirinya.

Hari ini, sebaiknya kita tidak membingungkan diri kita sendiri dengan keadaan abad kesembilan belas, saat kaum sosialis berselisih pendapat mengenai persoalan negara—dan untuk inilah kami juga menulis dengan tegas tentang topik ini—ataupun dengan keadaan Eropa pada saat itu. Kami memahami bahwa ada kondisi khusus di Brasil, dan jika kita ingin menerapkan kritik ini kepada negara saat ini, kita pun harus memahami bahwa kenyataan kita memiliki ciri khas dan bahwa kiblat ekonomi dunia berpengaruh besar pada bentuk negara di mana kita hidup.

Akhirnya, satu hal yang pasti: kapitalisme dan negara hingga hari ini masih merupakan fondasi bagi dominasi dan eksploitasi masyarakat kita, “sebuah masalah universal bagi semua negeri di dunia yang beradab”[54]. Oleh karena itu, cita-cita kita tetaplah “pembebasan yang jelas dan menyeluruh [...] dari eksploitasi ekonomi dan penindasan negara”[55].

Tujuan Akhir: Revolusi Sosial dan Sosialisme Libertarian

“Kita membawa dunia baru di dalam hati kita.”

Buenaventura Durruti

“Proyek politik dan sosial anarkisme adalah penciptaan sebuah masyarakat merdeka dan anti-otoritarian yang memelihara kebebasan, kesetaraan, dan solidaritas antar setiap anggota masyarakatnya.”

Nestor Makhno

“Tapi revolusi yang universal adalah revolusi sosial: revolusi serentak rakyat di pedesaan dan perkotaan. Inilah mengapa kita perlu berorganisasi–karena tanpa persiapan organisasi, elemen-elemen terkuat pun mandul dan tidak berguna.”

Mikhail Bakunin

Setelah melakukan pemeriksaan singkat atas masyarakat dominasi dan eksploitasi saat ini, kami menegaskan dua tujuan yang kami anggap sebagai hal yang menentukan: revolusi sosial[56] dan sosialisme libertarian. Tujuan dari revolusi sosial adalah untuk menghancurkan masyarakat eksploitasi dan dominasi, sementara sosialisme libertarian adalah yang memberi makna konstruktif pada revolusi sosial. Penghancuran—sebagai konsep negasi, dan pembangunan—sebagai konsep usulan, membentuk perubahan sosial yang berpengaruh dan dapat diwujudkan, inilah yang kami usulkan. “Tidak akan ada revolusi tanpa penghancuran yang mendalam dan penuh gairah, penghancuran yang membebaskan dan bermanfaat, sebab darinya, dan hanya dengannya, dunia baru dapat diciptakan dan dilahirkan”.[57] Namun, kehancuran saja tidak cukup, karena “tiada seorang pun menginginkan kehancuran tanpa setidaknya memiliki secuil khayalan, entah benar atau tidak, tentang tatanan yang menurut mereka lebih baik untuk menggantikan tatanan yang ada sekarang”[58].

Revolusi sosial adalah salah satu hasil yang dapat muncul dari perjuangan kelas, sebuah perubahan yang dilakukan dengan kekerasan atas tatanan sosial yang sudah mapan, dan yang kami pandang sebagai satu-satunya cara untuk mengakhiri dominasi dan eksploitasi. Revolusi sosial berbeda dari revolusi politik kaum Jacobin dan Leninis, yang mendukung perubahan “tatanan” dengan mengambil alih kekuasaan negara, menukar sekelompok minoritas pengatur dengan sekelompok minoritas pengatur lainnya. Seperti yang kami tekankan sebelumnya, negara, bagi kami, bukanlah sarana pembebasan kelas-kelas tertindas. Negara juga tidak bisa direbut dari tangan kaum kapitalis oleh sekelompok pelopor yang bertindak atas nama proletariat, bahkan walaupun mereka menggunakan cara-cara revolusioner. Revolusi politik demi kesetaraan, seperti Revolusi Prancis atau Revolusi Rusia, yang tidak menghentikan kehadiran negara, pada akhirnya menjadi sebuah revolusi borjuis dan berakhir “dengan sukses masuk ke dalam eksploitasi baru, yang mungkin lebih cerdik dan lebih munafik, tapi tidak mengurangi penindasan kaum borjuasi terhadap kaum proletar“[59].

Tidak seperti revolusi politik, revolusi sosial dilakukan oleh orang-orang baik di kota dan pedesaan. Mereka mendorong perjuangan kelas dan kekuatannya berbenturan dengan kapitalisme dan negara sampai ke batas maksimal melalui organisasi rakyat. Revolusi sosial terjadi ketika kekuatan sosial yang berkembang di jantung organisasi rakyat lebih besar daripada kekuatan kapitalisme dan negara. Dalam praktiknya revolusi sosial menanamkan struktur-struktur yang mendukung swakelola dan federalisme. Hak kepemilikan pribadi atas properti dan keberadaan negara dilenyapkan. Masyarakat yang sepenuhnya merdeka dan setara dibangun. Inilah revolusi sosial yang akan membawa pembebasan rakyat, seperti yang dikemukakan oleh Bakunin:

Sistem organisasi tua yang dibangun di atas pemaksaan ini harus diakhiri oleh revolusi sosial, mengembalikan kebebasan penuh kepada massa, kepada komune-komune, kepada asosiasi-asosiasi, kepada individu itu sendiri, dan menghancurkan, sekali untuk selamanya, penyebab historis semua kekerasan, dominasi, dan keberadaan negara [...] Revolusi sosial adalah penghapusan semua eksploitasi dan penindasan politis, yuridis atau administratif dan pemerintahan, termasuk penghapusan semua kelas-kelas masyarakat melalui pemerataan ekonomi segala jenis kemakmuran [...].[60]

Revolusi sosial bukanlah sebuah “pesta malam”, di mana orang-orang serta merta serentak memberontak dan menghasilkan masyarakat baru. Tidak dapat dipungkiri bahwa perjuangan kelas menghasilkan serangkaian pemberontakan atau bahkan insureksi, peristiwa spontan yang sangat penting. Meski demikian, tanpa kerja organisasi yang tekun dan telaten sebelumnya, episode-episode peristiwa ini akan berlalu begitu saja. Terkadang peristiwa tersebut membawa hasil bagi kelas yang dieksploitasi, tapi tanpa persiapan organisasional sebelumnya, kelas tertindas tidak akan berhasil menggulingkan kapitalisme dan negara atau membangun embrio masyarakat baru. Pembangunan organisasi rakyat akan mengembangkan semangat perjuangan dan organisasi di kalangan kelas yang dieksploitasi, menghimpun kekuatan sosial mereka, dan berjuang dengan cara-cara yang sesuai dengan masyarakat yang ingin kita bangun. Dengan demikian, kami tidak memandang revolusi sosial seperti evolusi sederhana atau sebagai dampak yang lazim dari kontradiksi-kontradiksi dalam kapitalisme. Kami memandang revolusi sosial sebagai peristiwa yang menandai sebuah gejolak dan ditentukan oleh kehendak kelas tertindas yang terorganisir.

Kami menekankan bahwa dalam proses revolusioner ini ada kebutuhan akan penggunaan kekerasan. Kami tidak percaya pengambilalihan kekuasaan kapitalis atau kehancuran negara dapat terjadi begitu saja tanpa adanya serangan penuh kekerasan dari kelas penguasa. Kenyataannya, sistem yang kita jalani sekarang ini merupakan sistem yang dipelihara dengan kekerasan. Kekerasan ini akan semakin serius selama momen-momen revolusioner. Akhirnya hal ini hanya akan membenarkan penggunaan kekerasan oleh kaum revolusioner yang pada dasarnya melakukannya sebagai balasan atas kekerasan yang kita derita di masa lalu dan masa kini. “Kekerasan hanya dibenarkan untuk membela diri atau orang lain”[61]. Kelas penguasa tidak akan menerima perubahan yang dipaksakan padanya pada saat revolusi sosial diwujudkan. Jadi perlu diketahui bahwa, meskipun kami bukan pendukung atau pecinta kekerasan, perlu ada hantaman terhadap seluruh sistem dominasi dan eksploitasi ini.

Karena tekanan keadaan, revolusi adalah tindakan kekerasan yang cenderung mendorong semangat kekerasan ketimbang menghancurkannya. Akan tetapi, kaum anarkis mencoba menciptakan revolusi yang paling minim kekerasan. Kaum anarkis berusaha untuk menghentikan semua kekerasan segera setelah kekerasan tidak dibutuhkan lagi dalam melawan kekuatan nyata pemerintah dan kaum borjuis. Cita-cita kaum anarkis adalah sebuah masyarakat di mana faktor kekerasan akan benar-benar hilang. Cita-cita ini berfungsi untuk mengekang, memperbaiki, dan menghancurkan semangat kekerasan yang cenderung dikembangkan oleh revolusi sebagai tindakan materiil.[62]

Aksi kekerasan dari revolusi sosial harus merampas kuasa kaum kapitalis dan dengan segera menghancurkan negara—agar pada saat bersamaan, ia dapat memberi ruang bagi struktur-struktur swakelola yang bersifat federatif, yang telah diuji coba sebelumnya di dalam organisasi rakyat. Oleh karena itu, pemahaman kaum otoritarian bahwa “sosialisme” adalah periode transisi, di mana kediktatoran didirikan dalam negara (negara sosialis/komunis), menurut kami, hanyalah cara lain untuk melanjutkan eksploitasi rakyat dan harus ditolak secara mutlak dalam situasi apa pun.

Revolusi sosial tidak boleh dilakukan hanya oleh kaum anarkis, oleh karena itu penting bagi kita untuk sepenuhnya melebur ke dalam proses-proses perjuangan kelas agar dapat mengarahkan revolusi menuju sosialisme libertarian. Pengalaman revolusi abad ke-20 menunjukkan kepada kita bahwa jika hal ini tidak terjadi, kaum otoritarian akan menghancurkan pengalaman-pengalaman emansipatoris demi merebut kekuasaan negara, mengakhiri kemungkinan terciptanya swakelola dan federalisme, dan menjadi rezim yang lebih kejam dibandingkan rezim sebelumnya.

Karena alasan tersebut, revolusi adalah sebuah risiko, sebab jika kaum anarkis gagal membaur dan menggerakkan ke tujuan yang diinginkannya, kerja-kerja mereka malah akan membantu membangun rezim dominasi dan eksploitasi baru. Budaya swakelola dan federalisme sebaiknya berkembang dengan baik dalam perjuangan kelas sehingga pada momen revolusioner, rakyat tidak membiarkan diri mereka ditindas oleh kaum oportunis otoritarian. Ini semua akan terjadi melalui praktik-praktik otonomi, berdaya tempur, aksi langsung, dan demokrasi langsung yang berbasis kelas. Semakin banyak nilai-nilai ini ada dalam organisasi rakyat, semakin kecil kemungkinan munculnya tirani baru.

Kami memang sepenuhnya menolak pemahaman [fase transisi] “sosialisme” ala Marxis tentang pembentukan kediktatoran dalam negara. Tapi kami tidak dapat menyangkal akan munculnya momen penyesuaian pasca-revolusioner menuju sosialisme libertarian. Pada periode ini masih akan ada banyak konflik, dan kita harus mengandalkan organisasi khusus anarkis. Pada periode selanjutnya, ketika kontra-revolusi telah berlalu dan sosialisme libertarian sudah berkembang serta berjalan secara menyeluruh, organisasi khusus anarkis akan dilebur ke dalam organisasi-organisasi sosial.

Ketika sedang membahas pemahaman kita tentang revolusi sosial, atau bahkan ketika sedang memikirkan kemungkinan masyarakat masa depan, kami ingin memperjelas bahwa kita tidak harus memutuskan secara mutlak terlebih dulu bagaimana proses revolusioner atau bahkan sosialisme libertarian akan terjadi. Kami mengetahui bahwa tidak mungkin meramal kapan perubahan ini akan terjadi. Oleh karena itu, setiap pemikiran harus selalu mempertimbangkan aspek strategis dalam memprediksi kemungkinan masa depan, dan selalu mendasarkan diri pada kemungkinan-kemungkinan dan rujukan, bukan pada kepastian mutlak. Karakteristik proses revolusioner akan tergantung pada kapan dan di mana ia terjadi.

Dengan demikian, pemikiran tentang revolusi sosial yang dijelaskan di sini, dan khususnya tentang sosialisme libertarian, tidak boleh dipahami sebagai rumusan atau ramalan tentang apa yang akan terjadi. Kami bekerja dengan kemungkinan-kemungkinan yang muncul dari perkiraan teoretis kami. Walaupun di satu sisi kami tidak ingin terlalu sok tahu, di sisi lain kami menganggap pembahasan tentang masyarakat masa depan dan cara berfungsinya sosialisme libertarian sebagai hal penting. Di titik ini, kami percaya bahwa pengalaman-pengalaman praktik revolusioner mengandung banyak hikmah yang bisa kita pelajari.

Menganjurkan sosialisme libertarian sebagai sebuah tawaran masyarakat masa depan berarti mengaitkan dua konsep yang tidak terpisahkan dalam proyek politik. Di satu sisi, sosialisme, sebuah sistem yang berlandaskan pada kesetaraan sosial, politik, dan ekonomi. Kemudian, di sisi lain, kebebasan. Bagi kami, “sosialisme tanpa kebebasan adalah perbudakan dan kebrutalan”[63], sebuah sistem yang merosot menjadi rezim otoriter yang telah sangat kita kenal sepanjang abad ke-20. Pada saat bersamaan, “kebebasan tanpa sosialisme adalah privilese dan ketidakadilan”[64], sebuah cara untuk melanjutkan dominasi dan eksploitasi dalam masyarakat kelas dan hierarki-hierarki otoritarian. Oleh karena itu, bagi kami, sebuah proyek masyarakat masa depan yang menawarkan kesetaraan dan kebebasan hanyalah melalui sosialisme libertarian, yang terbentuk dalam praktik-praktik swakelola dan federalisme.

Meskipun istilah ini muncul pada waktu yang berbeda-beda,[65] swakelola dan federalisme saat ini harus saling terkait dan harus dipahami sebagai konsep yang saling melengkapi. Swakelola adalah sebuah bentuk manajemen, bentuk organisasi di mana keputusan dibuat oleh para pekerja itu sendiri sejauh mereka dipengaruhi oleh keputusan tersebut, baik di tempat kerja maupun di tempat tinggal. Federalisme adalah sebuah metode untuk menghubungkan struktur-struktur swakelola, yang memampukan pengambilan keputusan dalam lingkup besar. Penafsiran terbaru mengenai swakelola dan federalisme memisahkan yang pertama sebagai hal-hal yang berkaitan dengan ekonomi, sementara yang kedua sebagai sistem politik dari sosialisme libertarian. Menurut kami, tidak perlu ada pemisahan antara ekonomi dan politik dalam hal swakelola dan federalisme.

Salah satu tujuan masyarakat sosialis libertarian, yang dikerjakan secara swakelola dan federalis, adalah untuk menyingkirkan dan mengakhiri hubungan-hubungan dominasi dan eksploitasi tenaga kerja. Saat ini, kritik terhadap kerja, termasuk yang diungkapkan oleh kaum libertarian, adalah kritik terhadap kerja di bawah kapitalisme dan bukan kritik terhadap kerja (sebagai kegiatan semata—penj.). Dalam sosialisme libertarian, kerja dilakukan secara merdeka dan harus menjadi sarana pembebasan bagi para pelakunya. Melalui swakelola, para pekerja akan mendapatkan kembali kemakmuran mereka yang selama ini dirampas oleh hak kepemilikan pribadi kapitalis. Dengan demikian, sosialisasi kerja, produk dan hasil kerja, alat produksi, bentuk, irama dan tempo kerja akan menjadi sumbangsih pada penciptaan bentuk kerja sebagai “tindakan cerdas manusia yang bermasyarakat, dengan akhir yang telah dipertimbangkan sebelumnya, yaitu kepuasan pribadi”[66]. Dalam masyarakat baru, semua yang mampu bekerja akan bekerja, tidak ada lagi pengangguran dan pekerjaan dapat dilakukan sesuai dengan kemampuan dan minat masing-masing. Orang-orang tidak lagi terpaksa menerima keadaan mereka karena ancaman kekurangan atau tidak mendapatkan kondisi hidup minimum. Anak-anak, kaum lanjut usia, dan orang-orang yang tidak mampu bekerja dijamin akan hidup bermartabat tanpa penelantaran dan semua kebutuhannya terpenuhi. Untuk tugas-tugas yang paling membosankan atau yang dianggap tidak menyenangkan, dalam beberapa kasus, sistem rotasi atau giliran bisa diterapkan. Dalam proses produksi di mana koordinasi dengan beberapa pekerja spesialis diperlukan, tugas mesti digilir dan tekad untuk melatih pekerja lain dengan keterampilan serupa juga mesti dilaksanakan. Semua ini dilakukan agar tugas-tugas yang lebih kompleks dapat ditangani.

Di bawah sosialisme libertarian, tidak mungkin lagi seseorang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi, atau pendapatan lebih tinggi, hanya karena ia adalah pemilik satu atau lebih alat produksi. Hak kepemilikan pribadi telah dihapuskan sehingga ada ruang bagi kepemilikan kolektif atas alat-alat produksi. Kepemilikan kolektif ini dapat direncanakan dalam dua cara. Pertama, tidak ada seorang pun yang menjadi pemilik dan alat-alat produksi menjadi milik kolektivitas secara keseluruhan. Kedua, setiap anggota kolektif akan menjadi pemilik alat produksi dalam pembagian yang sama rata bagi semuanya. “Alat-alat produksi adalah hasil kerja kolektif manusia, (sehingga) mereka harus kembali ke kolektivitas manusia di mana ia dihasilkan”.[67] Dalam sebuah sistem kepemilikan kolektif: hak, tanggung jawab, upah, dan kemakmuran tidak lagi terkait dengan hak kepemilikan pribadi, dan ikatan kelas lama yang dibangun di atas kepemilikan pribadi juga harus lenyap. Sosialisme libertarian adalah masyarakat tanpa kelas. Tidak ada lagi kelas penguasa, dan keseluruhan sistem ketidaksetaraan, dominasi, dan eksploitasi pun harus lenyap.

Di perkotaan ada berbagai jenis pekerja. Pertama, pekerja yang melakukan kegiatannya dengan peralatan sederhana, hampir tidak ada pembagian kerja, dan produksi seringkali dilakukan hanya oleh seorang pekerja. Untuk jenis pekerjaan seperti ini, kerja kolektif bukanlah kebutuhan, tapi sangat diharapkan karena dapat menghemat waktu dan tenaga. Kerja kolektif juga bisa membantu pekerja lain meningkatkan kapasitas dirinya dengan belajar dari keterampilan orang lain. Kedua, pekerja yang melakukan kegiatannya secara kolektif, dengan alat dan mesin yang cukup sederhana di perusahaan kecil atau pabrik. Terakhir, golongan ketiga, pekerja di perusahaan dan pabrik besar, di mana jumlah pembagian kerja sangat banyak, disusun untuk berproduksi dalam lingkup besar dengan teknologi tinggi dan investasi modal yang besar. Untuk dua golongan terakhir, kerja kolektif mutlak diperlukan karena sifat kerja itu sendiri, karena semua teknologi, mesin, dan perkakas harus bersifat kolektif, maka,

[...] setiap sanggar kerja, setiap pabrik, akan perlu mengorganisasi dirinya ke dalam sebuah asosiasi pekerja, di mana mereka secara bebas dapat mengorganisir diri sesuai keinginan mereka asalkan hak-hak individu dijamin dan asas-asas kesetaraan serta keadilan dipraktikkan. […] Kapan pun suatu industri membutuhkan peralatan yang kompleks dan kerja kolektif, kepemilikan juga harus kolektif.[68]

Di pedesaan, bisa jadi ada dua situasi: pertama, petani yang telah bekerja di lahan atau properti besar, yang harus dikolektivisasi dengan cara yang sama seperti perusahaan dan pabrik-pabrik besar. Kedua, petani yang lebih suka memiliki sebidang tanah miliknya sendiri dan mengolahnya sendiri. Dalam ekonomi campuran ini:

[…] tujuan utama revolusi tercapai: tanah telah menjadi milik mereka yang menggarapnya dan petani tidak lagi bekerja untuk keuntungan pihak yang mengeksploitasi dan hidup di atas penderitaan mereka. Dengan perolehan kemenangan besar ini, hal lainnya adalah kepentingan sampingan. Jika para petani mau, mereka dapat membagi lahan menjadi bidang-bidang kecil dan kemudian mendistribusikannya pada setiap keluarga. Atau, mereka juga bisa memilih untuk melembagakan kepemilikan bersama dan membangun koperasi budidaya tanah.[69]

Penting untuk ditegaskan bahwa kami tidak menganggap kepemilikan negara sebagai kepemilikan kolektif. Bagi kami, kepemilikan kolektif berarti pengelolaan secara mandiri oleh rakyat, bukan oleh negara. Ketika kepemilikan terpusat pada negara—misalnya seperti dalam kasus Uni Soviet, maka negara akan menjadi majikan baru yang akan terus mengeksploitasi pekerja. Namun, dalam kasus kepemilikan petani, tanah adalah milik orang-orang yang menggarapnya, dan dalam kerangka ini kepemilikan tanah akan lebih tepat dipahami bukan sebagai properti pribadi (property), tetapi milik kepunyaan (possession). Dengan demikian, properti akan selalu bersifat kolektif, dan milik kepunyaan bersifat individu. Milik kepunyaan berarti nilai tanah hanyalah untuk penggunaan dan tidak boleh diperdagangkan. Kegunaannya sendiri akan dituntun oleh kebutuhan produsen dan bukan lagi oleh pasar. Situasi seperti ini mengubah segalanya dan oleh karena itu perlu dibentuk golongan sendiri.

Masih ada persoalan mendasar yang harus melengkapi berakhirnya kepemilikan pribadi di jalan menuju kesetaraan. Sistem warisan juga harus diakhiri untuk mencegah berbagai jenis penumpukan [kekayaan] yang berdampak pada ketidaksetaraan titik awal kehidupan seseorang. Jadi, tujuannya adalah kesetaraan sejati, sebab

selama harta warisan terus berlangsung maka secara turun temurun akan ada ketidaksetaraan ekonomi. Warisan bukanlah ketidaksetaraan alamiah individu, ia adalah ketidaksetaraan buatan akibat adanya kelas-kelas sosial. Ini berarti akan selalu ada ketimpangan turun temurun dalam hal perkembangan dan budaya intelektual, yang akan terus menahbiskan semua ketimpangan politik dan sosial.[70]

Ekonomi sosialisme libertarian dijalankan oleh pekerja dan konsumen, pekerja menciptakan produk sosial dan konsumen menikmatinya. Dalam dua fungsi yang diperantarai oleh distribusi ini, masyarakat bertanggung jawab atas kehidupan ekonomi dan politik dan harus memutuskan apa-apa saja yang harus diproduksi, dan konsumen memutuskan apa yang akan dikonsumsi. Struktur lokal sosialisme libertarian di mana para pekerja dan konsumen dapat mengatur diri mereka sendiri adalah dewan-dewan pekerja dan dewan-dewan konsumen.

Dewan adalah badan sosial, kendaraan di mana rakyat dapat mengekspresikan kecenderungan politik dan ekonomi mereka serta menjalankan swakelola dan federalisme. Di dalamnya, kegiatan politik dan ekonomi sehari-hari diputuskan dan dilaksanakan.

Setiap tempat kerja dikelola oleh dewan pekerja. Dalam dewan ini, semua pekerja memiliki hak dan tanggung jawab yang sama dan pengelolaan tempat kerja diputuskan secara setara karena tidak ada hierarki. Jika diperlukan, dewan-dewan yang lebih kecil dapat dibentuk dalam tim/unit/divisi kecil, dan dewan yang lebih besar dapat dibentuk dalam divisi/tempat kerja/pabrik-pabrik yang besar. Dalam rapat dewan ini, para pekerja dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam proses produksi membuat semua keputusan.

Konsumen dapat mengatur diri mereka sendiri dalam dewan-dewan konsumen yang berlangsung di komunitas masyarakat. Dengan demikian, individu terorganisasi dalam keluarga, keluarga-keluarga terorganisasi ke dalam musyawarah Rukun Tetangga, Rukun Tetangga terorganisasi ke dalam komite-komite Rukun Warga, dan seterusnya. Dewan-dewan ini bertanggung jawab untuk menunjukkan kepada produsen mengenai apa-apa saja yang ingin mereka konsumsi, karena kami percaya bahwa produksi harus dituntun oleh permintaan, dan bukan sebaliknya.

Dewan-dewan pekerja mengatur produksi dan dewan-dewan konsumen mengatur konsumsi. Tentu saja penjelasan ini bertujuan untuk memberikan instruksi terkait kenyataan dan masalah yang mungkin akan menggerakkan masyarakat swakelola masa depan, tapi dalam keadaan baru ini, konsumen juga akan menjadi pekerja itu sendiri. Tugas dewan pun menjadi lebih mudah sebab laba tidak lagi menjadi keharusan dalam hubungan produksi.

Di bawah sosialisme libertarian, dewan pekerja mungkin masih belum bisa menghilangkan pemisahan antara pekerjaan tangan (manual) dan otak (intelektual), perkara ini sebaiknya dilakukan sesegera mungkin. Argumen yang menyatakan bahwa kerja manual dan intelektual sama pentingnya, dan harus sama-sama diakui dan dihargai, itu tidak benar. Banyak tugas, terutama yang melibatkan tenaga kerja manual, benar-benar tidak menyenangkan, berat, dan mengasingkan. Jadi tidak adil kalau beberapa pekerja sepenuhnya mengabdikan diri pada tugas semacam itu sementara yang lain melakukan tugas yang menyenangkan, nyaman, membangkitkan semangat, dan bersifat intelektual. Jika ini terjadi, sistem kelas akan terbangun kembali, tidak lagi berlandaskan pada hak kepemilikan pribadi tapi pada kelas intelektual yang akan memerintah, dan pekerja manual yang akan menjalankan perintahnya.

Untuk mengakhiri pemisahan kerja ini, dewan pekerja dapat mengupayakan serangkaian tugas yang seimbang untuk setiap pekerja dan setara bagi semua orang. Dengan demikian, setiap pekerja akan bertanggung jawab atas beberapa tugas yang menyenangkan dan menstimulasi, seperti pekerjaan intelektual, dan tugas lain yang lebih kasar dan mengalienasi, seperti pekerjaan manual. Namun, bukan berarti semua orang akan melakukan segalanya pada saat bersamaan. Setiap orang akan melaksanakan serangkaian tugas, yang jika dibandingkan akan memiliki porsi kerja intelektual dan manual yang setara. Dalam praktiknya, proses ini akan berfungsi seperti, contohnya, seorang pekerja di sekolah bertugas sebagai guru selama beberapa waktu dan di waktu lainnya ia bekerja sebagai petugas kebersihan. Contoh lain, seseorang yang separuh waktunya dipakai untuk penelitian pabrik dan separuh waktunya lagi dipakai untuk bekerja di bagian produksi pabrik. Seseorang yang lain lagi mungkin mengerjakan sebuah pekerjaan yang melibatkan gabungan kegiatan manual dan intelektual.

Tentu saja skema ini disederhanakan, tapi idenya adalah bahwa semua pekerja di setiap dewan memiliki porsi pekerjaan manual dan intelektual yang sama, sesuai rasio waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan kedua jenis tugas ini (kerja manual dan intelektual). Penting bahwa setiap dewan juga memiliki serangkaian pekerjaan manual dan intelektual yang sepadan antar mereka sehingga seorang pekerja dari sebuah dewan dapat melakukan serangkaian tugas yang seimbang. Jika pada akhirnya hanya ada tugas-tugas manual saja di dewan tertentu, maka pekerja dari dewan tersebut harus bekerja di lebih dari satu dewan.

Artinya, baik secara internal maupun antar dewan, seseorang harus mencari tingkat keseimbangan kerja manual dan intelektual dalam rangkaian kegiatan setiap pekerja, yang mungkin saja memiliki satu, dua, atau banyak tugas lainnya. Dengan ini tentu saja berarti ada penurunan produktivitas, tapi nanti kita akan melihat bagaimana unsur-unsur lain dari masyarakat masa depan akan mengimbangi hal ini.

Tujuannya bukan untuk menghilangkan pembagian kerja, tapi untuk memastikan bahwa rakyat bertanggung jawab atas serangkaian tugas yang masuk akal. Sebagian besar waktu orang-orang telah dipakai untuk berlatih dengan baik di bidang-bidang tertentu tapi mereka tidak menikmati manfaat berkelanjutan dari hasil pelatihan kerja mereka. […] Setiap orang memiliki serangkaian tugas yang membentuk pekerjaan mereka, sehingga keterlibatan penuh pada keseluruhan rangkaian tugas berarti secara umum terlibat pula pada pengaktifan semua kerja lainnya. […] Setiap pekerja memiliki pekerjaan. Setiap pekerjaan memiliki banyak tugas. Tugas disesuaikan dengan pekerjanya dan sebaliknya.[71]

Imbalan dalam sosialisme libertarian dituntun oleh asas komunis “dari setiap orang sesuai dengan kemampuannya, untuk setiap orang sesuai dengan kebutuhannya”. Namun, kami memahami bahwa untuk menerapkan asas ini, sosialisme libertarian haruslah sudah berfungsi penuh dan berproduksi secara berlimpah. Sampai hal ini terjadi, imbalan dapat disesuaikan dengan kerja, atau usaha—pengorbanan pribadi seseorang untuk kepentingan kolektif. Imbalan sesuai dengan kerja atau usaha berarti setiap orang yang mengerjakan serangkaian tugas akan menerima imbalan sesuai tugasnya dan dapat memilih sendiri cara untuk menghabiskannya. Beberapa orang akan memilih untuk menukarkannya dengan satu atau dua barang, yang lain mungkin memilih berinvestasi untuk waktu luang, pekerjaan yang tidak terlalu berat, dan lain sebagainya. Kaum federalis yang berkegiatan di IWA abad ke-19 juga pernah menganjurkan sebuah model yang mendekati kolektivisme klasik.

Oleh karena itu, bagi kami, situasi ini berarti kolektivisme sedang berfungsi sesuai pepatah “dari setiap orang sesuai kemampuannya, untuk setiap orang sesuai dengan kerjanya”. Jika memang momennya memungkinkan, kita bisa menerapkan asas komunis, yaitu “untuk setiap orang sesuai dengan kebutuhannya”. Kenyataannya, hal ini “menjadi persoalan sampingan, karena masalah kepemilikan pribadi telah diselesaikan dan tidak ada lagi kapitalis yang merampas tenaga kerja massa”[72].

Pasar akan dihapuskan dan digantikan oleh sistem perencanaan swakelola. Penetapan harga disepakati oleh dewan pekerja dan konsumen, bersama-sama dengan federasi dan asosiasi mereka yang akan memudahkan interaksi ini. Bentuk perencanaan ini berbeda dari bentuk otoritarian, di mana negara melakukan perencanaan ekonomi di negara-negara “sosialis”. Bentuk perencanaan swakelola akan memampukan pekerja dan konsumen untuk memutuskan sepenuhnya persoalan distribusi dan menghapus masalah persaingan.

Agar semua ini dapat berjalan, kami percaya bahwa teknologi memainkan peran yang penting. Tidak seperti beberapa kecenderungan libertarian lain, yang percaya bahwa teknologi mengandung benih dominasi di dalamnya, kami percaya bahwa tanpanya tidak mungkin bagi kita untuk mengembangkan sosialisme libertarian. Keberadaan teknologi akan digunakan untuk mendukung tenaga kerja, bukan modal. Dengan teknologi, pasti akan ada peningkatan produktivitas, dan akibatnya, waktu kerja orang-orang pun akan berkurang secara mencolok. Waktu luang ini kemudian dapat digunakan untuk kegiatan-kegiatan lain. Teknologi juga dapat dianggap sebagai “penerapan sains yang luar biasa dalam produksi, […] yang tujuannya adalah untuk membebaskan pekerja, meringankan kerja manusia [dan membentuk] sebuah kemajuan yang patut dibanggakan oleh manusia beradab”[73]. Tentu saja, kami mengerti bahwa ada teknologi baik dan buruk, dan oleh karena itu, masyarakat

tidak perlu menolak kemajuan teknologi dalam lingkup besar, tetapi mengubahnya, sepenuhnya mengharuskan pengembangan teknologi lebih lanjut menjadi [sesuai] dengan asas-asas ekologis, yang akan berkontribusi pada penyelarasan baru masyarakat dengan alam.[74]

Kepedulian untuk menggunakan teknologi tepat guna harus dipertimbangkan di seluruh bidang masyarakat masa depan, dan memenuhi tuntutan ekologi sosial.

Mempertahankan kesadaran ekologi bukan berarti manusia akan terlalu dikendalikan oleh sistem hukum alamiah. Manusia adalah bagian dari alam maka sebaiknya ia tidak begitu saja tunduk padanya. Jelas kami juga tidak setuju jika hubungan dominasi antara manusia dan alam terus berlanjut. Justru, hubungan dominasi ini harus dihentikan sesegera mungkin sehingga memberikan ruang bagi hubungan yang setara antara manusia dan alam.

Kesadaran ekologis sebaiknya dikembangkan di masa-masa perjuangan sebelum pecahnya revolusi, juga di masyarakat masa depan itu sendiri, berlandaskan pada hubungan saling membantu (mutual aid) yang diteorikan oleh Kropotkin. Perkembangan ini dapat menjadi rujukan asas dari pernyataan bahwa kita, manusia, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari alam “yang menjadi sadar akan dirinya”, seperti yang dikatakan Reclus.

Manusia berbeda dari elemen-elemen alam lain dan spesies lain karena mampu menjalin hubungan sosial dengan segala sesuatu di sekitarnya. Manusia memiliki kapasitas untuk berpikir tentang dirinya, berteori tentang kenyataan, dan dengan kecerdasan ini mereka telah berhasil mengubah secara drastis keadaan lingkungan di sekitarnya. Dengan cara ini pula, sistem kapitalis mengeksploitasi sumber daya alam sedemikian rupa sehingga alam tidak dapat lagi meregenerasi diri mereka sendiri dengan laju alamiahnya. Di masyarakat masa depan hal ini tidak akan terjadi lagi. Perkembangan manusia yang dibawa sosialisme libertarian harus menekankan pentingnya hubungan saling membantu antara spesies dan alam.

Perlu ditekankan bahwa usulan ekologis kita benar-benar berbeda dari tawaran “konservasionisme” dan “primitivisme”. Gagasan kaum konservasionis melestarikan masyarakat kelas dan membiarkan alam sepenuhnya menjadi komoditas. Sementara proposal “anti-peradaban” kaum primitivis kami anggap sebagai kekonyolan yang paripurna, meromantisasi masa lalu yang jauh di belakang, atau bahkan lebih buruk lagi, menjadi semacam ajakan bunuh diri bagi semua umat manusia dan menihilkan semua sumbangsih kita pada pemeliharaan dan kesejahteraan alam.

Kami percaya bahwa masyarakat yang benar-benar menghormati asas-asas ekologi sosial hanya akan mungkin terjadi saat kapitalisme dan negara membuka ruang bagi sosialisme libertarian. Oleh karena itu, dengan sosialisme libertarian, kami berharap bisa menyelaraskan kembali masyarakat dan lingkungan, mengingat bahwa “jika kita tidak mampu mendirikan sebuah masyarakat yang ekologis, selain berakibat bencana, keabsahan moral kita pun akan dipertaruhkan”[75].

Dengan penggunaan teknologi yang berpihak pada pekerja dan perkembangannya; dengan berakhirnya eksploitasi kapitalis dan hasil kerja sepenuhnya menjadi milik pekerja; dengan keadaan di mana semua orang dapat bekerja, para pekerja akan memiliki lebih banyak waktu luang yang dapat dihabiskannya dengan tiga cara: Pertama, dengan produktivitas, yang akan berkurang secara alamiah karena adanya serangkaian kerja yang seimbang (antara manual dan intelektual), dan spesialisasi kerja pun akan sedikit menghilang. Kedua, dengan membuat keputusan-keputusan politik, yang akan menuntut waktu untuk bertukar pendapat dan mempertimbangkan berbagai persoalan di tempat kerja dan komunitas yang dikelola secara mandiri. Akhirnya, yang ketiga, dengan sisa waktu yang tersisa, semua orang dapat memilih apa pun yang ingin dilakukannya: beristirahat, berlibur, belajar, berkebudayaan, dan lain-lain. Menurut kami, dengan perubahan-perubahan ini waktu luang pun akan menjadi lebih banyak ketimbang saat ini.

Pembuatan keputusan di bawah swakelola tidak harus mematuhi model tertentu. Dewan pekerja dan konsumen dapat memilih penerapan terbaik lewat demokrasi langsung. Pembahasan dan pertemuan yang dilakukan secara horizontal menjadi hal mendasar, dengan pemaparan gagasan yang jelas dan pembahasan persoalan yang diajukan. Jelas, mufakat (konsensus) tidak bisa digunakan dalam sebagian besar pengambilan keputusan, karena sangat tidak efisien—khususnya jika kita hendak mengambil keputusan dalam lingkup besar. Mufakat berisiko memberikan terlalu banyak wewenang kepada orang-orang yang terasing yang dapat menghambat mufakat, atau memberikan bobot yang sangat besar kepada minoritas. Setelah perdebatan yang wajar, keputusan dapat dilakukan dengan pemungutan suara. Mengenai keputusan mana yang menang dapat ditentukan dengan faktor variabel, misalnya yang memiliki 50% + 1 suara, atau yang memiliki 2/3 dari jumlah suara, dan seterusnya. Kita harus tetap mengingat bahwa proses pengambilan keputusan adalah cara, dan bukan tujuan itu sendiri. Oleh karena itu, kita juga harus memperhatikan ketangkasan kita dalam proses ini.

Dalam proses pengambilan keputusan, swakelola dan federalisme berarti demokrasi langsung dengan melibatkan semua orang, keputusan kolektif, utusan (delegasi) dengan mandat yang wajib dipatuhi, jabatan bergilir, jabatan yang dapat dicabut sewaktu-waktu, akses ke informasi dan kekuatan pengambilan keputusan yang setara. Dewan pekerja maupun konsumen akan menggunakan swakelola sebagai bentuk manajemen dan pengambilan keputusannya, baik di tempat kerja maupun di komunitas masyarakat. Federalisme akan menghubungkan pekerja dengan komunitas-komunitas masyarakat, dan memungkinkan keputusan dibuat dalam lingkup besar. “Federasi, berasal dari bahasa Latin foedus, genitive foederis, berarti ‘pakta, kontrak, perjanjian, konvensi, aliansi’”.[76] Ini artinya mereka terorganisir “secara setara saling terikat satu sama lain, untuk satu atau lebih tujuan tertentu, di mana bebannya secara khusus ditanggung oleh delegasi-delegasi federasi”[77].

Keterhubungan dalam federalisme akan memungkinkan pengambilan keputusan dalam lingkup besar, dari swakelola terkecil hingga yang sangat luas. Di lingkungan kerja, federalisme akan menghubungkan unit-unit, kelompok kecil, kelompok besar, tempat kerja, dan bahkan keseluruhan industri. Di komunitas masyarakat, federalisme akan menghubungkan keluarga-keluarga, rukun tetangga, komplek, rukun warga, kota, daerah, dan bahkan antar negeri. Keterhubungan ini akan dilaksanakan oleh delegasi-delegasi, yang akan mengartikulasikan dan menjadi juru bicara bagi posisi yang telah diputuskan oleh dewan-dewan rakyat. Delegasi melaksanakan mandat penting, yaitu, mereka harus menyuarakan posisi kolektif dewan tempatnya menerima mandat dan tidak menyuarakan posisi yang mereka putuskan sendiri (seperti yang terjadi dalam demokrasi perwakilan). Selain itu, mandat yang diemban oleh delegasi bersifat tidak permanen dan dapat dicabut setiap saat. Karena “sistem federalis adalah kebalikan dari hierarki dan sentralisme pemerintahan dan administratif”[78], kami percaya bahwa struktur ini sanggup menggantikan negara. Politik di bawah sosialisme libertarian akan berlangsung dalam bentuk badan-badan rakyat yang mengatur diri mereka sendiri. Sebagai asosiasi-asosiasi sukarela, keberadaan dewan-dewan

[...] akan diterapkan dalam lingkup yang lebih luas lagi agar dapat menggantikan negara dan semua fungsinya. Mereka akan merepresentasikan jaringan yang saling terikat satu sama lain, terdiri dari berbagai kelompok dan federasi yang tidak terbatas jumlahnya, dari berbagai tingkatan dan berbagai ukuran kelompok, lokal, regional, nasional dan internasional, yang bersifat sementara atau yang lebih permanen—untuk berbagai kemungkinan tujuan: produksi, konsumsi dan pertukaran, komunikasi, sanitasi, pendidikan, perlindungan bersama, pertahanan daerah, dan sebagainya; dan, di sisi lain, untuk memuaskan dahaga atas sejumlah kebutuhan ilmiah, artistik, sastra dan sosial yang semakin meningkat.[79]

Dengan cara ini, negara dan demokrasi perwakilannya akan hilang, swakelola dan federalisme akan menggantikan mereka. Politik akan berada di tempat yang tepat, yaitu di tengah-tengah rakyat. Tidak ada lagi pemisahan antara orang-orang yang berpolitik dan orang-orang yang tidak berpolitik—karena di bawah sosialisme libertarian, para anggota masyarakat sendirilah yang akan mewujudkan politik dari hari ke hari.

Kesadaran harus beriringan dengan laju pertumbuhan perjuangan. Kapan pun sempat, kesadaran mesti dipupuk oleh proses-proses pendidikan. Kami tidak percaya bahwa untuk membuat revolusi semua orang harus terdidik terlebih dahulu. Tapi kami mengakui bahwa pada saat revolusi sosial terjadi, semakin tinggi tingkat kesadaran rakyat, bakal semakin baik. Masyarakat harus semakin mengembangkan budayanya ke arah libertarian, tidak hanya pada saat revolusi sosial dan sesudahnya saja, tapi juga sejak masa-masa perjuangan, pembangunan, dan pengembangan organisasi rakyat.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kapitalisme telah menjelma menjadi budaya dalam benak rakyat. Ia harus dikikis sedikit demi sedikit dan proses ini akan terjadi melalui pendidikan kerakyatan yang panjang. Posisi-posisi seperti prasangka rasial dan gender, patriarki, individualisme, dll, harus dilawan sekuat mungkin, baik dalam proses perjuangan maupun pada saat revolusi sosial atau bahkan sesudahnya. Di bawah sosialisme libertarian kita mengerti bahwa swakelola dan federalisme mesti menyokong proses ini dalam praktik. Selain itu, banyak kegiatan pendidikan dan kebudayaan bagi seluruh masyarakat yang harus didukung, pendidikan yang mendorong “cara mengajar [yang] setara dalam segala hal untuk semua orang, oleh karena itu, [pendidikan] harus utuh”[80] dalam memberikan pengetahuan teori dan praktik bagi anak-anak dan orang dewasa tanpa memandang jenis kelamin.

Dengan demikian, kami percaya bahwa sistem dominasi dan eksploitasi negara dan kapitalisme akan berakhir—tidak ada lagi yang menumpuk kekuasaan dengan kekuatan sosial yang diperoleh dari mengeksploitasi orang lain—dan sistem baru akan menghidupi dirinya di atas fondasi kesetaraan sosial-politik-ekonomi dan kebebasan. Kesetaraan yang akan terjadi dengan pembentukan kepemilikan kolektif, dewan-dewan swadaya, keseimbangan tugas manual dan intelektual, upah yang setara, perencanaan mandiri, pengambilan keputusan secara kolektif, dan perjuangan terus menerus melawan prasangka dan diskriminasi. Kebebasan dari sistem dominasi dan eksploitasi, dan kebebasan untuk apa yang ingin kita capai. Kebebasan yang akan bersifat kolektif, mengingat seseorang hanya dapat bebas sejauh orang-orang lain di sekitarnya juga bebas. “Kebebasan yang terdiri dari pengembangan penuh semua potensi materiil, intelektual, dan budi pekerti yang ditemukan dalam kemampuan terpendam semua orang”.[81] Sosialisme libertarian akan membawa kemewahan yang diabaikan semua orang: “kemewahan kemanusiaan, kebahagiaan atas pengembangan diri yang lengkap, dan kebebasan setiap makhluk dalam kesetaraan”.[82]

Organisasi dan Kekuatan Sosial

“[...] sepuluh, dua puluh, atau tiga puluh orang yang memahami dengan baik, yang

terorganisir dengan baik, dan tahu ke mana mereka melangkah,

akan dengan mudah membawa seratus, dua ratus, atau bahkan lebih banyak lagi orang lain.”

Mikhail Bakunin

Sebelumnya kami sudah menguraikan apa yang kami pahami tentang organisasi kapitalisme dan negara. Kita berusaha memetakan “di mana kita berada” dan organisasi sosialisme libertarian mencoba menentukan “ke mana tujuan yang ingin kita capai”. Untuk melengkapi pembahasan tentang organisasi, kita perlu menjabarkan sedikit tentang gerakan sosial dan organisasi rakyat, juga tentang organisasi yang secara spesifik anarkis. Kedua tingkat organisasi yang berbeda ini akan menjawab persoalan “bagaimana kita dapat beranjak dari posisi kita sekarang dan tiba di tujuan yang kita inginkan?” dan melengkapi elemen yang sangat diperlukan bagi strategi permanen kita. Seperti yang dirangkum dengan baik oleh Malatesta, “[...] secara umum, organisasi adalah tonggak dan syarat kehidupan bermasyarakat, di masa kini dan di masa mendatang: pengorganisasian partai anarkis dan pengorganisasian kekuatan-kekuatan rakyat”.[83]

Bagi kami, perubahan sosial yang kami impikan harus dicapai melalui pembangunan organisasi rakyat, melalui peningkatan kekuatan sosial rakyat secara terus menerus hingga suatu saat ia mampu menggulingkan kapitalisme dan negara dengan revolusi sosial dan membuka jalan bagi sosialisme libertarian. Lebih jauh lagi, kami berpendapat bahwa perkembangan organisasi kerakyatan harus dibarengi dengan perkembangan organisasi khusus anarkis, yang mempengaruhi organisasi rakyat dan memberikannya sifat-sifat yang diinginkan. Ke depannya kita akan membahas lebih lanjut lagi tentang kedua jenis organisasi ini dan interaksinya satu sama lain. Saat ini, yang terpenting bagi kita adalah menerima bahwa tidak ada cara lain untuk perubahan sosial selain dengan organisasi dan pertumbuhan progresif kekuatan sosial.

Kami memahami masyarakat hari ini sebagai hasil dari hubungan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat, atau bahkan sengketa terus menerus—yang mengambil bentuk perjuangan kelas—antara kapitalisme, negara, dan beragam kekuatan politik lainnya. Pihak yang pertama—kapitalisme—tumbuh semakin kuat, maksudnya adalah ia berhasil menghimpun kekuatan sosial yang lebih besar ketimbang pihak terakhir dan akibatnya ia bisa membangun kekuasaan. Dalam pengertian ini, kapitalisme dan negara melakukan penindasan atas kekuatan-kekuatan politik lainnya yang melawan mereka.

Perlawanan dapat terjadi dalam cara yang berbeda-beda, beberapa terdiri dari kekuatan-kekuatan politik yang besar atau kecil, dan yang lainnya tidak mengandung kekuatan politik sama sekali. “Perlawanan dapat terjadi secara pasif (ketika seseorang tidak bertindak melawan kekuatan yang menindas mereka) atau secara aktif (ketika yang berkuasa menerima pembalasan dari pihak yang ditundukkan). Perlawanan juga dapat terjadi secara terasing (bersifat individual) ataupun terartikulasi (kekuatan kolektif)”.[84] Perlawanan pasif tidak mengandung kekuatan politik, sementara perlawanan yang terasing mengandung kekuatan sosial yang kecil. Oleh karena itu, untuk dapat mencapai tujuan, kami mengusulkan perlawanan secara aktif dan terartikulasi, perlawanan yang terorganisir dan terus berusaha meningkatkan kekuatan sosial secara berkelanjutan. Untuk pembangunan jenis perlawanan semacam ini, kita perlu bersekutu dengan pihak-pihak lain yang juga setuju dengan tawaran kita terkait perubahan sosial.

Jika kita ingin maju, jika kita ingin melakukan sesuatu yang lebih dari apa yang selama ini mengasingkan kita satu sama lain, kita mesti tahu dengan siapa kita harus berkawan dan bersepakat, dan dengan siapa kita tidak bersepakat. Hal ini penting khususnya ketika kita berbicara tentang aksi, gerakan, dan metode-metode, sebab dengannya kita akan bekerja dengan banyak orang demi memperoleh hasil yang sesuai dengan keinginan kita.[85]

Apa yang saat ini kita sebut sebagai “tatanan” atau status-quo adalah organisasi kapitalisme dan negara, yang mungkin saat ini sedang memetakan kekuatan-kekuatan politik lainnya yang mereka anggap mengancam. Dengan menjadi tidak terorganisir, terorganisir secara buruk, atau saling terasing satu sama lain, berarti perlawanan kita tidak cukup memadai untuk menghadapi kapitalisme dan negara. Alhasil kita tidak akan berhasil meningkatkan kekuatan sosial organisasi secara signifikan—padahal organisasi ini bertujuan untuk menggantikan kapitalisme dan negara dengan sosialisme libertarian. Kita dapat mengatakan bahwa “siapa pun yang tidak mengorganisir dirinya, yang tidak saling bekerja sama, dan tidak menawarkan sumber dayanya dalam kondisi saling bantu dan saling bersolidaritas, telah membawa dirinya ke posisi lemah dan secara tidak sadar menjadi sekadar alat bagi tata cara sosial yang dikendalikan orang lain, tunduk pada cara mereka, demi keuntungan mereka”[86]. Ada fakta bahwa disorganisasi, organisasi yang buruk, dan saling terasing akhirnya hanya akan mendukung kapitalisme dan negara–seolah-olah adalah hal mustahil untuk membangun kekuatan sosial yang kita perlukan. Dengan tidak terlibat—dengan cara yang tepat—dalam hubungan kekuatan timbal balik dan konflik permanen masyarakat ini, Anda sebenarnya sedang menduplikasi “tatanan” yang sudah ada. Jadi, “jika kita tidak berusaha membentuk organisasi dan asosiasi yang terartikulasi dengan baik, kita tidak akan pernah berhasil memberikan pengaruh pada perjuangan, dan akhirnya, pada masyarakat saat ini”.[87] Dengan demikian:

[...] mereka-mereka, yang tidak memiliki sarana atau kesadaran memadai untuk mengorganisir diri sendiri secara bebas bersama pihak lain yang memiliki kepentingan dan kesadaran yang sama, terpaksa tunduk pada organisasi yang diciptakan orang lain, umumnya orang-orang dari kelas atau kelompok penguasa, yang mengeksploitasi tenaga kerja orang lain untuk kepentingan mereka sendiri. Sejak dahulu kala, penindasan massa yang dilakukan oleh segelintir orang dengan hak istimewa adalah akibat dari ketidakmampuan mayoritas rakyat untuk bersama-sama bersepakat dan mengorganisir diri bersama para pekerja lain untuk kegiatan produksi, rekreasi, dan pertahanan diri melawan pihak-pihak yang hendak mengeksploitasi dan menindas mereka. [...] Dengan tetap terasing satu sama lain, dengan setiap orang bertindak sendirian atau ingin bertindak sendiri-sendiri, tanpa berbagi pengertian dengan orang lain, tanpa persiapan, tanpa menyatukan kekuatan-kekuatan kecil tiap individunya menjadi kelompok yang lebih kuat, berarti sedang mengutuk dirinya ke dalam jurang kemandulan, membuang energi untuk aksi-aksi kecil yang tidak ampuh dan dengan cepat akan kehilangan keyakinan pada tujuannya, dan akhirnya menyerah pada kepasifan total.[88]

Disorganisasi dan pengorganisasian yang buruk dapat diciptakan dalam dua tingkat gerakan. Di tingkat sosial—di gerakan sosial, yang harusnya membangun dan mengembangkan organisasi rakyat—tugasnya adalah menghimpun kekuatan sosial. Disorganisasi di tingkat ini dapat menyebabkan spontanitas alamiah semata dan gagalnya organisasi rakyat dalam membawa serangkaian perubahan sosial yang diharapkan.

Di tingkat politik—yakni anarkisme, yang seharusnya mengembangkan organisasi khusus anarkis —tugasnya adalah memberikan pengaruh pada tingkat sosial agar memiliki bentuk dan cara yang memadai. Keterasingan dan individualisme menyebabkan tidak adanya kehadiran pada tingkat politik maupun sosial ini, serta tidak terartikulasinya organisasi rakyat maupun organisasi anarkis. Selain disorganisasi ini, pengorganisasian yang buruk dan terasing merupakan unsur penghambat dalam pembentukan sosialisme libertarian. Kami percaya bahwa sosialisme libertarian hanya dapat dibangun dengan banyak organisasi.

Organisasi berarti adanya koordinasi antar kekuatan, atau “asosiasi dengan sebuah tujuan bersama serta cara dan sarana bersama untuk mencapai tujuan”[89]. Dengan demikian, kita harus memikirkan berbagai cara dan sarana bagi organisasi rakyat untuk dapat menggulingkan kapitalisme dan negara, dan melalui revolusi sosial membangun tujuannya, yaitu sosialisme libertarian. Selanjutnya kita perlu membahas secara lebih terperinci mengenai dua tingkat organisasi ini. Pertama kita akan membahas tingkat sosial, di mana gerakan sosial beroperasi dan di mana kita harus membangun organisasi rakyat. Lalu tingkat politik dan pengembangan organisasi yang secara khusus anarkis.

Ketika kami berbicara tentang kekuatan sosial, penting bagi kami untuk mendefinisikan apa yang kami pahami mengenai istilah ini. Kami menganggap bahwa setiap individu adalah agen sosial yang secara alamiah memiliki kekuatan sosial, yaitu energi yang dapat digunakan untuk mencapai tujuannya. Kekuatan ini berbeda-beda antara satu orang dengan yang lainnya, dan bahkan berbeda-beda pada orang yang sama tergantung waktunya. Untuk meraih tujuannya, seseorang seringkali harus menggunakan alat yang dapat meningkatkan kekuatan sosialnya. Banyak hal dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan sosial, contohnya: senjata, informasi, pelatihan, teknik yang tepat, penyempurnaan sumber daya, ajakan dan bujukan, mesin, dll. Namun, alat paling penting adalah organisasi. Organisasi dapat diwujudkan melalui cara otoritarian dengan sarana-sarana dominasi, atau melalui cara libertarian menggunakan sarana asosiasi yang merdeka.

Dalam organisasi otoritarian, kekuatan sosial dari beragam agen (contoh: seorang tentara di suatu negara, atau seorang pekerja di suatu perusahaan) terasingkan. Keadaan terasingkan ini menempatkan mereka dalam posisi ditindas organisasi tersebut (pada kasus ini: negara dan bos) sehingga mereka turut andil pada tujuan lain di luar tujuan mereka sendiri. Beginilah kekuatan sosial dari sistem saat ini terbentuk, dengan cara mengasingkan berbagai agen ini dari tujuan mereka sendiri dan membuat mereka akhirnya turut serta pada tujuan-tujuan kapitalisme. Dalam organisasi libertarian, ada asosiasi bebas, atau pengorganisasian anti-otoritarian, yang memproduksi peningkatan kekuatan sosial—dan selalu terkait dengan perangkat-perangkat lainnya.

Organisasi yang berbentuk asosiasi bebas sangat diperlukan bagi proyek perubahan sosial kita, karena ketika individu-individu bekerja sama, kekuatan sosial mereka menjadi sangat jauh melebihi kekuatan seorang individu semata. Kita bisa melihat contoh yang dikemukakan Proudhon dalam menjelaskan persoalan ini. “Dua ratus orang pekerja meletakkan tugu Luxor di fundamennya hanya dalam waktu beberapa jam. Menurut Anda, apakah satu orang bisa mengerjakan tugas yang sama dalam waktu dua ratus hari?[90] Tentu saja tidak, karena ada kekuatan besar yang dihasilkan dari persatuan dan keselarasan para pekerja, dari penggabungan dan kekompakkan usaha mereka”.[91] Dari contoh di atas, organisasi pekerja memberikan kekuatan kolektif yang memampukan mereka meraih hasil yang lebih besar ketimbang hasil upaya seseorang saja. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa untuk dapat melaksanakan proyek perubahan sosial, asosiasi adalah hal penting, sebab melaluinya, dan hanya melaluinya, kita mampu menghimpun kekuatan sosial yang diperlukan untuk menggulingkan kapitalisme dan negara.

Tetapi bagaimanapun juga, demi meraih keuntungan permanen dalam hal kekuatan sosial ini—yang harus terjadi dalam bentuk organisasi anti-otoritarian, baik dalam tingkat organisasi rakyat maupun tingkat organisasi anarkis—kita harus menyadari pentingnya

[...] sebuah kedisiplinan khusus, bukan kedisiplinan yang otomatis, melainkan kedisiplinan sukarela dengan kesadaran penuh, yang sepenuhnya selaras dengan kebebasan individu. Kedisiplinan ini akan selalu diperlukan setiap kali banyak individu—yang secara merdeka memutuskan bersatu, melakukan pekerjaan kolektif atau aksi kolektif. Kedisiplinan ini tidak lain adalah kesepakatan sukarela yang telah dipikirkan baik-baik, sebuah upaya dari semua individu yang terlibat untuk meraih sebuah tujuan bersama. Pada saat beraksi, di tengah perjuangan, secara alamiah peran dibagi-bagi sesuai dengan kemampuan masing-masing, dinilai dan dipertimbangkan oleh keseluruhan kolektif: beberapa memberi arahan dan perintah, yang lain menjalankan perintah. Tapi tidak ada fungsi yang permanen, tidak ada seorang pun dengan jabatan kaku yang tidak dapat dicabut kembali. Tingkat dan promosi hierarkis tidak ada, sehingga yang kemarin komandan dapat saja menjadi bawahan hari ini. Tidak ada yang ditinggikan di atas yang lain, atau jika pun dinaikkan, ia hanya akan jatuh setelahnya, seperti gelombang di laut, selalu kembali ke tingkat kesetaraan yang sehat.[92]

Tentunya disiplin ini tidak boleh “mengikuti model otoritarian, baik dalam hal penindasan anggota [...] maupun dalam hal penghukuman, yang [...] juga harus mempertimbangkan etika dan saling menghormati. [...] Penting bagi kita untuk menawarkan disiplin diri (swadisiplin) yang berbeda dari disiplin militer. Dari sudut pandang kami, menjalankan disiplin militer, yang pada intinya eksploitatif dan menindas, sama saja dengan otoritarianisme yang sudah kita kenal selama ini”[93]. Untuk membedakan kedisiplinan ala kaum otoritarian dengan kedisiplinan yang kami anjurkan, kami memilih untuk menggunakan istilah swadisiplin, dan menegaskan bahwa “disiplin diri adalah motor penggerak bagi organisasi swakelola”[94]. Kita memerlukan disiplin diri, bersama-sama dengan tekad dan tanggung jawab. Ia adalah bagian tidak terpisahkan dari pembangunan organisasi anti-otoritarian, dan diperlukan untuk meningkatkan kekuatan sosialnya. Dalam pandangan kami, organisasi rakyat memerlukan kadar disiplin yang lebih rendah, sementara organisasi spesifik anarkis memerlukan kadar disiplin yang lebih besar, kadar ini bisa berbeda-beda tergantung keadaannya. Dalam periode gejolak sosial berlingkup besar, kebutuhan akan disiplin diri meningkat. Pada saat gejolaknya surut, kadarnya bisa dikurangi.

Bagi kami, seperti yang telah kami tekankan, organisasi rakyat adalah sebuah bentuk perlawanan aktif dan jelas. Tujuannya adalah untuk terus menerus meningkatkan kekuatan sosialnya, “untuk menggulingkan kapitalisme dan negara dan membangun sosialisme libertarian melalui jalan revolusi sosial”. Peningkatan kekuatan sosial ini dapat dicapai dengan berbagai cara, tapi yang terutama adalah dengan pengorganisasian kelas tertindas, dengan sebanyak mungkin jumlah masyarakat yang terlibat, dan dengan pengorganisasian yang baik—yang tentunya menyiratkan swadisiplin, komitmen, dan tanggung jawab. Selain itu, seperti yang juga telah kami jelaskan sebelumnya, tujuan organisasi khusus anarkis adalah “untuk membangun organisasi rakyat dan memberikan pengaruh di dalamnya, menciptakan sifat yang diinginkan, dan sampai pada sosialisme libertarian melalui revolusi sosial”. Untuk ini, organisasi khusus anarkis harus merupakan organisasi yang berisi minoritas anarkis aktif yang berdisiplin diri, bertekad, dan bertanggung jawab dalam tingkatan yang tinggi, yang siap membangun dengan asas ini: “organisasi bukanlah pencipta otoritas, justru ialah satu-satunya obat untuk melawannya, dan satu-satunya sarana agar setiap kita terbiasa mengambil bagian secara aktif dan sadar dalam kerja kolektif”.[95]

Gerakan Sosial dan Organisasi Rakyat

“Hanya rakyat sendiri, orang-orang lapar yang tidak berpunya, yang dapat menghapuskan penderitaan.”

Ricardo Flores Magon

“Mengorganisir kekuatan rakyat demi mewujudkan revolusi [sosial] merupakan satu-satunya tujuan bagi mereka yang dengan tulus menginginkan kebebasan.”

Mikhail Bakunin

“Mendukung organisasi-organisasi rakyat dalam berbagai bentuknya adalah dampak wajar dari gagasan-gagasan mendasar kita dan semestinya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari program kita.”

Errico Malatesta

Sebelumnya, beberapa kali kami telah menyebut tentang organisasi rakyat dan harapan-harapan kami terhadapnya. Kami juga telah menjelaskan bahwa tujuan pengorganisasian masyarakat adalah untuk “menggulingkan kapitalisme dan negara, dan membangun sosialisme libertarian melalui revolusi sosial”. Dengan ini, kami memahami rakyat dan organisasi-organisasinya sejatinya adalah tokoh utama dalam proses perubahan sosial. Kami juga telah menyebutkan tentang tingkat sosial, yaitu tempat di mana gerakan sosial berkembang dan di mana kita mesti mencoba membangun dan meningkatkan kekuatan sosial organisasi masyarakat. Di titik ini, kita membahas gerakan-gerakan sosial, karakteristik yang diinginkan, dan metode-metode aksinya—serta bagaimana hal-hal tersebut dapat menyokong pengembangan organisasi rakyat.

Saat menghadapi tingkatan sosial ini, kita perlu mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan dari masyarakat, sebab rakyat harus menjadi pelaku utama dari perubahan sosial yang kita tawarkan. Tidak dapat disangkal bahwa terdapat kekuatan sosial terpendam dalam kelas-kelas yang dieksploitasi ini, tapi kami menyadari bahwa hanya melalui organisasilah kekuatan ini baru bisa melepaskan diri dari sekadar kemungkinan-kemungkinan dan menjadi kekuatan sosial yang nyata. Pertanyaan berikutnya pun timbul:

Memang benar bahwa [dalam rakyat] ada kekuatan mendasar yang besar, kekuatan yang tidak diragukan lagi lebih kuat dari gabungan [kekuatan] pemerintah dan seluruh kelas penguasa. Namun, tanpa organisasi, kekuatan dasar itu bukanlah kekuatan nyata. Ada keuntungan tidak terbantahkan dari kekuatan yang terorganisir, dan di atas dasar kekuatan terorganisir inilah negara dibangun dan mendominasi kekuatan dasar masyarakat. Jadi, masalahnya bukanlah mengetahui apakah rakyat dapat bangkit melawan atau tidak, tetapi apakah mereka mampu membangun organisasi yang menjadi sarana mereka untuk mencapai kemenangan—bukan kemenangan yang kebetulan, tetapi kemenangan yang berkepanjangan dan menentukan.[96]

Dimulai dengan organisasi dan penerapan praktisnya di lapangan, kekuatan ini akan tumbuh pesat dan menawarkan peluang nyata untuk melawan kapitalisme dan negara, sebab “kita telah memiliki keadilan dan kebajikan, tetapi kekuatan kita belum cukup”[97]. Seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya, peningkatan kekuatan sosial yang tetap dari kelas-kelas yang dieksploitasi inilah yang akan mampu mewujudkan perubahan sosial seperti yang kita cita-citakan.

Guna membangun sebuah organisasi yang dapat menjadi sarana kita dalam meraih tujuan yang diinginkan—revolusi sosial dan sosialisme libertarian—dengan meneguhkan kemenangannya, kami menawarkan sebuah model untuk menciptakan dan mengembangkan apa yang kita sebut sebagai organisasi rakyat.

Pertama, kami membenarkan organisasi sesuai dengan apa yang telah kami jelaskan sebelumnya: yakni “koordinasi antar kekuatan-kekuatan, atau 'asosiasi dengan tujuan bersama dengan cara dan sarana yang diperlukan untuk mencapai tujuannya.’” Kami juga telah menyatakan bahwa organisasi dapat melipatgandakan kekuatan sosial masyarakat dan hanya dengan melaluinya kita dapat menawarkan sebuah tandingan yang mampu menggulingkan kapitalisme dan negara. Bentuk organisasi yang kami tegaskan ini adalah buah dari asosiasi bebas para anggota kelas yang dieksploitasi.

Melalui asosiasi, mereka [para pekerja] mengarahkan diri mereka sendiri, saling menginformasi satu sama lain, dan dengan usaha mereka sendiri mereka dapat mengakhiri kebodohan yang membahayakan ini, yang merupakan salah satu penyebab utama perbudakan mereka. Dengan berasosiasi, mereka belajar membantu diri sendiri, mengenal diri, saling membantu satu sama lain, dan akhirnya menciptakan kekuatan yang lebih tangguh dari gabungan kekuasaan semua kapitalis borjuis dan elit politik.[98]

Kedua, kami memaknai organisasi ini sebagai sesuatu yang bersifat kerakyatan, dengan sifat perjuangan kelas yang berdaya tempur. Artinya, dalam bentuk organisasi ini, seluruh golongan kelas-kelas yang dieksploitasi haruslah dikerahkan seperti yang telah dijelaskan di atas. Keterlibatan semua sektor masyarakat yang paling menderita dampak kapitalisme mesti menjadi prioritas. Ketika organisasi memiliki sifat kelas, ia akan merangsang dan memampukan perjuangan kelas. Dengan cara inilah organisasi kerakyatan dibangun, dari bawah ke atas, dari “pinggiran ke pusat”, dan berada di luar pusat-pusat kekuasaan sistem saat ini.

Organisasi kerakyatan dibangun di atas kehendak perjuangan rakyat. Jadi, ia bukanlah buah dari sebuah gerakan yang serta merta ada, sekalipun kita tahu bahwa banyak wujud perjuangan kelas dapat muncul secara tiba-tiba. Organisasi rakyat sangat diperlukan karena kami tidak percaya bahwa masyarakat kapitalis dapat menghancurkan dirinya sendiri—seperti pendapat banyak kaum sosialis di abad kesembilan belas—atau bahwa sosialisme adalah hasil dari evolusi alamiah kapitalisme. Tampaknya cukup jelas bahwa kita harus memikirkan bentuk organisasi sebagai alat perjuangan, karena jika tidak, kapitalisme dan negara tidak akan pernah lenyap.

Kami memahami organisasi rakyat sebagai hasil dari proses pertemuan berbagai organisasi sosial dan gerakan akar rumput yang berbeda-beda, yang merupakan buah dari perjuangan kelas. Karena alasan inilah kami percaya bahwa kita harus mendukung semua jenis organisasi dan gerakan-gerakan seperti ini. Kita harus memahami bahwa dukungan ini disebabkan oleh gagasan-gagasan mendasar kita. Berbagai organisasi dan gerakan ini di masa lalu disebut “gerakan massa”. Tetapi pihak sosialis otoritarian akhirnya menyelewengkan makna istilah “massa” ini menjadi serupa “bidak”, segerombolan massa gerakan tanpa tujuan yang harus diarahkan dan dibimbing oleh para pelopor (vanguard) yang terorganisir secara vertikal dalam bentuk partai politik. Artinya, kaum otoritarian memandang gerakan massa dengan kacamata hierarkis, sehingga berusaha untuk mengungguli dan mengendalikannya.

Kami menganggap keterlibatan sosial dan rakyat dalam proses perubahan sosial sebagai sesuatu yang sangat penting. Gerakan-gerakan massa bisa disebut juga dengan organisasi sosial, gerakan populer, gerakan rakyat, atau gerakan sosial—sebuah istilah yang akan kita gunakan selanjutnya.

Gerakan sosial adalah asosiasi orang-orang dan/atau entitas yang memiliki kepentingan bersama dalam membela atau menawarkan tujuan yang telah ditentukan oleh masyarakat. Gerakan-gerakan ini dapat muncul di tempat-tempat yang sangat beragam di masyarakat, dengan panji-panji perjuangan yang sangat berbeda-beda pula, yang menunjukkan kebutuhan orang-orang di seputar gerakan tersebut: sebuah tujuan bersama. Seperti yang telah kita lihat, sebagian besar masyarakat hari ini mengalami situasi penderitaan dan kekurangan, dan situasi ini seringkali menjadi faktor pembentuk asosiasi, yang memberi bentuk bagi organisasi-organisasi yang membela kepentingan rakyat.

Melalui organisasi-organisasi yang dibangun untuk membela kepentingan mereka, para pekerja memperoleh kesadaran akan adanya penindasan yang menimpa mereka, dan dengan adanya permusuhan yang memisahkan mereka dari kaum majikan [atau dari kelas penguasa], mereka mulai menginginkan kehidupan yang lebih baik dan membiasakan diri mereka dalam perjuangan kolektif dan solidaritas sehingga mampu memenangkan perbaikan kondisi yang sebanding dengan kegigihan negara dan rezim kapitalis.[99]

Gerakan sosial adalah buah dari tiga gabungan yaitu: kebutuhan, kehendak, dan organisasi. Tiga gabungan ini mendorong terciptanya beragam gerakan sosial di seluruh dunia. Sama halnya seperti di Brasil. Di sini, ada gerakan rakyat tanpa tanah, gerakan tunawisma, gerakan kaum pengangguran dan komunitas, dan gerakan-gerakan untuk akses transportasi yang terjangkau dan berkualitas. Ada gerakan para pemulung sampah daur ulang, gerakan masyarakat adat, gerakan mahasiswa, gerakan hak asasi manusia, gerakan buruh, gerakan feminis, gerakan kaum kulit hitam, gerakan gay (LGBTQ), dewan-dewan rakyat, gerakan seni, budaya, lingkungan hidup, dan lainnya. Gerakan-gerakan ini memiliki kesamaan fakta bahwa mereka muncul dari dominasi dan eksploitasi terhadap masyarakat tempat kita hidup. Banyak dari gerakan-gerakan tersebut adalah hasil dari perjuangan kelas.

Namun, tidak banyak gerakan sosial yang berupaya membangun organisasi rakyat, atau bahkan memerangi kapitalisme dan negara. Banyak dari mereka telah mengadopsi sifat dan nilai-nilai masyarakat kapitalis dan, bahkan lebih dari itu, seringkali turut menyebarkan sifat dan nilai-nilai ini. Mayoritas gerakan-gerakan ini—yang bisa kita sebut sebagai reformis—percaya bahwa ada jalan keluar untuk persoalan mereka di bawah kapitalisme. Dengan begitu tujuan dari sebagian besar gerakan ini hanyalah pencapaian keuntungan jangka pendek di dalam sistem kapitalisme, tidak lebih dari itu. Selain itu, dalam kebanyakan kasus, gerakan-gerakan sosial tidak dapat terpahami dengan baik di antara mereka sendiri, dan setiap gerakan akhirnya menjalankan perjuangannya sendiri-sendiri tanpa keterhubungan antar suatu gerakan dengan yang lainnya. Oleh karena itu, mereka bahkan belum berada di titik awal pembangunan organisasi rakyat. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada sejumlah gerakan sosial, sifat dan cara bertindak sebagian besar dari mereka kenyataannya tidak sesuai dengan apa yang kita anggap tepat. Cara-cara yang dipilih tidak mengarah pada tujuan yang kita inginkan.

Gerakan sosial yang kami perjuangkan, dan yang kami anggap dapat menyokong proyek politik kami, memiliki sifat dan cara tertentu dalam jalan kerjanya.

Sebisa mungkin mereka adalah yang terkuat, dengan organisasi yang baik dan jumlah sebanyak mungkin, yang berfokus pada perjuangan yang telah mereka pilih sebagai prioritas. Jadi, sebuah gerakan rakyat tanpa tanah harus mencakup semua orang yang mau memperjuangkan tanah, gerakan kaum tunawisma harus merangkul semua orang yang mau berjuang untuk tempat tinggal, dan seterusnya. Oleh karena itu, kami percaya bahwa gerakan sosial tidak boleh memenjarakan diri dalam sebuah ideologi, apa pun ideologinya. Kami tidak percaya pada gerakan sosial anarkis, Marxis, atau sosial-demokratis, atau gerakan sosial dari ideologi-ideologi khusus lainnya. Oleh sebab itu, orang-orang dari ideologi yang paling berbeda pun harus “cocok” untuk masuk ke gerakan sosial yang siap kita ciptakan atau kembangkan. Bagi kami, sebuah “gerakan sosial anarkis”, atau gerakan sosial dengan ideologi lainnya, hanya akan cenderung memecah kelas yang dieksploitasi atau bahkan orang-orang yang tertarik berjuang untuk isu tertentu. Artinya, kekuatan yang menggerakkan penciptaan dan pengembangan gerakan sosial haruslah kebutuhan, bukan ideologi. Jadi “teori filosofis atau politis tidak boleh menjadi fondasi dasar, atau digunakan sebagai syarat resmi yang wajib dalam program [...]. Namun, bukan berarti persoalan politik dan filosofis [...] tidak dapat didiskusikan secara bebas”.[100]

Meskipun kami percaya bahwa gerakan sosial tidak boleh dibatasi dalam sekat-sekat anarkisme, kami berpendapat bahwa anarkisme perlu seluas mungkin disebarkan dalam gerakan-gerakan sosial ini. Di bagian berikutnya kita akan membahas bagaimana hal ini dapat dilakukan dan apa tujuannya. Untuk sekarang, cukuplah bagi kami untuk mengatakan bahwa gerakan-gerakan sosial yang kami anjurkan bukan—dan sebaiknya tidak—anarkis. Akan tetapi, gerakan-gerakan ini adalah lahan subur bagi anarkisme.

Sama halnya mengenai persoalan agama. Meskipun di tingkat politik kami memiliki posisi anti elit rohaniawan, pada tingkat sosial kita tidak boleh bersikeras mengenai masalah ini karena dapat menghalangi anggota kelas tertindas yang memeluk keyakinan atau agama tertentu untuk turut berjuang. Banyak orang dari kelas tertindas memeluk keyakinan atau agama, dan kita dapat bekerja dengan persoalan ini dalam gerakan tanpa harus menghalangi mereka untuk berjuang. Ada banyak kelompok agama progresif dalam gerakan sosial, yang merupakan bagian dari kubu sayap kiri yang luas dan terdapat kemungkinan untuk bekerja sama dengan mereka. Gerakan sosial “harus mencari landasan bersama, serangkaian asas sederhana di mana semua pekerja, apa pun [pilihan politik dan agama mereka], selama mereka adalah pekerja yang serius, yakni orang-orang yang dieksploitasi dan menderita, yang sepakat dan harus kompak”[101].

Sifat penting lainnya dari gerakan sosial adalah otonomi, terutama otonomi dari campur tangan negara, partai politik, serikat birokratis, lembaga agama, dan seterusnya. Gerakan sosial harus membuat keputusan dan bertindak secara mandiri, mengatasi urusan mereka sendiri dan merdeka dari lembaga-lembaga yang menggunakan, atau berusaha menggunakan, dominasinya untuk menundukkan mereka. Oleh karena itu, pihak-pihak yang ingin memimpin, memerintah, atau mengarahkan gerakan sosial untuk melayani kepentingan pribadinya, tidak boleh memiliki pengaruh atas gerakan sosial. Alasan utamanya adalah orang-orang semacam ini tidak berjuang untuk tujuan kolektif gerakan, melainkan menjadi hamba dari pepatah “melayani diri sendiri adalah cara terbaik untuk melayani orang lain.”

Gerakan sosial tidak boleh terhubung dengan politisi atau bidang negara mana pun karena kita telah menyaksikan dalam banyak kasus, ketika mereka datang untuk membantu berarti mereka sedang mencari “basis” untuk kepentingan partai politiknya, berusaha meredam perjuangan dan mendorong pembangunan dialog dengan lembaga negara. Kita tahu benar pemahaman kaum otoritarian mengenai partai, kita tahu bahwa kepentingan mereka selalu adalah untuk mengekang gerakan sosial, baik itu partai reformis maupun partai revolusioner. Pertama, mereka terlibat dalam pemilu dan melihat gerakan sosial sebagai sumber suara. Kedua, mereka mencari “gerakan massa” yang melayani sebagai basis bagi kepeloporan mereka. Dalam hal ini, partai politik ingin memimpin dan mengarahkan gerakan sosial, menganggap dirinya lebih unggul, dan menganggap diri mereka sebagai yang tercerahkan dan akan membawa kesadaran kepada kelas-kelas yang dieksploitasi. Biasanya anggota mereka adalah kaum intelektual yang ingin tahu, melebihi keingintahuan rakyat itu sendiri, tentang apa yang terbaik bagi rakyat. Organisasi lain yang berusaha mengontrol, seperti gereja dan serikat birokratis juga tidak akan membantu gerakan sosial.

Orang-orang ini harus dikeluarkan dari gerakan sosial karena mereka tidak memperjuangkan kepentingan gerakan, melainkan kepentingan mereka sendiri. Gerakan sosial tidak membutuhkan bos, pemimpin, atau orang yang ingin menguasainya. Gerakan sosial membutuhkan orang-orang yang ingin mendukungnya dan berjuang dengannya, bukan yang berjuang untuk mendapatkan kendali atasnya. Gerakan sosial adalah sebuah ruang yang sahih karena memperjuangkan kebutuhan untuk bertahan hidup dan alasan-alasan bermartabat yang mengedepankan solidaritas sejati.”[102]

Apa yang gerakan sosial perlukan adalah orang-orang yang ingin mendukung mereka, tanpa memandang asal kelas sosial mereka, karena mereka menganggap perjuangan itu adil. Tidak masalah jika pendukung gerakan sosial ada yang berasal dari kondisi berbeda dengan para militan lainnya. Kami menganggap wajar jika ada karyawan yang mendukung perjuangan para pengangguran, atau jika orang-orang yang memiliki tempat tinggal mendukung perjuangan para tunawisma, dan seterusnya. Bahkan orang-orang yang berasal dari kelas menengah, jika mereka beretika, mereka dapat dan bahkan harus mendekatkan diri pada bagian-bagian rakyat yang paling dieksploitasi dan menawarkan dukungannya. Solidaritas ini sebaiknya selalu diterima dengan baik karena ia penting bagi gerakan sosial. Seperti yang dikatakan Kropotkin, mendorong orang-orang dari kelas menengah agar berjuang bersama rakyat adalah sebuah tugas etis. Dia berkata:

[...] Kalian semua yang memiliki pengetahuan dan bakat, jika kalian memiliki hati, datanglah, kalian dan kawan-kawan kalian, gunakan pengetahuan dan bakat kalian untuk melayani mereka yang paling membutuhkan. Dan ketahuilah bahwa jika kalian datang, kalian datang bukan sebagai tuan, tetapi sebagai kawan dalam perjuangan. Bukan untuk memerintah, tetapi untuk menginspirasi diri kalian di tengah-tengah situasi baru. Lebih banyak memahami—ketimbang mengajari—suara massa, meraba dan merumuskannya, dan kemudian bekerja, tanpa lelah, terus menerus, [...] untuk membuatnya hidup. Ketahuilah bahwa setelah (melakukan itu semua), dan hanya setelahnya, kalian sudah menghidupi kehidupan yang bermakna.[103]

Proses seleksi pendukung gerakan sosial ini akan tergantung pada orang-orang yang memang berniat beraksi dalam situasi tersebut. Baik pendukung maupun militan yang merupakan anggota organisasi harus menunjukkan bahwa mereka lebih bersedia mendengarkan ketimbang berbicara. Mereka harus menyadari situasi dan keadaan orang-orang yang membentuk gerakan sosial itu, berjuang bahu-membahu serta bertumbuh bersama mereka—dan tidak membatasi cara dan bentuk gerakan tersebut dengan cara-cara otoritarian dan vertikal. Dalam hal ini, pendukung atau militan akan memahami bahwa yang paling relevan untuk dilakukan adalah membandingkan ideologi mereka dengan kenyataan kelompok tersebut dan tidak berusaha mengecilkan gerakan sosial ke dalam kepastian-kepastian ideologis mereka.

Selain itu, ketika kita berbicara tentang otonomi, kita harus mengingat bahwa bagi kita otonomi bukan berarti tidak adanya perjuangan ideologis atau bahkan ketiadaan organisasi. Ketika Anda menganjurkan "non-ideologi", atau hanya spontanitas—ketika Anda melepaskan proyek dan program revolusioner—dan menyebutnya sebagai otonomi—berarti Anda sedang membuka ruang dan kemudian menyerahkan medan terbuka ini bagi kelas penguasa, kaum birokrat, dan kaum otoritarian untuk mereka mengisi ruang-ruang ini.

Corak penting lainnya dari gerakan sosial adalah daya tempurnya. Ketika menyerukan bahwa gerakan sosial perlu berdaya juang berarti kita sedang mengatakan bahwa gerakan sosial harus membangun semangat penaklukannya dengan cara mengerahkan kekuatan sosialnya, dan tidak bergantung pada bantuan atau niat baik sektor masyarakat mana pun, termasuk negara. Daya tempur juga ditandai dengan sikap mempertahankan perjuangan kelas agar tetap berada di luar kendali negara. Ketika kita memahami negara sebagai pilar pendukung kuat bagi kapitalisme, kita tidak percaya bahwa gerakan sosial dapat melaksanakan politik mereka di dalam negara tanpa kemudian menggunakan cara-cara yang akan membenarkan kapitalisme. Pendekatan yang dilakukan negara terhadap gerakan sosial selalu merupakan cara untuk memanfaatkannya, membuat "perjanjian sosial" tertentu yang bertujuan untuk meredam semangat perjuangan kelas, dengan tujuan untuk memastikan keabsahan sistem. Terlepas dari apakah gerakan sosial itu kurang atau terlalu agresif, kenyataannya adalah bahwa gerakan-gerakan tersebut tetap harus selalu sengit dan siap menghadapi kapitalisme atau negara itu sendiri.

Kami juga mendukung aksi langsung sebagai sebentuk aksi politik yang berlawanan dengan demokrasi perwakilan. Gerakan sosial sebaiknya tidak mempercayai politisi yang bekerja di dalam negara dan mengaku-ngaku mewakili kepentingan rakyat. Kita telah mengetahui bahwa sistem demokrasi perwakilan akan mengubah semua orang yang memasukinya, bahkan orang-orang dengan niat baik sekalipun—sistem ini tidak mengizinkan politisi terpilih untuk bertindak bagi kepentingan kelas yang dieksploitasi. Bahkan politisi "kiri" acapkali mengira sarana adalah tujuan, dan mereka sendiri kebingungan soal gerakan sosial sehingga tidak menganggap gerakan sosial sebagai sarana paling tepat untuk pembebasan. Aksi langsung terjadi ketika gerakan sosial itu sendiri

terus menerus bergerak menghadapi keadaan saat ini, tanpa mengharapkan apa pun dari pihak/kekuasaan/kekuatan lain di luar diri mereka sendiri, dan justru [...] menciptakan kondisi perjuangannya sendiri dan mengerahkan dirinya sendiri untuk menjadi sarana aksi. [...] Oleh karena itu, aksi langsung adalah perwujudan yang jelas dan murni dari semangat pemberontakan: ia menjadikan perjuangan kelas yang nyata, melampaui bidang teori dan abstraksi menuju ke bidang praktik dan perwujudannya. Hasilnya, aksi langsung adalah perjuangan kelas yang dijalani setiap hari, ia adalah serangan tanpa henti terhadap kapitalisme.[104]

Dengan cara ini gerakan sosial tidak mempercayakan aksi mereka kepada para politisi, dan berupaya bergerak sesuai kehendak mereka sendiri, mempraktikkan motto IWA bahwa “pembebasan pekerja adalah tugas para pekerja itu sendiri”. Perjuangan untuk pembebasan ini harus dilakukan secara strategis, dan aksi langsung mesti dirancang menjadi kurang-lebih agresif, tergantung tuntutan keadaan. Ketika kekerasan diperlukan, ia harus selalu dipahami sebagai sebuah tanggapan pertahanan diri dari sistem dominasi dan eksploitasi tempat kita hidup saat ini.

Aksi langsung adalah cara gerakan sosial berpolitik, sebab

dalam arti yang kami pahami, politik tidak berarti menjadi anggota partai, melainkan pengelolaan segala hal yang bersifat publik, untuk semua orang. Politik yang dilaksanakan oleh rakyat, dan diorganisir dengan benar, akan dapat secara ampuh membuahkan keputusan mengenai segala sesuatu yang menjadi persoalan mereka. Politik yang kita dukung adalah yang saat ini dikenal sebagai perjuangan kelas pekerja, terorganisir dari bawah ke atas, dalam melawan eksploitasi dan penindasan yang menjadikan kita sebagai korbannya. Dalam pengerahan sosial ini, kita melihat sejumlah harapan untuk perubahan politik yang serius di masyarakat.[105]

Maka gerakan sosial tidak berjuang untuk mendapatkan kekuasaan negara atau berkuasa dalam struktur kelembagaannya. Gerakan sosial selalu terorganisir di luar negara, dan menganjurkan kembalinya kekuasaan politik ke tangan rakyat. Dengan demikian, kami percaya bahwa masalahnya bukan siapa yang menguasai negara, melainkan negara itu sendiri.

Dan hanya dengan cara ini kami dapat memahami konsep kekuasaan rakyat yang dianjurkan oleh kelompok-kelompok dan organisasi lain. Jika yang dimaksud dengan kekuasaan rakyat adalah kekuatan sosial yang bertumbuh dari pengorganisasian kelas tertindas, tertanam dalam perselisihan yang sedang berlangsung melawan kapitalisme dan negara—maka kami sependapat. Namun, ada juga orang-orang yang menganggap kekuasaan rakyat sebagai pendukung kepeloporan partai-partai otoritarian, yang terlepas dari basis, bersifat hierarkis, dan membutuhkan negara serta berbagai jenis birokrasi lainnya. Ketika kekuasaan rakyat menampilkan jenis yang kedua ini, maka kami sepenuhnya tidak sependapat.

Selain aksi langsung sebagai cara berpolitiknya, jika gerakan sosial–sesuai yang kami pahami—mengusulkan dirinya sebagai agen perubahan sosial yang menonjol, maka ia juga harus menggunakan demokrasi langsung sebagai metode pengambilan keputusannya. Demokrasi langsung terjadi dalam gerakan sosial ketika semua orang yang terlibat di dalamnya dapat secara ampuh mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Dengan menggunakan metode ini, keputusan dibuat dengan cara setara (semua orang memiliki hak bersuara dan hak pilih yang sama) dalam majelis-majelis horizontal, di mana berbagai masalah dibahas dan dirembuk. Tidak ada orang atau kelompok lain yang membahas atau mendiskusikan masalah di luar majelis-majelis ini, dan tidak ada hierarki atau bos yang memerintah, sementara yang lain cuma mematuhinya.

Demokrasi langsung yang dilaksanakan seperti ini kurang lebih mirip dengan cara berfungsinya sosialisme libertarian sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Dengan kata lain, gerakan sosial secara internal terkoordinasi dengan asas-asas manajemen diri (swakelola) dan jika diperlukan bisa saling terhubung satu sama lain melalui asas federalisme. Penting untuk dicatat bahwa, dengan bertindak menggunakan cara ini, kita sedang menegaskan posisi yang kita pegang dan tujuan yang ingin kita capai, mengukuhkan sebuah nasihat yang berkata bahwa "tujuannya terletak di caranya". Bahkan pemimpin dan fungsi jabatan mesti bersifat sementara, harus digilir dan dapat dicopot saat diperlukan.

Dalam bentuk gerakan sosial ini, ada kebutuhan bagi militan untuk berperilaku dengan etika dan tanggung jawab. Etika, perilaku militan yang tepat, dilandaskan pada asas-asas yang bertentangan dengan kapitalisme dan negara, yaitu perilaku yang mendukung kerja sama, solidaritas, dan saling membantu. Ia juga memandu perilaku militan untuk beroperasi tanpa membahayakan orang lain, mendorong berbagai bentuk dukungan timbal balik, dan tidak mengizinkan sikap-sikap yang bertujuan untuk memecah atau berkelahi dengan tidak adil. Tanggung jawab, sebuah asas yang melawan nilai-nilai kapitalisme, mendorong militan gerakan sosial untuk berprakarsa, memikul tanggung jawab dan melaksanakannya—mencegah segelintir orang melakukan terlalu banyak tugas—memastikan mereka memiliki sikap yang sesuai dengan semangat bertarung dan bahwa mereka turut serta dengan cara terbaik untuk gerakan sosial.

Solidaritas dan gotong royong juga merupakan asas-asas yang harus didorong dalam gerakan sosial. Bertentangan dengan individualisme kapitalisme, persatuan kelas-kelas yang dieksploitasi perlu didorong untuk melawan kapitalisme dan negara. Orang-orang sedang membangun solidaritas kelas pada saat mereka meninggalkan kesendiriannya dan berusaha berhimpun, bergabung bersama orang-orang lainnya yang juga ingin membangun dunia yang lebih adil dan setara. Hal ini terjadi melalui asosiasi satu orang dengan yang lainnya untuk kemudian membentuk gerakan sosial, atau bahkan dari satu gerakan sosial ke gerakan lainnya dalam upaya membangun organisasi rakyat untuk mengatasi kapitalisme dan negara. Dalam hal ini batasan-batasan negara sebaiknya tidak kita pedulikan, sebab gerakan sosial harus menunjukkan solidaritas yang dilandaskan di atas kepentingan kelas, bukan kepentingan nasional. Ketika mereka dipandu oleh kepentingan kelas, gerakan sosial bersifat internasionalis.

Gerakan sosial juga merupakan ruang yang pas untuk pengembangan budaya dan pendidikan rakyat. Budaya, sebagai cara hidup dan berperilaku kelas-kelas yang dieksploitasi, akan memberi bentuk fisik pada pendidikan rakyat. Semua yang terlibat dalam pengerahan akan mengembangkan pembelajarannya, dan bentuk-bentuk baru, perwujudan, bahasa, dan pengalaman, akan menggambarkan semangat perjuangan. Karena tidak ada pengetahuan yang sempurna, pendidikan ini akan terjadi dengan proses pertukaran pengetahuan antar militan, di mana tidak ada guru dan murid, sebab semua orang adalah guru dan murid. Semua orang belajar dan semua orang mengajar. Dengan cara ini, ada pembangunan pendidikan yang menghormati budaya masyarakat dan memberdayakan militan melalui dialog, debat, dan pertukaran pengalaman. Dalam proses ini, kita bisa membandingkan nilai-nilai kapitalisme yang disebarkan setiap hari oleh media, sekolah, dan sarana-sarana penciptaan lainnya.

Selain itu, pengalaman-pengalaman perjuangan ini juga menyediakan "ruang olahraga revolusioner". Setiap pengalaman perjuangan akan memberikan kita pencapaian-pencapaian jangka pendek sekaligus juga membantu proses pendidikan—memberi ruang untuk mendapatkan pengalaman praktik, mencari kebebasan melalui berlatih untuk bebas.

Bagi gerakan sosial, pencapaian keuntungan jangka pendek—yang disebut reformasi—akan berfungsi untuk mengurangi penderitaan orang-orang yang berjuang, dan pada saat yang sama juga memberi pelajaran tentang organisasi dan perjuangan. Oleh karena itu, kami memahami bahwa “kita akan mengambil dan memenangkan setiap reformasi yang mungkin kita raih, dengan semangat pasukan yang terus maju pada jalurnya dengan cara merebut wilayah-wilayah yang diduduki musuhnya”[106]. Dan kami percaya bahwa dalam memperjuangkan reformasi, gerakan sosial tidak harus menjadi reformis—yakni orang-orang yang meyakini reformasi sebagai tujuan akhir. Bahkan, perjuangan-perjuangan untuk reformasi juga dapat melestarikan praktik revolusioner dan melawan reformisme. “Kita bukannya menolak reformisme karena perbaikan kondisi parsial tidak menarik bagi kita, tetapi karena kita percaya bahwa reformisme tidak hanya menjadi hambatan bagi revolusi, ia juga menjadi hambatan bahkan bagi reformasi”.[107]

Pernyataan ini menyisakan ruang bagi sifat kunci lain yang menurut kami begitu mendasar dalam gerakan sosial, yaitu: sudut pandang revolusioner jangka panjang. Dalam hal ini, gagasannya adalah bahwa: walaupun setiap gerakan sosial memiliki tuntutan khususnya masing-masing (tanah, rumah, pekerjaan, dll.), mereka dapat pula memiliki revolusi dan pembangunan masyarakat baru sebagai tujuannya. Kami memahami perjuangan jangka pendek dan jangka menengah sebagai pelengkap perspektif jangka panjang ini, menjadi tidak terpisahkan satu sama lain. Dengan sudut pandang berjangka panjang, gerakan sosial memiliki kemampuan penaklukan yang lebih besar, mengingat semakin jauh tujuan, semakin besar penaklukan—dan penaklukan di awal tidak lantas menjadi akhir perjuangan. Banyak gerakan sosial tidak memiliki sudut pandang jangka panjang, dan ketika permintaan mereka terpenuhi (rakyat tanpa tanah akhirnya mendapatkan tanah, para tunawisma mendapatkan rumah, pengangguran mendapatkan pekerjaan, dll.), mereka pikir inilah akhir dari segalanya. Bagi kami, ini hanyalah langkah awal, yang bahkan ketika tercapai, seharusnya merangsang perjuangan lain dan pengerahan lain seputar masalah lain yang juga mempengaruhi masyarakat kita. Sudut pandang inilah yang bisa membuat kita tetap kritis dalam memandang gerakan sosial dalam kaitannya dengan kapitalisme dan negara, membuat kita waspada terhadap upaya kompromi dengan kelas penguasa atau dimanfaatkan oleh kapitalisme dan negara. Sudut pandang jangka panjang ini juga dapat mendorong solidaritas dan semangat saling membantu, karena kelas-kelas yang dieksploitasi tidak lagi menganggap dirinya terpisah-pisah, melainkan sebagai bagian dari sebuah perjuangan utuh dalam membangun masyarakat baru. Dengan demikian, gerakan sosial mempertahankan sudut pandang jangka panjang yang revolusioner

dalam artian bahwa ia ingin mengganti sebuah masyarakat yang didirikan di atas ketidaksetaraan—di mana sekelompok besar manusia dieksploitasi oleh segelintir penindas, dibangun di atas hak istimewa, di atas kemalasan, di atas otoritas tunggal yang menguasai berbagai hal indah—dengan sebuah masyarakat yang dibangun di atas keadilan yang setara dan kebebasan untuk semua. [...] Singkatnya, ia menginginkan sebuah pengorganisasian ekonomi, politik, dan sosial, di mana setiap manusia, tanpa mengurangi keunikan alamiah dan individual mereka, bisa mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengembangkan diri, mendidik diri, berpikir, bekerja, bertindak, dan menikmati hidup sebagai manusia.[108]

Poin penting lain yang harus disebutkan adalah kenyataan bahwa gerakan sosial sering kali merupakan hasil dari aksi dan pengerahan spontan kelas-kelas tertindas. Bagi kami, hal ini alamiah, dan kami paham bahwa kami harus membiasakan diri hidup dengannya. Dalam situasi ekstrim, sektor-sektor penduduk akan memberontak atau mengerahkan diri dengan alasan yang berbeda-beda: untuk menolak ketidakadilan, menanggapi serangan sistem yang berkuasa, menuntut sesuatu untuk dimakan, menuntut tempat tinggal dll. Jika di satu sisi kami menganjurkan organisasi, kami percaya bahwa di sisi lain kami pun harus selalu mendukung momen-momen mobilisasi rakyat yang mendadak muncul ini. Tujuan organisasi harus diupayakan di tengah-tengah perjuangan. Oleh karena itu kita tidak boleh mempertanyakan spontanitas ketika ia terjadi, kita justru terlibat dalam perjuangan itu dan mencoba menjadi penyalur bagi kekuatan-kekuatan tersebut agar mereka mampu mencapai tingkat organisasi yang diperlukan. Pertemuan gejolak pergerakan sosial ini, yang secara alamiah mengandung tingkat spontanitas tinggi dengan berbagai keadaan sosial yang berbeda (represi, undang-undang, perubahan kekuatan politik di tempat kerja, dll), secara alamiah akan menyebabkan gerakan sosial memiliki gelombang pasang dan surut. Akan ada waktu di mana keadaan menyediakan kenyataan perjuangan yang lebih radikal dan ajek. Sementara di waktu lain, akan ada keadaan di mana artikulasi menjadi sulit, semangat patah, ketakutan, dan lainnya. Begitulah adanya, wajar jika ada keadaan pasang dan surut.

Pada waktu-waktu tertentu, yang biasanya mendahului peristiwa sejarah besar atau pencapaian besar umat manusia, segala sesuatu tampaknya maju dengan kecepatan pesat, semua hal menghembuskan kekuatan: pikiran, hati, kehendak, semuanya serentak, segala sesuatu tampak bergerak menuju penaklukan cakrawala baru. Jadi ia terbangun di seluruh masyarakat, seperti arus listrik yang menyatukan individu-individu yang sangat berjauhan ke dalam sebuah sentimen yang sama, dan menyatukan berbagai pikiran yang sangat berbeda ke dalam sebuah pemikiran bersama, dan menanamkan kehendak yang sama pada semua orang. [...] Tapi ada pula saat-saat suram, putus asa, dan kegagalan, di mana segala sesuatu menghembuskan kemerosotan, kelesuan, dan kematian, yang menunjukkan kemunduran hati nurani dalam lingkup pribadi dan publik. Inilah masa surut yang mengikuti malapetaka besar dalam sejarah.[109]

Menurut kami, tugas kami adalah untuk menilai ulang keadaan sebagaimana mestinya dan bertindak dengan cara yang tepat. Ketika keadaan menunjukkan keadaan pasang, kita mesti menyerang, bertindak dengan kekuatan penuh, dan memperlengkapi semua organisasi yang diperlukan. Ketika keadaan menunjukkan keadaan surut, kita harus mengerti bagaimana cara berdamai dengan masalah, “menjaga api tetap menyala”, dan menunggu waktu yang tepat untuk pengerahan kekuatan berikutnya.

Akhirnya, kami berpandangan bahwa kita harus menghancurkan keterasingan tiap pribadi, menciptakan dan mendorong perkembangan gerakan sosial dengan sifat yang telah dijelaskan. Inilah langkah awal dalam strategi permanen kita. Setelahnya, dalam langkah kedua, kita perlu bergabung ke dalam berbagai gerakan sosial untuk pembentukan apa yang kita sebut sebagai organisasi rakyat, yang akan menjadi tumpuan gerakan sosial dalam perjuangan terus menerus melawan kapitalisme dan negara.

Kita berusaha secara konsisten untuk meradikalisasi dan membangun kekuatan sosial organisasi rakyat sebab kita paham bahwa hal-hal tersebut yang memungkinkan kita untuk mencapai revolusi sosial, dan dengan demikian, membangun sosialisme libertarian. Dalam proses perubahan sosial ini, kami percaya bahwa kelas-kelas yang dieksploitasi memiliki peran yang sangat diperlukan. “Tanpa bantuan kekuatan massa ini, kemenangan revolusi tidak akan mungkin terjadi”.[110]

Organisasi Anarkis Spesifik

“Jika (kaum revolusioner) tidak memiliki gagasan yang memandu tindakan mereka, mereka serupa kapal tanpa kompas.”

Ricardo Flores Magon

“Sebuah organisasi anarkis, menurut pendapat saya, harus didasarkan pada kemandirian penuh, kemerdekaan penuh, dan, oleh karena itu, pada tanggung jawab penuh setiap pribadi dan kelompok; pada kesepakatan bebas antar mereka yang percaya bahwa dirinya perlu bersatu satu sama lain, demi bekerja sama untuk tujuan bersama; pada kewajiban moral untuk menjaga tekad yang telah diterima, dan tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan program yang telah diterima.”

Errico Malatesta

A. Organisasi Anarkis

Dalam naskah ini, kami telah sesekali membahas tentang organisasi khusus anarkis dan harapan-harapan kami terhadapnya. Seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya, tujuan organisasi khusus anarkis adalah “untuk membangun organisasi rakyat dan memberikan pengaruh di dalamnya, memberinya sifat-sifat yang diinginkan, dan untuk mencapai sosialisme libertarian melalui revolusi sosial”. Selanjutnya, kami memahami kegiatan ini sebagai kegiatan tingkat politik.

Organisasi khusus anarkis adalah pengelompokan tiap pribadi anarkis untuk bekerja sama demi meraih tujuan-tujuan yang dipahami dengan jelas. Pengelompokkan ini adalah kehendak mereka sendiri dan dilandaskan pada kesepakatan yang bebas antar mereka. Beragam bentuk dan cara digunakan agar tujuan-tujuannya dapat tercapai, atau setidaknya bergerak menuju tujuan tersebut. Dengan demikian, organisasi anarkis adalah “[...] sekumpulan individu yang memiliki tujuan bersama dan berusaha keras untuk mencapainya. Secara alamiah mereka saling memahami, menggabungkan kekuatan, berbagi tugas, dan mengambil segala tindakan yang sesuai untuk tugas ini”[111]. Melalui organisasi anarkis, kaum anarkis mengartikulasikan dirinya di tingkat politik dan ideologis demi menerapkan politik revolusioner ke dalam praktik dan merancang cara kerja mereka—yang mengarah pada tujuan akhir: revolusi sosial dan sosialisme libertarian. Praktik politik yang mendekatkan pada tujuan akhir ini harus

menciptakan organisasi yang dapat memenuhi tugas-tugas anarkisme, tidak hanya waktu mempersiapkan revolusi sosial, tetapi juga setelahnya. Organisasi semacam ini harus menyatukan semua kekuatan revolusioner anarkisme dan dengan segera mempersiapkan massa untuk revolusi sosial dan untuk berjuang mewujudkan masyarakat anarkis.[112]

Organisasi ini dibangun di atas kesepakatan antar saudara seperjuangan, baik untuk fungsi jabatan-jabatan di dalamnya maupun untuk aksi keluar—tanpa melakukan hubungan dominasi, eksploitasi, atau mengasingkan diri atau orang lain—dan mendirikan organisasi yang libertarian. Fungsi organisasi khusus anarkis adalah untuk mengkoordinasikan dan secara ajek meningkatkan serta menggabungkan kekuatan sosial dari kegiatan-kegiatan militan anarkis, menjadi alat untuk perjuangan yang kokoh dan konsisten, yang merupakan sarana mendasar dalam mengejar tujuan akhir. Karena itu,

[...] kita perlu bersatu dan berorganisasi: pertama untuk bertukar pendapat, kemudian untuk mengumpulkan sarana untuk revolusi, dan akhirnya, untuk membentuk sebuah keseluruhan yang organik, yang bersenjatakan sarana-sarana itu dan diperkuat oleh persatuan. Kelak ketika momen bersejarah muncul, kita dapat menyapu bersih semua penyimpangan dan tirani dunia [...]. Organisasi adalah cara untuk membedakan diri Anda, dengan program gagasan terperinci dan metode-metode yang ditentukan, semacam panji-panji pemersatu untuk memulai pertempuran. Organisasi adalah cara untuk mengetahui siapa saja yang dapat Anda andalkan dan menyadari kekuatan yang dimiliki seseorang.[113]

Untuk membentuk alat pertempuran yang kokoh dan mantap ini, penting bahwa organisasi anarkis memiliki garis strategis-taktis dan garis politik yang telah ditentukan dengan baik sebelumnya. Ini terjadi melalui kesatuan teoretis dan ideologis, dan kesatuan strategi dan taktik. Organisasi dengan haluan yang dapat dipahami dengan baik ini menyatukan kaum anarkis di tingkat politis dan ideologis, serta mengembangkan praktik politik mereka di tingkat sosial. Organisasi di tingkat politik terdiri dari minoritas yang aktif, sementara di tingkat sosial jumlah pesertanya selalu jauh lebih besar dibandingkan tingkat politik. Praktik politik ini akan terlihat ketika organisasi anarkis yang berisi minoritas aktif melakukan kerja sosial di tengah-tengah perjuangan kelas—melakukan peleburan sosial—yang dapat terlihat ketika organisasi anarkis berhasil mempengaruhi gerakan sosial tempatnya terlibat. Jika sebagai minoritas aktif mereka terorganisir dengan baik, para anarkis akan membentuk kekuatan sosial yang jauh lebih besar dengan kerja sosialnya dan berpeluang lebih besar untuk melakukan peleburan sosial. Selain kerja sosial dan peleburan sosial, organisasi khusus anarkis juga melakukan kegiatan-kegiatan lain: produksi dan reproduksi teori, propaganda anarkis, pendidikan politik, pemahaman dan penerapan strategi, hubungan politik dan sosial, dan pengelolaan sumber daya. Jadi dapat kita katakan bahwa kegiatan organisasi khusus anarkis adalah:

  1. Kerja Sosial dan Peleburan Sosial

  2. Produksi dan reproduksi Teori

  3. Propaganda Anarkis

  4. Pendidikan Politik

  5. Pemahaman dan Penerapan Strategi

  6. Hubungan-hubungan Politik dan Sosial

  7. Pengelolaan Sumber Daya

Kegiatan-kegiatan ini dapat dilaksanakan secara terbuka atau tertutup, selalu dengan mempertimbangkan keadaan sosial tempat organisasi ini beroperasi. Kita bisa berkegiatan secara terbuka atau tertutup karena kami percaya bahwa “sesuatu harus terbuka ketika semua bersepakat bahwa banyak orang harus mengetahuinya, dan dirahasiakan jika semua bersepakat bahwa ia harus disembunyikan”[114]. Di masa-masa dengan sedikit represi, organisasi anarkis dapat bekerja secara terbuka dan melakukan propaganda seluas mungkin serta mencoba menarik sebanyak mungkin orang. Pada masa-masa ketika represi meningkat, “misalnya ketika pemerintah melarang kita berbicara, mencetak media, berkumpul, berserikat, dan ketika kita tidak memiliki kekuatan untuk memberontak secara terbuka, kita akan mencoba berbicara, mencetak media, berkumpul, dan berserikat secara sembunyi-sembunyi”[115].

Dalam kerja-kerja yang beragam sesuai dengan keadaan sosialnya masing-masing, organisasi khusus anarkis harus selalu membela kepentingan kelas yang dieksploitasi, sebab organisasi ini adalah ungkapan politik dari kepentingan ini. Bagi kami, gagasan-gagasan anarkisme

[...] tidak ada artinya jika ia bukan ungkapan alamiah rakyat yang paling tulen dan sesuai kenyataan. Jika anarkisme tidak sesuai dengan naluri ini, maka ia keliru, dan selama ia keliru, ia akan ditolak oleh rakyat. Tetapi jika gagasan-gagasan ini adalah ungkapan naluri yang jujur, jika ia benar-benar mewakili pemikiran rakyat, ia akan dengan cepat merasuki semangat orang-orang yang melawan, dan selama gagasan-gagasan ini bertemu dengan semangat rakyat, ia akan dengan cepat terwujudkan.[116]

Organisasi khusus anarkis dipahami sebagai ungkapan politik dari kepentingan kelas yang dieksploitasi, sehingga ia tidak bertindak atas nama mereka dan tidak menempatkan diri di atas mereka. Organisasi khusus anarkis tidak menggantikan organisasi sosial dari kelas-kelas yang dieksploitasi, melainkan memberikan kesempatan bagi kaum anarkis untuk menempatkan diri mereka dalam perjuangan kelas.

Dalam praktik politik yang melayani perjuangan kelas tertindas, organisasi anarkis dipandu oleh Statuta Prinsip. Asas-asasnya adalah pegangan dan gagasan etis yang tidak dapat ditawar. Asas-asas ini memandu semua praktik politik dan memberikan contoh untuk aksi anarkis. “Konsistensi terhadap asas-asas inilah yang menentukan ketulenan ideologis terkait anarkisme”.[117] Dalam kasus kami, Statuta Prinsip 2003[118] mendefinisikan sembilan pijakan: kebebasan, etika dan nilai, federalisme, swakelola, internasionalisme, aksi langsung, perjuangan kelas, praktik politik dan peleburan sosial, dan gotong royong.

Pertama-tama kami menegaskan asas kebebasan, menegaskan bahwa “perjuangan untuk kebebasan mendahului anarki”. Seperti pemikiran Bakunin, kami berpendapat bahwa “kebebasan individu [...] hanya dapat menemukan ekspresi tertingginya dalam kebebasan kolektif”, dan oleh karena itu kami menolak usulan-usulan anarkisme individualis. Demikianlah sosialisme libertarian diperjuangkan tanpa henti demi kebebasan. Asas lain yang sangat penting bagi kami adalah etika dan nilai, yang membuat semua praktik kami didasarkan pada etika anarkis yang merupakan “tekad militan yang tidak dapat ditawar”. Melalui etika, kami menganjurkan kesesuaian antara cara dengan tujuan, dan saling menghormati.

Kami menegaskan federalisme dan swakelola sebagai asas organisasi non-hierarkis dan desentralis, ditopang oleh hubungan saling membantu dan asosiasi bebas, sesuai pernyataan IWA bahwa setiap orang memiliki hak dan kewajiban. Selanjutnya, asas-asas inilah yang akan memandu pengelolaan masyarakat masa depan di semua bidang: pengelolaan ekonomi, politik, dan sosial, yang dilakukan oleh para pekerja itu sendiri. Menekankan perjuangan untuk swakelola berarti menegaskan bahwa “walaupun kita hidup berdampingan dengan sistem yang sudah ketinggalan zaman ini, [swakelola] dapat meningkatkan peluang perubahan yang mengarahkan kita pada masyarakat yang setara”.

Asas internasionalisme menyoroti sifat internasional dari perjuangan dan kebutuhan untuk bekerja sama yang didasarkan pada kesamaan kelas dan bukannya kesamaan negara. Kaum yang dieksploitasi di suatu negara harus melihat kelompok yang dieksploitasi di negara lain sebagai kawannya, dan bukan musuh. Internasionalisme berlawanan dengan nasionalisme dan pemujaan negara, sebab keduanya mewakili rasa superioritas atas negara dan masyarakat lain. Ia memperkuat etnosentrisme dan prasangka—langkah awal menuju xenofobia. Semua orang, apa pun kebangsaannya, harus setara dan bebas.

Aksi langsung dipilih sebagai asas, yang dibangun di atas horizontalisme dan yang mendorong kaum pekerja sebagai tokoh utama perjuangan, menentang demokrasi perwakilan yang mengasingkan rakyat secara politik. Aksi langsung membuat rakyat mengendalikan keputusan dan tindakan mereka sendiri, “menghubungkan kaum pekerja dan kaum tertindas ke tengah-tengah aksi politik”.

Selain itu, kami memilih untuk mendasarkan diri pada perjuangan kelas. Kami memahami diri sebagai organisasi pekerja yang membela orang-orang yang dieksploitasi, berjuang untuk penghapusan masyarakat kelas dan penciptaan masyarakat baru di mana tidak ada lagi tuan dan budak. Oleh karena itu, kami mengakui dan mendahulukan perjuangan kelas. Bagi kami, ada kebutuhan penting untuk melawan kejahatan kapitalisme secara langsung dan untuk itu kita mesti bertarung bersama orang-orang lain yang dieksploitasi, sehingga akibat dari keberadaan masyarakat yang berkelas-kelas ini bisa terlihat lebih jelas dan nyata.

Asas praktik politik dan peleburan sosial memperkuat gagasan bahwa hanya di tangan kelas tertindaslah anarkisme mampu berkembang. Oleh karena itu, organisasi anarkis harus berusaha terhubung dengan semua bentuk perjuangan rakyat, di mana pun ia terjadi. Kami menegaskan bahwa pertemuan organisasi anarkis dengan berbagai perwujudan perjuangan—“baik dalam bidang sosial, budaya, petani, serikat buruh, pelajar, komunitas masyarakat, lingkungan, dll, selama dimasukkan dalam kerangka perjuangan untuk kebebasan”—diperlukan untuk mengkonkretkan asas ini.

Asas terakhir dalam Statuta adalah gotong royong, yang mendorong solidaritas dalam perjuangan, mendorong pemeliharaan hubungan persaudaraan dengan semua orang yang benar-benar bekerja untuk dunia yang adil dan setara. Asas ini mendorong solidaritas yang efektif antar kaum yang dieksploitasi.

Pada saat melaksanakan kerja sosial, organisasi khusus anarkis berusaha memberikan pengaruh yang membangun pada gerakan sosial dengan berbagai usulan. Pada saat bersamaan, organisasi anarkis menjauhkan gerakan sosial dari pengaruh buruk seseorang atau kelompok yang tidak membela kepentingan rakyat, yang tidak mendorong rakyat untuk menjadi pelaku utama bagi pembebasan mereka sendiri, yaitu pihak-pihak yang menggunakan rakyat untuk mencapai tujuan lain. Kita tahu bahwa politisi, partai, serikat buruh, dan individu serta organisasi otoritarian lainnya—seperti gereja, sindikat narkoba, dll—merupakan penghambat bagi pembangunan organisasi rakyat sebab mereka meresap ke dalam gerakan sosial. Dalam banyak kasus, mereka berusaha mengambil kesempatan dari banyaknya orang yang berkumpul di sana: berusaha mengumpulkan suara untuk pemilu, yang merupakan basis bagi proyek kekuasaan otoritarian, mengumpulkan uang, menaklukkan kepercayaan orang-orang yang terlibat, membuka pasar baru, dan sebagainya. Organisasi dan pribadi-pribadi otoritarian tidak ingin mendukung gerakan sosial. Mereka ingin menggunakan gerakan sosial untuk mencapai tujuan sendiri (organisasi atau individu otoritarian). Tujuan mereka tidak sesuai dengan tujuan para militan gerakan sosial—sebab kaum otoritarian berusaha membangun hubungan dominasi atas gerakan-gerakan sosial.

Setiap anarkis yang mengorganisir atau yang pernah melihat situasi dalam gerakan sosial, paham bahwa tanpa adanya organisasi yang mantap, yang mampu memberikan kekuatan kepada para anarkis dalam perebutan ruang politik yang tengah berlangsung ini, kaum otoritarian akan menghegemoni dan kerja para anarkis akan tenggelam. Tanpa membangun kekuatan sosial yang penting ini, kaum anarkis akan menghadapi dua kemungkinan: 1.) mereka akan diperalat untuk membantu kaum otoritarian sebagai kacung dalam melaksanakan proyek-proyek kekuasaan otoritarian, atau 2.) mereka akan disingkirkan.

Dalam kasus pertama, kami berbicara tentang para anarkis yang tidak terorganisir secara khusus, tapi terlibat dalam sebuah peristiwa perjuangan yang sedang terjadi. Saat tidak terorganisir, para anarkis ini tidak mampu memberikan pengaruh yang diperlukan sebab mereka tidak memiliki kekuatan sosial. Mereka akan diizinkan tetap berada di gerakan sosial semata-mata karena dianggap tidak mengganggu.

Dalam kasus kedua, kita berbicara tentang para anarkis yang tidak terorganisir, tapi mulai memberikan pengaruh tertentu, atau, dalam nalar otoritarian, mereka mulai mengganggu. Dalam kasus ini, mereka dapat dikeluarkan, disingkirkan, atau difitnah. Mereka secara harfiah akan “kalah saing” dengan para otoritarian. Tanpa organisasi, para anarkis tidak akan dapat mempertahankan dirinya dalam gerakan sosial, apalagi memberikan pengaruh untuk hasil yang diinginkan.

Tanpa organisasi anarkis yang layak, yang akan terbangun hanyalah organisasi otoritarian, atau organisasi yang kurang libertarian. Ketika kita membicarakan tentang persaingan terus-menerus mengenai ruang politik, kita tidak mengatakan bahwa kaum anarkis harus berjuang untuk merebut posisi kepemimpinan, pengawasan, atau posisi dengan hak istimewa lainnya dalam gerakan sosial. Sebaliknya, kita berbicara tentang perjuangan internal yang terjadi saat kita ingin mempengaruhi gerakan sosial agar menggunakan praktik-praktik libertarian.

Kami percaya bahwa tidak bakal pernah ada kekosongan politik, di mana pun itu. Oleh karena itu, ketika posisi kita unggul, sudah pasti berarti ada penurunan pengaruh pihak otoritarian, dan sebaliknya. Misalnya, saat beberapa anarkis berjuang agar gerakan sosial melakukan aksi langsung dan berdemokrasi secara langsung, kaum politisi dan partai tentu akan menentangnya. Jika tidak ada organisasi anarkis yang kuat dengan peleburan sosial dan kemampuan untuk memperjuangkan kedudukannya, posisi otoritarian akan berpeluang lebih besar untuk berkembang. Ketika kita terorganisir dengan baik sebagai anarkis, kita tidak akan ketinggalan ketika sebuah peristiwa terjadi. Posisi-posisi kita akan berhasil muncul dan mempengaruhi gerakan sosial, menjadi benar-benar melebur dengannya. Melalui organisasi khusus anarkis, kita bisa terorganisir dengan baik untuk kerja-kerja yang ingin kita laksanakan dalam berbagai gerakan sosial yang paling beragam.

Organisasi anarkis harus merupakan kelanjutan usaha dan propaganda kita. Ia harus menjadi penasihat libertarian yang menuntun kita dalam aksi tempur harian kita. Kita dapat mendasarkan diri pada programnya untuk menyebarkan aksi kita ke medan lain, ke semua organisasi yang memperjuangkan isu-isu tertentu—kita dapat masuk ke dalamnya dan melakukan kegiatan dan aksi kita. Misalnya, dalam serikat buruh, dalam gerakan masyarakat anti-militer, dalam kelompok-kelompok anti-agama dan anti-rohaniawan, dll. Organisasi khusus kita ini dapat menjadi sebuah ruang berhimpunnya para anarkis (namun bukan tersentralisir!). Ia menjadi ruang di mana kesepakatan terjadi, tempat untuk memahami, dan tempat bersolidaritas paling utuh yang mungkin terjadi antar kita. Semakin kita bersatu, maka semakin kecil resiko kita terjerumus dalam jurang ketidakjelasan. Semakin kecil kemungkinan kita berpaling dari dorongan berjuang dan bertempur saat kita dikelilingi orang-orang yang tidak sepakat dan mengikat tangan kita.[119]

Dengan demikian, selain bertanggung jawab atas praktik politiknya di berbagai gerakan, organisasi anarkis juga berfungsi untuk meningkatkan kekuatan sosial kaum anarkis di dalamnya. Di antara berbagai kekuatan yang hadir di ruang-ruang gerakan sosial, para anarkis harus menonjol dan berhasil mewujudkan pandangan-pandangan mereka.

Praktik politik di berbagai medan ini mengharuskan organisasi anarkis membagi dirinya menjadi front, yaitu pengelompokan di dalam organisasi untuk melaksanakan kerja sosial. Secara umum, organisasi yang bekerja dengan metode ini disarankan untuk mengembangkan tiga front utama: serikat pekerja, komunitas masyarakat, dan pelajar-mahasiswa. Namun, secara berbeda, kami percaya bahwa pembagian front ini tidak harus didasarkan pada ruang-ruang peleburan seperti yang telah ditentukan itu. Ia dapat pula didasarkan pada kerja praktis organisasi. Dalam pemahaman kami, kita tidak berkewajiban mengembangkan kerja sosial di tiga front tersebut karena mungkin ada ruang-ruang menarik lainnya yang membutuhkan front khusus.

Setiap organisasi harus mencari ruang yang paling menguntungkan untuk mengembangkan kerja sosialnya, dan kebutuhan praktis inilah yang membentuk front. Jadi, jika memang diperlukan kerja sosial di sektor mahasiswa, maka front mahasiswa dibentuk. Jika ada peluang di serikat pekerja, maka front serikat buruh dapat dibentuk. Namun, jika ada aktivitas lain yang tengah berkembang, contohnya, gerakan di pedesaan, atau gerakan masyarakat urban, dll, maka front sebaiknya mengikuti pembagian ini. Artinya, alih-alih hanya memiliki satu front komunitas masyarakat yang bekerja dengan gerakan sosial pedesaan dan perkotaan, kalian bisa menciptakan front gerakan pedesaan dan front lain untuk gerakan di perkotaan. Dalam pengertian ini, kami mendukung sebuah bentuk front yang dinamis, di mana pembagian internal organisasi khusus anarkis dilakukan dengan cara terbaik. Ini semua demi mewujudkan praktik kerja sosial.

Dalam bidang kerjanya masing-masing, front-front ini bertanggung jawab menciptakan dan mengembangkan gerakan sosial serta memastikan bahwa kaum anarkis menduduki ruang politik—yang adalah ruang sengketa permanen—dan memberikan pengaruh yang tepat dalam gerakan-gerakan ini.

Di dalam FARJ sendiri, kami menginisiasi pembagian front menjadi dua. Pertama, "front komunitas masyarakat", yang menggabungkan kerja pengelolaan Perpustakaan Sosial Fabio Luz (Biblioteca Social Fábio Luz—BSFL), Pusat Kebudayaan Sosial Rio de Janeiro (Centro de Cultura Social—CCS-RJ) dan kerja komunitasnya, Pusat Penelitian Marques da Costa (Núcleo de Pesquisa Marques da Costa—NPMC), dan Lingkar Studi Libertarian Ideal Peres (Círculo de Estudos Libertários Ideal Peres—CELIP).

Kedua, “front okupasi (pendudukan)”, yang terlibat dengan gerakan pendudukan masyarakat perkotaan, dan Front Internasionalis Tunawisma (Frente Internacionalista dos Sem-Teto—FIST). Karena perubahan situasi, kami meninggalkan FIST, dan melanjutkan gerakan okupasi. Kami terus mengumpulkan pihak-pihak yang melakukan pendudukan dan kaum pengangguran lainnya dalam Gerakan Pekerja Pengangguran (Movimento dos Trabalhadores Desempregados—MTD). Gerakan ini menjadi sangat penting bagi front ini. Dengan demikian, “front okupasi” berganti nama menjadi “front gerakan sosial urban”.

Demikian pula, karena kami menganggapnya perlu, kami membentuk front ketiga: "front agro-ekologi" (Anarkisme dan Alam) dari kerja praktis gerakan sosial pedesaan yang bergerak di bidang ekologi dan pertanian. Front ini baru saja mulai dikembangkan oleh organisasi. Dengan cara ini, kami berpegang bahwa front mesti disesuaikan dengan keadaan kerja yang praktis. Kami menggambarkan bagaimana praktik front ini dalam kerangka berikut.

a-f-anarchist-federation-of-rio-de-janeiro-anarkis-3.png

Organisasi anarkis spesifik (organisasi khusus anarkis) terbagi ke dalam front A, B, dan C, yang masing-masing frontnya bekerja di gerakan sosial atau sektor gerakan sosial yang telah disepakati. Dalam kasus ini, anggaplah organisasi bekerja dalam tiga gerakan sosial, maka ia membagi dirinya untuk bekerja di tiga bidang.

Front A bekerja dengan gerakan sosial A, atau dengan sektor tertentu dari gerakan sosial A. Front B bekerja dengan gerakan sosial B, dan begitu seterusnya. Contoh praktisnya: organisasi dapat dibagi menjadi front sindikalis (A), front komunitas masyarakat (B) dan front pelajar (C). Masing-masing front akan bertindak di setiap gerakan sosial. Front A berarti bertindak di serikat buruh, front B di masyarakat, dan C di gerakan pelajar dan mahasiswa.

Dalam kasus FARJ, organisasi kami hari ini dibagi menjadi tiga front: gerakan sosial urban (A), komunitas masyarakat (B), dan agro-ekologi (Anarkisme dan Alam) (C). Masing-masing front bekerja dalam satu atau lebih gerakan sosial. Front A dalam gerakan tunawisma dan dalam MTD, front B dalam gerakan masyarakat, dan front C dalam gerakan ekologi dan pertanian pedesaan.

Selain pembagian internal ke dalam front-front yang berfungsi untuk kerja sosial ini, organisasi khusus anarkis menggunakan, baik dalam fungsi internal maupun eksternalnya, nalar “lingkaran konsentris” (mandala)—yang merujuk pada bentuk organisasi Bakuninis. Alasan utama penerapan nalar ini adalah karena bagi kami, organisasi anarkis perlu mempertahankan keterlibatan dalam tingkat aktivitas yang berbeda-beda. Aksi yang berbeda-beda ini harus memperkuat kerja sosialnya. Pada saat bersamaan, beragam aksi dan tuntutan ini akan mengumpulkan para militan yang telah bersiap untuk komitmen tinggi, serta mendekatkan kita dengan orang-orang yang bersimpati pada teori atau praktik organisasi. Singkatnya, lingkaran konsentris berusaha menyelesaikan sebuah perpecahan mendasar: organisasi anarkis harus cukup tertutup untuk mewadahi para militan yang telah siap siaga, berkomitmen, dan memiliki keselarasan pandangan politis, tapi juga harus cukup terbuka untuk menarik para militan baru.

Sebagian besar masalah yang terjadi dalam organisasi anarkis disebabkan karena organisasi tersebut tidak berfungsi sesuai dengan nalar lingkaran konsentris dan tidak menerapkan dua jenis aksi (di tingkat politik dan tingkat sosial). Akibatnya, timbul banyak pertanyaan. Misalnya:

  1. Haruskah seseorang yang menyebut dirinya anarkis, dan tertarik pada kerja organisasi, dianggap sebagai anggota organisasi meskipun dia tidak paham garis politik organisasi secara mendalam?

  2. Haruskah orang awam yang tertarik pada gagasan-gagasan anarkis berada dalam organisasi?

  3. Bagaimana cara berhubungan dengan para “libertarian”—dalam artian kata yang paling luas—yang tidak menganggap dirinya anarkis? Haruskah mereka berada dalam organisasi?

  4. Bagaimana dengan anggota yang lebih tua, yang pernah melakukan kerja-kerja penting dan ingin tetap terhubung dengan organisasi, tapi tidak mau terlalu aktif dalam kegiatan tetap organisasi?

  5. Dan, bagaimana dengan mereka-mereka yang tidak memiliki banyak waktu untuk terlibat aktif?

Masalah lain terjadi karena ada kebingungan mengenai pelaksanaan kerja-kerja sosial.

  1. Haruskah organisasi menampilkan diri sebagai sebuah organisasi anarkis dalam gerakan sosial?

  2. Dalam kerja-kerja sosialnya, dapatkah organisasi membentuk aliansi dengan orang-orang, kelompok dan organisasi lain yang bukan anarkis?

  3. Dalam kasus tersebut di atas, apa poin-poin umum yang dapat didukung oleh organisasi?

  4. Bagaimana melakukan kerja sosial di lapangan dengan orang-orang yang berideologi berbeda sambil tetap mempertahankan identitas anarkis?

  5. Bagaimana cara memastikan para militan di organisasi anarkis tidak kehilangan identitasnya ketika berhubungan dengan gerakan sosial?

Pada titik ini, ada banyak persoalan.

Lingkaran konsentris dimaksudkan untuk memberi tempat yang jelas bagi setiap militan dan simpatisan organisasi. Selain itu, lingkaran-lingkaran ini dipakai untuk memudahkan dan memperkuat kerja sosial organisasi anarkis. Pada akhirnya, ia membangun jalur untuk menarik militan baru.

Dalam praktiknya, nalar lingkaran konsentris dibangun dengan cara berikut. Organisasi khusus anarkis hanya berisi para anarkis yang kurang lebih mampu menguraikan, menghasilkan, dan menerapkan garis politik organisasi baik di dalam organisasi maupun di luar, seperti di front-front atau di kegiatan publiknya. Selain itu, militan kurang lebih juga harus mampu membantu menguraikan garis strategis-taktis organisasi, serta memiliki kemampuan penuh untuk mereproduksi buah pikir tersebut dan menerapkannya. Militan memiliki peran di dalam organisasi—entah itu sebagai pelaksana, peserta musyawarah, atau peran tidak biasa—serta peran-peran eksternal yang berkaitan dengan kerja sosial. Fungsi yang dijalankan oleh militan dalam organisasi ini mematuhi asas swakelola dan federalisme, yaitu asas pengambilan keputusan secara horizontal yang mana semua militan memiliki hak suara dan hak pilih yang sama. Dalam kasus-kasus tertentu dapat pula digunakan sistem delegasi dengan mandat yang harus dipatuhi. Peran para delegasi harus dirumuskan dengan baik sehingga mereka “tidak bisa bertindak atas nama organisasi, kecuali semua anggota organisasi secara terang-terangan telah mengizinkannya; para delegasi harus melakukan hanya apa yang telah ditentukan oleh para anggota dan tidak boleh mendikte langkah organisasi ke depannya”[120]. Selain itu, “jabatan” delegasi ini harus digilir untuk memberdayakan semua anggota dan untuk menghindari adanya kedudukan atau peran yang permanen.

Organisasi anarkis bisa saja memiliki hanya satu lingkaran militan, di mana semua militan memiliki tingkat keterlibatan yang sama, atau memiliki lebih dari satu lingkaran. Ketentuan soal ini ditentukan secara kolektif. Misalnya, mungkin sudah waktunya seseorang masuk ke dalam organisasi atau seseorang telah mampu menguraikan garis politik atau garis taktis-strategis organisasi. Maka, para militan yang lebih baru atau mereka yang kemampuannya lebih sedikit dalam menguraikan garis politik organisasi bisa ditempatkan dalam lingkaran luar. Sementara para militan yang lebih berpengalaman, dengan kemampuan lebih besar dalam menguraikan garis politik organisasi, berada di lingkaran dalam. Tidak ada hierarki antar lingkaran-lingkaran ini, tapi gagasannya adalah bahwa semakin “dalam” seorang militan, maka mereka semakin mampu merumuskan, memahami, mereproduksi, dan menerapkan garis organisasi. Semakin “dalam” seorang militan, semakin besar pula tekad dan kerjanya. Semakin banyak seorang militan menawarkan pengabdiannya pada organisasi, semakin banyak pula organisasi akan menuntut tanggung jawabnya. Para militan sendirilah yang memilih sejauh mana ia hendak berbakti.

Pilihan para militan ini akan menentukan apakah mereka terlibat dalam proses musyawarah atau tidak. Dengan demikian, para militanlah yang memutuskan sejauh mana mereka ingin memikul tanggungan. Semakin besar pengabdian mereka, maka semakin banyak andil mereka dalam proses pengambilan keputusan. Begitu pula, semakin sedikit pengabdian mereka, maka semakin sedikit andil mereka dalam pengambilan keputusan.

Namun, hal ini tidak lantas membuat kedudukan mereka yang sepenuhnya mengabdi menjadi lebih penting daripada yang kurang mengabdi. Ini semua sekadar masalah keterlibatan dalam lingkup pengambilan keputusan yang berbeda-beda. Misalnya, mereka yang sepenuhnya berbakti dapat terlibat dengan hak suara dan hak pilih dalam kongres-kongres yang menentukan garis politik dan strategi organisasi. Sementara mereka yang berbakti separuh waktu tidak dapat terlibat dalam kongres, atau dapat terlibat tetapi hanya sebagai pengamat. Akan tetapi, mereka tetap dapat terlibat dalam rapat bulanan di mana penerapan taktis dan praktis ditentukan.

Dengan demikian, organisasi khusus anarkis bisa memiliki satu lingkaran konsentris atau lebih. Lingkaran ini berdasar pada ikrar yang ditentukan sendiri oleh para militannya. Jika lingkarannya lebih dari satu, maka hal ini harus diketahui dengan jelas oleh semuanya, dan ketentuan untuk dapat berpindah lingkaran haruslah tersedia bagi semua militan. Oleh karena itu, para militan dapat memilih sendiri di mana ia ingin berada sesuai kemauan dan kemampuannya.

Lingkar berikutnya yang berada lebih luar dan lebih jauh lagi dari lingkaran inti, yang bukan bagian dari organisasi anarkis tapi punya peran penting, adalah lingkar pendukung. Lingkar pendukung menjangkau dan menghimpun orang-orang yang memiliki kedekatan ideologis dengan organisasi anarkis. Para pendukung bertanggung jawab untuk membantu organisasi dalam pekerjaan praktis seperti penerbitan pamflet, majalah atau buku, penyebaran bahan propaganda, atau membantu dalam kerja produksi teori atau analisis kontekstual. Mereka juga membantu pengorganisiran kegiatan praktik dalam kerja-kerja sosial, contohnya dalam kegiatan masyarakat, membantu kerja pelatihan, kegiatan logistik, membantu pengorganisiran tempat kerja, dll. Kedekatan pendukung dengan organisasi anarkis dan kerja organisasi akan memberikan kesempatan pada para pendukung untuk membangun kontak dengan militan-militan lain, sehingga memungkinkan para pendukung memperdalam pengetahuannya tentang garis politik organisasi, mengenal kegiatan organisasi secara lebih baik, dan memperdalam visi anarkisme mereka, dll.

Oleh karena itu, para pendukung memiliki peran penting dalam membantu organisasi anarkis mempraktikkan kegiatannya. Lingkar pendukung dapat mewadahi orang-orang yang simpatik menjadi lebih dekat dengan organisasi. Tujuan jangka panjangnya adalah agar sejumlah pendukung dapat menjadi militan organisasi. Organisasi khusus anarkis berupaya menarik sebanyak mungkin pendukung. Melalui kerja-kerja praktiknya, mereka mengenali orang-orang yang tertarik bergabung ke dalam organisasi atau yang memiliki riwayat yang cocok untuk keanggotaan. Militan organisasi dapat menawarkan pada pendukung agar masuk ke organisasi, atau pendukung yang tertarik dapat mengajukan dirinya pada organisasi. Meskipun setiap militan dapat memilih sendiri kadar tekad dan posisinya dalam organisasi, tujuan organisasi anarkis adalah untuk memiliki sebanyak mungkin militan di lingkaran inti, dengan tingkat komitmen yang tinggi.

Berikut ini adalah contoh praktisnya:

Anggaplah organisasi telah sepakat untuk bekerja dalam dua tingkatan—atau lingkaran—berdasarkan ikrarnya. Ketika seorang militan baru masuk ke dalam organisasi, maka dia masuk ke lingkar “militan”. Selanjutnya, ketika dia telah berada di organisasi selama enam bulan dan telah menjadi militan yang siap mengabdi, maka ia akan masuk ke lingkar “militan penuh”.

Kemudian, anggaplah organisasi ini juga memutuskan untuk memiliki lingkaran “pendukung”. Tujuannya adalah untuk menarik sebanyak mungkin pendukung, dan, tergantung pada kedekatan masing-masing mereka dengan organisasi, menarik mereka ke tingkat “militan”. Kemudian, setelah enam bulan—setelah siap—menjadi “militan penuh”. Berikut ini adalah penggambaran bagaimana kerangka kerja ini berjalan dalam praktik.

a-f-anarchist-federation-of-rio-de-janeiro-anarkis-1.png

Tujuannya adalah arus yang ditunjukkan oleh panah: dari lingkar pendukung, bergabung ke dalam organisasi menjadi militan, lalu menjadi militan penuh. Mereka yang berminat dapat mengikuti arus ini, dan mereka yang tidak berminat dapat tetap tinggal di posisi yang mereka inginkan. Misalnya, jika seseorang, karena beragam alasan—sakit, lelah, tua, jenuh, sibuk—, hanya ingin memberikan dukungan sesekali saja, dan tidak lebih dari itu, dia dapat selalu berada di lingkar pendukung. Intinya adalah bahwa setiap niat kerja seseorang harus diwadahi oleh organisasi. Jangan sampai orang menjauh karena mereka merasa hanya memiliki sedikit waktu atau lebih suka membantu kadang-kadang saja. Dalam organisasi khusus anarkis harus ada ruang bagi setiap orang yang ingin ikut serta. “Syarat seleksi yang tidak pernah keliru adalah kinerja. Pada dasarnya, ketangkasan dan keefektifan para militan dapat diukur dari semangat berapi-api dan penerapan saat mereka menjalankan tugas-tugasnya”.[121]

Nalar lingkaran konsentris mengharuskan setiap militan dan organisasi itu sendiri untuk memiliki hak dan kewajiban yang sangat jelas di tiap tingkat keterlibatan. Alasannya, seseorang tidak boleh membuat keputusan atas sesuatu yang tidak akan mereka jalankan. Seorang pendukung, yang hanya ikut serta dalam kegiatan sebulan sekali dengan sumbangsih yang tidak menentu, misalnya, tidak boleh membuat keputusan mengenai aturan atau kegiatan yang akan dijalankan setiap hari, sebab itu artinya ia membuat kebijakan atas sesuatu yang mengatur keterlibatan militan lain di luar dirinya.

Sangat sering terjadi di kelompok-kelompok libertarian: orang yang terlibat sesekali saja akhirnya memutuskan sesuatu yang menjadi komitmen bersama dan harus dilaksanakan oleh anggota-anggota lain yang lebih aktif. Lebih mudah bagi militan yang jarang hadir untuk menetapkan suatu kebijakan organisasi, sebab bukan mereka yang harus melaksanakan hal tersebut sepanjang waktu.

Pengambilan keputusan seperti ini tidak adil sebab seseorang memutuskan sesuatu yang tidak dijalankan oleh dirinya. Dalam bentuk lingkaran konsentris, kita mengusahakan sebuah sistem hak dan kewajiban di mana setiap orang membuat keputusan mengenai apa yang bisa dan harus mereka patuhi setelahnya. Dengan cara ini, wajar jika seorang pendukung memutuskan hanya hal-hal yang menyangkut keterlibatan dan komitmen mereka. Dengan cara yang sama, para militan organisasi juga akan memutuskan hal-hal yang memang akan mereka laksanakan. Jadi, kita membuat keputusan secara seimbang sesuai dengan komitmen yang diambil. Ini artinya organisasi memiliki kriteria yang jelas bagi siapa pun yang ingin berproses dengan organisasi, menentukan dengan jelas posisi setiap orang, dan tingkat komitmen seperti apa yang dipilih militannya.

Sebuah ketentuan penting untuk masuk organisasi adalah bahwa semua militan yang masuk harus setuju dengan garis politik organisasi. Oleh karena itu, organisasi anarkis harus memiliki materi teori yang menyatakan garis politik ini. Bagi mereka yang belum menjadi anggota, penjelasannya tidak perlu sedalam bagi mereka yang sudah menjadi anggota. Ketika seseorang tertarik dengan kerja organisasi anarkis dan menunjukkan minatnya, kalian harus menempatkan orang tersebut sebagai pendukung dan memberi mereka bimbingan yang diperlukan.

Saat orang tersebut menjadi pendukung, ia mengetahui garis politik lebih mendalam dan memiliki kedekatan dengan kerja praktik organisasi, orang tersebut dapat menunjukkan minatnya untuk bergabung dengan organisasi atau organisasi dapat menawarkan pada pendukung tersebut untuk menjadi militan. Dalam kedua kasus ini, pendukung tersebut harus menerima bimbingan terus menerus dan materi teori yang akan memperdalam garis politiknya. Satu atau lebih militan yang cukup mengetahui garis politik ini juga dapat bertukar pendapat, membahas keraguan, berdebat, dan menjernihkan hal-hal tertentu dengan para pendukung yang ingin bergabung ini. Setelah pendukung setuju dengan garis politik organisasi, dan dengan kesepakatan dari kedua belah pihak, maka pendukung tersebut dapat bergabung ke dalam organisasi. Penting bahwa selama periode awal, setiap militan baru harus menerima bimbingan dari militan yang telah lama bekerja, berpengalaman, dan berpemahaman untuk mempersiapkan militan baru ini melakukan kerja-kerja organisasi. Dalam segala kesempatan, organisasi anarkis harus selalu berupaya melakukan pelatihan dan bimbingan bagi para pendukung dan militan sehingga membuka kemungkinan bagi mereka untuk meningkatkan tekadnya, tentunya jika itu yang mereka inginkan dan sepakati.

Nalar lingkaran konsentris juga berfungsi dalam kerja sosial. Dengan nalar ini, organisasi anarkis dapat melakukan kerja sosialnya dengan cara yang paling tepat dan efektif. Sebagaimana telah kita lihat, organisasi anarkis dibagi secara internal ke dalam beberapa front kinerja praktik. Untuk itu, ada organisasi yang lebih memilih untuk menjalin hubungan langsung dengan gerakan sosial, tapi ada juga organisasi yang lebih memilih untuk menampilkan dirinya melalui organisasi sosial perantara, yang kami sebut sebagai pengelompokkan setendensi (kelompok tendensi).

Terlibat dalam kelompok tendensi berarti menerima serangkaian pemahaman bersama yang dapat digunakan bersama kawan-kawan dari ideologi lain. Namun, keterlibatan ini tetap perlu mengecualikan pihak-pihak tertentu (kaum reformis, misalnya) demi mencapai sebuah tingkat keselarasan praktik yang mendasar. (...) Kelompok tendensi, yang terkoordinasi satu sama lain dan berakar pada orang-orang yang paling gigih berjuang (...) merupakan tingkat yang lebih tinggi dibandingkan tingkat massa.[122]

Kelompok tendensi menempatkan dirinya di antara gerakan sosial dan organisasi anarkis. Fungsinya adalah mengumpulkan orang-orang yang ideologinya berbeda tapi memiliki kedekatan dalam persoalan-persoalan praktik tertentu.

Seperti yang telah kami tekankan, ada organisasi anarkis yang lebih memilih untuk menampilkan diri secara langsung dalam gerakan sosial tanpa perlu kelompok perantara tersebut. Namun, ada juga yang memilih menampilkan dirinya sebagai kelompok perantara/kelompok tendensi. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan, dan setiap organisasi harus menentukan cara terbaik untuk bertindak. Kami lebih tertarik menggunakan kelompok perantara karena alasan praktis ketimbang teoretis, dan menggabungkan orang-orang yang setuju dengan beberapa asas atau semua asas yang kami anjurkan dalam gerakan sosial (pengerahan kekuatan, perjuangan kelas, otonomi, daya tempur, aksi langsung, demokrasi langsung, dan sudut pandang revolusioner). Kelompok perantara membantu kami memperbesar kekuatan sosial dalam mempertahankan asas ini.

Sama seperti gambaran di atas, intinya adalah bahwa organisasi anarkis spesifik berupaya membaur dalam kelompok perantara ini. Organisasi menampilkan dirinya melalui kelompok ini, bekerja di dalam gerakan-gerakan sosial dan berupaya melakukan peleburan sosial. Berikut ini gambarannya:

a-f-anarchist-federation-of-rio-de-janeiro-anarkis-6.png

Terdapat dua arus dalam bagan ini. Yang pertama, arus pengaruh anarkis. Organisasi anarkis spesifik berusaha masuk ke kelompok perantara (kelompok tendensi) lalu menuju ke gerakan sosial yang lebih luas. Mari kita lihat beberapa contoh praktis.

Organisasi anarkis yang ingin mengorganisir dalam serikat buruh dapat membentuk kelompok perantara bersama aktivis dari gerakan serikat lain yang memperjuangkan sejumlah gagasan yang sama (memakai sudut pandang revolusioner, aksi langsung, dll) dan kelompok perantara dapat mempengaruhi gerakan-gerakan serikat buruh atau serikat buruh tempatnya mengorganisir. Contoh lainnya, organisasi anarkis mungkin bekerja dengan gerakan sosial kaum tidak bertanah dan untuk membangun gerakan sosial ini organisasi mesti mengumpulkan orang-orang yang membela posisi serupa (otonomi, demokrasi langsung, dll). Lewat kelompok perantara, organisasi khusus anarkis mengorganisir dalam gerakan kaum tidak bertanah tersebut dan berusaha memberikan pengaruh di dalamnya.

Bentuk organisasi ini bertujuan untuk memecahkan masalah yang sangat umum kita temui dalam aktivisme. Misalnya, kita mengenal aktivis yang sangat berbakti, seorang revolusioner yang menganjurkan swakelola, otonomi, demokrasi akar rumput, demokrasi langsung, dll, tapi kita tidak bekerja bersama mereka karena mereka bukan anarkis. Para aktivis ini bisa bekerja dengan anarkis dalam kelompok perantara sembari tetap mempertahankan identitas mereka di dalam gerakan-gerakan sosial.

Panah kedua dalam bagan menunjukkan tujuan arus para militan. Artinya, dalam bagan kerja ini, tujuannya adalah untuk mengumpulkan orang-orang dari luar, yakni gerakan sosial yang memiliki kedekatan praktik dengan anarkis ke dalam kelompok perantara. Dari sana kita membawa orang-orang yang memiliki kesamaan ideologis semakin dekat ke organisasi anarkis. Seperti gambaran sebelumnya, jika ada seorang aktivis militan yang memiliki kesamaan praktik dengan anarkis, tapi bukan anarkis, maka kita dapat bekerja dengannya dalam kelompok perantara karena ia turut membantu tercapainya tujuan kerja sosial tertentu. Lebih lanjut lagi, jika aktivis tersebut memiliki kemiripan dalam hal ideologis, ia dapat saja mendekat atau bahkan bergabung dengan organisasi.

Tujuan organisasi anarkis bukanlah untuk mengubah semua aktivis menjadi anarkis, melainkan belajar untuk bekerja bersama tiap-tiap aktivis ini dengan cara yang paling tepat. Dengan berbagi kepentingan yang sama, para militan dapat mengubah-ubah posisi mereka dalam lingkaran (dari gerakan sosial ke kelompok perantara, atau dari kelompok perantara ke organisasi anarkis). Namun, tanpa kepentingan bersama, setiap orang akan bertindak sendiri-sendiri tergantung pada apa yang mereka anggap penting.

Proses pengambilan keputusan yang digunakan dalam organisasi anarkis adalah mufakat (konsensus). Tapi jika mufakat tidak memungkinkan, pemungutan suara akan dilakukan. Berbeda dengan beberapa kelompok dan organisasi libertarian lain, kami percaya bahwa mufakat bukanlah satu-satunya cara. Seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya, mufakat bisa menjadi bentuk pengambilan keputusan yang sangat tidak efisien dan kurang layak apabila jumlah orang yang terlibat dalam pengambilan keputusan meningkat. Mufakat dapat menimbulkan masalah serius karena memberikan kekuatan besar kepada orang-orang yang terasing. Dalam sebuah organisasi yang terdiri dari 20 militan, seseorang saja dapat menghalangi mufakat, sebab bahkan ketika 19 militan lain sudah memilih satu posisi, kalian tetap harus mengambil “jalan tengah” secara tidak seimbang demi mempertimbangkan pandangan seseorang yang tidak setuju dengan suatu hal. Agar proses pembuatan keputusan menjadi efisien dan tidak memberikan terlalu banyak kekuasaan kepada agen yang terasing, kami memilih menggunakan model mufakat, tapi bila tidak memungkinkan, pemungutan suara dilakukan. “Jika di jantung organisasi muncul ketidaksetujuan, dan ada pengkubuan antara mayoritas dan minoritas seputar masalah sekunder, pembahasan tentang praktik atau kasus-kasus khusus [...], maka cenderung mudah bagi minoritas untuk mengikuti suara mayoritas”.[123] Dalam kasus pemungutan suara, semua militan organisasi, bahkan mereka yang kalah jumlah suara, berkewajiban untuk mengikuti posisi suara terbanyak. Proses pengambilan keputusan ini digunakan demi membangun kesatuan teoretis dan ideologis, juga untuk kesatuan strategis dan taktis. Kita akan membahas persoalan ini lagi nanti. Pada titik ini cukuplah kami menekankan bahwa demi perjuangan, kita harus mengakhiri keterceraiberaian dan disorganisasi. “Cara untuk mengatasinya adalah dengan menciptakan sebuah organisasi dengan basis posisi teori dan taktik yang khusus, yang memandu kita untuk memiliki pemahaman kuat mengenai bagaimana ia diterapkan dalam praktik”.[124]

Penting juga untuk menekankan bahwa militan harus menggunakan akal sehat pada saat proses pemungutan suara. Perhatikan dengan saksama pandangan-pandangan militan yang paling dekat dengan isu yang sedang dimusyawarahkan, sebab pandangan mereka lebih penting ketimbang pandangan militan lain yang tidak terlalu dekat dengan isu tersebut, meskipun mereka memiliki bobot suara yang sama. Ketika pemungutan suara terjadi, akan mudah bagi militan yang tidak terlibat dalam isu terkait untuk menentukan apa-apa saja yang harus dilakukan orang lain. Situasi seperti ini menuntut kewaspadaan, kita harus menghindari situasi di mana orang-orang yang akan melaksanakan keputusan tersebut malah kehilangan suaranya dan akhirnya harus mematuhi apa yang diputuskan oleh orang lain.

Juga terkait dengan keputusan, pada saat pengambilan keputusan “harus ada banyak ruang untuk berbagai perdebatan, dan semua sudut pandang harus dianalisis dengan cermat”[125]. Setelah keputusan disepakati, “tanggung jawab [dibagi-bagi], para anggota bertanggung jawab secara formal atas keputusan mereka” karena “organisasi tidak bergerak dengan sendirinya”. Kemudian “semua kegiatan yang telah diputuskan dan menjadi tanggung jawab organisasi akan dijalankan oleh para anggotanya” dan untuk pelaksanaannya ada “kebutuhan untuk membagi-bagi tugas di antara para militannya, selalu mencari tata cara untuk mendistribusikan tugas-tugas dengan baik dan menghindari penumpukkan tugas pada anggota yang lebih aktif atau lebih mampu”. “Di saat seorang militan menerima satu atau lebih tugas organisasi, dia berkewajiban untuk melaksanakannya dan bertanggung jawab penuh kepada kelompok tersebut [...]. Ini adalah komitmen relasi yang dipikul militan bersama organisasi tersebut”.

Selanjutnya, kami percaya bahwa hal ini relevan dan ingin menegaskannya kembali: “swadisiplin adalah motor dari organisasi swakelola”, dan ini juga berlaku untuk organisasi khusus anarkis. Dengan demikian, “setiap orang yang menerima tanggung jawab harus cukup disiplin untuk melaksanakannya. Demikian juga ketika organisasi menentukan garis untuk diikuti atau suatu tujuan untuk dicapai, maka disiplin seseoranglah yang akan mewujudkan apa yang telah diputuskan secara kolektif.” Kami mencatat:

kami juga memohon disiplin, karena tanpa pengertian, tanpa koordinasi usaha satu sama lain dalam aksi bersama yang kompak, kemenangan nyata tidak akan mungkin terjadi. Namun, disiplin yang dimaksud bukanlah disiplin layaknya budak, pengabdian buta kepada para pemimpin, kepatuhan kepada tokoh yang selalu mengatakan agar kita tidak ikut campur. Disiplin revolusioner harus konsisten dengan gagasan yang kita usung, kesetiaan terhadap tekad yang kita sepakati, merasa berkewajiban untuk berbagi pekerjaan dan risiko dengan rekan-rekan seperjuangan.[126]

“Kami percaya bahwa agar perjuangan kita membuahkan hasil yang menjanjikan, sangat penting bahwa masing-masing militan organisasi memiliki tingkat tekad, tanggung jawab, dan disiplin diri yang tinggi”.[127] “Kekuatan kehendak dan tekad militanlah yang akan membuat kita berjalan hari demi hari menuju perkembangan kegiatan organisasi, agar kita bisa mengatasi berbagai rintangan dan menyiapkan landasan bagi tujuan jangka panjang kita.”.[128] Akhirnya, kita harus tahu bahwa “tanggung jawab dan disiplin organisasi seharusnya bukan hal mengerikan—mereka adalah teman seperjalanan kita dalam praktik anarkisme sosial”[129].

Posisi ini memperkenalkan hubungan tanggung jawab bersama antara militan dan organisasi, karena organisasi anarkis “akan bertanggung jawab atas kegiatan revolusioner dan politik setiap anggotanya, begitu pula setiap anggota akan bertanggung jawab atas kegiatan revolusioner dan politik”[130] organisasi anarkis.

B. Kerja Sosial dan Peleburan Sosial

Kerja sosial dan peleburan sosial adalah kegiatan terpenting organisasi anarkis spesifik.

Seperti yang telah kita bahas sebelumnya, kita hidup dalam masyarakat yang menempatkan kelas penguasa dan kelas tertindas di kubu yang saling berseberangan. Marilah kita juga mengingat bahwa perjuangan kita adalah untuk membangun masyarakat tanpa kelas—sosialisme libertarian. Dan bahwa cara untuk mencapai masyarakat baru ini, menurut pemahaman kami, adalah melalui perjuangan gerakan sosial, menyelaraskan gerakan-gerakan sosial ke dalam organisasi kerakyatan dan revolusi sosial. Untuk mencapai tujuan ini, keseluruhan proses ini harus terjadi di dalam kelas-kelas yang dieksploitasi. Kelas-kelas tertindas ini adalah aktor utama perubahan sosial.

Jadi, jika perjuangan anarkisme mengarah pada tujuan akhir revolusi sosial dan sosialisme libertarian, dan jika kita memahami kelas yang dieksploitasi sebagai pelaku utama perubahan menuju tujuan ini, tidak ada jalan lain bagi anarkisme selain berhubungan dengan kelas-kelas ini. Untuk alasan inilah,

anarkisme tidak dapat terus terpenjara dalam batas-batas pemikiran eksklusif dan hanya diklaim oleh beberapa kelompok kecil, dalam aksi-aksi mereka yang terasing. Pengaruh alamiahnya pada mentalitas berbagai kelompok manusia di dalam perjuangan sudah lebih dari terbukti. Agar pengaruh ini terserap secara sadar, ia harus memiliki sarana-sarana baru dan memulai langkah praktik sosial sekarang.[131]

Dalam perjuangan kelas, kelas yang dieksploitasi selalu berkonflik dengan kelas penguasa. Konflik ini dapat mewujudkan dirinya dalam cara yang cenderung spontan, atau cenderung terorganisir. Ada fakta bahwa kontradiksi kapitalisme telah menghasilkan serangkaian perwujudan perjuangan dari kelas-kelas yang dieksploitasi, dan kami menganggap perjuangan ini sebagai lahan terbaik untuk menanam benih anarkisme. Neno Vasco, menggunakan pengandaian penabur benih, mengatakan bahwa para anarkis harus menanam benih mereka di tanah yang paling subur. Seperti yang telah kami tekankan, bagi kami, lahan ini adalah medan perjuangan kelas.

Kami bermaksud menanam benih ini dalam perjuangan kelas, dan karena kami memahami bahwa kelas yang dieksploitasi adalah pelaku utama dalam proses perubahan sosial, kami menerima bahwa untuk mencapai tujuan akhir anarkisme, kelas yang dieksploitasi memiliki peran yang sangat penting. Ketika kami menjelaskan sudut pandang ini, kami tidak sedang memuja-muja kelas ini atau bahkan menganggap apa pun yang mereka lakukan selalu benar, tetapi kami menekankan bahwa keterlibatan mereka dalam proses perubahan sosial adalah hal penting. Karena itu, kami kaum anarkis “harus selalu bersama rakyat”[132].

Cara organisasi khusus anarkis mengupayakan interaksi dengan kelas-kelas yang dieksploitasi adalah melalui apa yang kita sebut sebagai kerja sosial. Kerja sosial adalah kegiatan yang dilakukan organisasi anarkis di tengah-tengah perjuangan kelas, membuat anarkisme berhubungan langsung dengan kelas yang dieksploitasi. Kerja sosial memberikan lapisan sosial pada politik anarkisme. Tanpa lapisan sosial ini, anarkisme tidak berarti apa pun. Melalui kerja sosial, anarkisme mampu mewujudkan perannya sebagai motor perjuangan zaman kita. Kerja sosial organisasi anarkis terjadi dalam dua cara: 1) dengan kerja-kerja yang sedang berlangsung dalam gerakan sosial yang sudah ada, dan 2) dengan menciptakan gerakan sosial baru.

Sejak pendirian organisasi kami, kami menganggap gerakan sosial sebagai medan pilihan untuk kegiatan kami, sebagaimana tercantum dalam Statuta Prinsip kami ketika kami menegaskan bahwa “FARJ mengusulkan untuk bekerja—sesegera mungkin dan tanpa perantara—di tengah-tengah beragamnya kenyataan yang membentuk alam semesta gerakan sosial”[133]. Seperti yang telah kami bahas sebelumnya, kami memahami gerakan sosial sebagai hasil dari “tiga pilar, yaitu kebutuhan, kehendak, dan organisasi”. Dengan demikian, para anarkis yang terorganisir harus berusaha merangsang hasrat dan pengorganisasian untuk sebuah gerakan yang didasarkan utamanya pada kebutuhan kelas-kelas yang dieksploitasi. Dalam banyak kasus, hasrat ini dilemahkan oleh “ketidaksadaran atas hak-haknya, ketidakyakinan pada kekuatannya; dan selama mereka tidak memiliki kesadaran dan keyakinan ini, [...] selama berabad-abad, (mereka akan) tetap menjadi budak-budak yang tidak berdaya”[134]. Dalam proses pengerahan kekuatan masyarakat, kita harus mendorong kesadaran dan keyakinan ini. Dari situlah persoalan kebutuhan menjadi penting, sebab melaluinya mobilisasi dapat terjadi. Hanya sedikit orang yang mau berjuang untuk sebuah gagasan yang hanya membawa hasil jangka panjang. Oleh karena itu, untuk menggerakkan orang-orang, kita harus menghadapi masalah-masalah konkret yang menimpa mereka dan dekat dengan mereka. Untuk mendapatkan kepercayaan dan kesungguhan hati mereka,

[...] kita harus mulai berbicara dengan mereka, bukan tentang musuh bersama proletariat internasional, bukan pula tentang penyebab umum yang melahirkan musuh ini, melainkan tentang kemalangan-kemalangan mereka yang khas, yang dialami setiap hari dan bersifat pribadi. Kita perlu berbicara kepada mereka tentang pekerjaan mereka dan kondisi kerja mereka, khususnya di tempat mereka bermukim; waktu dan lingkup kerja harian mereka, ketidakcukupan gaji, kebusukan bos mereka, kelangkaan makanan, dan ketidakmampuan mereka untuk mengasuh dan mendidik anggota keluarga dengan layak. Dan menawarkan kepada mereka cara melawan kemalangan itu serta memperbaiki kondisi mereka. Tidak perlu terlalu cepat berbicara tentang tujuan-tujuan umum dan revolusioner. [...] Pertama-tama, kita hanya perlu menawarkan pada mereka tujuan-tujuan yang berguna, yang secara alamiah tidak dapat diabaikan ataupun ditolak oleh akal sehat dan pengalaman harian mereka.[135]

Dengan cara yang sama, dalam proses pengerahan kekuatan, persoalan-persoalan tentang mengapa orang tidak memiliki pekerjaan, tidak memiliki tempat tinggal, dll, dapat dikemukakan. Oleh karena itu, tugas organisasi anarkis adalah untuk menjelaskan berbagai kebutuhan dan memobilisasi orang-orang di seputar masalah kebutuhan tersebut. Baik dalam penciptaan gerakan sosial baru atau dalam kegiatan di gerakan sosial yang sudah ada. Gagasan utamanya adalah untuk selalu mengorganisir di seputar kebutuhan hidup.

Gerakan sosial adalah tempat di mana pengerahan kelas yang dieksploitasi berlangsung, dan gerakan-gerakan inilah yang membuat mereka berpraktik politik. Praktik politik mereka berkembang melalui “segala kegiatan yang bertujuan untuk mendorong konfrontasi antara kaum yang dieksploitasi dan ditindas dengan badan-badan kekuasaan politik, Negara, pemerintah, dan berbagai ekspresinya”[136], serta badan-badan lain yang menyokong sistem kapitalis. Praktik politik menempatkan rakyat dalam sebuah pertempuran melawan kekuatan sistem yang menindas mereka dan mendorong mereka untuk menghadapi kekuatan-kekuatan ini demi “mempertahankan dan memperluas kebebasan publik dan individu, kapasitas untuk memberikan usulan yang cocok dengan kepentingan umum penduduk atau sebagian aspeknya”. Praktik politik juga bisa berbentuk “pemberontakan sebagai cara mempertanyakan dengan kekerasan sebuah situasi yang ingin kita ubah [... ataupun] mengemukakan tuntutan-tuntutan yang menyatukan rakyat di hadapan badan-badan kekuasaan, berbagai usulan dan tuntutan ini dapat menjadi solusi bagi permasalahan umum dan nyata, maka badan-badan kekuasaan harus dipaksa untuk menerima usulan tersebut agar solusinya diberlakukan bagi seluruh masyarakat”.

Melalui praktik politiknya, gerakan sosial harus memaksakan penaklukannya pada kapitalisme dan negara. Rakyat sendiri yang harus menuntut, memaksakan, dan menjalankan semua perbaikan, penaklukkan, dan kebebasan yang mereka perlukan dan inginkan, melalui organisasi dan kekuatan kehendak. Tuntutan-tuntutan ini harus terus menerus meningkat secara progresif, menuntut lebih banyak dan lebih banyak lagi setiap waktu, dan mengupayakan pembebasan penuh dari kelas-kelas tertindas.

Apa pun hasil dari perjuangan untuk perbaikan keadaan jangka pendek ini, manfaat utamanya terletak pada perjuangan itu sendiri. Melalui perjuangan ini, para pekerja belajar mempertahankan kepentingan kelas mereka, membuat mereka mengerti bahwa pengusaha dan pemerintah memiliki kepentingan yang berlawanan dengan kepentingan mereka, dan bahwa mereka tidak bisa memperbaiki kondisi mereka, apalagi membebaskan diri, jika mereka tidak bersatu dengan sesamanya dan membuat diri mereka lebih kuat. [...] Jika mereka berhasil mendapatkan apa yang mereka inginkan, hidup mereka menjadi lebih baik. Mereka akan mendapatkan lebih banyak dengan kerja lebih sedikit, memiliki lebih banyak waktu luang dan energi untuk memikirkan hal-hal yang menarik bagi mereka; dan mereka akan merasakan lebih banyak lagi kebutuhan dan keinginan. Jika perjuangan mereka tidak berhasil, mereka akan didorong untuk mempelajari penyebab kegagalan mereka dan menyadari perlunya persatuan yang lebih besar lagi, energi yang lebih besar lagi; akhirnya, mereka akan mengerti bahwa untuk memperoleh kemenangan yang aman dan pasti, mereka perlu menghancurkan kapitalisme.[137]

Praktik politik gerakan sosial yang memperjuangkan pencapaian jangka pendek memiliki efek mendidik dan meningkatkan kesadaran militan. Pembelajaran akan terjadi baik dalam kemenangan maupun kekalahan.

Praktik politik organisasi khusus anarkis bekerja dengan cara yang sama. Kami menyatakan sebelumnya bahwa kami memahami anarkisme sebagai ideologi, yang berarti “serangkaian gagasan, motivasi, harapan, nilai, sebuah struktur atau sistem konsep yang berhubungan langsung dengan tindakan—yang kita sebut praktik politik”. Kerja sosial adalah sendi utama praktik politik organisasi anarkis. Dalam hal ini, kerja sosial berarti berinteraksi dengan kelas-kelas tertindas yang terorganisir dalam gerakan sosial, menarik anarkisme keluar dari lingkaran kecil dan menanamkan gagasannya secara meluas di dalam perjuangan kelas.

Selain itu, bagi kami, lebih dari sekadar berhubungan dengan gerakan sosial, kerja sosial organisasi khusus anarkis juga harus berusaha mempengaruhi praktik gerakan sosial sehingga cara kerja gerakannya menampilkan sifat tertentu. Proses memberikan pengaruh dalam gerakan sosial melalui praktik anarkis ini kami sebut dengan istilah peleburan sosial.

Dengan demikian, organisasi anarkis melakukan kerja sosial saat ia sedang menciptakan gerakan sosial baru atau mengembangkan kegiatan gerakan sosial yang telah ada, dan melakukan peleburan sosial ketika ia berhasil mempengaruhinya dengan praktik-praktik anarkis.

Peleburan sosial tidak dimaksudkan untuk meng“ideologisasi” gerakan sosial dan mengubahnya menjadi gerakan sosial anarkis. Secara berbeda, ia berusaha memberikan gerakan sosial beberapa sifat tertentu sehingga gerakan-gerakan ini dapat terus maju menuju pembangunan dan pengembangan organisasi kerakyatan, dan mengarah pada revolusi sosial dan sosialisme libertarian. Ia berusaha membuat gerakan sosial berjalan sejauh mungkin menuju tujuannya.

Kami tidak ingin “menunggu massa menjadi anarkis” untuk melaksanakan revolusi; terlebih lagi karena kami yakin bahwa mereka tidak akan pernah menjadi anarkis jika kita tidak terlebih dahulu menggulingkan, dengan kekerasan, lembaga-lembaga yang menahan mereka tetap dalam perbudakan. Kita membutuhkan kerja sama massa untuk membangun kekuatan sumber daya yang cukup, dan untuk mencapai tujuan khusus kita, yaitu perubahan radikal organisme sosial melalui aksi langsung massa, kita harus mendekati mereka, menerima mereka apa adanya, dan sebagai bagian dari massa, kita membuat mereka berjalan sejauh mungkin menuju tujuannya. Itu, jelas, kalau kita benar-benar ingin bekerja mewujudkan gagasan kita ke dalam praktik dan tidak berpuas diri hanya dengan berkhotbah di padang pasir demi memuaskan keangkuhan intelektual kita.[138]

Kami menganjurkan posisi bahwa ideologi seharusnya berada dalam gerakan sosial, dan bukan gerakan sosial yang berada dalam ideologi. Organisasi khusus anarkis berhubungan dengan gerakan sosial dan berusaha mempengaruhinya agar memiliki bentuk-bentuk gerakan yang paling libertarian dan setara.[139] Meskipun kami memperlakukan anarkisme dan gerakan sosial sebagai dua tingkat kegiatan yang berbeda, kami percaya bahwa keduanya saling mempengaruhi. Hubungan saling melengkapi ini menyebabkan anarkisme mempengaruhi gerakan sosial, dan gerakan sosial mempengaruhi anarkisme.

Ketika kita berbicara tentang peleburan sosial, kita berbicara tentang pengaruh anarkisme dalam gerakan sosial. Dalam hal ini, walaupun ada pemisahan antara tingkat politik (organisasi anarkis) dan tingkat sosial (gerakan sosial), tidak boleh ada hierarki atau dominasi tingkat politik di tingkat sosial. Kami juga tidak mempercayai jika tingkat politik harus berjuang untuk tingkat sosial, atau memimpinnya. Tingkat politik mesti bekerja bersama tingkat sosial—membangun hubungan yang beretika. Dalam kegiatannya, minoritas yang aktif di organisasi khusus anarkis mesti berjuang bersama kelas-kelas yang dieksploitasi, bukan berjuang untuknya ataupun memimpinnya, sebab “kita tidak ingin membebaskan rakyat, kita ingin rakyat membebaskan diri mereka sendiri”[140]. Kita akan membahas lebih jauh dan terperinci mengenai hubungan antara organisasi khusus anarkis dan gerakan sosial.

Ketika membahas tentang peleburan sosial sebagai pengaruh yang diberikan organisasi khusus anarkis kepada gerakan sosial, kami memandang penting untuk menguraikan lebih jelas tentang apa yang kami maksud dengan “pengaruh”. Mempengaruhi, bagi kami, berarti membuat perubahan pada diri seseorang atau sekelompok orang melalui ajakan, saran, teladan, pedoman, inspirasi, dan praktik. Pertama-tama, kami memahami bahwa di masyarakat itu sendiri selalu ada banyak pengaruh dari berbagai agen yang mempengaruhi dan dipengaruhi. Kami bahkan dapat mengatakan bahwa “menolak mempengaruhi orang lain berarti menolak tindakan sosial, dan bahkan menolak ekspresi pikiran dan perasaan, yang [...] cenderung mengarah kepada ketiadaan eksistensi”[141]. Bahkan dari sudut pandang anti-otoritarian pun, pengaruh adalah hal tidak terelakkan dan wajar keberadaannya.

Di alam, begitu pula di masyarakat manusia—yang hakikatnya juga adalah alam, setiap individu mesti tunduk pada hukum tertinggi yaitu untuk turut terlibat dalam kehidupan orang lain dengan cara yang paling positif—campur tangan sebanyak yang diizinkan oleh watak khas setiap individu. Menolak pengaruh timbal balik ini berarti mencari kematian, dalam arti sebenarnya. Dan ketika kami menginginkan kemerdekaan massa, bukan berarti kami lantas melenyapkan pengaruh alamiah yang diberikan oleh individu atau kelompok individu mana pun kepada massa.[142]

Dalam praktiknya, pengaruh ini harus sesuai dengan sifat yang ingin kita bangun dalam gerakan sosial. Dalam bab “Gerakan Sosial dan Organisasi Rakyat”, kami telah menguraikan sifat ini dengan lebih rinci sehingga tidak perlu dijabarkan lagi di bab ini. Kami hanya akan menunjukkan secara singkat, sekali lagi, sifat apa saja yang harus kita pertahankan dalam gerakan sosial: pengerahan kekuatan, perjuangan kelas, daya tempur, otonomi, aksi langsung, demokrasi langsung, dan sudut pandang revolusioner.

Gerakan sosial harus kuat, tidak jatuh ke dalam kungkungan sebuah ideologi, karena memaksakan anarkisme pada gerakan sosial “berarti ketiadaan pemikiran, tujuan, dan perilaku bersama, dan [...] tentunya akan mengarahkan pada ketidakmampuan untuk mengambil tindakan yang efektif”[143]. Gerakan sosial harus berpedoman pada perjuangan kelas dan memiliki garis posisi kelas, yang berarti berusaha membuka keterlibatan seluas mungkin bagi kelas-kelas yang dieksploitasi dan mendukung perjuangan kelas; mereka harus berani, menegaskan penaklukkan mereka dengan cara mengerahkan kekuatan sosialnya; mereka harus otonom dari negara, partai politik, serikat buruh birokratis, gereja, badan-badan birokratis dan/atau badan-badan otoritarian lainnya, sehingga mereka mampu mengambil keputusan dan bertindak secara mandiri.

Selain itu, mereka harus menggunakan aksi langsung sebagai bentuk aksi politiknya, bertentangan dengan demokrasi perwakilan. “Pada dasarnya, hal ini dilakukan agar gerakan sosial dan organisasi rakyat tetap menjadi aktor utama, berjuang dengan mediasi sesedikit mungkin atau, jika mediasi tidak terhindarkan, memastikan mediasi tersebut tidak berakhir dengan kemunculan badan pengambilan keputusan yang terpisah dari orang-orang yang terdampak keputusan itu”.[144] Gerakan sosial juga harus menggunakan demokrasi langsung sebagai metode pengambilan keputusannya, yang terjadi dalam dewan-dewan horizontal di mana semua militan dapat membuat keputusan secara efektif dengan cara yang setara. Demokrasi langsung tidak mengizinkan “hak istimewa apa pun, baik ekonomi, sosial, atau politik, [... dan membangun] kerangka kelembagaan di mana [fungsi jabatan] anggota harus bisa dicabut sesegera mungkin dan, oleh karena itu, tidak ada ruang untuk kebiasaan tidak bertanggung jawab secara politis seperti di dalam demokrasi perwakilan”[145]. Dan pada akhirnya, sudut pandang revolusioner “harus diperkenalkan dan dikembangkan dalam [gerakan sosial] dengan kerja-kerja konstan kaum revolusioner, yang bekerja dari luar maupun dari dalam, tapi tidak boleh menggantikan ekspresi alamiah dan normal dari fungsi gerakan sosial”[146].

Organisasi anarkis spesifik melakukan peleburan sosial dengan cara memberikan pengaruhnya dalam gerakan-gerakan sosial. Peleburan ini harus membangun keterhubungan antar berbagai sektor perjuangan sehingga dapat tercipta organisasi rakyat yang secara permanen terus berusaha untuk meningkatkan kekuatan sosial mereka.

Dalam melaksanakan kerja-kerja sosial dan peleburan sosial, organisasi anarkis harus memperhatikan beberapa persoalan.

Pengerahan kekuatan harus terjadi utamanya melalui latihan dan praktik, karena di tengah-tengah perjuanganlah rakyat dapat menyadari bahwa mereka dapat menaklukkan lebih dan lebih lagi. Lebih dari sekadar berbicara, kita mesti mengajar dengan melakukan, dan menjadi contoh, cara ini “lebih baik daripada penjelasan verbal, sebab seseorang akan dengan cepat mengenali segala sesuatunya dari pengalaman pribadinya sendiri, yang selanjutnya tidak dapat dipisahkan dan bersatu dalam solidaritas dengan pengalaman anggota-anggota lainnya”[147]. Selain sisi-sisi objektif perjuangan, sangat relevan bagi kita untuk mempertimbangkan bahwa proses pengerahan dan penyebaran pengaruh juga turut melibatkan sisi-sisi subjektif. Praktik kami telah menunjukkan bahwa untuk mengerahkan dan mempengaruhi gerakan sosial, sangat penting bagi kita untuk tidak hanya menggunakan sisi rasional dan objektif, tetapi juga sisi emosional dan subjektif. Ini artinya ikatan perasaan, persahabatan, dan hubungan lain yang terbangun secara alamiah dalam perjuangan. Penting juga untuk mengenali orang-orang dari lingkungan, komunitas masyarakat, gerakan, serikat pekerja, dll, yang memiliki pengaruh atas orang lain (pemimpin-pemimpin lokal yang berasal dari akar rumput dan divalidasi oleh akar rumput) dan memfokuskan upaya pada mereka. Orang-orang ini sangat penting dalam membantu pengerahan kekuatan akar rumput, membuka kemungkinan bagi menguatnya pengaruh anarkis, atau bahkan bergabung ke dalam kelompok perantara. Dengan cara ini, pengerahan akhirnya berfungsi sebagai semacam “konversi”, penting untuk dicatat bahwa

[...] kalian hanya bisa mengubah orang-orang yang merasa perlu berubah, mereka-mereka yang secara naluriah atau dalam kesengsaraan mereka, baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat, menginginkan adanya perubahan; kalian tidak akan pernah mengubah orang-orang yang tidak merasakan perlunya perubahan, atau bahkan orang-orang yang tidak puas dengan posisi mereka sekarang tetapi karena sifat dasar moral, intelektual, dan kebiasaan sosialnya mereka mencari sebuah dunia yang berbeda dengan gagasan kalian.[148]

Dalam proses pengerahan ini, organisasi khusus anarkis harus selalu bertindak dengan etika, selalu mencoba untuk tidak membangun hubungan hierarki atau dominasi atas gerakan sosial, untuk selalu mengatakan yang sebenarnya dan tidak pernah menipu rakyat, dan selalu mendukung solidaritas dan gotong royong terkait militan lain. Demikian pula ia sebaiknya mengambil sikap positif, berusaha membangun gerakan dan mendorong mereka maju ke depan, dan tidak hanya mengkritik saja.

Bahkan ketika posisi organisasi anarkis bukan mayoritas, posisi-posisinya tetap harus diperlihatkan, dan pandangan yang diusungnya harus dijelaskan dengan jernih. Ketika berkontak dengan gerakan yang hierarkis, organisasi anarkis harus selalu ingat bahwa yang terpenting di gerakan sosial adalah akar rumput. Oleh karena itu, dalam kerja-kerja apa pun, organisasi anarkis tidak disarankan untuk mendekati para pemimpin ataupun orang-orang yang memegang struktur kekuasaan dalam gerakan sosial. Organisasi anarkis sebaiknya mendekati aktivis-aktivis biasa yang umumnya tertindas oleh kepemimpinan, dan yang membentuk pinggiran, bukan pusat gerakan.

Isu lain yang harus diperhatikan adalah bahwa militan organisasi khusus anarkis harus sangat akrab dengan lingkungan tempat mereka melakukan kerja sosial. Militan mesti mempertahankan kehadiran terus menerus dalam gerakan sosial yang mereka pilih. Pengetahuan tentang “medan” tempat mereka bekerja sangat penting terutamanya untuk mengetahui ada kekuatan-kekuatan politik apa saja yang bermain, siapa yang berpotensi menjadi sekutu, siapa lawannya, di mana letak kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancamannya. Kehadiran konstan sangat penting agar militan anarkis dapat sepenuhnya membaur dengan aktivis lain di gerakan sosial. Dengan demikian mereka bisa mendapat pengakuan, validasi, didengarkan, diinginkan, dan disambut baik kehadirannya.

Dalam kerangka strategis, kami memahami bahwa organisasi khusus anarkis harus melakukan kerja sosial, karena “sebagai anarkis dan pekerja, kita harus mendorong dan mendukung mereka [kaum pekerja] untuk berjuang, dan kita berjuang bersama mereka”[149]. Demi mendorong dan mendukung rakyat, kita berupaya melakukan peleburan sosial dan memastikan gerakan sosial berjalan dengan cara yang paling libertarian dan setara. Dengan membaur dalam gerakan sosial, kita harus menghubungkan berbagai perjuangan dan membangun organisasi kerakyatan. Dengan demikian, kita dapat merangsang peningkatan kekuatan sosial secara permanen dan mempersiapkan kelas-kelas tertindas untuk revolusi sosial, sebab “tujuan kita adalah untuk mempersiapkan rakyat, secara moral dan materiil, untuk pengambilalihan yang dibutuhkan; selalu mencoba dan menghidupkan kembali upaya-upaya setiap kali ada kesempatan bagi kita untuk melakukan agitasi revolusioner, sampai kemenangan yang pasti”[150], yaitu terbentuknya sosialisme libertarian. Maka, dapat kita katakan bahwa fungsi organisasi khusus anarkis dalam kerja sosial dan peleburan sosial adalah untuk menjadi “motor perjuangan sosial. Motor ini tidak menggantikan atau mewakili perjuangan sosial”[151]. Kami percaya bahwa kami dapat membentuk motor ini dengan “terlibat secara agresif dalam perjuangan sehari-hari gerakan rakyat, dimulai di Brasil, Amerika Latin, dan khususnya di Rio de Janeiro”[152].

C. Produksi dan Reproduksi Teori

Kegiatan penting lain dari organisasi khusus anarkis adalah produksi dan reproduksi teori. Kami memahami teori sebagai “serangkaian konsep yang secara terpadu diuraikan [...], sebuah perangkat, alat, yang berfungsi untuk membantu suatu pekerjaan, berguna untuk menghasilkan pengetahuan yang kita perlukan”[153]. Teori adalah hal mendasar, baik untuk pemahaman strategi maupun untuk propaganda yang dijalankan organisasi. Strategi berguna untuk meningkatkan ketepatan sasaran kerja organisasi anarkis, sedangkan propaganda sangat penting untuk mengiklankan gagasan-gagasan anarkis.

Dengan demikian, kami memahami serangkaian konsep yang diuraikan secara terpadu ini—teori—sebagai alat penting dalam berpraktik agar kita dapat melakukan pekerjaan yang nyata. Oleh karena itu, “jika tidak membantu kita dalam menghasilkan pengetahuan baru yang berguna untuk praktik politik, maka teori tidak ada gunanya”[154].

Saat diproduksi dalam organisasi khusus anarkis, teori merumuskan konsep-konsep. Tujuannya adalah agar organisasi 1.) memahami kenyataan di tempatnya beroperasi, 2.) membuat perkiraan sasaran dari tujuan proses perubahan sosial dan 3.) menentukan tindakan yang akan diambil untuk mempraktikkan proses ini. Kami menyebut skema ini sebagai strategi, dan akan dibahas lebih rinci di bawah.

Dalam memahami kenyataan di tempat kita berkegiatan, teori merupakan susunan informasi dan data, rumusan pemahaman tentang momen-momen historis di tempat kita beroperasi dan penjelasan mengenai sifat sosial, politik, dan ekonomi. Artinya, teori adalah diagnosis lengkap tentang kenyataan di tempat organisasi khusus anarkis bekerja. Dalam hal ini, penting bagi kita untuk berpikir secara regional tergantung di mana kita sedang beraksi dan tidak terpaku pada pembacaan umum saja. Jika tidak, kita berisiko menerapkan metodologi yang salah dalam proses perubahan sosial (“mengimpor” teori siap pakai dari waktu lain dan keadaan lain). Bagi kami, teori tidak selesai di sana. Melalui teori, organisasi anarkis memperkirakan sasaran perubahan sosial yang akan diterapkannya dalam melawan sistem kapitalis. Pemahaman sosialisme libertarian dan proses perubahan revolusioner saat ini memang hanya dapat dipikirkan dari sudut pandang teoretis, sebab dalam praktiknya kita tidak sedang hidup dalam momen revolusioner.

Dengan demikian, teori mengatur konsep-konsep yang menentukan bagi perubahan menuju masyarakat masa depan sekaligus juga mendefinisikan bentuk masyarakat masa depan itu sendiri, yang merupakan tujuan akhir dari organisasi khusus anarkis. Teori juga menjelaskan bagaimana organisasi anarkis bertindak dalam kenyataan tempatnya berada untuk mencapai tujuan akhirnya. Dengan demikian, setiap perenungan kita hari ini tentang proses lengkap perubahan sosial adalah perenungan teoretis. Sebab walaupun kita menerapkannya, proses ini belum terjadi sepenuhnya, hanya sebagian-sebagian, yaitu pengembangan langkah awal prosesnya. Langkah berikutnya disimpan untuk masa depan, sehingga pada saat ini kita hanya dapat memikirkannya secara teoretis.

Teori juga sangat penting dalam proses propaganda, karena untuk menyodorkan gagasan anarkis, kita perlu mengartikulasikan konsep-konsep secara terpadu. Selain propaganda yang terjadi secara lebih meluas dalam praktik, teori pun memiliki peran yang sangat relevan dalam praktik. Ketika teori digunakan untuk berpropaganda, ia merumuskan masa lalu dalam bentuk kajian-kajian dan reproduksi teori anarkis. Tujuannya adalah untuk memperdalam tingkat ideologis dan membuat ideologi anarkis lebih dikenal. Ia juga dapat menghubungkan masa kini dan masa depan dengan penyebaran materi-materi teoretis yang menjelaskan kritik kita terhadap masyarakat masa kini, pemahaman kita mengenai masyarakat masa depan, dan proses perubahan sosial. Penting dicatat bahwa penciptaan teori bertujuan untuk selalu memperbarui sisi-sisi ideologis yang sudah usang atau berusaha menyesuaikan ideologi dengan kenyataan khusus tertentu. Keseluruhan proses propaganda teoretis ini penting untuk menyatukan orang-orang di seputar tujuan kita. Semakin banyak teori diciptakan dan disebarluaskan, semakin mudah pula anarkisme meresap ke seluruh masyarakat.

Kami memahami bahwa teori adalah landasan untuk praktik. Ketika kita bekerja dengan konsep yang tepat dan terartikulasi dengan baik, praktik akan menjadi jauh lebih sangkil. “Tanpa garis [teoretis] yang jelas dan konkret, tidak akan ada praktik politik yang berdampak”[155] dan kehendak politik organisasi tersebut berisiko hilang begitu saja.

Meskipun demikian, kami tidak percaya bahwa agar sebuah organisasi anarkis dapat berfungsi, kita harus memiliki teori yang mendalam dan berkembang terlebih dahulu. Kebetulan, ada organisasi-organisasi yang percaya bahwa masalah besar anarkisme terletak pada ketiadaan teori anarkis yang tetap, dalam artian yang nyaris matematis. Bagi kami, meskipun kami menekankan bahwa teori sangat penting untuk praktik yang efisien, kami tidak percaya pada teori yang dihasilkan tanpa pergesekan langsung yang terus menerus dengan praktik. Kami tidak yakin teori yang diproduksi dengan cara tersebut dapat membuahkan hasil yang menjanjikan. Teori yang dipromosikan oleh para intelektual yang terpisah dari perjuangan atau hanya dengan sedikit saja kerja sosial—kaum intelektual yang menganggap dirinya lebih memahami daripada orang lain atau merasa telah menemukan jawaban pasti atas persoalan-persoalan teoretis—tidaklah terlalu berguna. Oleh karena itu, dalam praktik, kita melakukan pemeriksaan apakah suatu teori berguna atau tidak; praktik yang tentu saja menjadi sumbangsih bagi teori. Kami tidak percaya, seperti yang dipercayai banyak kaum intelektual ini, bahwa hanya dengan teori saja kita pasti memiliki praktik yang efisien. Jika teori tidak dibangun bersama interaksi yang luas dan berkelanjutan dengan praktik, ada kemungkinan besar teori tersebut tidak terlalu berguna.

Saat kami memulai pengantar naskah ini, kami memberikan catatan bahwa “untuk berteori secara ampuh, kita harus bertindak”[156]. Kami mengacu persis pada gagasan bahwa untuk menciptakan teori yang terpadu dan tepat, tidak ada cara lain selain menghasilkannya berdasarkan pengalaman berpraktik. Dalam hal ini, teori tidak selalu menentukan praktik. Kami percaya bahwa teori dan praktik saling melengkapi, bahwa kita berpraktik dari teori, dan berteori dari praktik. Jika saat ini kami dapat berteori tentang ideologi kami, itu karena kami telah mengujinya dalam hidup keseharian kami dan membuktikan mana yang berhasil dan mana yang tidak, mana yang mutakhir, dan mana yang perlu diperbarui. Kami mengetahui bahwa seringkali “dalam praktiknya, teori menjadi berbeda” dan hal ini pun berlaku dalam anarkisme. Tidak semua teori yang telah diciptakan dalam anarkisme berguna untuk praktik yang kita inginkan. Ini juga berlaku untuk aspek-aspek yang kurang ideologis seperti analisis situasi, penilaian kekuatan-kekuatan politik yang turut bermain dalam suatu medan perjuangan, dll, yang bahkan bisa menjadi teori yang menarik. Namun, jika teori-teori ini tidak menemukan keselarasannya dalam praktik, mereka tidak berguna.

Kami memandang penting praktik, maka proses kerja-kerja sosial dan peleburan sosial mutlak dilakukan. Praktik dapat menguji ideologi anarkis, mengizinkan organisasi anarkis untuk berpikir lebih baik tentang peluang-peluang dan sudut pandangnya, menjadi jauh lebih membumi, memijak tanah, dan bertindak sesuai kenyataan di depan mata, yang tidak mengawang-awang. Oleh karena itu, kerja sosial dan peleburan sosial memampukan seseorang untuk memproduksi teori organisasi anarkis dengan ketepatan yang lebih tinggi.

Dari pertautan antara teori dan praktik seperti ini, kami memahami cara berteori organisasi khusus anarkis sebagai sebuah tindakan terus menerus: berteori, berpraktik, menilai ulang teori, dan jika diperlukan, merumuskannya kembali, berteori, berpraktik, dan berulang begitu untuk seterusnya.

Banyak organisasi anarkis mengartikan teori hanya sebagai cara memahami kenyataan di tempat mereka bertindak. Dengan cara ini mereka memisahkan teori dari ideologi, teori yang adalah “serangkaian konsep yang diuraikan secara terpadu di antara mereka” menjadi berfungsi hanya untuk menjelaskan jawaban atas “pertanyaan pertama tentang strategi”, yaitu: “di mana kita saat ini?”. Dalam pengertian ini, teori digunakan untuk mencari pemahaman mendalam tentang kenyataan di mana ia berkegiatan. Kami sepakat mengenai hal ini. Namun, seperti yang telah kami sebutkan di atas, kami percaya bahwa teori juga berfungsi untuk menjawab pertanyaan kedua dan ketiga mengenai strategi, yaitu, “ke mana kita ingin melangkah?”, dan “bagaimana agar kita dapat meninggalkan tempat kita saat ini dan sampai di tujuan yang kita inginkan”.

Jadi, dalam kerangka strategis ini, teori tidak hanya untuk menjawab pertanyaan pertama, tetapi juga berusaha menjawab pertanyaan kedua dan ketiga. Lebih jauh lagi, teori yang digunakan dalam strategi ini pastilah memiliki unsur ideologis, dan karena itu, dalam kasus ini, meskipun teori dan ideologi adalah dua konsep yang berbeda, mereka tidak dapat benar-benar dipisahkan. Teori tentu membawa sisi ideologis dan ideologi tentu membawa sisi teoretis. Keduanya saling terkait.

Dari pemahaman tentang hubungan antara teori dan ideologi ini, organisasi khusus anarkis harus bekerja dengan apa yang kita sebut sebagai kesatuan ideologis dan teoretis. Kesatuan ini terjadi melalui proses pengambilan keputusan organisasi anarkis dan bertujuan untuk menentukan garis politik yang jelas (secara teoretis dan ideologis), yang tentunya akan memandu semua kegiatan dan tindakan organisasi, yang “baik secara umum maupun rinci, harus dalam kesepakatan yang persis dan ajek”[157] dengan garis yang ditetapkan oleh organisasi. Kami berpandangan bahwa ketiadaan pemahaman bersama dalam hal ideologis dan teoretis ini bakal menghasilkan konflik berkelanjutan antar anggota dan memunculkan berbagai praktik yang tidak ampuh. Ketiadaan garis politik teoretis dan ideologis yang jelas akan menyebabkan kurangnya pemahaman, atau bahkan munculnya pemahaman yang bertentangan satu sama lain dalam sebuah rangkaian gagasan. Hasilnya adalah kegagalan, kebingungan, dan/atau praktik-praktik yang sia-sia.

Dengan garis politik yang dirumuskan dengan baik, semua orang tahu bagaimana harus bertindak dan, ketika ada masalah dalam praktik, semua orang akan memahami bahwa garis politik tersebut harus ditinjau kembali. Bila garis teoretis dan ideologis tidak terpahami dengan baik, ketika ada masalah, sulit untuk mengetahui apa-apa saja yang perlu diperbaiki. Oleh karena itu, kejelasan garis inilah yang memungkinkan organisasi untuk berkembang secara teoretis.

D. Propaganda Anarkis

Organisasi khusus anarkis juga ditujukan untuk propaganda anarkis. “Propaganda tidak lain adalah pengulangan, secara terus menerus dan tidak kenal lelah, atas asas-asas yang menjadi panduan kita dalam berperilaku, yang kita ikuti dalam berbagai situasi kehidupan”.[158] Jadi, kami memahami propaganda sebagai penyebarluasan gagasan anarkisme, dan oleh karena itu, merupakan kegiatan mendasar organisasi anarkis. Tujuannya adalah untuk membuat anarkisme dikenal dan membuat orang-orang tertarik pada tujuan kita. Propaganda adalah salah satu kegiatan organisasi anarkis, tetapi bukanlah satu-satunya. Propaganda harus dilakukan terus menerus dan dengan cara yang terorganisir.

“Propaganda organisasi harus dilakukan tanpa henti, demikian pula propaganda gagasan dan cita-cita anarkis lainnya”.[159] Demi menambah kekuatan, propaganda perlu dilakukan terus menerus. Propaganda yang dilakukan sesekali saja tidak cukup untuk membuat anarkisme dikenal, apalagi untuk menyatukan orang-orang. Oleh karena itu, penegasan pertama kami adalah bahwa propaganda perlu dilakukan secara berkelanjutan.

Selain itu, propaganda tidak boleh dilakukan dengan cara yang terasing. Sebab, sama seperti semua kegiatan lain yang tidak terkoordinasi, propaganda yang dilakukan sendiri-sendiri tidak memiliki kekuatan yang memadai. Seperti yang kita ketahui, organisasi—dalam artian koordinasi kekuatan untuk mewujudkan sebuah tujuan—dapat melipatgandakan hasil kerja seseorang. Hal yang sama juga berlaku untuk propaganda. Ketika kita terorganisir, hasil dari kerja propaganda kita—baik dalam teori maupun praktik—berlipat ganda, dan dapat meraih hasil yang jauh lebih besar ketimbang propaganda yang dilakukan secara perorangan. Maka, penegasan kedua kami adalah bahwa propaganda mesti dilakukan secara terorganisir, sebab hasilnya dapat berlipat ganda.

Propaganda santai yang sambil lalu dan terasing, yang seringkali dilakukan untuk menenangkan hati nurani seseorang atau sekadar untuk melegakan hasrat bertukar pendapat, tidak terlalu berdampak atau bahkan tidak berdampak sama sekali. Dengan kondisi ketidaksadaran dan kesengsaraan massa, dan dengan sebegitu banyaknya kekuatan yang menantang mereka, propaganda semacam itu akan dengan segera terlupakan bahkan sebelum upayanya terhimpun dan menghasilkan sesuatu yang subur. Lahan tidak siap menerima benih yang ditaburkan sembarangan, apalagi untuk dapat berkecambah dan berakar.[160]

Kami berpendapat bahwa organisasi khusus anarkis mesti menggunakan segala cara yang ia miliki untuk melancarkan propaganda yang terus menerus dan terorganisir. Pertama-tama, yang terkait dengan bidang teoretis, pendidikan, dan/atau budaya, dengan perwujudannya dalam bentuk kursus-kursus, ceramah, debat, konferensi, kelompok belajar, situs internet, surat elektronik, teater, buletin, surat kabar, majalah, buku, video, musik, perpustakaan, acara publik, program radio, program televisi, sekolah-sekolah libertarian, dll. Kami benar-benar menghargai semua propaganda ini dan menganggap penting berbagai kegiatan yang dapat menarik orang banyak dan memastikan mereka mengenal anarkisme, baik kritik-kritiknya maupun tawarannya yang membangun. Dengan demikian, banyak orang dimungkinkan untuk dapat mengembangkan nilai-nilai anti-otoritarian, merangsang kesadaran dan hati nurani mereka, membuat mereka melihat eksploitasi dan dominasi dengan cara yang lebih kritis, dan membuat mereka melihat bahwa ada jalur alternatif untuk berjuang dan berorganisasi. Orang-orang ini dapat saja mendekat, berusaha memperdalam pengetahuan mereka, terlibat dalam diskusi, dan juga mengatur diri mereka sendiri untuk bertindak.

Jenis propaganda ini, bila dilakukan dalam lingkup besar, sangat penting karena berfungsi sebagai semacam “pelumas” sosial yang sedikit demi sedikit mengubah budaya di tempat kita hidup dan mempermudah gagasan anarkis serta praktik-praktiknya dikenal masyarakat. Kerja propaganda yang masif ini lambat laun mengubah kesadaran masyarakat dan membuat ideologi kapitalisme, yang sudah tersebar dalam bentuk budaya, menjadi semakin dipertanyakan dan semakin sedikit penyebarannya. Kami memahami kesadaran sebagai sebuah kapasitas yang dimiliki setiap orang untuk mengenali nilai serta asas-asas berbudi luhur dan menerapkannya. Oleh karena itu, kami percaya bahwa kegiatan propaganda ini sangat relevan untuk peningkatan kesadaran secara berkelanjutan.

Propaganda dapat diarahkan untuk 1). menghilangkan prasangka dan budaya kapitalis, 2). membuat orang-orang memandang otoritarianisme secara kritis, dan 3). menarik orang-orang untuk berjuang melawan otoritarianisme ini.

Kami memahami bahwa setiap proses perubahan sosial dengan tujuan akhir seperti yang kami usulkan akan sangat bergantung pada penerimaan sebagian besar sektor masyarakat, atau setidaknya jangan sampai masyarakat menolaknya. Dan propaganda, dalam pengertian teoretis, pendidikan dan/atau budaya, akan sangat berperan dalam hal ini. Dengan demikian, “propaganda yang dijalankan oleh kaum anarkis yang terorganisir juga merupakan sebuah cara mewujudkan persiapan masyarakat masa depan: bekerja sama membangun peluang untuk memberikan pengaruh pada lingkungan dan mengubah kondisinya”[161]. Namun, kita harus mengerti batasan-batasan propaganda.

Propaganda dalam hal teoretis, pendidikan dan/atau budaya, memiliki tujuan utama untuk meningkatkan kesadaran. Jadi, ia bertujuan untuk mengubah gagasan masyarakat. Dan karena inilah kami melihat ada batasan serius dalam model propaganda ini. Peningkatan kesadaran tidak selalu berarti turut berkurangnya eksploitasi dan dominasi masyarakat kapitalis. Peningkatan kesadaran juga tidak berarti masyarakat serta merta akan mengorganisir diri mereka sendiri untuk berjuang. Saat ini, masifnya media arus utama, berkembangnya perkotaan, terpecah-pecahnya komunitas masyarakat, dan faktor lainnya, membuat propaganda dalam lingkup besar sangat sulit dilakukan, dan kita harus ingat bahwa bahkan saat tidak ada kesulitan ini pun, saat propaganda anarkis sangat kuat—dengan pusat-pusat budaya yang beroperasi permanen, surat kabar dengan oplah harian yang sangat tinggi—tidak ada jaminan bagi perubahan sosial. Dengan keterbatasan ini, kita dapat mempertimbangkan bahwa, bahkan dengan semua kesulitan untuk melaksanakan propaganda secara masif, peningkatan kesadaran masyarakat tidak selalu berarti terwujudnya organisasi dan perjuangan, tidak pula berarti berakhirnya, atau berkurangnya, eksploitasi dan dominasi. Dapat dikatakan bahwa, bahkan dalam situasi ketika semua orang sudah sadar pun, kita akan terus dieksploitasi dan didominasi. Karena itu,

[...] baik para penulis, filsuf, karya-karya mereka, bahkan surat kabar sosialis pun tidak dapat membentuk sosialisme yang hidup dan kuat. Sosialisme hanya dapat menemukan keberadaan nyata dalam kejernihan naluri revolusioner, dalam kehendak kolektif, dan dalam organisasi [...] —dan ketika naluri ini, kehendak ini, dan organisasi ini tidak ada, buku-buku terbaik di dunia pun hanyalah teori kosong dan mimpi-mimpi melempem.[162]

Untuk alasan ini, selain propaganda yang berlangsung di ranah teoretis, pendidikan dan/atau budaya, kami berpendapat bahwa kita juga harus mempertahankan propaganda dalam perjuangan dan organisasi, yaitu propaganda dalam kerja-kerja sosial, dengan niat untuk peleburan sosial.

Dengan berlangsungnya propaganda dalam lingkup perjuangan kelas dan gerakan sosial, kerja propaganda anarkis bertujuan untuk mengerahkan, mengorganisasi, dan mempengaruhi gerakan sosial dengan praktik anarkis. Berkali-kali kami menegaskan bahwa pengaruh anarkisme dalam gerakan sosial berarti mengupayakan agar gerakan sosial memiliki sifat yang kita inginkan: yang mengerahkan kekuatannya, bersudut pandang perjuangan kelas, berdaya tempur, berdikari, aksi langsung, demokrasi langsung, dan revolusioner. Untuk sampai pada tingkat pengaruh ini, organisasi khusus anarkis menjalankan propagandanya dengan tegas, melalui kata-kata, dan terutama, dengan menjadi contoh.[163]

Kami memahami keseluruhan proses kerja sosial dan peleburan sosial yang telah dibahas sebelumnya sebagai kerja propaganda utama yang harus dikembangkan organisasi anarkis. Dalam perjuangan, minoritas aktif anarkis, yang menciptakan gerakan sosial baru atau bergabung dengan gerakan sosial yang sudah ada, berupaya memberikan pengaruh sebanyak mungkin—dengan menjadi teladan—agar gerakan sosial bergerak dengan cara yang paling libertarian dan setara. Oleh karena itu, kerja sosial ini adalah

tentang mendidik demi kebebasan, meningkatkan kesadaran akan kekuatan dan kemampuan mereka sendiri, yang telah terlupakan karena mereka terbiasa patuh dan pasif. Oleh karena itu, caranya perlu dilakukan sedemikian rupa sehingga orang-orang mampu bertindak atas kemauan mereka sendiri, atau setidaknya mereka percaya bahwa mereka melakukannya karena naluri dan gerak hati, walaupun sebenarnya hal-hal tersebut diperkenalkan pada mereka.[164]

Dengan cara ini, propaganda anarkis melayani keseluruhan proses kerja anarkis, sebagai minoritas aktif dalam gerakan sosial maupun dalam pembentukan organisasi kerakyatan.

Saat kita melakukan propaganda anarkis, kita mesti memikirkan medan yang paling subur untuk hal itu. Kami memahami bahwa propaganda terbaik adalah propaganda yang dilakukan di dalam gerakan sosial, yang memberi bentuk pada perjuangan kelas. Artinya, bekerja di antara orang-orang yang terorganisir di seputar kebutuhan hidup, dan berupaya meraih pencapaian jangka pendek. Kami memahami bahwa kita dapat menanam benih anarkisme dengan propaganda dan membawa masyarakat ke proses revolusioner yang membuka jalan bagi sosialisme libertarian. Bukan lantas alternatif lain tidak berguna, tetapi persoalan “di mana dan untuk siapa kita berpropaganda” harus selalu dipikirkan.

E. Pendidikan Politik, Hubungan, dan Pengelolaan Sumber Daya

Akhirnya, kita akan membahas sedikit tentang kegiatan lain dari organisasi khusus anarkis: pendidikan politik, hubungan, dan pengelolaan sumber daya.

Pendidikan politik adalah hal mendasar bagi berfungsinya organisasi anarkis. Pada tingkat politis, yaitu organisasi khusus anarkis, tujuan utama pendidikan adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan memperdalam pemahaman teoretis dan ideologis militan organisasi. Pendidikan juga membantu para militan baru dan mengupayakan agar ketimpangan pengetahuan (antara yang sudah terdidik dan yang belum cukup terdidik) menjadi setipis mungkin. Pendidikan juga memastikan agar tingkat diskusi yang tinggi dalam organisasi tidak terpengaruh oleh ketimpangan pengetahuan ini. Secara umum, pendidikan politik mendorong perkembangan teoretis dan ideologis organisasi dan memastikan adanya persatuan. Bagi para pendukung, pendidikan politik menawarkan landasan teoretis dan ideologis agar garis politik organisasi anarkis dapat dipahami.

Pendidikan politik pada tingkat politis memperdalam persoalan sejarah, masa kini, dan masa depan, serta pengetahuan tentang berbagai aliran ideologi dan gerakan sosial lainnya. Pendidikan politik dilaksanakan dalam berbagai cara, antara lain melalui kursus-kursus dan buku pelatihan untuk militan, seminar edukasi, atau pendidikan mandiri yang dilakukan oleh para militan sendiri.

Pada tingkat sosial, yaitu gerakan sosial, organisasi anarkis juga bekerja dengan pendidikan politik untuk mendorong perkembangan teori dan ideologi. Pendidikan politik ini pertama-tama berfungsi untuk mengerahkan orang. Kemudian untuk mendidik militan akar rumput dan memberikan dukungan yang diperlukan agar mereka dapat berkembang secara teoretis dan, jika memungkinkan, bergabung ke kelompok perantara. Terakhir, pendidikan politik berusaha mengembangkan militan yang bekerja dalam kelompok perantara dan, jika mereka memiliki kedekatan ideologis, mereka dapat bergabung ke dalam organisasi anarkis. Pendidikan politik di tingkat sosial ini sangat penting untuk mempolitisasi militan. Agar gerakan sosial memiliki sifat yang diinginkan, dan agar gerakan tersebut mengarah kepada pembangunan organisasi kerakyatan, maka sebaiknya kita mempolitisasi sebanyak mungkin militan. Dalam hal inilah pendidikan politik memainkan peran penting.

Pada praktiknya, pendidikan politik di tingkat sosial ini juga dapat terjadi dalam beberapa cara, antara lain: dengan pendalaman sejarah, masa kini, dan masa depan, dan dengan tersedianya pengetahuan tentang anarkisme dan gerakan sosial; dengan kursus-kursus dan buku pelatihan sosial; dengan ceramah dan debat.

Pendidikan politik sangat penting bagi gerakan yang memerlukan militansi dengan nalar lingkaran konsentris seperti yang telah dibahas sebelumnya, baik di tingkat politis maupun tingkat sosial.

Seluruh relasi dalam organisasi khusus anarkis juga sangat penting dan dapat dibagi dengan cara yang sama: di tingkat sosial dan tingkat politik.

Pada tingkat politik, organisasi anarkis berusaha menjalin hubungan dengan organisasi, kelompok, dan perorangan dari segala penjuru, sehingga hubungan-hubungan ini dapat menyumbang pada kinerja organisasi. Hubungannya bisa terbangun secara alamiah atau agak formal. Hubungan seperti apa pun yang dibangun, sangat penting bagi kita untuk memiliki lawan bicara dan membidik organisasi konfederasi yang lebih luas, yang dapat mempertemukan berbagai organisasi anarkis. Pada tingkat sosial, organisasi anarkis berusaha untuk mengenal dan berhubungan dengan gerakan sosial, kurang lebih terkait dengan gerakan-gerakan itu, atau bahkan berhubungan dengan organisme-organisme lain seperti universitas, dewan kota, yayasan, LSM, organisasi hak asasi manusia, organisasi ekologis, dll.

Pengelolaan sumber daya organisasi khusus anarkis dilakukan melalui proyek swadaya, seperti penggalangan dana oleh para militannya sendiri, atau melibatkan orang-orang lain, atau bahkan melalui prakarsa seperti koperasi, dan sebagainya. Hal ini penting untuk mempertahankan keberlanjutan organisasi anarkis dan semua kegiatannya. Meskipun menolak nalar kapitalisme, selama kita hidup di dalamnya, mau tidak mau kita harus mengumpulkan dana dan mengelolanya untuk menjalankan kegiatan kita. Dana ini penting: untuk mewujudkan kerja-kerja sosial (biaya transportasi militan, dll.), membeli buku, mencetak materi propaganda (pamflet, koran, buku, video, dll.), memenuhi kebutuhan struktur organisasi (biaya pemeliharaan ruang, dll.), perjalanan, dan kegiatan lainnya.

F. Hubungan Organisasi Anarkis Spesifik dengan Gerakan Sosial

Sampai saat ini, telah beberapa kali kami membahas tentang pemisahan antara aksi di tingkat sosial dan di tingkat politik. Kami bermaksud mengungkap dengan sedikit lebih rinci mengenai apa yang kami pahami dari masing-masing tingkatan ini, kekuatan dan kelemahan setiap tingkat, dan terutama bagaimana kedua lapisan ini berhubungan satu sama lain.

Bagi kami, tingkat sosial adalah ruang lingkup di mana gerakan sosial berkembang, di sinilah pembangunan dan peningkatan kekuatan sosial organisasi rakyat harus diupayakan. Tingkat ini memiliki gerakan sosial sebagai tokoh utama revolusioner yang baik, walaupun tidak terbatas hanya pada mereka. Ketika kita berurusan dengan gerakan sosial, kita mesti menekankan bahwa gerakan sosial seharusnya tidak terkungkung dalam sebuah ideologi, melainkan harus terbentuk di atas landasan kebutuhan nyata—penyebab umumnya harus jelas. Gerakan sosial harus terorganisir di seputar persoalan materiil dan hal-hal yang bermanfaat bagi umum, yang berusaha meraih kemenangan demi kemenangan, yaitu perbaikan kondisi kehidupan kelas-kelas yang dieksploitasi. Gerakan sosial dapat terorganisir untuk memperjuangkan masalah lahan, perumahan, pekerjaan, membela pekerja dari bosnya, menuntut perbaikan di komunitas masyarakat, dan berjuang untuk banyak masalah lainnya. Orang-orang yang bergabung ke dalam gerakan ini adalah orang-orang yang tertarik pada perjuangan seputar berbagai isu tersebut, dan yang diuntungkan jika perjuangan tersebut menang.

Seperti yang telah kita lihat, semakin banyak gerakan sosial ini terorganisir dan memiliki sifat yang kita inginkan (pengerahan kekuatan, perjuangan kelas, berdaya tempur, otonomi, aksi langsung, demokrasi langsung, dan sudut pandang revolusioner), semakin mereka mampu membangun organisasi rakyat dan secara berkelanjutan meningkatkan kekuatan sosial mereka. Kami memahami bahwa hanya dengan bergabungnya berbagai gerakan sosial dalam pembangunan organisasi kerakyatan barulah kita dapat mengatasi kapitalisme dan negara, serta membangun sosialisme libertarian melalui revolusi sosial. Dengan kata lain, tingkat sosial adalah lapisan paling penting untuk perubahan sosial yang ingin kita terapkan dalam masyarakat. Tanpanya, setiap perubahan yang kita pikirkan tidak mungkin menghasilkan apa pun selain terciptanya sebuah kelas pengeksploitasi baru. Oleh karena itu, tingkat sosial merupakan aktor utama dalam proses perubahan sosial.

PROSES PERUBAHAN SOSIAL

a-f-anarchist-federation-of-rio-de-janeiro-anarkis-4.png

Meskipun demikian, seperti yang telah kita lihat, ada beberapa hal dalam tingkat sosial ini yang memperumit proses perubahan sosial. Pertama, karena banyaknya kekuatan politik yang berhubungan dengan gerakan sosial, dan karena sifat gerakan sosial itu sendiri, seringkali membuatnya menjadi tidak memiliki sifat-sifat yang mendukung keberlangsungan proses perubahan sosial.

Kerumitan yang timbul dari kekuatan otoritarian dalam gerakan sosial ada banyak: ada organisasi yang berusaha mengideologisasi gerakan sosial dan melemahkannya; ada organisasi yang mencoba memanfaatkannya, sehingga fungsi gerakan sosial menjadi sekadar melayani tujuan organisasi tersebut (tujuan yang berbeda dengan tujuan gerakan sosial); ada gerakan yang tidak mengupayakan keterlibatan kelas-kelas tertindas dan berakhir menjadi kelompok “pelopor” yang terlepas dari basis akar rumput; ada gerakan yang hanya berfungsi dengan bantuan dari pemerintah dan kapitalis; ada gerakan yang sepenuhnya terkait dengan politisi, partai, dan kelompok-kelompok otoritarian lainnya; ada gerakan yang ingin mencalonkan kandidat dan hanya terlibat secara politis melalui demokrasi perwakilan; ada gerakan yang mendukung hubungan-hubungan hierarkis, yaitu para pemimpinnya memutuskan dan akar rumput mematuhinya; ada gerakan reformis; ada gerakan-gerakan terasing yang tidak ingin terhubung dengan yang lain; ada gerakan yang tidak memproduksi teori dan analisis situasi.

Kerumitan lain muncul dari cara kerja gerakan sosial itu sendiri. Gerakan sosial selalu terorganisir untuk perjuangan-perjuangan jangka pendek, maka ada risiko yang sangat besar ketika sebuah kemenangan kecil kemudian dianggap sebagai tujuan akhir perjuangan. Saat ini terjadi, gerakan sosial akhirnya menjadi gerakan reformis—yaitu gerakan yang bertujuan untuk sekadar memperbaiki atau melakukan penyesuaian dalam sistem kapitalis. Seringkali perjuangan jangka pendek ini menjauhkan gerakan sosial dari perjuangan revolusioner. Selain itu, karena dalam banyak kasus gerakan-gerakan ini terbentuk secara spontan, tidak dapat disangkal bahwa ada kesulitan organisasional bagi gerakan ini untuk melakukan perjuangan jangka panjang. “Oleh karena itu, spontanisme—pengerahan massa secara spontan, adalah dampak dari timbunan masalah yang tidak terselesaikan dan yang sewaktu-waktu dapat ‘meledak’. Apabila tidak disalurkan dan diorganisir dengan baik, ia tidak akan membantu mengatasi masalah politik, dalam hal ini: tidak mengubah hubungan kekuasaan”[165]. Seperti yang telah kita lihat, gerakan sosial bisa terseret-seret keadaan, dan terkadang, gerakan sosial pula yang bertanggung jawab atas surutnya gerakan. Proses surut ini seringkali menyebabkan hilangnya pembelajaran dan kekuatan yang telah terkumpul dalam perjuangan.

Jadi, di satu sisi, tingkat sosial harus menjadi aktor utama perubahan sosial. Namun, di sisi lain, tingkat sosial pun memiliki keterbatasan serius dalam mewujudkan hal ini. Maka kami memahami bahwa perubahan sosial dapat terwujud dengan adanya tingkat politik yang melengkapi tingkat sosial.

Tingkat politik adalah ruang di mana organisasi khusus anarkis berkembang. Berbeda dengan tingkat sosial, tingkat politik adalah tingkat yang ideologis—lapisan khusus anarkis. “Masalah kekuasaan, yang menentukan perubahan sosial yang mendalam, hanya bisa dipecahkan di tingkat politik, melalui perjuangan politik. Dan perjuangan ini memerlukan suatu bentuk organisasi khusus: organisasi politik revolusioner”.[166]

Tingkat politik ini tentu harus terhubung dengan tingkat sosial, sebab tanpa tingkat sosial, tingkat politik tidak akan mampu mewujudkan perubahan sosial yang diinginkan. Dengan demikian, tingkat politik benar-benar membutuhkan tingkat sosial. Seperti yang telah kami katakan, tingkat sosial adalah aktor utama perubahan sosial.

Insureksi atau proses perjuangan panjang tidak akan mungkin terjadi tanpa campur tangan massa, atau jauh dari massa. Kecenderungan spontan mereka selalu memainkan peran yang sangat penting, dan fungsi organisasi politik adalah untuk menyalurkan kecenderungan ini ke dalam kerangka organisasi agar ia dapat berkembang secara ideologis. Revolusi tidak dapat dilaksanakan tanpa dukungan rakyat atau terlepas dari rakyat, apalagi pembangunan sistem sosial baru. Pembangunan sistem sosial baru hanya dapat terjadi dengan dukungan awal dari setidaknya sejumlah besar sektor masyarakat.[167]

Organisasi khusus anarkis ingin mempraktikkan sebuah politik revolusioner yang berpandangan bahwa cara mencapai tujuan akhir (revolusi sosial dan sosialisme libertarian) adalah dengan tindakan-tindakan yang memiliki landasan strategis. Untuk alasan ini, minoritas aktif mengorganisir diri dan mengkoordinasi kegiatan para militan ideologis, bekerja seumpama ragi dalam roti perjuangan di tingkat sosial. Kegiatan utama yang dilakukan oleh tingkat politik ini adalah kerja-kerja sosial yang terjadi ketika tingkat politik berinteraksi dengan tingkat sosial. Dalam perjumpaan ini, tingkat politik berusaha memberikan pengaruh sebanyak mungkin pada tingkat sosial, membuatnya bekerja dengan cara yang paling libertarian dan setara. Kita telah melihat bahwa perjumpaan ini dapat terjadi secara langsung antara organisasi anarkis dan gerakan sosial, atau melalui kelompok perantara. Ketika tingkat politik mulai menerapkan hubungan ini dengan tingkat sosial, bahkan walaupun setengah-setengah, dapat kita katakan bahwa tingkat politik sedang melakukan peleburan sosial. Hanya melalui peleburan sosial inilah baru kita dapat membangun organisasi kerakyatan, terus menambah kekuatan sosialnya, dan mencapai tujuan akhir. Oleh karena itu, bagi kami, sebagaimana tingkat politik membutuhkan tingkat sosial, demikian pula tingkat sosial membutuhkan tingkat politik.

Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk kegiatan ideologis berupa penjelasan (dan unsur-unsur yang diperlukan untuk itu) yang tidak bertentangan, melainkan melengkapi tingkat perjuangan lainnya (ekonomi, militer, dll). Yang kami maksud dengan kegiatan ideologis bukanlah khotbah “pendidikan” ideologis yang hanya merujuk pada penyebaran “teori” revolusioner. Meskipun, perlu kami perjelas, pendidikan semacam itu juga penting. Kegiatan ideologis adalah sesuatu yang lebih dari sekadar penyebaran pengetahuan teoretis. Kenyataannya, praktik politik itu sendiri adalah bahan pokok, unsur kunci untuk memadukan tingkat kesadaran revolusioner. [...] inti dari hasil ideologisnya adalah untuk menunjukkan kepada orang banyak sebuah prospek kemenangan, perjalanan penuh harapan, dan kepercayaan diri untuk menempuh kemungkinan perubahan revolusioner yang mendalam. [...] Dan tugas “mempertunjukkan” hal-hal ini [...] adalah tugas para minoritas yang terorganisir secara politis, dengan tingkat kesadaran ideologis yang tidak dapat dihasilkan oleh praktik spontan massa. Sebuah tingkat kesadaran yang melampaui spontanisme.[168]

Dengan demikian, kami memahami bahwa tingkat sosial dan tingkat politik saling melengkapi. Tingkat politik menyebarkan pengaruhnya ketika ia mulai melakukan peleburan sosial, berusaha memberikan sifat yang diinginkannya pada tingkat sosial—yang seringkali kekurangan sifat ini—, terkadang karena adanya pengaruh kekuatan politik otoritarian, terkadang karena sifat dasar tingkat sosial itu sendiri.

Dalam interaksinya dengan tingkat sosial ini, tingkat politik harus:

  1. berjuang agar gerakan tidak dibangun di atas dasar ideologis;

  2. menghindari pengaruh negatif dari semua pihak-pihak otoritarian, mencegah mereka memanfaatkan gerakan sosial untuk tujuan mereka sendiri;

  3. melibatkan sebanyak mungkin kelas-kelas yang dieksploitasi dalam proses perjuangan dan memastikan mereka menjadi pelaku utama sejati untuk perubahan sosial;

  4. memastikan bahwa gerakan sosial tersebut tidak hidup karena kepentingan kelas penguasa dan bergantung pada bantuan kelas penguasa, melainkan gerakan sosial sendiri yang memaksakan penaklukkan mereka pada kelas penguasa;

  5. memastikan gerakan tersebut tidak terkait dengan politisi, partai, dan kelompok otoritarian lainnya;

  6. memastikan gerakan tidak berusaha mencalonkan wakil dalam sistem parlementer, melainkan melaksanakan politik mereka sendiri dan membuat kebijakan sendiri;

  7. sehingga setiap orang di gerakan dapat membahas semua persoalan mereka dengan cara yang paling demokratis, dan tidak ada hierarki;

Dengan demikian, gerakan sosial dapat menggunakan pencapaian-pencapaian jangka pendek mereka untuk membangun proyek revolusioner jangka panjang; menjadi penghubung untuk membangun organisasi rakyat; membantu dalam pengembangan dan produksi teori dan analisis situasi yang diperlukan; sehingga spontanitas dapat diubah menjadi organisasi; dan ketika masa sulit datang, mereka tidak kehilangan kekuatan dan pengetahuan yang telah terkumpul dari perjuangan-perjuangan yang selama ini telah mereka lakukan.

Tingkat sosial dicirikan dengan pasang surut yang tajam, karena situasi di tingkat ini lebih berubah-ubah ketimbang tingkat politik. Dengan demikian, tingkat politik berfungsi penting untuk menjamin keberlangsungan ideologi dan akumulasi perjuangan di tingkat sosial pada saat surut (atau bahkan saat pasang), sebab “organisasi politik [anarkis] juga merupakan ruang di mana pengalaman perjuangan rakyat terkumpul, baik secara nasional maupun internasional. Sebuah badan yang mencegah menghilangnya pengetahuan kelas tertindas dan tereksploitasi, yang telah dipelajari kelas-kelas ini seiring waktu”[169]. Pada saat pasang, peran organisasi khusus anarkis adalah untuk mendorong gerakan sosial. Pada saat surut, perannya adalah untuk ‘menjaga api tetap menyala”, yaitu menunggu dan mempersiapkan peluang-peluang baru untuk beraksi.

Anarkisme tidak menginginkan penaklukkan kekuasaan politik untuk menuju kediktatoran. Hasrat utamanya adalah untuk membantu massa mengambil langkah otentik menuju revolusi sosial dan pembangunan sosialisme. Namun, tidak berhenti ketika massa mengambil jalan revolusi sosial. Penting juga untuk mempertahankan arah revolusi ini dan tujuannya: menaklukkan masyarakat kapitalis atas nama masyarakat pekerja yang merdeka.[170]

Dengan cara ini, tingkat politik memberikan pengaruhnya pada tingkat sosial, memastikan tingkat sosial memiliki sifat-sifat yang diinginkan. Jika sifat ini sudah ada di tingkat sosial, maka tingkat politik hanya mendampinginya; Jika sifat ini tidak ada, maka tingkat politik berjuang untuk membuatnya nyata.

Ketika kami mendefinisikan tingkat politik sebagai organisasi khusus anarkis yang berisi segelintir minoritas yang aktif, kami memahaminya sebagai sesuatu yang bertentangan dengan organisasi kepeloporan kaum otoritarian. Kaum otoritarian juga mengusulkan dipisahkannya tingkat sosial dan tingkat politik, tetapi mereka percaya bahwa tingkat politik memiliki hubungan hierarkis dan dominatif atas tingkat sosial. Dengan demikian, hierarki dan dominasi tingkat politik (partai-partai otoritarian) dihasilkan dalam hubungan mereka dengan tingkat sosial. Demikian pula kaum otoritarian memahami bahwa reproduksi kesadaran berlangsung secara hierarkis dan dominatif, dari tingkat politik dibawa turun ke tingkat sosial, dari orang-orang yang “sadar” kepada orang-orang yang “tidak sadar”. Demikianlah hubungan hierarki dan dominasi tingkat politik terjadi atas tingkat sosial. Hubungannya bukan dua arah, dari tingkat politis ke tingkat sosial dan sebaliknya, melainkan satu arah, dari tingkat politis ke tingkat sosial—yang akhirnya hanya menjadi sabuk penyebaran gagasan politik. Contoh gagasan otoritarian adalah mendukung kepeloporan minoritas sebagai secercah cahaya yang akan menerangi jalan rakyat; dan tingkat sosial, yang berada dalam kegelapan, akan bergantung pada cahaya tingkat politik. Kita mengetahui dari berbagai contoh sejarah bahwa dengan hubungan yang seperti ini, di mana tingkat politik berjuang untuk tingkat sosial, tingkat politik akhirnya memperoleh posisi istimewa.

Tapi kita kaum anarkis tidak dapat membebaskan rakyat, kita ingin rakyat membebaskan diri mereka sendiri. Kami tidak percaya pada kebaikan-kebaikan yang diberikan dari atas dan ditetapkan secara paksa; kami ingin model kehidupan sosial baru yang muncul dari lubuk hati rakyat, sesuai dengan tingkat perkembangan yang telah dicapai manusia dan yang dapat terus berkembang seiring kemajuan mereka. Oleh karena itu, perlu kita ingat bahwa semua kepentingan dan opini dari organisasi (orang-orang) yang sadar mungkin saja menegaskan diri dan mempengaruhi kehidupan kolektif, tetapi sesuai dengan porsinya.[171]

Bagi organisasi khusus anarkis, hubungan antara tingkat sosial dan tingkat politik harus menyiratkan perlunya pembahasan serius mengenai masalah etika. Kami telah berpendapat sejak awal bahwa: “FARJ dengan tegas akan menghormati asas-asas etis yang menopangnya, menawarkan pengembangan budaya politik yang menghormati keberagaman sudut pandang dan kesamaan tujuan”.[172]

Dengan etika, dan hanya dengan etika, organisasi anarkis tidak bertindak selayaknya partai otoritarian (bahkan partai revolusioner sekalipun). Etika anarkisme, berbeda dengan ideologi lainnya, menjunjung posisi unik terkait hubungan antara tingkat sosial dan tingkat politik. Karena itulah etika sangat penting bagi organisasi anarkis mana pun yang ingin bekerja dengan gerakan sosial. Berbeda dengan organisasi pelopor, tingkat politik, yang berisi minoritas aktif dan bertindak dengan etika, tidak membangun hubungan hierarkis atau dominatif atas tingkat sosial. Bagi kami, seperti yang telah kami tekankan, tingkat sosial dan tingkat politik saling melengkapi dan memiliki hubungan yang dialektis. Dalam hal ini, tingkat politik melengkapi tingkat sosial, demikian pula tingkat sosial melengkapi tingkat politik.

Bertentangan dengan yang diusulkan kaum otoritarian, etika horizontal yang dibangun oleh organisasi khusus anarkis dihasilkan dalam hubungannya dengan gerakan sosial. Ketika berhubungan dengan tingkat sosial, organisasi khusus anarkis bertindak dengan etika dan tidak mencari posisi istimewa, tidak memaksakan kehendaknya, tidak mendominasi, tidak menipu, tidak mengasingkan, tidak menganggap dirinya superior, ia tidak berjuang untuk gerakan sosial atau berusaha memimpin mereka. Organisasi anarkis berjuang dengan gerakan sosial, tidak memajukan diri bahkan satu langkah pun dari apa yang mereka ingin lakukan.

Dari sudut pandang etika tingkat politik ini, kami memahami bahwa tidak akan ada api yang menyala jika tidak dinyalakan secara kolektif; tidak boleh ada yang maju menerangi jalan rakyat jika rakyat itu sendiri hanya mengikuti dalam kegelapan. Tujuan minoritas aktif, secara etis, adalah untuk mendorong, berdiri bahu-membahu, bersolidaritas ketika dibutuhkan dan diminta. Dengan cara ini, cara yang berbeda dari kepeloporan, tindakan minoritas aktif dibenarkan.

Keikutsertaan individu dalam mendukung gerakan sosial harus mengikuti sikap orang-orang yang berkomitmen pada situasi ini. Para pendukung, atau bahkan militan yang sah secara organisasional, harus menunjukkan bahwa mereka bersedia lebih banyak mendengarkan ketimbang berbicara. Mereka harus sadar keadaan sekitar, tempat hidup warga yang secara alamiah membentuk sebuah gerakan sosial. Sebagai bagian dari keseluruhan, yaitu sebuah organisasi, mereka harus tumbuh bersamanya dan tidak menentukan jalur dan wujudnya dengan cara yang vertikal dan otoritarian. Penting untuk diingat bahwa proses pembangunan secara kolektif selalu, dan di atas segalanya, merupakan proses pendidikan mandiri. Seiring waktu, jika kesepakatan kelompok diikuti dengan tepat, barulah kemudian para pendukung atau militan akan menyadari bahwa hal terpenting adalah untuk membandingkan ideologi mereka dengan kenyataan kelompok dan tidak mencoba mereduksi gerakan sosial ke dalam kepastian-kepastian ideologis mereka.[173]

Lantas bukan berarti kami menganjurkan sejenis “akar rumput-isme”, yang menganggap bahwa apa pun yang diadvokasi gerakan sosial pasti selalu benar. Kita tahu bahwa seringkali gerakan sosial memiliki sifat yang berbeda dengan yang kita inginkan, dan yang lebih buruk lagi: terkadang mereka bergeser ke kanan, mendukung kepentingan kapitalis atau bahkan diktator, contohnya seperti fasisme. Oleh karena itu, jika di satu sisi kami tidak percaya bahwa kita harus memimpin gerakan sosial, di sisi lain kami juga tidak percaya bahwa kita harus selalu mengikuti kemauan mereka. Kami ingin berada dalam posisi yang setara, dan ketika kami melihat mereka menjauh dari posisi-posisi yang diperlukan untuk mencapai perubahan sosial, kami akan berjuang dan berusaha mempengaruhi mereka agar memiliki sifat-sifat yang telah dijelaskan.

Bukan berarti kami percaya bahwa massa selalu benar, atau kami akan selalu mengikuti perubahan suasana hati mereka. Kami memiliki program, sebuah cita-cita untuk menang, dan itulah mengapa kami berbeda dan berpartai.[174] Kami ingin menindaklanjutinya, mendorongnya ke jalan yang kami yakini sebagai jalan terbaik. Namun, karena tujuan kami adalah untuk membebaskan dan bukan untuk mendominasi, kami ingin membiasakan melakukannya dengan prakarsa dan tindakan yang merdeka.[175]

Selain itu, bertentangan dengan kaum otoritarian, bagi kami tingkat sosial bisa mempengaruhi dan harus selalu mempengaruhi tingkat politik. Artinya, ketika ideologi tingkat politik dibenturkan dengan kenyataan praktik tingkat sosial, tingkat politik juga menerima sumbangsih penting dari tingkat sosial untuk terus dapat memperbaharui organisasi anarkis. Tingkat politik dapat membuat strategi revolusioner yang tetap hanya ketika ia mulai berpraktik di tingkat sosial. Dengan demikian, kami berpendapat bahwa hubungan dua arah antara tingkat politik dan tingkat sosial ini juga akan banyak berkontribusi bagi tingkat politik.

Menurut kami, pembagian antara tingkat sosial dan tingkat politik ini akan diperlukan sampai revolusi sosial diteguhkan dan dipastikan keberadaannya, saat sosialisme libertarian telah berfungsi. Setelah sosialisme libertarian beroperasi, tingkat politik harus menyatu dengan tingkat sosial.

G. Kebutuhan akan Strategi, Taktik, dan Program

Sangat penting bagi organisasi khusus anarkis untuk bekerja dengan strategi. Kita dapat mendefinisikan strategi dengan merumuskan jawaban atas tiga pertanyaan ini:

  1. Di mana kita saat ini?

  2. Ke mana tujuan kita?

  3. Bagaimana caranya agar kita bisa beranjak dari tempat kita saat ini dan sampai ke tujuan yang kita inginkan?

Strategi adalah rumusan teoretis dari diagnosis atas situasi saat ini, pemahaman tentang situasi yang ingin dicapai, dan serangkaian aksi yang bertujuan untuk mengubah situasi saat ini menjadi situasi yang diinginkan. Dapat dikatakan bahwa “kami memahami strategi sebagai seperangkat unsur, yang bersatu dalam cara sistematis dan terpadu, yang mengarah pada tujuan akhir yang besar. [... dan] menyatukan tujuan akhir tersebut dengan kenyataan sejarah yang khusus.”[176]

Dalam naskah ini, kami berusaha menyempurnakan pemahaman kami akan strategi perubahan sosial. Mulanya, pikirkan pertanyaan pertama—kita petakan kapitalisme dan negara yang membentuk tubuh masyarakat dominasi dan eksploitasi. Kemudian, pikirkan pertanyaan kedua—mencoba memahami tujuan akhir revolusi sosial dan sosialisme libertarian. Akhirnya, pikirkan pertanyaan ketiga—dan usulan untuk perubahan sosial yang terjadi dari gerakan sosial, untuk kemudian membentuk organisasi rakyat, dalam interaksi yang ajek dengan organisasi anarkis spesifik. Semua ini dilakukan sembari terus mengutamakan kepentingan kelas-kelas yang dieksploitasi. Dengan demikian, ada alasan strategis di balik pemahaman semua materi teoretis ini. Dalam hal ini, strategi digunakan untuk menyusun tawaran perubahan sosial masyarakat saat ini, berusaha mengarahkannya ke sosialisme libertarian—yang kami sebut sebagai strategi permanen; yaitu strategi yang sangat luas yang searah dengan tujuan jangka panjang kita.

Strategi juga dapat dipahami dengan cara yang tidak terlalu luas, dan bahkan sempit. Setiap aksi yang dilakukan oleh organisasi khusus anarkis, atau bahkan para militannya, dapat dipahami secara strategis. Front organisasi anarkis, misalnya, dapat merencanakan kerja-kerjanya dengan merespons ketiga pertanyaan di atas:

  1. Hari ini kita belum memiliki peleburan sosial dalam gerakan komunitas masyarakat di lingkungan tertentu yang sedang sangat berkembang, padahal kami percaya ada potensi kerja sosial yang dapat dikembangkan di sana.

  2. Kami berharap dalam waktu setahun ini kami dapat melakukan kerja sosial rutin dengan beberapa peleburan.

  3. Untuk itu, kami akan mencoba mendekati gerakan ini, mengenalnya dari dekat, dan memulai praktik kerja sosial yang konstan, mencari peleburan sosial.

Demikian pula seorang militan dapat, misalnya, mengajukan tawaran untuk pelatihan politik mandiri, juga dengan merespons ketiga pertanyaan di atas:

  1. Saya kurang memahami persoalan teoretis tertentu, dan menurut saya ini dapat menghambat militansi saya.

  2. Saya ingin menyelesaikan masalah ini dalam enam bulan, karena dengan menyelesaikannya akan membuka lebih banyak peluang bagi militansi saya.

  3. Saya akan melakukannya pertama-tama dengan mengobrol bersama rekan-rekan organisasi yang lebih berpengalaman dari saya dan meminta rujukan materi mengenai topik terkait. Kemudian saya akan membaca semua materi tersebut dan mengusulkan sebuah pembahasan bersama anggota organisasi lainnya. Dan akhirnya, saya akan merumuskan gagasan saya dalam sebuah tulisan dan mempresentasikannya kepada organisasi dan sahabat lainnya agar mereka bisa memberikan pendapat mereka.

Singkatnya, segala sesuatu dalam organisasi, dari yang paling rumit sampai yang paling sederhana, dapat dan harus dilakukan secara strategis.

Dalam organisasi khusus anarkis, persoalan pengembangan strategi diperlakukan sebagai berikut: harus selalu ada perdebatan luas mengenai strategi, termasuk tiga pertanyaan pemantik di atas. Organisasi khusus anarkis harus berusaha mendiagnosis kenyataan tempatnya beroperasi, menetapkan tujuan akhir jangka panjang, dan yang terpenting, menentukan periode dan siklus perjuangan yang berbeda-beda dari setiap perjuangan, dengan golnya masing-masing. Bidang “makro” (diagnosis, tujuan jangka menengah dan jangka panjang) ini disebut strategi, dan tujuan besarnya disebut tujuan strategis. Strategi kemudian dijelaskan secara lebih rinci, atau “mikro”, atau disebut juga dengan taktik, dengan cara menentukan tujuan-tujuan jangka pendek dan tindakan, yang akan dilakukan oleh semua militan atau sekelompok militan, untuk mencapai tujuan taktis jangka pendek. Tentu saja, pencapaian tujuan taktis harus turut membantu pencapaian tujuan strategis, atau setidaknya mengarah ke sana.

Bila garis strategis-taktis organisasi ini sudah dibentuk, sebuah perencanaan aksi ditentukan, dan setiap militan memiliki peran yang jelas dan tujuan yang jelas untuk dicapai. Setiap tindakan perlu diberikan tenggat waktu, dan di setiap akhir siklus atau periode perlu dilakukan penilaian mengenai hasilnya. Penilaian ini dilakukan dengan meninjau ulang bagaimana kegiatan tersebut berjalan, apakah sesuai yang kita harapkan atau jangan-jangan kita melakukan suatu kesalahan. Singkatnya: kita mencoba melihat apakah kita bergerak menuju tujuan yang telah ditentukan, atau malah menjauh dari tujuan tersebut. Jika tindakan berjalan sesuai yang kita harapkan, kita menyempurnakannya, melakukan penyesuaian-penyesuaian, dan melakukannya lagi. Namun, jika tindakan itu malah menjauhkan kita dari tujuan, kita mesti mengubah tindakan taktis, atau bahkan strategi, kemudian melakukan proses yang sama kembali dalam jangka waktu tertentu. Proses bergerak, menilai ulang, bergerak kembali, menilai ulang kembali, dst, inilah yang membuat organisasi maju dalam strateginya dan melangkah dengan tepat dalam perjuangan. Dengan demikian,

“[...] strategi hanya menyediakan pedoman umum untuk suatu periode. Taktiklah yang mewujudkannya dalam kenyataan yang nyata dan terkini, dan menerjemahkan strategi menjadi aksi. Taktik merespons masalah yang lebih merinci, nyata, dan langsung, sehingga pilihan-pilihan taktis bisa lebih beragam dan lentur. Namun, pilihan taktis tidak boleh bertentangan dengan strategi. Seperti yang telah kami katakan sebelumnya, pemahaman strategis-taktis yang baik harus mempertimbangkan situasi nyata saat itu dan periode di mana ia beroperasi.”[177]

Strategi harus sesuai dengan diagnosis atas kenyataan tempat kita bekerja. “Jika situasi umum mengalami perubahan yang signifikan dan mengubah keadaan di mana organisasi bekerja, maka, agar dapat bertindak dengan efektif, kita harus memperbaiki strategi dan menyesuaikannya dengan keadaan baru”.[178] Begitu pula dengan tujuan. Jika tujuan berubah, misalnya dalam situasi pasca-revolusioner, maka strategi dapat diubah. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk memahami keadaan tempat kita hidup saat ini dan menetapkan tujuan-tujuan yang tepat dan jelas. Kedua hal ini adalah unsur penting dalam pengembangan strategi, karena “dalam politik tidak mungkin ada praktik yang jujur dan bermanfaat tanpa adanya teori dan tujuan yang jelas”[179]. Setelah mendiagnosis masyarakat yang ingin kita ubah saat ini dan menetapkan “tujuan yang ingin kita capai, karena kita menginginkan atau membutuhkannya, masalah besar lain adalah menemukan cara yang paling sesuai dengan keadaan, yang lebih menjamin keberhasilan dan lebih ekonomis, yang dapat membimbing kita menuju tujuan yang telah ditetapkan”[180].

Garis strategis diresmikan ke dalam sebuah program yang memandu semua tindakan organisasi dan militannya. “Kita tidak boleh meninggalkan program sosialis revolusioner, (program harus) ditetapkan dengan jelas, baik bentuknya maupun isinya”.[181] Itulah sebabnya kami memahami bahwa

strategi harus diwujudkan dalam program aksi yang menetapkan pedoman umum untuk suatu periode atau tahapan. Suatu program harus berakar pada kenyataan berbagai lapisan masyarakat kita. Strategi kita tidak bisa maju dan berkembang jika tidak berinteraksi terus menerus dengan berbagai masalah nyata yang terjadi dalam konteks situasi tertentu, yang membentuk sebuah tahapan aksi.[182]

Artinya, agar garis strategis dapat dibangun dan diresmikan ke dalam program, kita harus bersentuhan dengan praktik, sehingga teori dirumuskan dengan pengetahuan. Interaksi ini juga memungkinkan kita menerapkan strategi dan taktik yang benar. Program ini

[...] merupakan platform bersama bagi semua militan dalam organisasi anarkis. Tanpa wadah ini, satu-satunya kerja sama yang bisa terjadi hanya akan berdasarkan pada hasrat emosional, tidak jelas dan penuh kebingungan, dan tidak akan ada kesatuan sudut pandang yang nyata. [...] Program ini bukanlah serangkaian aspek sekunder yang mengelompokkan (atau setidaknya tidak memecah belah) orang-orang yang berpikiran sama, melainkan sekumpulan analisis dan tawaran yang diterapkan hanya oleh orang-orang yang mempercayainya dan yang memilih untuk menyebarkan gagasannya dan mewujudkannya menjadi kenyataan.[183]

Melalui program, organisasi khusus anarkis mengumumkan tawaran strategisnya untuk perubahan sosial. Pada saat bersamaan, selain berfungsi untuk memandu tindakan para militan organisasi, program ini juga menandai posisi organisasi untuk dilihat orang lain yang bukan bagian darinya dan membuat serangkaian analisis dan tawarannya diketahui publik.

Serangkaian strategi, taktik, dan program memberikan organisasi suatu bentuk kegiatan terencana, yang melaluinya kita dimungkinkan memperoleh hasil terbaik. Perencanaan sangat penting bagi organisasi anarkis mana pun.

Pemahaman strategis organisasi khusus anarkis, mau tidak mau, pasti mengandung unsur ideologis. Ideologi

merupakan penggerak penting bagi aksi politik dan merupakan unsur strategi yang tidak terelakkan. Setiap praktik politik mengasumsikan motif dan arah tertentu yang hanya dapat terlihat jelas jika ia dibuat terang-terangan dan terorganisir sebagai sebuah ideologi.[184]

Namun, kita tidak boleh mencampuradukkan ideologi dan strategi. Dibandingkan ideologi, strategi jauh lebih lentur karena ragamnya disesuaikan dengan keadaan sosial dan situasi terkini. Oleh karena itu, ideologi anarkis mungkin memiliki strategi yang berbeda-beda, karena setiap organisasi bekerja dalam keadaan dan situasi yang juga berbeda-beda. Apalagi jika kita berbicara tentang taktik. Komposisi sosial setiap lokal berbeda, begitu pula dengan kekuatan politiknya, posisi pemerintah, kekuatan reaksioner, dll, sehingga wajar jika dalam setiap konteks dan naik turunnya keadaan, kita menerapkan taktik yang berbeda-beda pada praktik politik anarkisme. Misalnya: ada tempat dan latar belakang yang layak bagi kita untuk mempertimbangkan serikat buruh sebagai ruang untuk melakukan kerja-kerja sosial, tetapi ada tempat lain di mana ia tidak relevan, dan seterusnya.

Kami menyatakan sebelumnya bahwa organisasi khusus anarkis harus bekerja dengan kesatuan strategis dan taktis, yang terjadi melalui proses pengambilan keputusan yang telah dijelaskan di bab sebelumnya: berusaha seiya sekata dengan konsensus, tapi jika kemufakatan tidak terjadi, maka dilakukan pemungutan suara dengan suara mayoritas sebagai pemenangnya. Dalam kasus pemilihan suara, semua militan organisasi wajib mengikuti posisi yang diambil pemenang. Seperti dalam proses pengambilan keputusan lainnya, isu-isu mesti dikemukakan dengan jelas, diperdebatkan, dan ada upaya untuk mendamaikan berbagai sudut pandang yang berbeda. Jika proses pendamaian tidak mungkin dilakukan, organisasi harus meringkas tawaran-tawaran utamanya dan melakukan pemungutan suara. Dengan demikian, organisasi memutuskan, baik dengan mufakat atau pun pemungutan suara, jawaban dari tiga pertanyaan strategi. Jika garis strategis-taktis sudah dirumuskan, semua orang menuju ke arah yang sama. Organisasi secara berkala menilai ulang strategi dan taktiknya, dan dapat merumuskannya kembali.

Kami telah menekankan bahwa semua keputusan harus diambil secara kolektif, tanpa pemaksaan apa pun. Namun, karena adanya prioritas dan tanggung jawab, setiap militan tidak dapat melakukan apa pun yang mereka inginkan secara sendiri-sendiri. Terkait organisasi, masing-masing anggota berkewajiban untuk menyelesaikan apa pun tekad yang telah mereka sepakati dan tetapkan sebagai yang utama. Tentu saja, kita harus selalu berusaha menyelaraskan kegiatan yang kita sukai dengan tanggung jawab yang ditetapkan dalam organisasi, tetapi kita tidak boleh selalu melakukan hanya hal-hal yang kita sukai saja.

Model organisasi khusus anarkis menyiratkan bahwa militan harus melakukan hal-hal yang mungkin tidak terlalu mereka sukai, atau harus berhenti melakukan beberapa hal yang mereka sukai. Ini untuk memastikan organisasi berjalan dengan strategi. Berjalan dengan strategi membuat organisasi anarkis menjadi organisasi yang terpadu dan ampuh; sebuah organisasi yang berfokus pada militansi yang serius dan bertekad; para militannya melakukan apa yang telah mereka tetapkan sebagai yang utama dan mengerjakan tugas-tugas yang paling efektif untuk meneguhkan tujuan strategis mereka. Praktik yang rata-rata umum diterapkan banyak kelompok anarkis dan organisasi anarkis adalah menerapkan aksi yang berbeda-beda, ada yang cenderung ke kiri tapi juga ada yang cenderung ke kanan, dan berpikir bahwa mereka sedang turut andil untuk sesuatu yang sama. Cara pengorganisasian seperti ini tidak dapat kami terima. Bertolak belakang dengan model tersebut, berpraktik dengan strategi

berarti tidak sekadar melakukan apa pun yang kita inginkan, atau memperkirakan segala sesuatunya sendirian, atau berkecil hati karena kemajuan tidak serta merta terlihat. Berpraktik dengan strategi berarti menetapkan tujuan dan bergerak ke arah tujuan tersebut. Memilih aksi dan menetapkan prioritas yang sesuai dengan tujuan tersebut. Ini jelas menyiratkan bahwa akan ada kegiatan-kegiatan yang tidak kami lakukan, atau peristiwa yang tidak kami ikuti. Kegiatan dan peristiwa tersebut bisa saja sesuatu yang penting dan bahkan spektakuler, tetapi mereka tidak terlalu berarti jika tidak sesuai dengan tahapan program kita. Dalam kasus lain, kita mungkin menjadi sangat amat minoritas, atau berada dalam kerumitan besar, karena melakukan kegiatan yang sesuai dengan tujuan kita. Memilih melakukan hanya sesuatu yang paling kita sukai, atau yang paling aman dilakukan, bukanlah cara berpolitik yang tepat.[185]

Kembali ke persoalan pemungutan suara untuk penetapan strategi: penting untuk ditegaskan bahwa yang bermusyawarah haruslah organisasi dan bukan hanya segelintir individu. Jadi ketika suatu persoalan strategis telah diselesaikan melalui pemungutan suara, terlepas dari suara perorangan, semua militan organisasi wajib mengikuti posisi yang telah ditentukan secara kolektif. Hal ini penting dalam model organisasi yang kami anjurkan, karena posisi yang telah diputuskan secara kolektif bukan lagi sekadar saran, melainkan bagian dari garis strategis yang harus diikuti oleh semua militan. Bagi kami, “organisasi berarti koordinasi kekuatan dengan tujuan bersama, dan kewajiban kita adalah untuk tidak mempromosikan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan tujuan ini”[186]. Kami harus menekankan bahwa kebebasan untuk bergabung dengan sebuah organisasi sama dengan kebebasan untuk meninggalkannya. Jika seorang atau segelintir orang, merasa diremehkan oleh keputusan mayoritas, maka mereka memiliki kebebasan untuk memisahkan diri. Penting untuk ditekankan bahwa, meskipun diambil melalui pemungutan suara, keputusan strategis dalam organisasi merupakan keputusan bersama dan bukan persoalan pribadi.

Secara strategis, persatuan ini akan memungkinkan setiap orang dalam organisasi untuk mendayung perahu ke arah yang sama dan melipatgandakan kekuatan mereka. Dengan demikian, setiap orang memiliki pembacaan yang sama mengenai di mana kita berada saat ini, ke mana tujuan kita, dan bagaimana kita bergerak dari satu titik ke titik lainnya.

Especifismo: Organisasi Anarkis, Sudut Pandang, dan Pengaruhnya dalam Sejarah

“Ketiadaan organisasi yang terlihat, yang wajar, dan diterima oleh masing-masing anggotanya, memungkinkan munculnya organisasi yang sewenang-wenang dan kurang libertarian.”
Luigi Fabbri

Sejak istilah “especifismo” tiba di Brasil pada pertengahan 1990-an, ada serangkaian polemik dan bahkan kebingungan muncul di sekitarnya. Sempat ada, dan sayangnya masih ada, orang-orang yang mengatakan bahwa especifismo bukanlah anarkisme, menuduh organisasi especifista sebagai partai politik, dan banyak kekonyolan lainnya. Ketika kami mengidentifikasi FARJ sebagai organisasi anarkis spesifik, prioritas kami adalah untuk membahas posisi-posisi apa saja yang kami dukung dalam perdebatan mengenai organisasi anarkis.

Istilah especifismo diciptakan oleh Federasi Anarkis Uruguay (FAU), dan dengan menyebutnya demikian, kami merujuk pada pemahaman organisasi anarkis yang memiliki dua poros dasar: organisasi dan peleburan/kerja sosial. Kedua poros ini dilandaskan pada dua konsep klasik mengenai cara beroperasinya anarkisme: di tingkat sosial dan politik (konsep Bakunin) dan organisasi khusus anarkis (konsep Malatesta). Oleh karena itu, walaupun baru-baru saja dikemukakan, istilah especifismo sebenarnya mengacu pada praktik organisasi anarkis yang telah ada sejak abad kesembilan belas. Selain dua sumbu ini, ada serangkaian persoalan organisasi lain yang diuraikan dalam especifismo yang akan kami coba jelaskan setelah ini. Jadi, dua rujukan klasik utama especifismo adalah Bakunin dan Malatesta. Bukan lantas kami mengabaikan para ahli teori penting lainnya seperti Proudhon dan Kropotkin—kami menggunakan banyak rujukan teoretis mereka dalam dokumen ini—, tetapi untuk pembahasan tentang organisasi anarkis, Bakunin dan Malatesta memiliki tawaran yang lebih memadai untuk kegiatan kami.

Dalam paragraf berikutnya, kami bermaksud untuk melanjutkan secara singkat beberapa pembahasan yang telah kami jelaskan sepanjang naskah ini, khususnya dalam bab terakhir ini, demi mengemukakan posisi mereka serta membandingkannya dengan posisi-posisi lain dalam anarkisme. Sejauh ini kami telah menegaskan posisi-posisi yang kami anjurkan, tetapi kami percaya bahwa akan lebih baik lagi jika kami juga menjabarkan kritik bersahabat terhadap pemahaman organisasi (atau disorganisasi) lain yang juga hadir dalam anarkisme dan membandingkan pemahaman kami dengan yang lain itu, berdasarkan pada beberapa poin pilihan.

Model organisasi yang paling bertolak belakang dengan organisasi especifista mungkin adalah model sintesis, atau sintesisme. Model organisasi ini dirumuskan secara teoretis dalam dua dokumen homonim yang berjudul The Anarchist Synthesis, satu ditulis oleh Sebastièn Faure dan yang lainnya oleh Volin. Sementara itu, secara historis dan global, tandingan dokumen tersebut adalah konsep Platform yang ditulis oleh Dielo Trouda. Kami ingin melanjutkan perdebatan tentang organisasi anarkis ini, walaupun, menurut pandangan kami, especifismo lebih luas daripada Platformisme. Namun Platformisme memiliki pengaruh yang signifikan.

Model sintesis menganjurkan sebuah model organisasi anarkis yang berisi beragam tendensi anarkis (anarko-komunis, anarko-sindikalis, anarko-individualis, dst.), sehingga organisasinya memiliki sifat-sifat yang akan kami kritik di bawah ini. Kami memahami bahwa beberapa sifat ini tidak selalu terkait dengan model organisasi sintesis. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa banyak dari sifat tersebut dihasilkan dalam organisasi sejenis ini, terutama melalui pengaruh individualisme, walaupun tidak hanya itu. Kami menyadari bahwa di dalam organisasi sintesis ada juga militan serius yang bertekad pada anarkisme sosial, dan oleh karena itu, kami tidak ingin kritik ini tampak dipukul rata. Kami tidak pernah mempertanyakan apakah organisasi-organisasi tersebut benar anarkis atau tidak (bagi kami mereka semua anarkis). Namun, dalam banyak kasus, pemahaman mereka tidak sejalan dengan bagaimana kami memahami organisasi anarkis.

Pertama-tama, ketika kami membahas “organisasi anarkis spesifik” dalam naskah ini, kami tidak sedang membicarakan organisasi anarkis mana pun yang memakai sudut pandang khusus ini. Ada beragam organisasi anarkis yang bukan especifista. Oleh karena itu, especifismo menyiratkan lebih banyak hal ketimbang sekadar menganjurkan pengorganisasian anarkis.

Mari kita bahas perbedaan antara especifismo dan bentuk organisasi anarkis lainnya.

Perbedaan pertama terletak pada cara memahami anarkisme itu sendiri. Seperti yang telah kami tunjukkan di awal naskah ini, kami memahami anarkisme sebagai sebuah ideologi, yaitu “serangkaian gagasan, motivasi, aspirasi, nilai, struktur atau sistem konsep, yang terkait langsung dengan tindakan—yang kami sebut sebagai praktik politik”. Kami berusaha membedakan pemahaman anarkisme ini dengan pemahaman anarkisme lain yang murni mujarad dan teoretis dan hanya mendorong pemikiran bebas tanpa memahami model perubahan sosial. Pemikiran bahwa anarkisme hanyalah sebentuk pengamatan kritis atas kehidupan memang menawarkan kebebasan yang estetis dan kemungkinan-kemungkinan yang tidak terbatas. Namun, jika dipahami dengan cara demikian, anarkisme jadi tidak menawarkan kemungkinan nyata untuk perubahan sosial, karena ia tidak dipraktikkan dan diterjemahkan ke dalam tindakan. Ia tidak memiliki praktik politik yang menyasar tujuan akhir.

Especifismo mempertahankan anarkisme sebagai sebuah ideologi yang berupaya menyusun model tindakan yang dapat mengubah masyarakat saat ini agar berpranata sosialisme libertarian melalui revolusi sosial. Proses ini tentu saja melibatkan pengorganisasian kelas-kelas yang dieksploitasi ke dalam organisasi kerakyatan dan menuntut penggunaan kekerasan, utamanya karena kekerasan dipahami sebagai sebuah respons atas kekerasan sistem saat ini. Ada aliran anarkis lain yang menentang kekerasan dan percaya bahwa perubahan sosial dapat terjadi dengan cara lain.

Perbedaan lainnya adalah seputar masalah organisasi itu sendiri. Bagi kami, organisasi adalah persoalan mendasar ketika membahas anarkisme. Tanpa organisasi, akan mustahil untuk menyusun proyek politik serius yang bertujuan untuk mewujudkan revolusi sosial dan sosialisme libertarian.

Ada aliran anarkis yang mendukung posisi “anti-organisasi” atau bahkan spontanitas, dan percaya bahwa segala bentuk organisasi bersifat otoritarian atau bertentangan dengan anarkisme. Bagi aliran anarkis semacam ini, berkumpul melingkar untuk berkoordinasi dalam sebuah dewan (dewan warga, dewan komunitas, dewan pekerja, dll) adalah otoritarian. Pembentukan kelompok untuk bekerja dalam gerakan sosial adalah otoriter. Toh, bagi para anarkis ini perjuangan harus berlangsung secara spontan. Jika ada kemenangan, kemenangan itu harus datang secara spontan. Hubungan antara satu perjuangan dengan perjuangan lain juga harus spontan dan, bahkan kapitalisme dan negara, jika digulingkan, akan terjadi dengan pengerahan spontan. Mungkin, setelah revolusi sosial, segalanya akan berkembang dengan sendirinya, menjadi selaras sendiri tanpa upaya besar. Para anarkis ini percaya kalau persiapan dalam bentuk organisasi tidak berguna, yang lainnya bahkan sama sekali tidak menginginkan pengorganisasian.

Beberapa individu anarkis yang mempertahankan sudut pandang ini juga melakukan kerja sosial. Namun, mereka tidak mampu menghadapi kekuatan kaum otoritarian. Tanpa organisasi yang baik, mereka berakhir menjadi kacung atau “kaki tangan” untuk proyek-proyek kaum otoritarian, atau akhirnya frustasi karena tidak memperoleh ruang dalam gerakan sosial.

Kami menunjukkan sebelumnya bahwa kami memahami organisasi khusus anarkis sebagai organisasi yang berisi minoritas aktif. Dengan demikian, organisasi ini adalah pengorganisasian kaum anarkis yang mengelompokkan diri di tingkat politik dan ideologis tetapi menjalankan kegiatan utama mereka di tingkat sosial yang lebih luas, berusaha menjadi katalisator bagi perjuangan. Dalam model especifista, ada perbedaan antara kegiatan di tingkatan politis dan tingkatan sosial.

Dengan cara yang berbeda, ada anarkis yang memahami organisasi anarkis sebagai pengelompokan yang luas, yang menyatukan semua orang yang menyebut dirinya anarkis, dan organisasi berfungsi sebagai ruang pertemuan untuk mewujudkan aksi dengan otonomi penuh. Jika berbicara tentang anarkisme dalam artian luas, pembagian antara tingkat sosial dan tingkat politik ini juga tidak dipahami atau diterima oleh semua aliran. Banyak yang memahami organisasi anarkis dengan cara yang tersebar, dapat berupa gerakan sosial, organisasi, kelompok afinitas (perkawanan), kelompok belajar, komunitas, koperasi, dan lain sebagainya.

Bahkan konsep anarko-sindikalisme, di berbagai waktu dalam sejarah, berusaha menekan perbedaan antara kedua tingkat kegiatan ini dan mencampuradukkan ideologi anarkis dengan serikat buruh. Dalam pandangan kami, upaya-upaya ini dan upaya lainnya untuk mengideologisasi gerakan sosial dapat melemahkan gerakan sosial—membuatnya tidak lagi beroperasi di seputar masalah nyata seperti tanah, perumahan, pekerjaan, dll—, sekaligus juga melemahkan anarkisme itu sendiri—karena sulit untuk memperdalam bahasan ideologis di tengah-tengah gerakan sosial. Anarkisme juga akan melemah sebab tujuan para anarkis di dalam gerakan sosial adalah hendak membuat semua militan gerakan menjadi anarkis. Hal ini mustahil dilakukan kecuali jika para anarkis ingin gerakan tersebut secara mencolok melemah dan mengecil. Karena alasan inilah, atau mungkin karena mereka sering menemukan orang-orang berideologi berbeda yang tidak akan pernah menjadi anarkis di gerakan sosial, para anarkis ini pun merasa frustrasi dan akhirnya menjauhkan diri dari perjuangan. Akibatnya, anarkisme seringkali menjadi terbatas pada dirinya sendiri.

Bagi aliran anarkis lain, organisasi anarkis yang berisi minoritas aktif ini seringkali dikira serupa organisasi kepeloporan (vanguard) ala kaum otoritarian. Seperti yang telah kami tegaskan, ketika kami memisahkan tingkat sosial dan tingkat politik, bukan berarti kami mengatakan bahwa tingkat politik akan memimpin tingkat sosial, atau bahwa tingkat politik akan memiliki hubungan hierarkis dan dominatif terhadap tingkat sosial.

Ada juga perbedaan terkait ruang yang dipilih untuk praktik anarkisme. Kami sebagai especifista memilih ruang perjuangan kelas. Terutama karena kami telah menyadari bahwa kita tidak hanya hidup di dalam sebuah masyarakat, tetapi dalam masyarakat kelas. Terlepas dari bagaimana kita menganalisis kelas-kelas ini, nampaknya mustahil bagi kita untuk menyangkal bahwa ada dominasi dan eksploitasi yang menimpa berbagai lapisan masyarakat kita dan bahwa faktor ekonomi sangat berpengaruh dalam hal ini. Bagi kami, anarkisme lahir dari rakyat dan di situlah ia seharusnya berkembang, mengambil posisi yang jelas dalam mendukung kelas-kelas yang dieksploitasi dan berada dalam konflik permanen perjuangan kelas. Oleh karena itu, ketika kita berbicara tentang “di mana harus menabur benih anarkisme”, bagi kami jelas, anarkisme harus berada dalam perjuangan kelas, di ruang-ruang di mana kontradiksi kapitalisme terlihat paling nyata.

Ada anarkis yang tidak mendukung anarkisme perjuangan kelas ini dan, yang lebih buruk lagi, ada yang menuduhnya sebagai “asistensialis”[187], atau ingin “meminta maaf kepada orang miskin”. Sebagian besar anarkis yang menyangkal perjuangan kelas ini menganggap pengertian klasik kelas borjuis dan kelas proletar tidak sesuai lagi dengan keadaan masyarakat saat ini, maka dapat dikatakan bahwa kelas-kelas sosial ini tidak ada lagi; atau bahwa konsep ini tidak sesuai dengan zaman. Secara mendasar, kami tidak setuju dengan posisi ini, dan terlepas dari bagaimana kita mendefinisikan kelas-kelas ini—apakah kita lebih menekankan pada sifat ekonominya, dll—, tidak dapat dipungkiri bahwa ada latar belakang dan keadaan di mana orang-orang lebih menderita akibat kapitalisme. Dan dalam latar belakang serta keadaan inilah kami mengutamakan kegiatan kami.

Dalam upaya menerapkan anarkisme dalam perjuangan kelas, kami menegaskan apa yang kami sebut sebagai kerja sosial. Seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya, kerja sosial adalah “kegiatan yang dijalankan oleh organisasi anarkis di tengah perjuangan kelas, membuat anarkisme bersinggungan dengan kelas-kelas yang dieksploitasi”. Seperti yang juga telah kami sebutkan, bagi kami, inilah kegiatan utama organisasi khusus anarkis. Melalui kerja sosial, organisasi anarkis harus mencari peleburan sosial, yaitu “proses mempengaruhi gerakan sosial melalui praktik-praktik anarkis”.

Ada kaum anarkis yang tidak terlalu suka dengan kerja peleburan sosial ini. Beberapa menganggapnya bukan yang utama, dan beberapa yang lain, yang lebih rumit, menganggapnya sebagai praktik otoritarian. Bagi kaum anarkis yang menganggap peleburan sosial bukan yang utama, ada kegiatan lain yang menurut mereka lebih ampuh untuk mengembangkan anarkisme—tetapi seringkali apa kegiatannya tidak dijelaskan. Meskipun tampaknya mereka tidak memiliki rumusan strategis, dalam praktiknya para anarkis ini berusaha bekerja dengan propaganda, publikasi yang sangat terbatas, acara-acara, dan kebudayaan. Seperti yang telah kami tekankan, propaganda juga adalah hal penting bagi kami, tapi propaganda saja tidak cukup tanpa dukungan kerja sosial dan peleburan. Dengan dukungan kerja sosial dan peleburan, propaganda menjadi jauh lebih ampuh. Oleh karena itu, propaganda dalam especifismo harus dilakukan dengan dua basis ini: pendidikan/kebudayaan dan perjuangan dalam gerakan sosial.

Kaum anarkis yang menganggap kerja sosial/peleburan itu bukan yang utama lebih menyukai bekerja dengan cara lain yang jauh dari perjuangan kelas, jauh dari gerakan sosial, dan jauh dari orang-orang dengan beragam ideologi yang berbeda. Ada yang mengatakan bahwa sebagai anggota masyarakat mereka sudah otomatis melakukan peleburan sosial. Seringkali, mereka berakhir menjadi sektarian, bergaul hanya dengan rekan-rekannya, dan membuat “sarang” anarkis. Ini menjelaskan sektarianisme beberapa anarkis, yang terjadi dalam proporsi yang jauh lebih kecil ketimbang organisasi spesifik.

Jauh lebih rumit dari posisi di atas adalah posisi yang dianjurkan oleh kaum anarkis yang menentang kerja sosial dan peleburan. Karena banyak dari anarkis ini yang tidak miskin dan tidak datang dari gerakan sosial (mereka bukan buruh tani tanpa tanah, misalnya), maka mereka percaya bahwa peleburan dengan komunitas masyarakat miskin, atau bahkan dengan gerakan sosial, adalah sesuatu yang otoritarian, sebab “mereka berasal dari kenyataan lain”. Bagi mereka, seseorang yang memiliki tempat tinggal dan mendukung perjuangan tunawisma adalah otoritarian, terlibat dalam gerakan komunitas tanpa berasal dari komunitas itu adalah otoritarian, dan seseorang yang bukan pemulung mendukung perjuangan para pemulung adalah otoritarian. Bagi para anarkis ini, pembenaran untuk bekerja dalam gerakan rakyat adalah jika kalian termasuk dalam golongan “rakyat” dan jika kalian adalah bagian dari kenyataan gerakan tersebut. Karena para anarkis ini umumnya tidak berada dalam kondisi tersebut, mereka bahkan tidak berusaha mendekati gerakan sosial atau perjuangan kelas. Mereka akhirnya menjadikan anarkisme mereka sebagai sebuah “gerakan itu sendiri”, yang bercorak kelas menengah dan intelektual, tidak mencoba berjumpa dengan perjuangan sosial dan rakyat, serta tidak berhubungan dengan orang-orang lain yang berideologi berbeda. Bila tidak mencari cara untuk melakukan kerja sosial dan peleburan sosial, anarkisme intelektual dan kelas menengah ini akan berakhir menjadi salah satu dari dua hal ini: mereka meninggalkan tawaran perubahan sosial, atau membentuk kelompok yang berjuang untuk rakyat, tetapi bukan dengan rakyat—mengambil posisi pelopor dan bukan lagi minoritas yang aktif.

Para anarkis ini sering membandingkan kerja sosial/peleburan dengan “entriisme” yang dilakukan kaum kiri otoritarian—yang masuk ke gerakan sosial untuk menyetirnya sesuai agenda mereka sendiri. Dalam banyak kasus akhirnya para anarkis ini menganjurkan spontanitas sebab menurut mereka “datang dari luar” dan “menerapkan anarkisme dalam gerakan sosial” berarti otoritarian. Menurut mereka, gagasan harus muncul secara spontan. Mereka menuduh diskusi, ajakan, usaha meyakinkan, bertukar pendapat, penyebaran pengaruh sebagai sesuatu yang asing bagi gerakan sosial dan, oleh karena itu, otoritarian.

Kami, kaum especifista, sangat tidak setuju dengan posisi yang menentang kerja sosial dan peleburan. Bagi kami, anarkisme tidak boleh terbatas hanya pada dirinya sendiri, tidak menghindar dari gerakan sosial dan orang-orang dengan ideologi berbeda. Anarkisme harus berfungsi sebagai alat, atau ragi (untuk memulai proses fermentasi), menjadi motor perjuangan zaman kita. Untuk alasan inilah, alih-alih bersembunyi, anarkisme harus menghadapi kenyataan dan berusaha mengubahnya. Untuk perubahan ini, tidak ada gunanya “berkhotbah kepada orang yang sudah bertobat”. Kita harus berhubungan dengan kaum yang bukan anarkis.

Kami memahami kelas sebagai sesuatu yang tidak ditentukan oleh asal muasal, tetapi oleh posisi yang kita dukung dalam perjuangan. Kami percaya bahwa mendukung gerakan sosial, membantu pengerahan dan organisasi yang berbeda dengan kenyataan tempat kita berasal adalah kewajiban etis bagi semua militan yang bertekad untuk mengakhiri masyarakat kelas. Akhirnya, kami percaya bahwa kerja sosial memberikan praktik yang diperlukan anarkisme dan memberikan banyak sumbangsih pada pengembangan garis teoretis dan ideologis organisasinya. Bagi kami, kerja sosial dan peleburan sangat penting bagi perkembangan teoretis kami sebab ini artinya berteori dilakukan sembari meraih pengetahuan tentang kenyataan dan penerapan praktis anarkisme dalam perjuangan. Kelompok dan organisasi yang tidak memiliki kerja sosial cenderung meradikalisasi wacana yang tidak didukung praktik. Ketika ini terjadi, ada kecenderungan munculnya wacana ultra-radikal dan revolusioner—menuduh orang lain sebagai reformis, dll—tapi kesemuanya itu tidak pernah keluar dari zona teori.

Seperti yang telah kita lihat, dalam especifismo ada kesatuan ideologis dan teori, keselarasan antara aspek teoretis dan ideologis anarkisme. Garis politik ini dibangun secara kolektif dan setiap orang dalam organisasi wajib mengikutinya. Kami memandang anarkisme sebagai sesuatu yang sangat luas, dengan banyak posisi yang beragam dan bahkan kontradiktif. Di antara berbagai posisi ini, kami harus mengambil garis ideologis dan teoretis untuk dipertahankan dan dikembangkan oleh organisasi. Seperti yang telah kami tekankan, tentu saja garis ini harus terkait langsung dengan praktik karena kami percaya bahwa “untuk berteori secara ampuh, sangat penting untuk bertindak”.

Kaum anarkis yang tidak mengusung kesatuan ideologis dan teoretis akan bekerja dengan organisasi yang berisi orang-orang dengan garis ideologis dan teoretis yang berbeda-beda, padahal setiap anarkis atau kelompok anarkis mungkin saja memiliki penafsiran mereka sendiri tentang anarkisme dan bahkan memiliki teori sendiri. Inilah sebab musabab berbagai konflik dan perpecahan dalam organisasi sejenis ini. Karena tidak ada kesepakatan tentang permasalahan awal ini, pertengkaran pun sering terjadi. Beberapa anggota akan berpikir bahwa anarkis harus bekerja dengan gerakan sosial, sementara yang lain akan menganggapnya otoritarian dan "seperti Marxis"; beberapa berpikir bahwa fungsi anarkisme adalah untuk meningkatkan ego individu, sementara yang lain secara radikal menentangnya, dan seterusnya. Bagi kami, tidak mungkin berpraktik dengan efektif atau bahkan membentuk sebuah organisasi tanpa menyepakati beberapa “persoalan awal”. Organisasi yang tidak memiliki kesatuan ideologis dan teoretis akan sulit berkembang dalam hal ideologi dan teori. Karena begitu banyaknya masalah terkait persoalan yang paling sederhana, persoalan yang kompleks pun tidak akan pernah bisa dibahas. Bakunin benar ketika kami mengatakan, “siapa merangkul kebanyakan, rangkulannya tidak erat”[188].

Sangat penting

untuk memahami bahwa perpecahan kaum anarkis dalam hal ini jauh lebih dalam daripada yang diyakini secara umum, dan bahwa kondisi ini juga menyiratkan ketidaksepakatan teoretis yang tidak dapat didamaikan. Saya mengatakan ini untuk menanggapi teman baik saya, yang menginginkan permufakatan dengan cara apa pun, ia mengklaim: “Kita seharusnya tidak meributkan persoalan metode! Gagasannya satu dan tujuannya sama; maka marilah kita tetap bersatu dan tidak terpecah belah akibat perselisihan kecil tentang taktik”. Saya, sebaliknya, sudah lama menyadari bahwa kita terkoyak justru karena kita begitu dekat, karena kita dekat secara artifisial. Di balik komunitas yang meyakini tiga atau empat gagasan—penghapusan negara, penghapusan kepemilikan pribadi, revolusi, anti-parlementerisme—ada perbedaan besar dalam pemahaman setiap pernyataan teoretis ini. Perbedaannya begitu besar sehingga menghalangi kita dalam mengambil langkah yang sama tanpa saling menghakimi dan saling merusak kegiatan satu sama lain. Kalau kita mau, kita bisa berdamai tanpa harus meninggalkan apa yang kita yakini benar. Saya ulangi: masalahnya bukanlah sekadar perbedaan metode, melainkan perbedaan besar dalam hal gagasan.[189]

Selain kesatuan ideologis dan teoretis, para especifista menganjurkan kesatuan strategis dan taktis. Bertindak dengan strategi berarti merencanakan semua tindakan praktis yang dijalankan organisasi: berupaya memeriksa tempat kita berada saat ini, ke mana kita ingin pergi, dan bagaimana caranya kita menuju ke sana. Anarkisme yang bekerja dengan kesatuan strategis dan taktis menjadikan perencanaan dan keselarasan dalam praktik sebagai sokoguru organisasi yang kuat. Kami percaya bahwa kurangnya strategi dapat menyebabkan banyak upaya terbuang sia-sia, tidak fokus, dan akhirnya menghilang begitu saja. Kami menganjurkan sebuah model organisasi di mana langkah ke depan dibahas secara kolektif, dan sama seperti langkah ini, kami menetapkan prioritas dan tanggung jawab yang diberikan kepada militan. Prioritas dan tanggung jawab berarti setiap orang tidak begitu saja melakukan apa pun yang terlintas di kepala mereka kapan pun mereka mau. Setiap anggota akan memiliki kewajiban kepada organisasi untuk menjalankan apa yang menjadi tekadnya dan apa yang telah mereka tetapkan sebagai yang utama. Tentu saja kita berusaha menyelaraskan kegiatan yang disukai setiap militan dengan prioritas yang ditetapkan oleh organisasi, tetapi kita tidak melulu melakukan hanya hal-hal yang kita sukai. Model especifista menyiratkan bahwa kita terkadang harus melakukan hal-hal yang tidak terlalu kita sukai atau berhenti melakukan hal-hal yang sangat kita sukai. Hal ini untuk memastikan organisasi berjalan dengan strategi, dan semua orang mendayung perahu ke arah yang sama.

Kami sangat mengecam organisasi yang tidak bekerja dengan strategi. Bagi kami, mustahil bekerja dalam sebuah organisasi yang setiap militannya, atau kelompok-kelompok di dalamnya, melakukan apa yang terbaik menurut mereka masing-masing, atau hanya melakukan apa yang mereka sukai, dan kemudian mempercayai bahwa mereka sedang turut andil untuk kepentingan bersama. Umumnya, ketika anarkis dari berbagai tendensi digabungkan bersama dalam sebuah organisasi, tanpa adanya kedekatan strategi di antara mereka, kesepakatan tentang bagaimana mereka bertindak akan sangat sulit dibuat. Artinya, mustahil untuk menetapkan langkah bersama, dan akhirnya hanya ada satu kesepakatan: semuanya harus tetap berjalan.

Coba bayangkan, bagaimana cara mendamaikan dua jenis kelompok ini: 1.) satu kelompok percaya bahwa kita harus bertindak sebagai organisasi khusus anarkis yang membaur dalam gerakan sosial, sementara 2.) kelompok lain percaya bahwa prioritas utama seharusnya terletak pada interaksi sosial antar kawan, atau terapi kelompok, atau bahkan pemujaan peran individu, dan menganggap keterlibatan dalam gerakan sosial sebagai hal yang otoritarian (atau bahkan Marxis, atau asistensialis).

Ada dua cara untuk mengatasi perbedaan ini: kita membahas masalah tersebut kemudian hidup dalam percekcokan dan stres yang menghabiskan banyak waktu, atau kita tidak menyentuh masalah ini sama sekali. Sebagian besar organisasi sejenis ini akan memilih cara kedua.

Untuk membangun koordinasi dalam tindakan, koordinasi yang sangat diperlukan, saya percaya bahwa orang-orang yang cenderung menuju ke tujuan yang sama mestilah memberlakukan syarat tertentu: sejumlah peraturan yang mengikat masing-masing individu dengan keseluruhan kelompok, sejumlah pakta dan kesepakatan tertentu yang mesti sering diperbarui—sebab tanpa ini semua, jika setiap orang bekerja sesuka hatinya, orang-orang yang lebih serius akan menemukan diri mereka berada dalam situasi di mana upaya-upaya beberapa anggota akan digagalkan oleh anggota lainnya. Kondisi ini akan menghasilkan ketidakselarasan, padahal kita menginginkan keselarasan dan kepercayaan diri.[190]

Kesatuan ideologis dan teoretis, serta kesatuan strategis dan taktis, dapat dicapai melalui proses pengambilan keputusan secara kolektif yang diterapkan oleh organisasi spesifik. Pertama menggunakan upaya mufakat, tetapi, jika tidak memungkinkan, dilakukan pemungutan suara dengan suara mayoritas sebagai pemenangnya. Seperti yang juga telah kami tekankan, seluruh organisasi sebaiknya menerapkan suara mayoritas. Sebaliknya, ada organisasi yang hanya menggunakan mufakat, seringkali membiarkan seseorang atau segelintir orang memiliki pengaruh lebih banyak pada proses pengambilan keputusan yang melibatkan sejumlah besar orang. Mengupayakan mufakat mati-matian karena takut terpecah belah menyebabkan organisasi-organisasi ini membiarkan satu orang atau segelintir orang memiliki bobot pengaruh yang tidak seimbang dalam pembuatan keputusan, semuanya hanya demi mencapai kebulatan suara. Di waktu lain, berjam-jam waktu dihabiskan untuk membahas hal sepele, juga hanya untuk mencari mufakat. Perlu kita ingat bahwa proses pengambilan keputusan adalah cara, dan bukan tujuan itu sendiri.

Kewajiban setiap anggota adalah untuk melangkah ke arah yang sama, ini peraturan dalam especifismo, dan tekad organisasi terhadap strateginya. Jika setiap keputusan yang dibuat tidak memuaskan beberapa militan, dan kemudian sekelompok militan ini menolak melaksanakan tugas, maka mustahil bagi organisasi untuk bergerak maju. Dalam pemungutan suara, perlu diingat bahwa dalam suatu waktu sekelompok militan mungkin memenangkan pemungutan suara dan melaksanakan keputusan yang memang mereka usulkan, tapi di waktu lain mereka juga bisa kalah suara dan harus melaksanakan usulan rekan-rekannya. Dengan bentuk pengambilan keputusan ini, musyawarah kolektif memiliki bobot lebih besar ketimbang sudut pandang individu.

Perbedaan juga ada pada poin-poin kunci yang mendukung organisasi spesifik: tekad, tanggung jawab, dan disiplin diri para militannya. Dalam model especifista, ada tingkat tekad militan yang tinggi. Dengan demikian, para militan organisasi anarkis spesifik siap mengambil komitmen organisasi dan melaksanakannya. Tekad militan seperti ini membangun hubungan timbal balik antara militan dan organisasi: organisasi bertanggung jawab atas militan dan militan bertanggung jawab atas organisasi. Demikian pula organisasi dapat memuaskan para militan, dan militan dapat memuaskan organisasi.

Kurangnya tekad, tanggung jawab, dan disiplin diri merupakan masalah utama dalam banyak kelompok dan organisasi anarkis. Sangat umum terjadi adalah orang-orang berkumpul dan terlibat sekadarnya dalam kegiatan, melakukan hanya hal-hal yang mereka sukai, ikut terlibat dalam pembuatan keputusan, membuat komitmen tetapi tidak memenuhinya, atau tidak berkomitmen sama sekali. Ada banyak organisasi yang menerima saja kurangnya tekad para militan ini. Memang, organisasi-organisasi ini jadinya terlihat lebih "keren" dan terbuka bagi orang-orang yang mau bergabung, tetapi sangat tidak efektif dari sudut pandang militannya. Bagi kami, militansi adalah sesuatu yang diperlukan dalam perjuangan untuk masyarakat merdeka dan setara. Kami tidak percaya perjuangan ini akan selalu terlihat "keren". Jika kami harus memilih antara model militansi yang lebih mujarab atau yang lebih "keren", kami harus memilih yang lebih mujarab.

Untuk mengakomodasi tekad para militannya, especifismo menjalankan organisasi dengan beberapa tingkat komitmen. Seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya, kami menganjurkan nalar lingkaran konsentris, di mana semua militan memiliki ruang yang terdefinisi dengan baik di dalam organisasi, sebuah ruang yang ditentukan oleh kadar tekad yang disepakati militan. Semakin seorang militan bertekad, semakin dalam pula keterlibatan mereka di organisasi, dan semakin besar pula bobot pengaruh mereka dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu, baik di tingkat politik maupun tingkat sosial, sebaiknya ada kriteria yang jelas bagi militan yang berminat masuk ke organisasi: contoh, ada tingkat pendukung, kelompok perantara, dan organisasi khusus anarkis. Hanya militan-militan yang memiliki kedekatan ideologis dengan organisasilah yang bisa masuk ke organisasi khusus anarkis.

Bertentangan dengan model especifista, ada organisasi lain yang kriteria masuk organisasinya hanyalah klaim seseorang bahwa dirinya anarkis, terlepas dari pemahaman anarkisme seperti apa yang ia percayai. Dalam organisasi seperti ini, beberapa orang terlibat sedikit, sementara yang lebih bertekad terlibat lebih banyak; beberapa orang memikul lebih banyak tanggung jawab tetapi semua orang memiliki bobot suara yang sama dalam musyawarah. Akibatnya, banyak yang sengaja menentukan kegiatan yang padahal tidak akan mereka laksanakan; mereka akhirnya memutuskan sesuatu yang akan dilaksanakan oleh orang lain. Ketika sebuah organisasi mengizinkan seseorang untuk memutuskan sesuatu tanpa memikul tanggung jawab atas keputusannya, atau memikul tanggung jawab tetapi tidak menyelesaikannya, maka organisasi tersebut sedang mengizinkan munculnya otoritarianisme dari anggota yang memutuskan sesuatu untuk kemudian dibebankan kepada rekan-rekannya. Dalam organisasi semacam ini, setiap orang akhirnya melibatkan diri dengan cara yang paling baik menurut mereka masing-masing, muncul sesuka hati, dan tidak ada pembahasan mendalam mengenai tekad militan. Ketika militansi dipertanyakan, banyak dari mereka akan menganggap dirinya korban dari otoritarianisme. Bagi kami, model organisasi seperti ini akan membebani para militan yang lebih bertanggung jawab, karena semestinya hak membuat keputusan dalam musyawarah harus seimbang dengan tanggung jawab dalam melaksanakan keputusan tersebut.

Karena itu, kami tidak ingin menjadi "payung besar" bagi semua tendensi anarkis. Definisi (yang tidak terlalu terdefinisi?) luas ini memang memperbanyak jumlah anarkis yang bergabung ke dalam organisasi. Namun, kami tidak percaya pada kuantitas, sebab kualitas militan lebih penting.

Jika kita tidak terang-terangan memperlihatkan sifat asli kita, jumlah simpatisan kita pastilah bakal lebih banyak. [...] Sebaliknya, terbukti bahwa jika kita dengan lantang menyatakan prinsip-prinsip kita, jumlah simpatisan kita berkurang, tetapi setidaknya mereka adalah simpatisan yang serius, yang dapat kita andalkan.[191]

Sebuah perbedaan yang relevan juga terjadi seputar isu individualisme anarkis. Especifismo berarti penolakan mutlak dan total atas individualisme anarkis. Karena alasan ini, especifismo berbeda dengan organisasi lain yang bersedia bekerja sama dengan individualis. Bagi kami, ada dua tipe individualis dalam anarkisme. Tipe pertama, lazim ditemui di masa lalu, adalah orang-orang yang lebih suka bekerja sendiri tapi memikirkan proyek yang sama seperti kami. Terhadap orang-orang ini, kami hanya mengkritik kenyataan bahwa mereka tidak akan dapat memaksimalkan potensi hasil kerjanya karena tidak terorganisir. Tipe kedua, yang lebih banyak jumlahnya hari ini, adalah orang-orang yang meninggalkan proyek sosialis. Mereka mendasarkan diri pada kritik anarkis terhadap negara, tetapi sedikit sekali mengecam kapitalisme dan tidak memiliki kegiatan yang mengarahkan pada perubahan sosial tempat kita hidup. Mereka memposisikan diri sekadar menjadi pengamat kritis masyarakat, membangun anarkisme dari rujukan-rujukan dan pemikir sekunder, itu pun hanya berkisar di seputar kritik. Mereka tidak memiliki proyek sosial apa pun, apalagi tindakan terpadu yang dapat mengarah ke pembentukan masyarakat baru ini. Kita bisa bertanya pada diri sendiri:

Lalu apa yang tersisa dari individualisme anarkis? Penolakan perjuangan kelas, penolakan asas organisasi anarkis—yang bertujuan untuk masyarakat merdeka di mana kaum pekerja hidup setara; lebih jauh lagi, ceramah kosong yang mendorong para pekerja, yang tidak bahagia dengan hidupnya, untuk turut serta menggunakan berbagai solusi individual, yang memang terbuka bagi mereka karena mereka pribadi-pribadi yang terbebaskan.[192]

Demikianlah mereka memperburuk peran kebebasan individu, melepaskannya dari kebebasan kolektif, menjadikannya kenikmatan egois belaka yang dapat dibeli segelintir orang dengan hak istimewa mereka dalam sistem kapitalisme. Pada kenyataannya, kebebasan individu hanya hidup dalam kebebasan kolektif, karena perbudakan seseorang akan membatasi kebebasan setiap orang lainnya, dan kebebasan individu sepenuhnya hanya dapat dicapai saat semua orang, secara kolektif, bebas. Kami setuju dengan Bakunin saat ia berkata:

Saya hanya dapat menganggap diri saya milik saya, dan merasa bebas, dengan kehadiran orang lain dan ketika berhubungan dengan yang lain. [...] Saya hanya benar-benar bebas ketika semua manusia di sekitar saya, perempuan dan laki-laki, sama-sama bebas. Kebebasan orang lain tidak membatasi atau menangkal kebebasan saya, malah sebaliknya, ia merupakan syarat dan penegasan yang diperlukan. Hanya kebebasan orang lain yang membuat saya benar-benar bebas, sehingga semakin banyak orang bebas yang mengelilingi saya, semakin luas dan dalam kebebasan mereka, maka akan semakin besar dan dalam pula kebebasan saya. [...] Dengan demikian kebebasan pribadi saya dikukuhkan oleh kebebasan semua orang secara meluas hingga tidak terbatas.[193]

Bagi kami, tidak mungkin mencari kebebasan individu dalam masyarakat seperti ini, di mana jutaan orang tidak memiliki akses atas kebutuhan paling dasar manusia. Tidak mungkin memikirkan anarkisme individual murni sebagai cara menempatkan diri di dunia seperti ini, atau untuk memiliki gaya hidup yang berbeda. Bagi kaum individualis, dalam banyak kasus, menjadi anarkis berarti menjadi seniman, bohemian, membela kebebasan seksual untuk memiliki hubungan terbuka atau berhubungan dengan lebih dari satu pasangan, mengenakan pakaian berbeda, memiliki potongan rambut radikal, berperilaku berlebihan, makan makanan yang berbeda, mendefinisikan diri sendiri, memenuhi kebutuhan diri sendiri, menentang revolusi (?!), menentang sosialisme (?!), berwacana tanpa nalar dan alasan—menikmati kebebasan estetika—singkat kata, menjadi apolitis. Kami benar-benar tidak setuju dengan posisi ini dan percaya bahwa pengaruh pengertian ini adalah bencana bagi anarkisme, dan mengasingkan para militan yang serius dan bertekad. Akhirnya, kami setuju dengan Malatesta saat dia menekankan:

Memang benar kami ingin kita semua bersepakat dan menggabungkan semua kekuatan anarkisme ke dalam suatu blok yang kuat. Tapi kami tidak percaya organisasi dapat hidup sehat jika dibangun dengan keterpaksaan dan pembatasan, di mana tidak ada simpati dan kesepakatan sejati di antara para anggotanya. Lebih baik berpisah daripada bersatu dengan buruk.[194]

Bagi kami, memilih model organisasi anarkis yang paling tepat adalah hal penting agar kami memiliki sarana yang tepat dan sesuai dengan tujuan yang ingin kami capai. Jika kami membela especifismo, yang merupakan bentuk organisasi anarkis, itu karena kami percaya bahwa especifismo saat ini lebih cocok untuk pekerjaan yang ingin kami lakukan. Kami memahami bahwa ada kaum anarkis yang tidak setuju dengan especifismo, dan kami tidak menganggap mereka kurang anarkis hanya karena hal itu. Kami hanya menuntut rasa hormat terhadap pilihan kami, seperti kami menghormati mereka yang telah membuat pilihan lain.


★★★


Selanjutnya kami akan membahas secara singkat sudut pandang sejarah dan pengaruh especifismo. Seperti yang telah kita ketahui, istilah especifismo dikembangkan oleh FAU dan baru tiba di Brasil pada akhir abad ke-20. Meskipun demikian, lebih dari sekadar menciptakan pemahaman baru tentang organisasi anarkis, istilah ini berupaya untuk mengelompokkan serangkaian pemahaman organisasi anarkis yang sudah ada, yang terbentuk sejak abad ke-19. Especifismo FAU mengambil inspirasi dari Bakunin dan Malatesta, perjuangan kelas anarko-sindikalisme, dan expropriative anarchism/anarquismo expropiador atau anarkisme “perampasan”, anarkis yang berusaha mengambil alih langsung properti pribadi; semua ini dalam konteks Amerika Latin. Kami akan mencoba menjelaskan dalam paragraf berikut, dari pemahaman kami sendiri, bagaimana kami memahami pengalaman sejarah especifismo: pengalaman masa lalu, utamanya dalam hal organisasi anarkis, yang mempengaruhi kami saat ini.

Rujukan historis pertama especifismo adalah Bakunin, yaitu pemahamannya akan organisasi yang membentuk kegiatan kaum libertarian dalam Asosiasi Pekerja Internasional (International Worker’s Association—IWA), dan yang memberi wujud pada anarkisme.

IWA terartikulasikan dari berbagai kunjungan para perwakilan asosiasi buruh Prancis ke Inggris. Mereka menghubungi pemimpin serikat buruh Inggris dan orang-orang Jerman yang diasingkan—di antaranya adalah Karl Marx. Secara politis, komposisi IWA tampak heterogen: terdiri dari kaum Marxis, Blanquis, republikan, sindikalis, dan kaum federalis Proudhonian. Kaum Marxis akhirnya menjadi mayoritas dalam pengambilan keputusan di Komite Sentral, bersekutu dengan anggota-anggota beraliran lain dan mengambil kendali organ ini. Situasi ini bertahan bahkan setelah penggantian Komite Sentral menjadi Dewan Umum pada Kongres Jenewa 1866. Di sana terlihat bahwa kaum anarkis, baik yang terilhami oleh Proudhon ataupun para pengikut Bakunin, tidak memiliki kekuatan di dalam pusat pengambilan keputusan asosiasi. Mereka lebih berpengaruh di akar rumput, dan menunjukkan hal ini di kongres.

Dua kecenderungan pun berkembang dalam IWA: satu sentralis, dan yang satu lagi federalis. Di antara kaum sentralis yang otoritarian, para komunis menonjol, secara teoretis dan politis dipandu oleh Marx. Mereka menggunakan IWA sebagai perangkat untuk membawa kaum proletariat masuk ke dalam kekuasaan politik. Mereka berencana untuk membentuk sebuah negara buruh yang siap untuk mengubah masyarakat kapitalis menjadi masyarakat komunis, melalui periode transisi untuk reorganisasi, yang harus dilakukan di bawah kediktatoran. Di antara kaum federalis yang libertarian, ada para anarkis, yang menganjurkan revolusi sosial dengan segera menghapus semua badan otoritas dan membentuk masyarakat baru yang dilandaskan pada pengorganisasian pekerja secara merdeka dan federatif, sesuai pekerjaan, masalah, dan kepentingan mereka.

Perbedaan mendasar ini sudah ada sejak awal dan sudah terlihat jelas di Kongres Jenewa, pertemuan pleno pertama di Internasional. Pihak yang menentang kaum otoritarian adalah kaum mutualis Proudhonian, mereka memimpin perdebatan dan turut didukung kaum kolektivis yang sudah menjadi anggota IWA bahkan sebelum Bakunin bergabung. Pada Kongres Lausanne (1867) dan Brussels (1868), kolektivisme dengan cepat berkembang dibandingkan mutualisme, dan di Basel (1869) kehadiran kaum kolektivis sangat dominan di kalangan orang-orang yang menolak otoritas, dan semakin diperkuat oleh kehadiran Bakunin. Di medan persaingan ini, Marx menghindari keterlibatan dirinya secara pribadi dalam kongres, ia mengintervensi melalui program, laporan, surat edaran, dan proposal Dewan. Di Basel, Bakunin mengajukan proposal untuk menentang hak waris. Marx menentangnya, tetapi proposal Bakunin disetujui kongres.

Masih dalam kerangka IWA, bersama dengan militan anarkis lainnya, Bakunin membentuk Aliansi Demokrasi Sosialis, yang diterima sebagai bagian dari IWA pada tahun 1869. Kami memahami Aliansi sebagai organisasi khusus anarkis (tingkat politik) yang beroperasi dalam IWA (tingkat sosial). Aliansi adalah sebuah organisasi yang terdiri dari minoritas aktif: para anggotanya adalah yang “paling aman, paling berdedikasi, paling cerdas, dan paling berenergi, singkatnya, paling intim satu sama lain”[195]. Aliansi dibentuk untuk bertindak secara diam-diam, menangani masalah yang tidak dapat ditangani secara terbuka dan bertindak sebagai katalisator dalam gerakan buruh. Aliansi mendefinisikan hubungan antara tingkat politik dan tingkat sosial:

Aliansi adalah pelengkap yang diperlukan Internasional ... —Namun, walaupun cenderung menuju tujuan akhir yang sama, Internasional dan Aliansi di saat bersamaan juga mengejar tujuan yang berbeda. Misi Internasional adalah untuk menyatukan massa pekerja, jutaan pekerja, melampaui perbedaan bangsa dan negara, melintasi batas-batas kenegaraan, menjadi satu tubuh yang sangat besar dan kompak; Yang satunya, Aliansi, memiliki misi untuk menunjukkan arah yang benar-benar revolusioner kepada massa. Program keduanya tidak saling bertentangan, tetapi berbeda dalam tingkat perkembangannya masing-masing. Internasional, jika kita menanggapinya dengan serius, mengandung benih di dalamnya. Dan di benih itulah keseluruhan program Aliansi. Program Aliansi adalah penjelas akhir dari program Internasional.[196]

Praktik Aliansi dalam IWA membuat tendensi otoritarian mulai mengisolasi dan mendiskreditkan praktik kaum libertarian. Setelah Kongres Basel, serangan kepada kelompok kolektivis menjadi semakin kencang. Pada tahun 1870, Marx mengirimkan dua komunikasi tertutup dari Dewan Umum ke seksi-seksi IWA dengan kritik tajam terhadap posisi Bakuninis. Dengan komunikasi ini, Marx mempersiapkan iklim bagi Konferensi London di tahun berikutnya, di mana kelompok Marxis mencoba memaksakan akidah penaklukan kekuasaan negara, dan untuk Kongres Den Haag tahun 1872. Dalam pleno ini, Marx mendesak diusirnya Bakunin dari IWA, yang pada akhirnya ia dapatkan. Pada tahun 1874, Internasional mati.

Rujukan historis kedua especifismo adalah Malatesta, seorang militan yang ambil bagian dalam Aliansi-nya Bakunin dan merupakan perwakilan dari arus organisasionalis anarko-komunisme. Setelah tradisi anarkisme kolektivis di masa Bakunin—yang menganjurkan sebuah masyarakat masa depan di mana setiap orang menerima imbalan sesuai beban kerja mereka—, lahirlah sebuah aliran baru, yaitu anarkisme komunis—yang menganjurkan distribusi ke setiap orang sesuai dengan kebutuhan mereka. Masuk ke dalam aliran anarkisme komunis ini, pemikiran Malatesta dicirikan dengan posisinya yang menentang evolusionisme dan saintisme yang hadir dalam sebagian besar gerakan sosialis. Bagi Malatesta, masa depan belum tentu terjadi seperti yang telah ditentukan dan bisa dimodifikasi dengan kemauan/kehendak, dengan intervensi secara sukarela dalam berbagai peristiwa untuk memberikan perubahan sosial yang diinginkan.

Sebagai seseorang yang lantang mengkritik individualisme, Malatesta menganjurkan sebuah anarkisme yang sepenuhnya didasarkan pada organisasi, sebuah anarkisme yang dapat kita sebut “organisasionalis”, dan sama seperti anarkisme Bakunin, Malatesta mendukung peran dan aktivitas berbeda di tingkat sosial dan tingkat politik. Pada tingkat politik, Malatesta mengembangkan pemahamannya tentang organisasi khusus anarkis, yang disebutnya sebagai partai anarkis[197]: “kami memahami partai anarkis sebagai sekumpulan orang yang ingin ikut ambil bagian dalam mewujudkan anarki, dan, sebagai akibatnya, perlu menetapkan tujuan untuk dicapai dan jalan yang harus diikuti”[198]. Organisasi ini harus bertindak dalam “gerakan massa” serta memberikan pengaruh sebanyak mungkin. Serikat pekerja adalah medan istimewa yang dipilih oleh kaum anarkis untuk bertindak. Malatesta dengan sangat baik menekankan perbedaan antara tingkat politik anarkisme dan tingkat sosial, yang pada saat itu ruang peleburan sosialnya adalah sindikalisme:

Menurut pendapat saya, gerakan buruh tidak lebih dari sekedar alat—meskipun tidak ada keraguan bahwa ia adalah alat terbaik yang kita punya. Namun, saya menolak menerima cara sebagai tujuan [...]. Kaum sindikalis, di sisi lain, memiliki kecenderungan untuk menganggap cara sebagai tujuan, dan menganggap sebuah bagian sebagai keseluruhan. Maka, bagi sebagian masyarakat kita, sindikalisme mulai berubah menjadi paham baru yang mengancam keberadaan anarkisme. [...] Saya menyesali bahwa di masa lalu kawan-kawan menjauhkan diri dari gerakan buruh. Hari ini, saya menyesali bahwa kita jatuh ke titik ekstrim yang berlawanan, banyak dari kita membiarkan diri kita tenggelam dalam gerakan buruh. Sekali lagi, pengorganisasian kelas pekerja, pemogokan, aksi langsung, pemboikotan, sabotase, dan bahkan pemberontakan bersenjata itu hanyalah sarana; anarki adalah tujuannya.[199]

Malatesta mempertahankan anarkisme yang mengusahakan perubahan sosial dengan kekuatan kehendak. Ia percaya, seperti yang kami yakini hari ini, bahwa organisasi khusus anarkis harus bertindak dalam perjuangan kelas, di tengah-tengah gerakan sosial, dan bersamanya mencapai revolusi sosial serta sosialisme libertarian—yang disebutnya anarki. Demi tujuan ini, Malatesta berusaha menciptakan organisasi khusus anarkis, baik seperti dalam kasus Partai Sosialis Revolusioner Anarkis Italia dan Serikat Anarkis Italia; dan juga organisasi yang bertindak di tingkat sosial, seperti dalam kasus Serikat Buruh Italia (Unione Sindacale Italiana—USI), Aliansi Buruh, dan serikat pekerja di Argentina. Posisi-posisi Malatesta disebarluaskan oleh Luigi Fabbri, seorang komunis anarkis Italia lain, yang juga berkontribusi banyak pada especifismo.

Dalam pemahaman kami, pengalaman penting bagi especifismo juga dialami oleh kaum Magonismo dalam tahap radikalnya Partai Liberal Meksiko (PLM). Ricardo Flores Magón, militannya yang paling aktif, bergabung ke PLM pada tahun 1901—setahun setelah pendiriannya. Selama kediktatoran Porfírio Diaz, baik PLM maupun koran Regeneración adalah lawan utama dari rezim tersebut. Sejak paruh kedua tahun 1900-an, PLM menjadi semakin radikal, wacananya menjadi lebih agresif, dan menimbulkan ketegangan internal dalam partai, yang akhirnya menyingkirkan elemen-elemen yang kurang radikal. PLM tidak mencalonkan diri dalam pemilu dan berfungsi hanya sebagai ruang untuk artikulasi politis dan horizontal kaum revolusioner libertarian pada waktu itu. Mereka tidak bertujuan mengambil alih negara dan membangun kediktatoran. Mereka ingin mengakhiri pemerintahan Porfirio Diaz dan membangun komunisme libertarian sebagai gantinya. PLM bergerak di bawah tanah dan mengorganisir lebih dari 40 kelompok perlawanan bersenjata di seluruh Meksiko. Anggota PLM juga terdiri dari masyarakat-masyarakat asli yang terkenal karena memperjuangkan hak komunitas adat mereka dan melawan konsep properti kapitalis. Setelah radikalisasi PLM, Francisco Madero tidak setuju bahwa cara damai akan berhasil menggulingkan Diaz.

Kecurangan Pemilu 1910 yang dipimpin oleh Diaz akan memantik ledakan Revolusi Meksiko. Dengan ditangkapnya Madero, lawannya dalam pemilu, Diaz berhasil membuat dirinya terpilih kembali. Saat diasingkan di San Antonio, Texas, Madero menyusun Rencana San Luis, yang menyerukan pemberontakan bersenjata, menyatakan pembatalan pemilu tahun 1910, menolak pemilihan ulang Diaz, dan mengangkat dirinya sendiri sebagai presiden sementara. Banyak pemberontak menanggapi seruan revolusioner ini, di antaranya adalah Emiliano Zapata, yang berperan penting dalam pengorganisasian masyarakat adat di wilayah Morelos, dan Pancho Villa, seorang mantan pencuri ternak dan perampok bank, yang telah dikenal baik di kalangan masyarakat miskin Durango dan Chihuahua. Mereka bersatu dalam front anti pemilu ulang, yang kurang lebihnya memberikan otonomi dan kemandirian bagi setiap kelompok. Pada tahun 1911, di tengah-tengah revolusi dan dengan dukungan dari Serikat Pekerja Industri Amerika Utara (IWW), kaum anarkis, yang dipimpin Magón, menduduki wilayah Baja California dan mengambil alih kota-kota penting seperti Mexicali. Pada akhir Januari, mereka membentuk Republik Sosialis Baja California, republik sosialis pertama di dunia. Kaum Magonista juga meraih kemenangan di kota-kota seperti Nuevo Leon, Chihuahua, Sonora, Guadalupe, dan Casas Grandes; ruang-ruang yang di kemudian hari hilang akibat represi dari pemerintahan Madero.

Pemberontakan yang diorganisir oleh Zapata di Morelos dan Rencana Ayala adalah alat perjuangan petani untuk revolusi. Mereka selalu terinspirasi oleh semboyan “Tanah dan Kebebasan” yang pertama kali dinyanyikan oleh Praxédis Guerrero dan kemudian disebarluaskan oleh kaum Magonista. Sebagai hasil dari hubungan penting antara Zapatista dan Magonista, Zapata mengundang Magón untuk memindahkan operasi koran Regeneración ke Morelos.

Setelah itu, Meksiko tenggelam dalam periode perang sipil dan percobaan untuk mendirikan sebuah Konvensi pada akhir tahun 1914. Peristiwa yang terjadi setelahnya, seperti upaya pengambilalihan Kota Meksiko oleh Villa dan Zapata, diselenggarakannya Majelis Konstituante oleh Carranza, yang kemudian terpilih menjadi presiden dan dibunuh; dan konflik-konflik lain yang terjadi setelahnya melatarbelakangi kemunduran periode revolusi di negeri ini.

Rujukan sejarah penting lainnya untuk especifismo adalah keterlibatan kaum anarkis dalam Revolusi Rusia. Pada awal 1917, beberapa resimen memberontak di St. Petersburg, pemerintahan sementara pun muncul dan diakui oleh parlemen, dan soviet-soviet yang pertama kali muncul di tahun 1905, terlahir kembali. Slogan "seluruh kekuasaan untuk soviet" terbukti. Di pedesaan, di Ukraina selatan, para petani Huliaipole, sebuah desa yang sejak revolusi 1905 memiliki organisasi anarkis yang kuat, mendirikan Serikat Petani, yang memutuskan untuk memperjuangkan revolusi sosial secara independen dari pemerintah dan berupaya menerapkan swakelola atas alat-alat produksi. Di Petrograd, pabrik-pabrik dikendalikan oleh para pekerja, dan para pelaut Kronstadt bergerak membawa bendera merah hitam menuju kota untuk membangun sebuah republik Soviet yang dikelola secara mandiri. Pada bulan Oktober, serdadu anarkis dan Bolshevik bersama-sama mengambil alih Istana Musim Dingin. Setelahnya, ada perpecahan antara elemen revolusioner otoritarian dan libertarian. Kaum otoritarian ingin merebut aparatur negara dan bergerak menuju kediktatoran satu partai (Bolshevik) yang dipimpin oleh komite pusat yang sangat berkuasa. Kaum libertarian ingin membangun komunisme libertarian dan swakelola dalam bentuk dewan-dewan (soviet) buruh, petani, dan rakyat bersenjata.

Perlahan-lahan kaum Bolshevik mulai menolak, menindas, menghalangi dan akhirnya melarang penyebaran gagasan dan praktik libertarian. Sejak tahun 1918, kaum Bolshevik mengambil sikap menentang kuasa buruh atas pabrik, mendorong buruh untuk disiplin buta kepada partai, dan secara bertahap menetapkan larangan menentang partai. Mereka memiliterisasi kerja, mengusir fungsionaris yang dipilih soviet, memaksa mereka tunduk pada kekuasaan terpusat partai, dan melarang pemogokan.

Dalam perjuangan melawan Tentara Putih, tentara pemberontakan Makhno di Ukraina bersekutu dengan kaum Bolshevik (Tentara Merah) lebih dari sekali. Setelah mengalahkan Tentara Putih, kaum Makhnovis diserang dan dipersekusi oleh Tentara Merah, dan orang-orang yang selamat terpaksa mengungsi ke negara lain. Itulah akhir dari proses sosialisasi swakelola di Ukraina, dimundurkan secara represif oleh kaum Bolshevik demi membangun organisasi yang statis dan totaliter di bawah kelas penguasa baru. Para pelaut Kronstadt—yang menuntut agar delegasi soviet dipilih oleh anggota soviet (dan bukan dipilihkan partai); kebebasan untuk kaum anarkis dan kelompok-kelompok kiri lainnya; kembali bersatunya serikat pekerja dan organisasi petani; pembebasan tahanan politik; penghapusan komisaris politik[200]; hak makanan yang sama untuk semua orang—dibunuh oleh kaum Bolshevik.

Meskipun revolusi proletariat dan libertarian telah dirampas dan didominasi oleh kaum Bolshevik yang merebut kekuasaan negara, kaum anarkis juga membuat kekeliruan fatal karena mengabaikan masalah organisasi. Hasil renungan ini dirumuskan bertahun-tahun kemudian oleh para imigran Rusia yang berada di Eropa, mereka menulis sebuah dokumen berjudul Platform Organisasi Komunis Libertarian (atau yang biasa disebut Platform). Berdasarkan pengalaman Revolusi Rusia, Makhno, Arshinov, dan yang lainnya, merumuskan renungan mereka tentang organisasi anarkis dalam dokumen ini. Dokumen ini mengemukakan betapa pentingnya keterlibatan kaum anarkis dalam perjuangan kelas, perlunya revolusi sosial dengan kekerasan untuk menggulingkan kapitalisme dan negara, dan pembangunan komunisme libertarian. Ada juga sumbangsih relevan mengenai persoalan masa peralihan dari kapitalisme ke komunisme libertarian dan tentang bagaimana cara mempertahankan revolusi. Platform menganjurkan organisasi anarkis (tingkat politik), yang bertindak di tengah-tengah gerakan sosial (tingkat sosial), dan menekankan peran minoritas aktif dalam organisasi anarkis. Selain itu, Platform adalah sumbangan penting bagi model organisasi tingkat politik anarkis. Karena alasan inilah dokumen ini berharga dan berpengaruh banyak pada especifismo.

Meskipun demikian, kami memahami bahwa especifismo berbeda dengan platformisme. Seperti yang telah kami coba tunjukkan di sepanjang dokumen ini, bagi kami, especifismo jauh lebih luas daripada platformisme dan landasan teoretisnya adalah konsep organisasi Bakunin dan Malatesta. Platform pun menarik inspirasi dari kedua penulis ini dan menawarkan gagasan baru, maka ia juga harus dianggap sumbangan bagi especifismo walaupun sumbangannya bukanlah yang paling penting. Fakta lain yang mesti diperhatikan adalah bahwa Platform ditulis berdasarkan pengalaman aksi militer anarkis di tengah-tengah proses revolusioner, sehingga pembacaannya tidak boleh dilepaskan dari konteks ini. Kami memahami bahwa bentuk organisasi seperti yang diungkapkan dalam Platform tidak boleh diterapkan seratus persen dalam situasi non-revolusioner. Dokumen Platform lebih merupakan sumbangan pembahasan tentang aksi militer anarkis ketimbang sebuah dokumen yang membahas pengorganisasian anarkis dalam berbagai situasi yang berbeda.

Seperti Revolusi Rusia, kami juga mempertimbangkan Revolusi Spanyol tahun 1936 sebagai rujukan. Selama tahun-tahun itu sebuah revolusi sosial dilakukan secara efektif. Di bawah represi, sebuah revolusi berusaha menjangkau semua sektor, mulai dari struktur ekonomi yang tidak adil hingga kehidupan harian warga; dari gagasan hierarkis yang bobrok hingga ketidaksetaraan historis antara laki-laki dan perempuan. Dan ini semua adalah buah tangan kaum anarkis.

Pengaruh anarkisme dibawa ke Spanyol oleh Giuseppe Fanelli, seorang anggota Aliansi dan militan yang sangat dekat dengan Bakunin. Didirikan pada tahun 1910, Konfederasi Buruh Nasional (Confederación Nacional del Trabajo—CNT) adalah ekspresi anarko-sindikalisme terbesar di Spanyol dan hidup sampai tahun 1920-an. Organisasi ini menjadi korban represi terus menerus selama pasang surut keberadaannya. Didirikan pada tahun 1927, Federasi Anarkis Iberia (Federación Anarquista Ibérica—FAI) adalah sebuah organisasi bawah tanah yang didedikasikan untuk kegiatan revolusioner. Salah satu tujuan dibentuknya adalah untuk melawan arus reformis di CNT. Tujuan tersebut berhasil dicapai dan kaum anarkis yang revolusioner memperoleh pengaruh kuat di CNT.

Pada tahun 1936, Front Populer (yang mempersatukan partai-partai kiri) memenangkan pemilihan suara. Para anarkis CNT secara taktis mendukung Front ini karena kemenangan Front berarti dibebaskannya rekan-rekan mereka yang dipenjara. Dengan dukungan CNT, Front Populer menang. Namun, kaum fasis tidak menerima kekalahan tersebut. Pada 18 Juli 1936, gerakan kudeta Falangis pecah, di antara mereka, Francisco Franco menonjol. Maka dimulailah ledakan revolusioner yang akan melemparkan negara ini ke dalam perang sipil selama tiga tahun lamanya. Pada tahap pertama (Juli 1936 hingga awal 1937), kaum anarkis termasuk kelompok yang paling menonjol. Aksi-aksi militan di daerah-daerah seperti Catalonia patut dicontoh. Struktur republik diubah menjadi organisasi-organisasi rakyat dalam sebuah proses kolektivisasi yang bergelora dan sukses. Pabrik-pabrik diduduki para pekerja dan langkah-langkah sosial segera dipraktikkan, seperti upah yang setara bagi laki-laki dan perempuan, layanan kesehatan gratis, gaji tetap bahkan ketika sakit, pengurangan jam kerja dan kenaikan gaji. Industri metalurgi, industri kayu, transportasi, makanan, kesehatan, media, hiburan, dan properti pedesaan dikolektivisasi. Untuk melawan kekuatan pasukan fasis, para anarkis membentuk milisi-milisi yang maju di beberapa front, dengan penekanan pada kolone yang dipimpin Buenaventura Durruti.

Pada tahap kedua (tahun 1937 sampai 1939), kemajuan kontra-revolusi sangat menghancurkan. Kaum Falangis mendapat dukungan besar dari Hitler dan Mussolini, sementara kaum yang melawan mereka dipersenjatai dengan buruk dan kalah secara jumlah. Brigade Internasional, yang dibentuk untuk menghentikan gerakan Nazi dan fasis, hanya memiliki sedikit pejuang. Terlebih lagi, tidak ada bantuan dari negara-negara liberal (Prancis dan Inggris), yang sekali lagi mencuci tangan. “Dukungan” dari Uni Soviet terbukti menjadi penghancur dari dalam. Dalam perjuangan melawan fasisme, kaum anarkis dan Partai Buruh Unifikasi Marxis (POUM)—organisasi Marxis yang tidak ortodoks—, juga harus menghadapi persekusi kaum Stalinis. Kemajuan yang dibuat oleh CNT/FAI dihancurkan oleh kaum yang berusaha membangun kembali fondasi negara (sektor moderat Republik, Komunis, dan Sosialis). Kaum Komunis kembali menduduki posisi-posisi kunci di pemerintahan. Kaum anarkis sekali lagi harus menyerah pada keadaan yang tidak menguntungkan: beberapa anggota CNT akhirnya terlibat dalam pemerintahan.

Di Brasil, karena pada kenyataannya arus especifista belum terwujud sepenuhnya, referensi ideologis kami datang dari beberapa prakarsa di masa lalu dan prakarsa lainnya yang kami anggap memiliki nafas yang sama dengan especifismo dalam sejarah terbaru negara ini. Kami memahami bahwa sejak awal abad ke-20, kaum anarkis yang terhubung dengan “organisasionalisme”, khususnya pengikut Malatesta, telah berupaya mengorganisir sebanyak mungkin kawan dengan maksud membentuk sebuah organisasi dengan strategi dan taktik yang sama, yang berlandaskan pada kesepakatan dan pemahaman kelompok yang jelas.

Orang-orang tersebut juga adalah orang-orang yang bertanggung jawab pada terselenggaranya Kongres Buruh Brasil Pertama pada 1906, melalui prakarsa anarkisme nasional yang paling menakjubkan. Para anarkis ini mempersiapkan kondisi yang memungkinkan peleburan total anarkis ke dalam serikat buruh dan kehidupan sosial, dengan pembentukan sekolah-sekolah dan kelompok teater, juga produksi karya tulis yang masuk akal. Pada akhirnya, arus “organisasionalis”, hingga ke taraf yang lebih luas, juga membantu persiapan Pemberontakan Anarkis tahun 1918, penciptaan Aliansi Anarkis Rio de Janeiro dalam Partai Komunis Brasil yang bercorak libertarian, dan dalam peristiwa-peristiwa yang membedakan kaum anarkis dari kaum Bolshevik pada tahun 1920-an.

Pada tahap pertama ini, nama-nama seperti Neno Vasco, José Oiticica, Domingos Passos, Juan Peres Bouzas, Astrojildo Pereira (hingga 1920) dan Fábio Luz menonjol. Selanjutnya, anarkisme sosial tertidur selama hampir dua dekade. Ada bagian dari tradisi organisasionalis kemudian muncul kembali dalam jurnal Ação Direta (Aksi Langsung), dan kemudian, dengan terjadinya kudeta militer tahun 1964, lagi-lagi kami harus kehilangan kekuatan utama kami, yang diwakili oleh Ideal Peres dan Gerakan Mahasiswa Libertarian (Movimento Estudantil Libertário—MEL).

Akhirnya, pengaruh Latin lainnya yang tetap kami pertahankan adalah Federasi Anarkis Uruguay (FAU) yang dibentuk pada tahun 1956. FAU dipengaruhi oleh perjuangan kelas dan anarko-sindikalis, model organisasi Bakunin dan Malatesta, dan anarkisme “perampasan” dari wilayah Rio da Prata. FAU berusaha mengembangkan anarkisme yang berfokus pada masalah-masalah Amerika Latin, dan sejak pembentukannya, mereka sudah melakukan kerja-kerja di beberapa bidang. Mereka terlibat dalam kegiatan serikat pekerja Konvensi Pekerja Nasional (Convenção Nacional de Trabalhadores—CNT), yang memiliki model non-birokrasi dengan demokrasi internal dan kecenderungan perjuangan kelas. Asosiasi aksi langsung juga dibentuk dalam sebuah front yang disebut Tendensi Tempur. Pada tahun 1967, FAU dinyatakan sebagai organisasi ilegal dan mulai bergerak di bawah tanah

Bahkan selama masa-masa bawah tanah ini, dengan banyak represi dan penangkapan para militannya, FAU berhasil mempertahankan kegiatan serikatnya di CNT, kegiatan di gerakan mahasiswa, dan dalam perjuangannya melawan kolaborasi dengan Partai Komunis. FAU juga mengedarkan terbitannya Surat dari FAU (Cartas de la FAU). Pada tahun 1968, Perlawanan Buruh dan Pelajar (Resistência Obrera Estudantil—ROE) didirikan, organisasi massa ini menerapkan strategi konfrontatif, pelajar terlibat dalam pendudukan pabrik dan serikat buruh terlibat dalam demonstrasi pelajar. Pada akhir tahun 1960-an, bersamaan dengan organisasi massa, FAU juga mengembangkan organisasi “sayap bersenjata” yang bernama Organisasi Revolusioner Rakyat-33, (Organización Popular Revolucionaria-33—OPR-33). Organisasi ini melakukan serangkaian aksi sabotase, pengambilalihan ekonomi, penculikan politisi dan/atau bos yang sangat dibenci rakyat, dukungan bersenjata dalam pemogokan dan pendudukan tempat kerja, dll. FAU meninggalkan foquismo sebagai paradigma perjuangan bersenjata, menghindari militerisasi, dan melakukan peleburan sosial di antara warga. Dengan kediktatoran tahun 1973, FAU mengarahkan upayanya ke dalam sebuah pemogokan umum yang melumpuhkan negara selama hampir sebulan. Mereka melakukan kegiatan-kegiatan bawah tanah dan beberapa militannya ditangkap, disiksa, dan dibunuh. Ketika iklim politik terbuka, FAU mengartikulasikan dirinya kembali dan mengembangkan kegiatannya dengan model especifista yang kami pertahankan saat ini, dengan tiga front peleburan: serikat buruh, pelajar dan mahasiswa, dan komunitas masyarakat.

Singkat kata, pemahaman kami tentang rujukan sejarah especifismo tidaklah dogmatis. Kami menerima pengaruh luas yang dimulai dari pemahaman Bakunin dan para anggota Aliansi di IWA, pemahaman Malatesta dan pengalaman praktiknya di tingkat sosial dan politik, serta pengalaman Magón dan PLM dalam Revolusi Meksiko. Kami juga terilhami oleh pengalaman para anarkis dalam Revolusi Rusia, dengan penekanan pada kaum Makhnovis di Ukraina dan renungan tentang organisasi yang dituliskan oleh orang-orang Rusia di pengasingan, serta pengalaman para anarkis dalam Revolusi Spanyol yang berkegiatan di sekitar CNT-FAI. Di Brasil, kami mendapat pengaruh dari para anarkis “organisasionalis”, khususnya pengalaman Aliansi Anarkis Rio de Janeiro pada 1918 dan Partai Komunis (libertarian) tahun 1919. Terakhir, pengaruh FAU, baik dalam perjuangan melawan kediktatoran maupun dalam kegiatan mereka di front-front serikat buruh, gerakan masyarakat, dan pelajar-mahasiswa. Keseluruhan rangkaian pemahaman dan pengalaman ini bersumbangsih pada pemahaman kami tentang especifismo hari ini. Saat ini, especifismo dipertahankan oleh berbagai organisasi Amerika Latin dan dikembangkan dalam praktik, bahkan tanpa memakai label ini, di belahan dunia lain.

Catatan dan Kesimpulan

“Mari bekerja, kawan! Tugasnya besar. Mari bekerja, semuanya!”

Errico Malatesta

Kongres Pertama telah memenuhi tujuannya, dan berlangsung dalam suasana solidaritas yang kuat di antara para militan. Kongres ini menyediakan ruang untuk merenungkan, berkomentar, berdebat, dan menarik kesimpulan. Penilaian dari semua militan sangat positif.

Penting untuk kita memiliki generasi militan yang lebih tua dan lebih berpengalaman dalam organisasi, sehingga pengetahuan penting dari generasi militan sebelumnya tidak hilang serta berguna dalam pendidikan dan pendampingan generasi baru. Hal ini telah terbukti. Kongres memberikan penghormatan kepada para “penjaga tua”, dan menyambut para “penjaga baru”, yang telah membantu mempraktikkan apa yang selalu dipertahankan para pendahulu mereka. Para militan organisasi yang telah berjuang sejak tahun 1970’an, 1980’an, dan 1990’an telah menekankan pentingnya momen ini, menunjukkan kesinambungan militansi. Bagi kami ini dimulai dari Juan Perez Bouzas, melewati seluruh sejarah perjuangan Ideal Peres, melalui Círculo de Estudos Libertários (CEL), yang kemudian menjadi Círculo de Estudos Libertários Ideal Peres (CELIP), dan, yang pada tahun 2003, membentuk FARJ. Kami percaya diri untuk mempraktikkan harapan dari berbagai kepribadian dalam sejarah ini, yang kami lanjutkan perjuangannya.

Pada titik ini, tujuannya adalah untuk melanjutkan pencarian vektor sosial anarkisme. Untuk membuat anarkisme selalu berinteraksi dengan gerakan sosial, serta selalu berusaha menuju penciptaan organisasi rakyat. Kami mencoba melakukan ini melalui tiga front kami.

Front gerakan sosial perkotaan (front lama yang kami garap) telah bekerja secara berkelanjutan dalam pendudukan kota di Rio de Janeiro sejak 2003, memberikan kelanjutan pengalaman yang kami miliki bersama gerakan tunawisma pada tahun 1990-an. Sekarang front ini juga mencakup pembangunan kembali Gerakan Pekerja Pengangguran (Movimento de Trabalhadores Desempregados—MTD), yang berjuang untuk berkegiatan di seluruh negeri, dan telah berada di Rio de Janeiro sejak 2001. MTD sekarang sedang memulihkan kekuatannya, berhimpun kembali, dan menyatukan orang-orang dari komunitas-komunitas miskin untuk berjuang. Selain itu, front ini berhubungan dengan Gerakan Pekerja Tanpa Tanah (Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra—MST), yang menawarkan kursus pendidikan politik di Sao Paulo dan Rio de Janeiro. Front ini juga dekat dan berkegiatan bersama entitas-entitas lain dan gerakan sosial seperti Majelis Rakyat - RJ (Assebléia Popular - RJ) dan Front Internasionalis Tunawisma (Frente Internacionalista dos Tem-Teto—FIST).

Front komunitas masyarakat bertanggung jawab atas pengelolaan Pusat Sosial Budaya Rio de Janeiro (Centro Cultura Social do Rio de Janeiro—CCS-RJ), sebuah ruang sosial terbuka yang kami kelola di utara kota dan yang mengakomodasi sejumlah kegiatan masyarakat dalam urusan daur ulang sampah, bimbingan belajar, kursus-kursus ujian masuk untuk komunitas miskin Morro dos Macacos, lokakarya teater, acara budaya, perayaan, dan berbagai jenis pertemuan. Front ini juga bertanggung jawab atas pengelolaan Perpustakaan Sosial Fábio Luz (Biblioteca Social Fábio Luz—BSFL), yang berdiri sejak tahun 2001. Front ini juga terlibat dalam pengelolaan Pusat Penelitian Marques da Costa (Núcleo de Pesquisa Marques da Costa—NPMC), yang didirikan tahun 2004, dan dibangun untuk memproduksi teori bagi organisasi, selain juga untuk meneliti sejarah anarkisme di Rio de Janeiro. Selain itu, front komunitas masyarakat juga mengelola CELIP, ruang publik FARJ yang dibangun untuk menyelenggarakan kuliah dan debat untuk menarik orang-orang baru yang tertarik pada anarkisme.

Front agro-ekologis, atau Anarkisme dan Alam, beroperasi dalam gerakan dan pengelompokan sosial pedesaan yang bekerja dengan pertanian dan ekologi sosial. Front ini berhubungan dan bekerja sama dengan MST, La Via Campesina, dan ruang-ruang seperti Koperasi Floreal dan Pusat Pangan dan Kesehatan Germinal (Núcleo de Alimentação e Saúde Germinal). Front ini menyelenggarakan lokakarya pendidikan di tempat-tempat kerja, di sekolah-sekolah, dan komunitas miskin. Semua ini dilakukan untuk memulihkan pertanian, agro-ekologi, ekologi sosial, eko-literasi dan ekonomi solidaritas, dan selalu berupaya melibatkan pekerja, aktivis gerakan sosial, serta pelajar dan mahasiswa dalam kegiatannya.

Untuk memenuhi sebuah tuntutan penting, kami memulai sebuah proyek “transversal” yang dapat dimasuki semua front. Kami menyebutnya Universitas Rakyat (UP-RJ). Usulan ini sebenarnya diterapkan untuk memprakarsai pendidikan rakyat anti-kapitalis yang berfokus pada perubahan masyarakat dan, sebagai taktiknya, melaksanakan pendidikan politik dalam gerakan sosial. Kerja-kerja “transversal” lainnya juga telah direalisasikan dalam edisi jurnal Libera; majalah Protesta! (bersama rekan-rekan dari kolektif anarkis Terra Livre di Sao Paulo); dan buku-buku seperti O Anarquismo Social oleh Frank Mintz, O Anarquismo Hoje da União Regional Rhone-Alpes e Ricardo Flores Magón oleh Diego Abad de Santillán. Terakhir, ada kerja-kerja internal, seperti: pendidikan politik, pengelolaan hubungan dan sumber daya.

Ada tugas yang sedang dilakukan dan ada banyak tugas lain yang harus dilakukan. Dan sungguh, seperti yang pernah dikatakan Malatesta, tugasnya besar. Alih-alih berkecil hati, mengetahui bahwa masih banyak yang harus dilakukan dan melihat kehebatan proyek perubahan sosial kita justru menjadi bahan bakar yang semakin mendorong dan menuntun kita, hari demi hari, kepada tugas penting yang begitu mendesak ini.

Kami berharap sumbangsih teoretis singkat ini dapat membantu dalam pembangunan anarkisme militan di berbagai lokasi.

Untuk anarkisme sosial!

Untuk pemulihan vektor sosial anarkisme!
Revolusi sosial dan sosialisme libertarian!

Especifismo di Brasil: Wawancara dengan Federasi Anarkis Rio de Janeiro

Wawancara oleh Jonathan Payn dari Front Anarkis Komunis Zabalaza (ZACF), organisasi politik anarkis di Afrika Selatan, berbasis di Johannesburg.

Dalam wawancara ini, yang berlangsung antara bulan Agustus dan Oktober 2010, Federasi Anarkis Rio de Janeiro (Federação Anarquista do Rio de Janeiro—FARJ) berbicara tentang pemahamannya soal konsep-konsep seperti especifismo, dualisme organisasi, peleburan sosial, dan peran organisasi politik anarkis dalam kaitannya dengan gerakan sosial dan perjuangan kelas.

Wawancara ini juga berkaitan dengan masuknya FARJ baru-baru ini ke dalam Forum Anarkisme Terorganisir (Fórum do Anarquismo Organisado—FAO)[201] dan dampak sosial saat kota Rio de Janeiro terpilih sebagai tuan rumah untuk FIFA 2014. Ada pula pembahasan tentang persoalan yang kadang merintangi, seperti bagaimana cara menemukan keseimbangan antara tingkat kesatuan teoretis dan strategis, serta kebutuhan untuk bertumbuh sebagai sebuah organisasi.


★★★


Federasi Anarkis Rio de Janeiro (Federação Anarquista do Rio de Janeiro—FARJ) adalah organisasi anarkis spesifik dari kota Rio de Janeiro, Brasil. Didirikan pada 30 Agustus 2003, FARJ mengidentifikasi asal usulnya dari hasil kerja para militan seperti Ideal Peres (1925-1995) dan ayahnya, Juan Perez Bouzas (atau João Peres) (1899-1958), serta José Oiticica (1882-1957). Asal usul mereka juga merujuk pada organisasi politik seperti Aliansi Anarkis (Aliança Anarquista), yang didirikan tahun 1918. Juga kepada Partai Komunis libertarian (Partido Comunista), didirikan tahun 1919 (partai ini berbeda dengan partai komunis reformis yang berorientasi pemilu/elektoral yang didirikan pada 1922). FARJ juga menemukan rujukan sejarahnya pada serikat buruh yang dipengaruhi anarkis pada awal abad ke-20, seperti Federasi Buruh Rio de Janeiro (Federação Operária Rio de Janeiro—FORJ) yang didirikan pada 1906, juga dalam semua kerja pencarian untuk menemukan kembali “vektor sosial anarkisme” pada tahun 1940-an dan 1950-an, dan dalam kerja-kerja sosial anarkis setelah era kediktatoran militer.

Bagi pembaca yang tidak mengenal konsep dualisme organisasi, bisakah Anda menjelaskan mengapa perlu membangun organisasi politik anarkis di Rio de Janeiro? Proses seperti apa yang harus Anda lalui untuk sampai pada kesimpulan ini dan membentuk FARJ?

Istilah “dualisme organisasi” berfungsi untuk menjelaskan rancangan organisasi yang kami usung, atau yang secara klasik disebut sebagai pembahasan tentang “partai dan gerakan massa”. Singkatnya, tradisi especifista kami berakar pada Bakunin, Malatesta, Dielo Truda, Federasi Anarkis Uruguay (FAU), dan para militan serta organisasi lainnya yang telah mempertahankan adanya perbedaan antar level organisasi. Artinya, ruang yang lebih luas kami sebut sebagai “level sosial”, yaitu berbagai gerakan rakyat (gerakan populer); dan yang kami sebut sebagai “level politik” adalah para militan anarkis yang berkelompok berdasarkan kesamaan politik dan ideologis khusus.

Model ini dilandaskan pada beberapa posisi: bahwa gerakan rakyat tidak dapat dibatasi oleh sebuah ideologi tertentu—maka dalam hal ini kami membedakan diri dari anarko-sindikalis, misalnya—sebab gerakan rakyat sebaiknya mengorganisir diri di seputar kebutuhan nyata (tanah, tempat tinggal, pekerjaan, dll.) dan menggabungkan berbagai sektor besar masyarakat. Secara historis, inilah yang disebut level sosial atau gerakan massa. Model ini juga berpendapat bahwa, untuk bekerja dalam gerakan (massa), tidaklah cukup hanya dengan membaur—atau masuk—ke dalamnya, bahkan ketika kita mengakui diri kita adalah anarkis. Kita harus terorganisir dan membentuk kekuatan sosial yang berpengaruh untuk mendorong program kita dan mempertahankan diri dari serangan musuh yang memiliki program lain. Namun yang perlu diingat adalah bahwa kami tidak mendorong kalian untuk berpartisipasi hanya dalam satu level saja. Kaum anarkis juga adalah pekerja dan merupakan bagian dari kelompok mayoritas yang kami sebut sebagai kelas-kelas yang dieksploitasi dan oleh karena itu mereka mesti mengorganisir diri mereka sendiri sebagai sebuah kelas dalam gerakan sosial. Meskipun begitu, level organisasi ini (gerakan sosial) memiliki keterbatasan, sehingga kaum anarkis juga mesti mengorganisir diri mereka sendiri di level politik, sebagai kaum anarkis, demi mengartikulasikan kerja dan gagasan mereka.

Apa yang disebut dengan organisasi anarkis spesifik bukanlah hal baru dalam gerakan anarkis. Asal muasalnya bisa ditelusuri dalam militansi Bakunin di dalam Internasional Pertama (International Workingmen’s Association—IWA), dengan dibentuknya Aliansi Demokrasi Sosialis pada tahun 1868. Malatesta, yang mengembangkan tesis Bakunin mengenai minoritas aktif, juga memikirkan hal serupa. Hal yang sama juga dipikirkan antara lain oleh beberapa orang Rusia dalam pengasingan yang membentuk kelompok Dielo Trouda dan Federasi Anarkis Uruguay (FAU). Pengelompokan khusus kaum revolusioner anti-otoritarian ini didasarkan pada kesamaan posisi umum (tujuan), strategi, dan taktik. Artinya, organisasi anarkis spesifik bukanlah “penemuan” baru-baru ini, sebab jejaknya telah ada dalam sejarah peneguhan anarkisme itu sendiri sebagai sebuah alat revolusioner, akarnya dapat ditelusuri dalam aksi Bakunin.

Dalam perkembangan sejarah gerakan anarkis, posisi ini diabaikan di berbagai negara dan kalah populer dengan posisi yang menyatakan bahwa “sindikalisme” (yang mengakumulasi serangkaian gerakan sosial) saja sudah cukup. Bagi kami, tidak cukup. Kami percaya bahwa tugas organisasi khusus anarkis, yang disebut Malatesta sebagai “partai” anarkis, adalah untuk mengartikulasikan kekuatan kaum anarkis di seputar tawaran bersama dan merangsang gerakan sosial agar mereka dapat maju lebih jauh lagi dan melampaui tuntutan awal mereka, mampu menempa fondasi bagi perubahan revolusioner.

Penting untuk digarisbawahi bahwa dualisme organisasi tidak berarti adanya hierarki atau hubungan menindas di antara dua level tersebut. Dalam pemahaman anarkisme, organisasi khusus anarkis dan gerakan sosial saling melengkapi. Organisasi khusus anarkis menyiratkan hubungan-hubungan yang beretika dan bersifat horizontal. Artinya, tidak ada hubungan hierarkis atau dominasi atas semua pihak yang terlibat.

Di Rio de Janeiro, kaum anarkis yang terorganisir mencoba membangun organisasi khusus anarkis dua kali, tetapi represi memaksa proyek mereka tertunda. Naluri kawan-kawan membuat mereka merasakan bahwa surutnya sindikalisme revolusioner juga dapat mengutuk anarkisme itu sendiri. Dan persis itulah yang terjadi. Sindikalisme saja tidak “cukup” dan dengan kosongnya sindikalisme revolusioner, anarkisme pun memasuki krisis, ini terjadi pada tahun 1930-an. Pada dekade 1940 dan 1950, kawan-kawan dari Rio de Janeiro (dan juga Sao Paulo) mendirikan organisasi spesifik mereka, tetapi mereka telah benar-benar terisolasi dari gerakan sosial dan mereka mulai mengorganisir diri untuk membalikkan keadaan ini.

Pada dekade 1960, kudeta militer dan kondisi gerakan anarkis telah menunda proyek organisasi khusus anarkis di Rio de Janeiro. Dengan gerakan yang benar-benar hancur selama tahun-tahun kediktatoran, dekade 1980 dan 1990 adalah masa penghimpunan kembali para militan lama dan militan baru, hal ini terutama terjadi karena kerja keras dan kesabaran Ideal Peres. Inilah waktunya, tidak hanya untuk melanjutkan perdebatan lama, tapi juga mendiskusikan pengalaman perjuangan penting yang telah dilakukan oleh kaum anarkis, bahkan jika pun mereka tidak bertindak dalam strategi yang sama (pendudukan, kelompok-kelompok pendidikan rakyat, keterlibatan dalam serikat buruh, dll).

Pada awal 2001, kami memahami bahwa inilah saatnya untuk melakukan lompatan berkualitas, meninggalkan bentuk “'pusat kebudayaan”, yang telah kami organisir sejak tahun 1980-an, dan membentuk sebuah organisasi politik yang lebih memadai untuk bekerja bersama gerakan sosial. Menjadi semakin jelas: inilah jalan yang harus kami tempuh. Kami memiliki beberapa pengalaman dengan kerja-kerja sosial dan, dengan keputusan bahwa anarkisme harus berfungsi untuk mendorong perjuangan rakyat, semakin jelas bahwa kami harus mencari sesuatu yang lebih terorganisir, yang setidaknya lebih terpadu, sebuah sarana yang memungkinkan kami memperdalam kegiatan kami dengan cara-cara yang memang diperlukan.

Saat itulah beragam militan dari gerakan anarkis di Rio de Janeiro berkumpul untuk mendiskusikan usulan membentuk organisasi. Mereka sudah memiliki pengalaman tertentu terkait militansi sosial tapi kurang mendiskusikan seperti apa model organisasi kami nantinya. Salah satu kelompok menarik diri dari proses tersebut dan memutuskan untuk berdiskusi sendiri secara terpisah. Kemudian mereka mendirikan Federasi Anarkis Insureksionis, yang kemudian mereka sebut sebagai UNIPA (Serikat Anarkis Kerakyatan—União Popular Anarquista). Kelompok lainnya melanjutkan diskusi dan membentuk FARJ pada tahun 2003. Penting untuk digarisbawahi bahwa FARJ adalah hasil dari akumulasi setidaknya satu dekade sebelumnya, dengan kehadiran para anarkis dalam beragam gerakan sosial di negara bagian Rio de Janeiro.

Bagaimana kalian melihat peran kalian—peran organisasi khusus anarkis dalam kaitannya dengan gerakan sosial?

Peran organisasi anarkis spesifik adalah bertindak sebagai perangsang bagi perjuangan sosial. Kami tidak percaya bahwa organisasi politik harus membimbing atau mengarahkan perjuangan, seperti yang dikatakan oleh kaum Marxis-Leninis. Konsep Bakunin tentang minoritas aktif sangat berguna bagi kami dalam hal ini. Minoritas aktif tidak memaksakan, mendominasi, membangun hubungan yang hierarkis, atau mengendalikan gerakan sosial.

Peran organisasi khusus anarkis dalam gerakan sosial juga bukan untuk mengajak setiap orang memeluk ideologi yang dibawanya, melainkan untuk menyebarkan dan mempengaruhi gerakan dengan praktik-praktik libertarian (aksi langsung, otonomi, swakelola, dll), tanpa “doktrinisme”.

Peran ini menyiratkan tanggung jawab yang sangat besar dan menggambarkan adanya hubungan etis dengan gerakan sosial. Peran ini juga membawa kami pada tugas yang tidak terelakkan, yaitu untuk bersumbangsih pada perjuangan yang melawan segala jenis pemberangusan gerakan sosial, memerangi birokrasi, mendorong pengorganisasian internal gerakan tersebut, dan berupaya memastikan bahwa gerakan-gerakan ini selalu berdiri di atas kaki mereka sendiri.

FARJ membedakan antara kerja sosial dan peleburan sosial. Bisakah kalian menjelaskan keduanya?

Ya, kami membedakan kedua hal tersebut. Seperti dalam program kami: “kerja sosial adalah aktivitas sadar organisasi anarkis di tengah perjuangan kelas, membuat anarkisme berinteraksi dengan kelas-kelas yang dieksploitasi”. Sementara peleburan sosial adalah “proses mempengaruhi gerakan sosial oleh praktik-praktik anarkis. Dengan demikian, organisasi anarkis melakukan kerja sosial saat ia menciptakan gerakan sosial baru atau mengembangkan aktivitasnya dalam gerakan sosial yang sudah ada; dan melakukan peleburan sosial ketika ia berhasil mempengaruhi gerakan sosial ini dengan praktik anarkis”.

Bagi kami, fungsi terpenting organisasi anarkis adalah untuk menjadi motor atau alat perjuangan bagi gerakan sosial, serikat buruh, dll. Dalam pengertian ini, kami selalu berupaya untuk menciptakan gerakan baru ataupun terlibat dalam gerakan yang sudah ada.

Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa kami melakukan kerja sosial saat kami terlibat dalam gerakan. Kami menciptakan gerakan baru jika suatu gerakan belum bekerja dengan strategi yang kami pandang baik. Ketika kami masuk ke sebuah gerakan sosial seperti gerakan tunawisma, misalnya, kami berkegiatan di dalamnya tanpa menerapkan rencana praktik yang sesuai program kami: saat itulah kami disebut melakukan kerja sosial. Jadi, kerja sosial berarti terlibat dalam sebuah gerakan tanpa menerapkan program kami, atau menjalankan proyek yang tepat, seperti yang selalu kami bahas. Secara umum, langkah pertama sebuah organisasi anarkis adalah untuk selalu memulai kerja sosial, tapi kita juga harus selalu berupaya mencari peleburan sosial, disesuaikan dengan momennya.

Menurut pengertian tersebut, peleburan sosial dimulai dengan kerja sosial, sehingga selanjutnya organisasi anarkis dapat membuat strateginya berfungsi dalam praktik gerakan rakyat. Bagi kami tidaklah cukup hanya dengan berada di dalam gerakan sosial dan sekadar mengikuti arusnya. Kita harus berada di sana dengan sebuah program dan berjuang agar program tersebut bisa diterapkan semaksimal mungkin dalam praktik.

Dalam program kami, kami mengusulkan sebuah strategi yang ditentukan khusus untuk gerakan sosial: singkatnya, gerakan sosial adalah gerakan yang luas tanpa memandang agama atau ideologi sebagai dasar berkumpulnya; karakteristik kelas sebaiknya ada di dalam asosiasi gerakan ini, artinya, gerakan dikerjakan oleh sektor-sektor kelas tertindas; berdaya tempur, memiliki tujuan penaklukkan dengan cara berjuang, bukan bekerjasama dengan kelas penindas atau menunggu-nunggu kebijakan negara; otonomi, merdeka dari individu, organisasi, dan institusi otoritarian, seperti partai elektoral, negara, dsb; menggunakan aksi langsung sebagai jaminan penaklukan kelas dalam perjuangan kelas itu sendiri dan tidak berpartisipasi dalam praktik-praktik demokrasi borjuis; pengambilan keputusan dilakukan dengan demokrasi langsung, yaitu gerakan diorganisir secara horizontal, keputusan dibuat oleh semua pihak yang terlibat dalam proses perjuangan, tidak ada kepemimpinan yang terlepas dari basis, dan bentuk-bentuk pengelolaan dilakukan secara mandiri (swakelola) serta saling terhubung (federalisme); dan akhirnya, memiliki sebuah perspektif jangka panjang yang dapat mendorong penaklukan harian dan mendorong perjuangan dengan tujuan yang sosialis dan revolusioner.

Singkatnya, semakin kita berhasil mempromosikan strategi ini dalam gerakan, dan semakin banyak gerakan sosial yang berfungsi dengan cara ini, semakin banyak pula peleburan sosial yang kita miliki.

Oleh karena itu, kita dapat membedakannya dengan mudah: kerja sosial berarti berpartisipasi dalam gerakan sosial, dan peleburan sosial adalah mengelola pelaksanaan suatu program dalam gerakan sosial. Kerja sosial harus selalu menjadi awal dan peleburan sosial menjadi tujuannya.

Kami menekankan pada gerakan sosial. Jadi kerja sosial tidak dilakukan secara acak, dan aksi pemberontakan tidak serta merta dianggap sebagai kerja sosial, betapa pun mengagumkan aksi tersebut ketika diarahkan melawan penindas. Pertama, ada persoalan tentang medan: apa sajakah medan perjuangan kelas dan apa tawaran yang mungkin dilakukan untuk membentuk organisasi kerakyatan? Jika kita memahami kelompok kelas yang dieksploitasi sebagai aktor utama revolusi, tidak ada jalan lain selain bekerja dengan gerakan-gerakan yang dibentuk oleh mereka yang tertindas oleh kapitalisme.

Gerakan-gerakan ini sudah ada, atau perlu diciptakan—tugas penciptaan bisa dilakukan oleh organisasi khusus anarkis, bisa juga tidak. Kerja sosial membutuhkan suatu sistematika khusus. Artinya, perlu dilakukan secara teratur dan dikembangkan di atas landasan yang kokoh dan memiliki—atau berniat memiliki—karakter kelas seperti yang disebutkan tadi. Penting untuk tetap fokus pada tujuan Anda jika tidak mau jatuh ke dalam aktivisme untuk aktivisme itu sendiri atau membuang-buang energi yang sebenarnya diperlukan untuk memajukan perjuangan.

Kami harus menekankan bahwa kerja sosial membutuhkan banyak kesabaran dan ketekunan. Oleh karena itu diperlukan sikap tertentu. FAU menyebutnya sebagai sikap militan, sebuah istilah yang benar-benar menjelaskan bagi kami dan merupakan sesuatu yang mulai kami renungkan akhir-akhir ini. Militansi tidak akan membawa hasil jika sikap para militannya saling bertentangan. Kami juga tidak menginginkan semua orang bertindak dan berperilaku yang sama atau dianulir demi keseragaman kolektif. Ada berbagai kepribadian dan temperamen dalam organisasi.

Apa yang kami pikirkan adalah bahwa Anda harus memiliki parameter kerja sosial tertentu yang harus dirangsang dalam organisasi khusus anarkis. Pernyataan prinsip kami sudah menjelaskan fondasi asas organisasi kami, tapi pengalaman kerja sosial sehari-hari mensyaratkan persoalan yang tidak dapat diselesaikan hanya dengan gagasan saja. Untuk itu, perlu dipastikan bahwa militan bukan benda eksotis atau “makhluk asing” dalam gerakan-gerakan sosial tempatnya berpartisipasi, atau ingin berpartisipasi. Militan perlu mengetahui bagaimana cara memperhatikan dan mendengar. Penting untuk bersabar dan, yang paling penting, menjadi seseorang yang otentik dan tulus dalam tugas yang dilakukannya. Mewujudkan nilai-nilai yang kita pegang tidak bisa hanya dengan kata-kata atau indoktrinasi murni, kita juga harus berjalan bersama bahu membahu dalam persaudaraan dan solidaritas perjuangan di dalam kerja sosial harian. Kerja sosial tidak akan berkembang jika saya hanya berinteraksi, berbincang, dan bersosialisasi dengan sesama kawan “revolusioner” saya.

Jelas, tidak ada militan yang memiliki semua kualitas yang kami harapkan, tapi dengan praksis secara kolektif, kita bisa meningkatkan kemampuan.

Semakin banyak militansi, semakin besar kemungkinan bagi peleburan sosial. Ini semua bukan tentang mengideologisasi gerakan atau mengubah gerakan sosial menjadi gerakan sosial anarkis. Melakukan peleburan sosial berarti bekerja sedemikian rupa agar gerakan sosial berhasil melangkah sejauh mungkin menuju tujuan revolusioner.

Sejak saya pertama kali mengunjungi FARJ pada tahun 2005, kalian telah membentuk front baru yang disebut “Anarkisme dan Alam” dalam organisasi. Bisakah Anda menjelaskan secara singkat kegiatan, fokus, dan struktur dari ketiga front ini, di luar aktivitas gerakan sosial mereka?

Kami bekerja dalam gerakan sosial melalui front kami. Front Gerakan Sosial Urban[202] bertindak terutama di dalam Movimento dos Trabalhadores Desempregados-Pela Base (Gerakan Buruh Pengangguran-Akar Rumput), gerakan sosial ini terdiri dari pengangguran, pekerja setengah menganggur, dan semua orang yang dalam beberapa hal menderita dampak dari pranata kapitalis. MTD-RJ Pela Base mengorganisir di seputar kebutuhan komunitas masyarakat dan lingkungan tempatnya membaur. Sebenarnya kami bisa menghitung beberapa nukleus, sebagian besar aktif di favela (kota-kota kecil/kumuh) dan komunitas masyarakat pinggiran Rio de Janeiro. Kami bekerja di nukleus yang berada di Kompleks Monyet (Complexo dos Macacos—sebuah favela di Rio de Janeiro) dengan pendidikan rakyat; kami terlibat dalam penyelenggaraan pra-vestibula[203], semacam kursus yang dibuat bagi pelajar yang tidak dapat membayar biaya tinggi kursus pribadi untuk membantu mereka dalam persiapan ujian masuk universitas negeri. Nukleus ini, yang terletak di dalam Pusat Sosial Budaya (Centro de Cultura Social), juga melakukan kegiatan daur ulang pakaian dan bahan sisa. Kegiatan tersebut diorganisir oleh seorang kawan yang dulu terlibat dalam sebuah aksi pendudukan yang merupakan nukleus MTD-RJ, tapi akhirnya mereka digusur paksa sekitar satu setengah tahun yang lalu. Nukleus dari kompleks Penha bekerja terutama dalam persoalan budaya, khususnya hip-hop. Ada pra-vestibula lain yang berlokasi di kompleks Maré, dan para anggota MTD-RJ Pela Base terlibat di sana sebagai guru. Di luar kota Rio de Janeiro, kami memiliki nukleus di kota Petrópolis, wilayah dataran tinggi negara bagian Rio de Janeiro. Nukleus ini bekerja dalam persoalan transportasi dan pekerjaan informal. Ada banyak hal yang harus dilakukan, nukleusnya sedang dikonsolidasikan. Yang paling penting adalah bahwa MTD-RJ Pela Base berhasil menggabungkan kawan-kawan yang beragam, yang pandangan utamanya adalah anti-kapitalisme, dan pengorganisasian gerakan selalu dari akar rumput, berusaha sepenuhnya otonom dari pemerintah, partai, dan perusahaan.

Di tingkat hunian sewa, Front Gerakan Sosial Urban juga bertindak di Pusat Akademik Sejarah (Centro Acadêmico de História) di Universitas Federal Rio de Janeiro, melalui seorang kawan mahasiswa. Tampaknya penciptaan hubungan antara gerakan mahasiswa dan gerakan rakyat sangat diperlukan untuk mewujudkan setiap proyek transformasi sosial, walaupun kami tahu itu bukan pekerjaan mudah.

Front Komunitas kami bertanggung jawab atas pengorganisasian Pusat Sosial Budaya (Centro de Cultura Social—CCS-RJ), yang berlokasi di sekitar Vila Isabel dan terutama menangani komunitas masyarakat Morro dos Macacos. Di dalam CCS ada berbagai kelompok dan proyek. Ada lokakarya sastra dan sinema dengan anak-anak dan remaja dari Morro dos Macacos, sebuah lembaga pra-vestibula seperti yang tadi disebutkan di atas, yang merupakan kerja sama tiga kelompok (MTD-RJ Pela Base, CCS, dan Luz do Sol), pendidikan kesadaran lingkungan dan daur ulang barang bekas dan lokakarya daur ulang, penjualan pakaian bekas dengan harga merakyat, kursus ilmu komputer dan, terakhir, Perpustakaan Sosial Fabio Luz (Biblioteca Social Fábio Luz).

Sebenarnya kami bekerja sebagai guru dan pendukung pra-vestibula di ruang tersebut, yang terutamanya melayani masyarakat sekitar, dalam organisasi Perpustakaan Sosial Fabio Luz (perpustakaan ini memiliki arsip mulai dari topik anarkisme hingga sastra, filsafat, dan buku ilmiah) dan di lokakarya sastra dan sinema dengan kaum muda setempat. Pusat Penelitian Marques da Costa (Núcleo de Pesquisas Marques da Costa) juga berkegiatan di CCS, dan bertanggung jawab untuk memproduksi artikel dan penelitian tentang sejarah gerakan buruh dan anarkis di Rio de Janeiro, di mana kami juga menyunting buletin berjudul “Emecé”, yang menyatukan para peneliti serupa. Fungsi utama CCS bukan hanya untuk menyediakan rujukan bagi gerakan sosial Rio de Janeiro, tetapi membuka pintu bagi inisiatif-inisiatif otonom dan bersumbangsih pada pelatihan politik dan sosial masyarakat di sekitarnya. CCS secara sederhana memenuhi tujuan ini.

Front terakhir dan terbaru kami, yang disebut Anarkisme dan Alam, atau agroekologi, diciptakan dari kerja sosial khusus yang dikembangkan terutama di Seropédica (sebuah kota di wilayah pedesaan Rio de Janeiro) dan di Baixada Fluminense, dan dari kerja para militan di Pusat Kesehatan dan Makanan Germinal (Núcleo de Saúde e Alimentação Germinal), yang selama beberapa tahun menyelenggarakan kegiatan di Pusat Sosial Budaya (CCS-RJ), mereka juga mendukung kegiatan masyarakat yang terkait dengan tunawisma dan petani urban.

Keterlibatan militan kami dalam kelompok agroekologi dari wilayah tersebut (Kelompok Petani Ekologis/GAE dan Asosiasi Produsen Otonom dari Perkotaan dan Pedesaan/APAC) membuahkan keterlibatan front dalam pendudukan kelompok MST (Gerakan Rakyat Tanpa Tanah—Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra) dan keterlibatan dengan para petani kecil dari wilayah tersebut. Melalui gerakan-gerakan tempatnya membaur, front juga mengintegrasikan Artikulasi Agroekologi Rio de Janeiro (Articulação de Agroecologia Rio de janeiro—AARJ). AARJ merupakan jaringan koordinasi berbagai kelompok sosial pedesaan dan gerakan dari negara bagian Rio de Janeiro yang berjuang terutama dalam melawan ekspansi agribisnis dan rekayasa genetik, serta memperkuat inisiatif-inisiatif agroekologis. Kami memahami bahwa agroekologi dapat menjadi alternatif untuk memutus relasi kapitalisme hanya jika ia terhubung dengan gerakan yang memperjuangkan tanah dan kontrol produksi di lahan dengan perspektif aksi langsung.

Apa fungsi front terkait organisasi khusus anarkis dan gerakan rakyat?

Terkait organisasi khusus anarkis, front bukanlah kelompok dalam organisasi, melainkan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari FARJ. Pembagian front lebih merupakan persoalan mengenai mana yang lebih baik dalam pengorganisasian kerja militan. Otonomi front diterapkan ketika ia beroperasi, mengikuti garis strategis yang telah ditentukan secara kolektif di dewan federasi kami dan terhubung dengan asas dan program organisasi. Persoalan ini penting agar kami senantiasa memiliki visi perjuangan yang sama. Tanpanya, kerja sosial tidak mungkin dilakukan dan dengan cepat akan tergelincir ke dalam “aktivisme demi aktivisme itu sendiri”, yang merupakan pemborosan energi besar-besaran.

Terkadang militan bermigrasi dari satu front ke front lain, baik karena tuntutan kolektif organisasi maupun karena adanya kesulitan sementara (atau kemudahan) untuk beraksi di ruang-ruang tertentu.

Front muncul dari kebutuhan praktis gerakan di tempat kami beroperasi dan dari kondisi organisasi untuk menjalankan dan mengkoordinasikan kegiatan anarkis di ruang-ruang ini.

Terkait dengan gerakan kerakyatan, pada dasarnya kami ingin memperkuatnya, menyebarkan gagasan dengan cara menjadi teladan, dengan praktik politik dan etika asas-asas otonomi, aksi langsung, dan horizontalisme. Seperti yang telah kami katakan, kami tidak percaya pada “gerakan sosial anarkis”. Mengideologisasi gerakan sosial hanya akan menyingkirkan sebagian besar militan dari gerakan tersebut dan akibatnya mengasingkan anarkisme ke kelompok-kelompok eksklusif dan lingkaran terbatas. Namun, menyebarluaskan nilai-nilai libertarian juga harus memastikan bahwa gerakannya tidak dimanfaatkan oleh partai dan pemerintah, juga tidak mengarah ke reformisme. Kegiatan front dipahami seperti ini: bekerja agar otonomi dan daya tempur gerakan terjamin; dan bertindak agar gerakan menjadi semakin terorganisir dan mencapai pandangan revolusioner.

Jelas, penyebaran anarkisme dalam gerakan terjadi secara alamiah dalam praktik kita sebagai militan, bahkan jika pun tidak berakhir seperti itu, masuk akal jika kita selalu menghormati pilihan dan posisi pribadi para militan lain yang turut serta di gerakan.

Apakah kalian bekerja di luar tiga front ini? Jika iya, mengerjakan apa?

Ada beberapa kerja sosial lintas front, kami melebur di dalamnya, seperti Universitas Populer (Universitas Rakyat), di mana berbagai kawan dari semua front dilibatkan. Universitas Populer adalah proyek pendidikan kerakyatan yang intinya berfungsi sebagai penyelenggara lokakarya dan kursus pendidikan sosial dan politik di komunitas masyarakat, di tempat-tempat sosial para pengangguran, perkampungan, lokasi okupasi, perkemahan pendudukan, dan lain-lain. Ada juga yang bergerak di bidang-bidang yang belum tentu diresmikan menjadi sebuah front khusus. Beberapa kawan terlibat dalam serikat buruh mereka masing-masing atau dalam organ-organ sekolah atau kampus, tapi mereka selalu memprioritaskan tugas yang dipercayakan kepada mereka di front masing-masing. Kami belum meresmikan front sindikalis karena berbagai kondisi yang telah dijelaskan sebelumnya, tetapi kemungkinan ini terbuka.

Demi menghindari beban kerja berlebih, sangat penting untuk tidak menguras tenaga militan. Memang, semua militansi membutuhkan sejumlah pengorbanan, tapi merepotkan para militan dengan berbagai tugas yang tidak terlalu dekat dengan tujuan bersama hanyalah membuang-buang waktu. Oleh karena itu kami selalu berpikir secara kolektif mengenai inisiasi kerja-kerja baru. Dengan terpencar-pencar, aktivitas kita semakin kurang berdampak, oleh karena itu sangat penting bahwa kegiatan kita dijalankan dalam lingkup front. Ada tugas lain selain tugas front, yaitu tugas yang berlangsung dalam sekretariat organisasi. Walaupun kami tidak terlalu menganggap tugas sekretariat sebagai kerja militansi sosial yang nyata, kami memilih untuk menetapkan bahwa setiap militan harus melakukan kerja eksternal (kerja front, yaitu kerja sosial dalam gerakan sosial masing-masing) dan kerja internal (di sekretariat organisasi). Tata cara ini untuk mencegah adanya orang-orang yang hanya fokus pada kerja “ideologis” internal saja, menghabiskan sebagian besar waktunya dengan kenyamanan dan terbebas dari konflik dan ketegangan gerakan sosial. Tata cara ini juga mencegah militan hanya bertindak secara sosial saja, atau tidak peduli dengan tugas-tugas internal organisasi yang juga sangat penting. Intinya, bagi kami, semua militan mesti bersinggungan langsung dengan gerakan sosial dan berkegiatan terus menerus di gerakan tempatnya membaur sekaligus juga melakukan beberapa pekerjaan internal untuk organisasi.

Pada bulan Agustus 2008, FARJ mengadopsi dokumen Anarquismo Social e Organização (Anarkisme Sosial dan Organisasi) sebagai programnya. Bisakah Anda menjelaskan bagaimana dokumen ini dibuat dan bagaimana prosesnya hingga akhirnya ia diterima dan diterapkan?

Selama beberapa waktu kami berupaya secara sistematis menyusun beberapa perdebatan yang muncul di dalam organisasi. Peninjauan ini dibuat berdasarkan pengalaman militansi sosial kami yang beroperasi dalam bentuk front. Program ini dibentuk sebagai pembakuan beberapa gagasan, tidak hanya menyangkut pemahaman anarkisme kami, tetapi juga pemulihan, baik secara historis maupun ideologis, pemahaman tentang organisasi yang membentuk arah gerakan anarkis. Kami juga perlu menguraikan pandangan revolusioner kami dengan lebih baik dan meresmikan beberapa metode, menyelesaikan perbedaan dalam pemahaman, dan menyusun peninjauan kolektif secara tertata.

Proses perumusan program dilakukan tidak hanya dengan mempelajari sekumpulan bacaan kolektif yang kami miliki—akumulasi teoretis—, tapi juga dengan meninjau ulang aktivitas front dalam kesulitan, keberhasilan, dan kegagalan mereka dalam militansi sosial. Program ini tumbuh dari praktik politik kami, yang sederhana, tapi sangat kaya sumbangsihnya.

Jadi kami memulai sebuah diskusi internal, di mana kami berbagi tanggung jawab untuk berkontribusi pada naskah “final” ini. Pembacaan semua materi, andil individu dan kolektif, berlangsung panjang dan melelahkan, tapi kami memerlukannya untuk meraih beberapa pandangan strategis. Pekerjaan yang kami lakukan sangat banyak, apalagi karena di luar itu kerja militansi kami juga tidak boleh terganggu. Setelah banyak usaha dan pembahasan kolektif yang padat, kami berhasil menyusun materi ini secara sistematis. Poin mendasar dari proses ini adalah bahwa kami berhasil mengumpulkan para militan organisasi, yang menyelesaikan permasalahan ketimpangan ideologis dan berkontribusi besar pada pendidikan mandiri kami.

Tentu saja program ini bukan pasal-pasal yang ditulis di atas batu atau sebuah kitab suci. Kami memahami jika di kemudian hari dapat (dan harus) dilakukan beberapa penyesuaian akibat adanya ketidakakuratan. Wajar jika ini terjadi. Namun yang terpenting adalah bahwa sumbangsih ini tidak hanya berguna untuk kami, tapi juga untuk keseluruhan gerakan anarkis.

Tanpa keraguan dapat kami katakan bahwa dampak program ini jauh lebih besar dari yang kami perkirakan! Ini memberikan kami kepuasan besar, tapi di sisi lain, membebani kami dengan lebih banyak tanggung jawab dan juga membuat kami lebih sadar akan tugas-tugas kami.

FARJ baru-baru ini bergabung ke dalam Forum Anarkisme Terorganisir (FAO) di Brasil. Apa itu FAO dan apa tujuannya?

Forum Anarkisme Terorganisir adalah forum yang menyatukan organisasi-organisasi spesifik dan kelompok-kelompok anarkis di seputar visi bersama tentang kegiatan anarkis yang berorganisasi dalam gerakan sosial dan gerakan rakyat. FAO adalah ruang berdiskusi dan sebuah jaringan antar organisasi anarkis, kelompok, dan individu yang bekerja atau berniat bekerja menggunakan prinsip dan strategi anarkisme especifista sebagai landasannya.

Tujuan utama FAO adalah menciptakan kondisi untuk pembangunan organisasi anarkis skala nasional di Brasil. Kami tahu bahwa tugas ini tidak bersifat jangka pendek, tapi ia perlu dimulai sekarang. Kebutuhan akan sebuah proyek yang setidaknya dapat menghimpun kaum anarkis bersama-sama di tingkat nasional sangat penting agar kita dapat merebut kembali kekuatan untuk proposal libertarian.

Apa tujuan praktis dari masuknya FARJ ke FAO? Dan mengapa FARJ menunda begitu lama untuk bergabung?

Untuk saat ini, untuk berbagi dan setidaknya mengartikulasikan proposal bersama. Untuk mendiskusikan dan memperdebatkan tidak hanya praktik politik kita tapi juga persoalan teoretis yang bagi kami penting agar kita bisa menjalankan aksi bersama, menyesuaikan dengan kenyataan lokal yang berbeda-beda di tempat setiap kelompok berkegiatan.

[Soal ketertundaan:] Ketika proses FAO dimulai, kami lebih memilih untuk membangun organisasi kami secara internal dan mengonsolidasikan kerja-kerja kami, yang hari ini kami nilai sebagai pilihan yang sangat bijak sebab kami sudah lebih baik dalam menjelaskan persoalan strategis dan mengembangkan praktik militan kami. Ketertundaan ini terjadi sebagian besar karena adanya ketidaksepakatan seputar persoalan praktis menyangkut kegiatan organisasi anarkis lain di Rio de Janeiro, yang selain menghalangi masuknya kami ke dalam Forum, memutuskan berpisah dari Forum setelahnya, dan setelah keluar lalu menuduh semua kelompok anarkis dan organisasi lain sebagai “revisionis” dan “eklektik” (sebuah istilah yang anehnya digunakan Lenin dalam banyak tulisannya). Jadi mereka mendekati posisi teoretis yang diklaim sebagai “Bakuninis”, dan menuduh Malatesta dan Kropotkin sebagai pemikir “revisionis”.

Di saat bersamaan, kami kembali menjalin kontak dengan berbagai kelompok dan organisasi anarkis. Kontak ini terjadi secara alamiah dari pertemuan para militan kami di forum-forum berbentuk kelas dan gerakan sosial di mana mereka terlibat. Prospek bergabung dengan FAO pun menjadi nyata.

Penting untuk ditekankan bahwa diperlukan banyak kedewasaan politik dari semua pihak yang terlibat sehingga persoalan lama ini dapat teratasi. Sangat penting bagi kami untuk menyelesaikan masalah-masalah tertentu dan memajukan proposal bersama. Tidak mungkin membangun forum atau organisasi nasional tanpa bisa mendiskusikan dengan rasa persaudaraan semua masalah yang muncul dalam menghadapi tugas besar ini.

Kami pikir FAO sangat senang dengan jalan yang kami pilih, berhasil menyatukan berbagai kelompok dan organisasi yang sekarang membentuknya. Ada juga kemungkinan organisasi lain segera bergabung dengan FAO. Mengetahui bahwa ada rekan-rekan lain yang juga bekerja di daerah masing-masing dengan perspektif anarkisme yang terorganisir memberikan harapan besar bagi kami di jalan menuju transformasi sosial.

Afrika Selatan baru-baru ini menjadi tuan rumah Piala Dunia Sepak Bola, dan Rio de Janeiro akan menjadi tuan rumah bagi FIFA untuk Piala Dunia 2014. Dampak apa yang menurut Anda akan terjadi pada kota ini, secara politik dan ekonomi, serta pada gerakan sosial rakyat di tempat Anda bekerja? Apakah beberapa hal sudah terjadi?

Pada 2007, dalam pelaksanaan turnamen Pan-Amerika (PAN), gerakan sosial telah mengecam proses “pembersihan kota” yang dilakukan untuk menyambut delegasi dan turis asing. PAN adalah latihan kecil elit di negara bagian Rio de Janeiro dan Brasil untuk mewujudkan rencana yang jauh lebih ambisius, yaitu mengubah Rio de Janeiro menjadi kota wisata yang terbuka untuk modal internasional besar.

Mimpi indah para elit telah menciptakan mimpi buruk bagi kaum tertindas saat koalisi tiga bidang pemerintahan, Lula, Sérgio Cabral (gubernur Rio de Janeiro), dan Eduardo Paes (walikota Rio de Janeiro), bekerja sama dengan tokoh-tokoh pengusaha nasional dan internasional untuk mulai mengubah kota agar kondusif bagi Piala Dunia dan Olimpiade.

Rencana yang dimulai dengan Pan-American Cup telah berkembang dengan kekuatan yang lebih besar dalam pemerintahan baru-baru ini. Namun hanya ada sedikit kekuatan gerakan sosial dalam menghadapi proyek-proyek ini. Sebagaimana telah kami (serta gerakan sosial dan kelompok politik otonom lainnya) peringatkan, banyak gerakan sosial akhirnya memilih jalan penuh ilusi, yaitu mekanisme legal. Mereka lalu berhadapan dengan respons negara yang “semakin keras”, hasilnya adalah kesepakatan politik elit yang secara strategis menyingkirkan semakin banyak sektor progresif dari jajaran dan jalur kelembagaan mereka demi menyelesaikan proyek tersebut, serta bekerja sama dengan pihak-pihak paling reaksioner yang dapat mereka andalkan.

Dampak sosial dan politiknya sangat buruk.

Dalam menyesuaikan kota dengan persyaratan FIFA dan badan kapitalis internasional lainnya, sebuah kebijakan “zero tolerance” yang sangat mirip dengan model represi AS pun berkembang. Sebagai contoh, kebijakan pemusnahan massal ini antara lain: kenaikan gaji dan bonus polisi militer Rio de Janeiro (sementara guru di sekolah umum di Rio de Janeiro memiliki tingkat upah terendah di negara ini), pembangunan unit polisi di pemukiman kumuh dan area pinggiran (Unit Polisi “Pacifier” atau PPP—Unidades de Polícia “Pacificadora”) untuk mengendalikan kemiskinan, memusnahkan segala bentuk protes dan ketidakpuasan, melancarkan kebijakan penggusuran, serta menghadang pendudukan/okupasi dan komunitas-komunitas miskin. Polisi Rio de Janeiro adalah pembunuh terbesar di Brasil!

Untuk memberikan gambaran, sebuah perjanjian institusional yang disebut “Shock Order”, semacam peraturan AI-5 kotamadya (ketentuan legal dari negara, kecuali kediktatoran militer-sipil pada tahun 1964 yang menganulir mandat, menangguhkan habeas-corpus dan jaminan konstitusional “legal” lainnya), dilaksanakan oleh pemerintah kota. Hasilnya adalah penggusuran, pengusiran, persekusi, dan serangan terhadap pekerja.

Apa yang kami lihat adalah proses militerisasi kota untuk semakin melayani proyek nasional elit, yang akan diekspor ke negara-negara bagian Brasil lainnya bila diperlukan. Dari sejarah kota tersebut dapat dikatakan bahwa Rio de Janeiro adalah semacam laboratorium sosial bagi elit politik dan ekonomi yang mendominasi Brasil. Janji beberapa calon presiden untuk membentuk Kementerian Keamanan telah mengungkap sudut pandang pemerintah federal mengenai bagaimana persoalan sosial akan ditangani di masa depan.

Dalam persoalan ekonomi, pengusaha dan kapitalis mendapatkan keuntungan besar, sedangkan pekerja informal (pedagang kaki lima) mendapatkan represi dan resiko akibat ketidakjelasan kerja (prekaritas). Peningkatan kuota Garda Kota (Municipal Guard—pengawal militer pemerintah kota Rio de Janeiro) membuktikan bahwa semakin buruknya keadaan sosial. Spekulasi real estate terus berlanjut. Akibatnya adalah gentrifikasi dan marjinalisasi kaum miskin; terpinggirkannya orang-orang yang tidak mampu membayar harga sewa tinggi atau membeli rumah di daerah mahal. Secara terbuka dapat kami katakan bahwa penaksiran harga tanah di kota Rio de Janeiro berasal dari proyek elit untuk membangun “kota ideal”: proyek ini melawan kemiskinan dengan memerangi orang miskin.

Bagi gerakan sosial, situasinya sangat sulit. Penindasan, kriminalisasi, dan persekusi politik selama Piala Dunia, dan, jika boleh jujur, pemusnahan ketidakpuasan sosial dengan kekerasan fisik adalah kemungkinan yang harus disikapi dengan serius dan penuh perhatian. Di Piala Dunia dan Olimpiade, kemungkinan ini akan berkembang, dengan dukungan media dan sebagian besar kelas menengah. Situasi di negara kami saat ini tidak banyak berubah karena proporsi historisnya sangat mirip dengan periode kediktatoran militer. Ada fasisme terlembaga yang sedang berlangsung.

Dalam organisasi saya, dan mungkin juga dalam kelompok Platformis atau tradisi especifista lainnya, kami berusaha keras setidaknya untuk menemukan keseimbangan antara kebutuhan untuk mendekati dan menerima militan baru masuk ke dalam organisasi, meningkatkan kapasitas dan kegiatannya—sembari juga mempertahankan tingkat kesatuan teoretis dan taktis tertentu. Bisakah Anda menjelaskan sedikit tentang proses yang digunakan FARJ untuk mendekati anggota baru dan apa syarat untuk bergabung dengan organisasi, baik sebagai “militan” maupun sebagai “pendukung”?

Penting untuk memahami bahwa kedatangan rekan-rekan baru dan kebutuhan untuk mengintegrasikan mereka ke dalam dinamika organisasi adalah sebuah “masalah yang baik” bagi organisasi politik anarkis—sebuah federasi publik yang tidak sepenuhnya “terbuka”, sebab ada kriteria yang jelas untuk bergabung, tapi juga tidak sepenuhnya kaku bagi mereka yang ingin bergabung. Ada dua kriteria penting bagi yang ingin bergabung, yaitu: bersedia mengembangkan kerja sosial dan menyetujui proposal organisasi.

Pendekatan terjadi dengan cara yang berbeda-beda. Rekan-rekan bisa saja mengenal dan bekerja dengan kami dalam gerakan sosial, dan dari kerja sosial ini mungkin saja mereka menunjukkan ketertarikan untuk bergabung dengan organisasi. Kami menyadari bahwa pendekatan ini adalah salah satu cara terbaik untuk mendekati anggota baru karena ada kemungkinan untuk bertindak bersama dalam kerja sosial yang kita kembangkan. Di dalam gerakan sosial, mereka dapat berkenalan dengan kerja politik kami dalam praktik.

Tapi ada beberapa kasus yang berbeda, seperti rekan-rekan lain yang mengenal kami melalui materi kami, seperti jurnal Libera, atau melalui ruang anarkis tempat kami bertindak secara terang-terangan, seperti CELIP, dan dari sini mereka tertarik pada organisasi melalui ikatan ideologis yang ketat.

Penting bahwa kawan-kawan yang tertarik bergabung sedang mengembangkan kerja sosial bersama gerakan sosial: pelajar-mahasiswa, komunitas-komunitas masyarakat, serikat buruh, tunawisma, pengangguran, petani kecil, dll. Kami mempertimbangkan tempat-tempat kami aktif ini sebagai perkiraan tempat terbaik.

Ada juga kasus di mana kawan-kawan jauh—baik di luar negeri atau di wilayah lain di negara ini—ingin mendukung dan berpartisipasi dalam FARJ. Mereka diakui dalam dokumen kami (terutama dalam Anarkisme Sosial dan Organisasi) dan kami mempertimbangkan mereka untuk bergabung ke dalam lingkaran pendukung atau militan.

Untuk bergabung dengan level pendukung, umumnya kawan-kawan mengutarakan terlebih dahulu ketertarikan mereka untuk mendukung organisasi. Percakapan ini kemudian dibahas di diskusi kolektif, di mana kami membahas pertama-tama tentang militansi kandidat. Setiap kali seorang kawan baru meminta masuk sebagai pendukung, salah satu militan kami akan bertanggung jawab untuk menyampaikan dokumen dan naskah kepada mereka. Dokumen dan naskah ini diberikan guna membangun militan baru dan menghilangkan keraguan mereka, isi materinya biasanya terkait pemahaman dan praktik politik kami. Penting untuk tidak kehilangan akumulasi kekuatan[204] kita dan menyebarkan tinjauan-tinjauan kita.

Masuk ke dalam lingkaran militan berarti siap menerima tanggung jawab serta memiliki tekad yang lebih besar. Komitmen ini merupakan dampak dari kerja sosial di awal.

Biasanya ini terjadi ketika kawan yang bersangkutan sudah bekerja bersama kami di salah satu front sebagai pendukung, dan sudah mengetahui materi organisasi dan perdebatan yang berguna mengenai gerakan sosial tempat mereka terlibat. Hal ini penting dilakukan untuk menghindari militansi yang “terasing”, yang biasa kita temukan dalam organisasi hierarkis partai politik elektoral dan partai “revolusioner”. Penting bahwa setiap militan anarkis dapat menerapkan garis politik organisasi, dan setidaknya siap untuk melakukan kerja politik yang ingin dicapai oleh organisasi.

Kawan yang bergabung dengan FARJ juga mendeklarasikan kepentingan mereka dalam tindakan. Oleh karena itu, perlu untuk menetapkan tingkat kepercayaan, karena tugas anarkis tidak dapat dibangun hanya dengan kedekatan teoretis yang mujarad. Ikatan solidaritas, rasa hormat, dan keyakinan pada kawan terbentuk dalam perjuangan. Jika tidak, persatuan itu murni buatan, atau lebih buruk lagi, hanya didasarkan pada ikatan yang tidak sehat, yang kami ketahui ada di keseluruhan organisasi, dan tidak dapat menjadi kriteria objektif bagi praktik politik.

Dinamikanya sederhana. Setelah beberapa lama berada di dalam lingkaran pendukung, para kawan ini dapat bergabung dengan lingkaran militan organisasi jika mereka menginginkannya, dengan menerima tanggung jawab baru mereka. Penting bahwa tekad untuk memasuki lingkaran militan berasal dari orang itu sendiri dan disahkan oleh kolektif.

Penting untuk ditekankan: para kawan baru (yang tinggal di Rio de Janeiro) akan diterima bergabung berdasarkan ketentuan, yaitu bahwa mereka berpartisipasi dalam kerja sosial dan setuju dengan proposal FARJ—dan tidak pernah hanya dari kesepakatan ideologis yang tidak selalu berarti kesepakatan dalam praktik politik federasi. Seperti yang sebelumnya sudah dibahas, mereka yang berada di tempat jauh dapat mendukung mulai dari kesepakatan ideologis dan dari praktik sosial yang mereka kembangkan di kota-kota tempat mereka bermukim.

Kami mengetahui bahwa akan selalu ada ketimpangan pengetahuan teoretis dan praktis. Juga selalu ada bakat yang berbeda antara anggota lama dan anggota baru. Tetapi organisasi, yang selalu merupakan bangunan kolektif dan bukan sekumpulan individu, harus menciptakan perencanaan untuk selalu berupaya meratakan pengetahuan dasar yang dibutuhkan bagi kerja politik dan sosial anggotanya. Para anggota organisasi juga harus mempersiapkan diri mereka sendiri untuk kerja-kerja teori dan praktik, baik di level sosial maupun politik.

Kami menyelesaikan permasalahan ketimpangan ini secara kolektif dengan mengadakan seminar-seminar internal dan menyusun naskah kolektif dari bacaan bersama atau diskusi-diskusi kelompok.

Di luar ketentuan untuk masuk ke dalam organisasi, menurut Anda, apakah proses pendekatan dan pembangunan kesatuan teoretis dan taktis ini dapat bervariasi tergantung keadaan sosial politik di tempat tertentu dan tradisi libertariannya? Bagaimana?

Ya. Kami menemukan bahwa kenyataan tidak selalu sesuai dengan keinginan kami, dan organisasi harus siap bertindak dalam naik turunnya keadaan serta berbagai latar belakang, tanpa menjadi birokratis atau menjadi terlalu kaku. Model pengorganisasian sebaiknya tetap disesuaikan dengan beragamnya kenyataan yang dihadapi oleh militansi anarkis, baik di Brasil maupun di bagian dunia lainnya.

Brasil baru-baru ini melepaskan diri dari periode kediktatoran dan memasuki rezim baru yang seharusnya demokratis. Sejarah negara-negara Amerika Latin penuh dengan masa kediktatoran. Di sini kami mengalami dua momen seperti itu, dari tahun 1930 sampai 1945 dan dari tahun 1964 sampai 1985, dan kami harus menyadari bahwa sejarah bisa “terulang” kembali. Kami juga menyadari bahwa kenyataan militansi di negara kami—bahkan dalam bagian kecil di Brasil, seperti Rio de Janeiro—menyajikan perbedaan dan kekhasan yang tidak dapat diabaikan. Melakukan kerja politik di pedalaman negara federal Rio de Janeiro, atau bahkan di Baixada Fluminense, wilayah metropolitan kota, berarti bekerja di lingkungan yang lebih tidak bersahabat ketimbang yang kami hadapi di ibu kota negara bagian.

Tapi, pertanyaan Anda adalah bagaimana menyesuaikan ketentuan pendekatan dan ketentuan masuk dengan kebutuhan untuk mempertahankan kesatuan teoretis dan strategis? Baik di saat represi sedang meningkat atau menurun atau dalam tradisi libertarian yang berbeda-beda. Kami berpikir bahwa hal ini dapat dipertimbangkan berdasarkan pengalaman praktis, seperti FAU (Federasi Anarkis Uruguay), yang telah melewati baik masa kediktatoran dan masa demokrasi, dan yang harus terus menyesuaikan diri agar pembangunan militansinya tidak berhenti.

Dan organisasi kami masih sangat muda, baru berumur tujuh tahun, dan sebenarnya dengan memulai militansi kami dalam periode “re-demokratisasi” ini kami sedang bertindak dalam kenyataan yang memungkinkan kami menyunting jurnal-jurnal anarkis, mewujudkan kegiatan di universitas-universitas dan serikat buruh, dan seterusnya—hal-hal yang tidak mungkin dilakukan di bawah rezim kediktatoran. Jika represi meningkat, tentu saja kami harus melakukan semua kerja pendekatan dan perekrutan dengan cara lain, dengan cara-cara yang tidak terlalu publik dan tidak terlalu terbuka, untuk memastikan kelangsungan kerja organisasi dan kehidupan para militan.

Kami mengatakan ini untuk memastikan bahwa kita tidak bisa mengikuti “buku resep” lalu mencoba menerapkannya tanpa menyesuaikannya dengan kenyataan kita. Salah satu syarat agar organisasi bertahan hidup lebih lama adalah: untuk dapat mengubah keadaan, ia harus mengetahui cara mengamati naik turunnya keadaan, dan dari situ menyesuaikan tindakannya.

Misalnya, di dalam FARJ, kami membutuhkan waktu untuk dapat mencapai tingkat persatuan seperti yang kami miliki saat ini, tetapi kami tidak berpikir bahwa persatuan yang lebih lemah di awal adalah alasan untuk “terpecah”. Sebuah organisasi yang baru saja terbentuk, terutama di lokasi-lokasi yang tidak memiliki tradisi militansi yang panjang, perlu bersabar.

Kami benar-benar mempertahankan kesatuan teoretis dan taktis, tapi dalam menciptakan sebuah organisasi, misalnya, kita tidak dapat terlalu “memperketat” tuntutan untuk persatuan tanpa pembahasan yang luas, karena hal ini akan sangat membatasi jumlah militan organisasi (seperti banyak terjadi di kelompok Trotskyis).

Oleh karena itu, kesabaran sangat diperlukan: kesatuan dicapai melalui proses pelatihan, diskusi, dan terutama praktik politik organisasi dalam perjuangan. Jadi, kalian harus memberikan waktu demi waktu untuk menempa dasar persatuan minimum agar sekelompok kawan dapat dengan kompak memulai diskusi dan kerja sosial, dan dalam konteks ini, “mempererat” kesatuan, organisasi, dan seterusnya. Militansi juga adalah budaya, dan manusia tidak dapat berubah secepat kilat. Mereka akan setuju dengan dokumen atau kerja organisasi, lalu secara bertahap akan melihat perlunya kedisiplinan, keteraturan dalam kerja mereka, pendalaman teori, dan lainnya. “Melemparkan” segunung tuntutan kepada militan baru kemungkinan besar hanya akan membuat mereka meninggalkan organisasi.

Diperlukan latihan terus menerus untuk dapat mengerti proses “mengencangkan baut” ini, sebab jika tidak kencang maka akan muncul masalah, tetapi jika terlalu kencang maka akan ada yang retak. Artinya, sejak dalam pikiran, organisasi harus berupaya meningkatkan kesatuan secara terus menerus, tapi selalu “mengencangkan baut” dengan keketatan yang pas, tidak terlalu kencang atau terlalu longgar.

Terkadang lebih baik memulai dengan garis yang lebih mendasar terlebih dahulu dan terus mengembangkan diskusi sambil jalan, ketimbang mencoba menjelaskan terlalu banyak poin di awal.

Terakhir, harus kami katakan, organisasi dan kesatuan organisasi anarkis harus disertai dengan kerja sosial dalam gerakan rakyat. Tidak ada gunanya organisasi anarkis dengan tingkat organisasi dan kekompakan yang tinggi jika hanya sedikit sekali terlibat dalam perjuangan, atau jika tidak terorganisir, dll. Sebagai pelengkap perjuangan gerakan, organisasi anarkis harus mengiringi tingkat perkembangannya tanpa melupakan bahwa ada naik turunnya gerakan. Dengan meningkatnya perjuangan sosial, wajar jika organisasi anarkis pun harus menyesuaikan diri dengannya.

Apakah Anda ingin menambahkan hal lain?

Hanya ingin mengirimkan kekuatan bagi rekan-rekan anarkis, khususnya yang berasal dari Zabalaza (ZAFC). Kami berharap gerakan sosial otonom dapat terus maju, serta kelompok dan organisasi anarkis dapat dengan rendah hati berkontribusi dengan perspektif perjuangan yang bertujuan revolusioner, dan inilah tugas kaum tertindas. Masih ada ruang untuk mimpi di dunia ini.







[1] Dielo Trouda "Plataforma organizativa por una Union General de Anarquistas". Terjemahan ke bahasa Spanyol, direvisi dan dikoreksi oleh Frank Mintz. Kami menggunakan kutipan dari terjemahan ini, yang diambil langsung dari bahasa Rusia, karena versi yang tersedia bagi kami dalam bahasa Portugis dan Spanyol, keduanya diterjemahkan dari bahasa Prancis, memiliki beberapa perbedaan dari versi asli Rusia. Meskipun judul dokumen di sini berbahasa Spanyol, kami mengacu pada dokumen yang sama yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai “The Organisational Platform of the Libertarian Communists”.

[2] Errico Malatesta, “Anarquismo y Anarquia”. Kutipan dari Pensiero e Volontà, 16 Mei 1925. Dalam: Vernon Richards.

[3] Luigi Fabbri, “Bourgeois Influences on Anarchism”.

[4] Murray Bookchin, “Social Anarchism or Lifestyle Anarchism: an unbridgeable chasm”.

[5] Vektor sosial adalah suatu konsep dalam sosiologi yang mengacu pada arus informasi atau pengaruh yang terjadi antara individu atau kelompok dalam masyarakat. Vektor sosial dapat berupa gagasan, nilai, norma, atau perilaku yang menyebar melalui interaksi sosial antar individu atau kelompok. [—penj.]

[6] Ibid.

[7] Frank Mintz, Anarquismo Social. São Paulo: Imaginário/Faísca/FARJ/CATL, 2006, hal. 7.

[8] FARJ. “A Propriedade é um Roubo”. Dalam: Protesta! 4. Rio de Janeiro/São Paulo: FARJ/CATL, 2007, hal. 11.

[9] Seperti yang penulis nyatakan, klasifikasi ini tidak dimaksudkan untuk memperumit hubungan-hubungan dan ada pula golongan yang tumpang tindih. Istilah "wilayah" di sini, menurut penulis, lebih mengacu pada konsep sosial ketimbang geografis. Rudolf de Jong. "Algumas Observações sobre a Concepção Libertária de Mudança Social". Dalam: Paulo Sérgio Pinheiro. “O Estado Autoritário e Movimentos Populares”. Rio de Janeiro: Paz e Terra, 1980, hal. 305-353. Klasifikasi aslinya ada di halaman 309 dan 310 buku tersebut. Naskah ini diterbitkan kembali pada 2008 oleh Faísca Publications, dalam edisi kolaborasi dengan FARJ, yang berjudul “A Concepção Libertária da Transformação Social Revolucionária”.

[10] Ibid. hal. 312

[11] FARJ. "Por um Novo Paradigma de Análise do Panorama Internacional". Dalam: Protesta! 4!, hal. 31.

[12] Rudolf de Jong. Op. Cit. hal. 324.

[13] FARJ. "Por um Novo Paradigma...". Dalam: Protesta! 4!, hal. 31.

[14] Alexandre Samis. "Pavilhão Negro sobre Pátria Oliva". Dalam: História do Movimento Operário Revolucionário. São Paulo: Imaginário, 2004, hal. 179.

[15] Ibid. hal. 136.

[16] Pierre Monate. "Em Defesa do Sindicalismo". Dalam: George Woodcock. Grandes Escritos Anarquistas. Porto Alegre: LP&M, 1998, hal. 206.

[17] Errico Malatesta. "Sindicalismo: a Crítica de um Anarquista". Dalam: George Woodcock. Op. Cit. hal. 207.

[18] Alexandre Samis. "Anarquismo, ‘bolchevismo’ e a crise do sindicalismo revolucionário". (Belum diterbitkan).

[19] José Oiticica dalam A Pátria, 22 Juni 1923.

[20] José Oiticica, Fabio Luz, dan anarkis lainnya yang menjadi radikal di Rio de Janeiro mengambil bagian dalam kelompok anarkis spesifik yang disebut Os Emancipados.

[21] Alexandre Samis. "Anarquismo, ‘bolchevismo’ e a crise do sindicalismo revolucionário".

[22] Ibid.

[23] Idem. "Pavilhão Negro sobre Pátria Oliva". Dalam: História do Movimento Operário Revolucionário, hal. 181.

[24] Felipe Corrêa. Anarquismo Social no Rio de Janeiro: breve história da FARJ e de suas origens. Lisboa: CEL/Cadernos d’A Batalha, 2008, hal. 25.

[25] FARJ. "Manifesto de Fundação".

[26] Alat produksi adalah sarana kerja dan pelengkap tenaga kerja. Sarana kerja adalah alat produksi seperti mesin, peralatan, perkakas, teknologi, dan/atau fasilitas-fasilitas seperti bangunan, gudang, kantor, dan/atau sumber energi yang digunakan dalam produksi, dapat berupa listrik, hidrolik, nuklir, angin, dll, serta sarana transportasi. Pelengkap tenaga kerja adalah elemen-elemen yang mendukung kerja manusia, beberapa di antaranya adalah bahan baku, sayuran dan hewan, tanah.

[27] Proletariat: mereka yang tidak memiliki apa-apa selain keturunan mereka, atau, anak-anak mereka.

[28] Peter Kropotkin. "Seperti Nossas Riquezas". Dalam: A Conquista do Pão. Lisboa: Guimarães, 1975, hal. 28.

[29] Pierre-Joseph Proudhon. "2eme. Memoire sur la Proprieté". Dalam: A Nova Sociedade. Porto: Rés Editorial, s / d, hal. 35.

[30] Idem O que é a Propriedade? São Paulo: Martins Fontes, 1988, hal. 159.

[31] Fabio López López. Poder e Domínio: uma visão anarquista. Rio de Janeiro: Achiamé, 2001, hal. 83.

[32] Mikhail Bakunin. O Sistema Capitalista. São Paulo: Faísca, 2007, hal. 4.

[33] Ibid. hal. 14.

[34] Peter Kropotkin. "A Expropriação". Dalam: A Conquista do Pão, hal. 62.

[35] Mikhail Bakunin. O Sistema Capitalista, hal. 6-7.

[36] Idem. Instrução Integral. São Paulo: Imaginário, 2003, hal.69.

[37] Subcomandante Marcos. "Entrevista a Ignácio Ramonet". Dalam: Marcos: la dignidad rebelde. Chili: Aún Creemos en los Sueños SA, 2001, hal. 26.

[38] Ibid. hal. 27.

[39] Noam Chomsky. O Lucro ou as Pessoas. Rio de Janeiro: Bertrand Brasil, 2002, hal. 136.

[40] Ibid. hal. 36.

[41] Murray Bookchin. "Um Manifesto Ecológico: o poder de destruir, o poder de criar". Dalam: Letra Livre 31. Rio de Janeiro: Achiamé, 2001, hal. 8.

[42] Errico Malatesta. Anarquia. São Paulo: Imaginário, 2001, hal. 15.

[43] Asosiasi usaha pengrajin, pedagang, seniman yang ada di Abad Pertengahan.

[44] Peter Kropotkin. O Estado e seu Papel Histórico. São Paulo: Imaginário, 2000, hal. 64.

[45] Errico Malatesta. "'Idealismo' e 'Materialismo'". Dalam: Anarquistas, Socialistas e Comunistas. São Paulo: Cortez, 1989, hal. 141. Buku dalam proses penerbitan ulang oleh penerbit Scherzo.

[46] Peter Kropotkin. "Decomposição dos Estados". Dalam: Palavras de um Revoltado. São Paulo: Imaginário, 2005, hal. 30.

[47] ​​Mikhail Bakunin. Estatismo e Anarquia. São Paulo: Imaginário, 2003, hal. 169.

[48] Ibidem. hal. 47.

[49] Ibidem. hal. 212.

[50] Pierre-Joseph Proudhon. "Crítica às Constituições". Dalam: Proudhon. São Paulo: Ática, 1986, hal. 87.

[51] Istilah "politik" yang digunakan di sini, dan bakal sering digunakan dalam naskah ini, dipahami sebagai: "berasal dari sebuah kata sifat yang asal katanya adalah polis (Politik), yang berarti semua hal yang merujuk pada kota, dan berarti semua hal terkait perkotaan, sipil, publik, dan bahkan sosial dan bersosialisasi". (Norberto Bobbio dkk. Dicionário de Política.Brasília: Editora UNB, 1993, hal. 954). Oleh karena itu, pemahaman kita mengenai politik berbeda dengan penganut demokrasi perwakilan. Dalam hal ini, “berpolitik” berarti benar-benar terlibat dan mengambil keputusan atas isu-isu masyarakat, dan khususnya isu-isu yang mempengaruhi kita secara langsung. Kita bekerja dengan gagasan bahwa ada politik di luar lingkup elektoral.

[52] Mikhail Bakunin. Estatismo e Anarquia, hal. 74.

[53] Peter Kropotkin. "O Governo Representativo". Dalam: Palavras de um Revoltado, hal. 154.

[54] Mikhail Bakunin. Estatismo e Anarquia, hal. 73.

[55] Ibid.

[56] Mengenai revolusi sosial, kami bekerja berdasarkan pemahaman klasik yang dikembangkan oleh Bakunin, yang memandangnya sebagai perubahan dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial masyarakat. Ketika kami membedakannya dari revolusi politik, dengan cara yang sama pula kami mengedepankan pembeda klasik yang menyatakan bahwa revolusi politik adalah perubahan yang hanya terjadi pada tingkat "politis" melalui negara.

[57] Mikhail Bakunin. Estatismo e Anarquia, hal. 52.

[58] Idem "Protesta de la Alianza". Dalam: Frank Mintz (org.).Bakunin: crítica y acción. Buenos Aires: Anarres, 2006, hal. 33.

[59] Idem. "Cartas a un francés". Dalam: Frank Mintz (org.).Bakunin: crítica y acción, hal. 22.

[60] Idem "La Comuna de Paris y la Noción del Estado" dan "Estatismo e Anarquía". Dalam: Frank Mintz (org.). Bakunin: crítica y acción, hal. 22-23. Ada terjemahan bahasa Portugis dari dua naskah tersebut, yang dibuat oleh Plínio A. Coêlho. Yang satu diambil dari Estatismo e Anarquia, dalam publikasi yang telah dikutip, dan "Comuna de Paris e a Noção de Estado", dalam publikasi: Mikhail Bakunin. O Princípio do Estado e Outros Ensaios. São Paulo: Hedra, 2008.

[61] Errico Malatesta. "A Violência ea Revolução". Dalam: Anarquistas, Socialistas e Comunistas, hal. 40.

[62] Idem "Uma Vez Mais Sobre Anarquismo e Comunismo". Dalam: Anarquistas, Socialistas e Comunistas, hal. 70.

[63] Mikhail Bakunin. Federalismo, Socialismo e Antiteologismo. São Paulo: Cortez, 1988, hal. 38.

[64] Ibidem.

[65] Istilah "federalisme" telah digunakan oleh anarkis sejak Proudhon, yang meresmikan teorinya tentang topik ini di Do Princípio Federativo pada 1863, dan buku lainnya. Federalisme menandai sosialis libertarian abad ke-20, terutama mereka yang bergerak dalam IWA (International Workers’ Association). Federalisme libertarian sangat berbeda dengan federalisme negara. Istilah swakelola atau "manajemen mandiri" muncul seabad setelahnya, pada 1960, untuk menggantikan istilah lain seperti pemerintahan mandiri (swa-pemerintahan), administrasi mandiri (swa-administrasi), otonomi, dll. Saat ini, swakelola dan federalisme memiliki makna berbeda, makna yang saling melengkapi dalam ekonomi dan politik.

[66] Pierre-Joseph Proudhon. De la création de l'ordre dans l'humanité. Dalam: Nova Sociedade, hal. 26.

[67] Peter Kropotkin. "Like Nossas Riquezas". Dalam: A Conquista do Pão, hal. 30.

[68] James Guillaume. "Ideas on Social Organization". Dalam: Daniel Guérin. No Gods, No Masters. San Francisco: AK Press, 1998, hal. 213.

[69] Ibid. hal. 210.

[70] Mikhail Bakunin. Federalismo, Socialismo e Antiteologismo, hal. 37.

[71] Michael Albert. PARECON. London: Verso, 2003, hal. 104-106. Untuk diskusi tentang keseimbangan tugas yang kompleks, lihat buku ini hal. 103-111.

[72] James Guillaume. Op. Cit. hal. 211.

[73] Mikhail Bakunin. Federalismo, Socialismo e Antiteologismo, hal. 18.

[74] Murray Bookchin. "Um Manifesto Ecológico: o poder de destruir, o poder de criar". Dalam: Letra Livre 31, hal. 8.

[75] Idem. Sociobiologia ou Ekologi Sosial? Rio de Janeiro: Achiamé, s/d, hal. 71.

[76] Pierre-Joseph Proudhon. Do Princípio Federativo. São Paulo: Imaginário, 2001, hal. 90.

[77] Ibidem.

[78] Ibidem. hal. 91.

[79] Peter Kropotkin. "Anarchisme". Dalam: The Encyclopaedia Britannica.

[80] Mikhail Bakunin. Instrução Integral, hal. 78.

[81] Idem "Comuna de Paris ea Noção de Estado". Dalam: O Princípio do Estado e Outros Ensaios, hal. 114-115.

[82] Idem. "Moral Revolucionária". Dalam: Conceito de Liberdade.Porto: Rés Editorial, s/d, hal. 203.

[83] Errico Malatesta. "A Organização I". Dalam: Escritos Revolucionários. São Paulo, Imaginário, 2000, hal. 49. Bagi Malatesta, “partai anarkis” merujuk kepada “organisasi anarkis spesifik”.

[84] Fabio López López. Poder e Domínio: uma visão anarquista, hal. 75.

[85] Luigi Fabbri. "A Organização Anarquista". Dalam: Anarco-Comunismo Italiano. São Paulo, Luta Libertária, s / d, hal. 109.

[86] Errico Malatesta. "A Organização das Massas Operárias Contra o Governo e os Patrões". Dalam: Escritos Revolucionários, hal. 39.

[87] FARJ. "A Propriedade é um Roubo". Dalam: Protesta 4, hal. 7.

[88] Errico Malatesta. "La Organización". Berasal dari Pensiero e Volontà, 16 Mei 1925. Dalam: Vernon Richards. Op. Cit. hal. 83-85.

[89] Idem "A Organização I". Dalam: Escritos Revolucionários, hal. 51.

[90] Pierre-Joseph Proudhon. "Memoire sur la Proprieté". Dalam: Nova Sociedade, hal. 35.

[91] Ibid.

[92] Mikhail Bakunin. "Táctica e Disciplina do Partido Revolucionário". Dalam: Conceito de Liberdade, hal. 198-199.

[93] FARJ. "Reflexões Sobre o Comprometimento, a Responsabilidade ea Autodisciplina".

[94] Ibid.

[95] Errico Malatesta. "A Organização II". Dalam: Escritos Revolucionários, hal. 59.

[96] Mikhail Bakunin. "Needs of the Organisation.." Dalam: Concept of Freedom, hal.136.

[97] Idem. The Dual Strike of Geneva. Sao Paulo: Imaninário / Faísca, 2007, hal. 94.

[98] ibid. hal. 90.

[99] Errico Malatesta. "Los Anarquistas y los Movimientos Obreroa". Kutipan dari Il Risveglio 1-15 out. 1927. Dalam: Vernon Richards. Op. Cit. hal. 111.

[100] Mikhail Bakunin. "Unity and Programme of the Revolutionary Forces …” Dalam: Conceito de Liberdade, hal. 163.

[101] Idem "La Política de la Internacional" dalam: Frank Mintz (ed.). Bakunin: crítica y acción, hal. 85. Meskipun Bakunin mengkritik isu-isu agama dengan keras, ia berpendapat bahwa bahkan para pekerja agama pun harus bergabung dalam gerakan buruh. Seperti Bakunin, kami beranggapan bahwa agama sebaiknya tidak memecah gerakan sosial. Perihal kritik Bakunin tentang Tuhan dan agama lihat: Mikhail Bakunin. God and the State. Sao Paulo: Imaginário, 2000, dan Mikhail Bakunin. Federalism, Socialism and Anti-theologism.

[102] Universidade Populer. Capitalismo, Anticapitalism e Organização Populer. Rio de Janeiro: UP / MTD-RJ (di pers).

[103] Peter Kropotkin. "Aos Jovens" Dalam: Palavras de um Revoltado, hal. 67.

[104] Emile Pouget. L'Action Directe.

[105] FARJ. "Política não é para os Políticos" Dalam: Libera 136. Rio de Janeiro, 2006.

[106] Errico Malatesta. "Anarquismo e Reforma" Dalam: Anarquistas, Socialistas e Comunistas, hal. 146.

[107] Idem. "Quanto Pior Estiver, Melhor Será" Dalam: Anarquistas, Socialistas e Comunistas, hal. 67.

[108] Mikhail Bakunin. A Dupla Greve de Genebra, hal. 92-93.

[109] Idem "Algumas Condições da Revolução." Dalam: Conceito de Liberdade, hal.128-129.

[110] Idem "Educação Militante". Dalam: Conceito de Liberdade, hal.147.

[111] Errico Malatesta. "Organisation II." Dalam: Escritos Revolucionários, hal. 55.

[112] Nestor Makhno. "Our Organisation". Dalam: Anarchy and Organisation. St. Paul, Libertarian Struggle, s / d, hal. 31.

[113] Luigi Fabbri. "A Organização Anarquista". Dalam: Anarco-Communismo Italiano, hal. 107, 110-111.

[114] Errico Malatesta. "La Propaganda Anarquista." Dikutip dari Pensiero e Voluntà, 19 Januari 1925. Dalam: Vernon Richards. Op.hal. 171.

[115] Ibid. hal. 172.

[116] Mikhail Bakunin. "Mobilização do Proletariado." Dalam: Conceito de Liberdade, hal. 134.

[117] FARJ. "Carta de Princípios."

[118] Ibid. Tanda kutip di tujuh paragraf berikutnya mengacu pada dokumen ini.

[119] Luigi Fabbri. "A Organização Anarquista". Dalam: Anarco-Communismo Italiano, hal. 116.

[120] Ibid. p. 124.

[121] Juan Mechoso. Acción Directa Anarquista: una historia de FAU. Montevideo: Recortes, s / d, hal. 199. Tanda kutip buku Mechoso mengacu pada dokumen Federasi Anarkis Uruguay (FAU).

[122] Ibid. hal. 190, 192.

[123] Luigi Fabbri. "A Organização Anarquista". Dalam: Anarco-Communismo Italiano, hal. 121.

[124] Dielo Trouda. "El Problem de la Organización y la Síntesis notional".

[125] FARJ. " Reflections on the commitment ". Kutipan tidak teridentifikasi dalam paragraf ini dan paragraf berikutnya mengacu pada artikel ini.

[126] Errico Malatesta. " Action and Discipline." Dalam: Anarchists, Socialists and Communists, hal. 24.

[127] FARJ. " Reflections on the commitment..."

[128] Ibid.

[129] Nestor Makhno. "On Revolutionary Discipline." Dalam: Organisation and Anarchy, hal. 34.

[130] Dielo Trouda. " Organisational Platform of the General Union of Anarchists."

[131] Nestor Makhno. "Our Organisation". Dalam: Organisation and Anarchy, hal. 32.

[132] Errico Malatesta. "Programa Anarquista." Dalam: Escritos Revolucionários, hal. 23.

[133] FARJ. "Carta de Princípios."

[134] Mikhail Bakunin. " Some Conditions of the Revolution." Dalam: Conceito de Liberdade, hal. 127.

[135] Idem " Militant Education." Dalam: Conceito de Liberdade, hal. 145-146.

[136] FAU. "Declaración de Principios." Kutipan dalam paragraf ini berasal dari dokumen yang sama.

[137] Errico Malatesta. "Programa Anarquista." Dalam: Escritos Revolucionários, hal. 18.

[138] Idem. " The Purpose of the Revolution." Dalam: Anarchists, Socialists and Communists, Hal. 55.

[139] Dalam "Em Torno de Nosso Anarquismo," Malatesta menekankan: "Untuk memprovokasi gerakan, sedapat mungkin (kita) terlibat di dalamnya dengan segenap kekuatan kita, memberikannya karakteristik yang lebih setara dan libertarian, yaitu mendukung semua kekuatan progresif, untuk membela yang lebih baik bila kalian tidak dapat memperoleh yang maksimal, tapi selalu menjaga karakter anarkis kita dengan jelas". [Penekanan ditambahkan] Lihat Escritos Revolucionários, hal. 80.

[140] Errico Malatesta. "Organisasi massa pekerja ...". Dalam: Escritos Revolucionários, hal. 40.

[141] Mikhail Bakunin. " Liberty and Equality." Dalam: GP Maximoff (peny.). Writings of Political Philosophy Vol. II. Madrid: Alianza Editorial, 1990, hal. 9.

[142] Ibid.

[143] Idem. "Tactics and Revolutionary Party Discipline." Dalam: Conceito de Liberdade, hal. 192.

[144] FAU. "Declaración de Principios."

[145] Ibid.

[146] Errico Malatesta. "Los Movimientos Obrero y los Anarkis." Kutipan dari New Umanito, 6 April 1922. Dalam: Vernon Richards.Op. hal. 114.

[147] Mikhail Bakunin. "Militant Education." Dalam: Conceito de Liberdade, hal. 146.

[148] Ibid. "Workers, Peasants, and Intellectuals Bourgeois." Dalam: Conceito de Liberdade, hal. 110.

[149] Errico Malatesta. "Programa Anarquista." Dalam: Escritos Revolucionários, hal. 18.

[150] Ibid. hal. 17.

[151] FAU. "Declaración de Principios."

[152] FARJ. "Carta de Princípios."

[153] FAU. Huerta Grande: a Importância da Teoria.

[154] Ibid.

[155] Ibid.

[156] Ibid.

[157] Dielo Trouda. "Organisational Platform for a General Union of Anarchists".

[158] Errico Malatesta. "Programa Anarquista". Dalam: Escritos Revolucionários, hal. 7.

[159] Luigi Fabbri. "A Organização Anarquista". Dalam: Anarco-Comunismo Italiano, hal. 97.

[160] Errico Malatesta. "La Propaganda Anarquista". Kutipan dari L'Agitazione, 22 de setembro de 1901. Dalam: Vernon Richards.Op. Cit. hal. 172.

[161] Luigi Fabbri. "A Organização Anarquista". Dalam: Anarco-Comunismo Italiano, hal. 115-116.

[162] Mikhail Bakunin. "Algumas Condições da Revolução". Dalam: Conceito de Liberdade, hal. 130.

[163] Dalam Peraturan Seksi Jenewa Aliansi Demokrasi Sosialis yang ditulis oleh Bakunin, dia merekomendasikan: "Anda tidak dapat menjadi anggota (organisasi) tanpa menerima semua asasnya dengan tulus dan sepenuhnya. Kapan pun memungkinkan, anggota yang lebih tua wajib, dan anggota baru harus berjanji untuk melakukan propaganda paling aktif ke sekitar mereka, baik dengan menjadi contoh bagi orang lain, maupun dengan kata-kata" [penekanan kita]. Lihat Conception of Freedom, hal. 201.

[164] Errico Malatesta. "La Propaganda Anarquista". Kutipan dari L'Adunata dei Refrattari, 26 de dezembro de 1931. Dalam: Vernon Richards. Op. Cit. hal. 170.

[165] Juan Mechoso. Op. Cit. hal. 194.

[166] Ibid.

[167] Ibid. hal. 195.

[168] Ibid.

[169] FAU. "Declaración de Principios".

[170] Dielo Trouda. "Organisational Platform for a General Union of Anarchists".

[171] Errico Malatesta. "La Organización". Kutipan dari L'Agitazione, 18 de junho de 1897. Dalam: Vernon Richards. Op. Cit.hal. 89.

[172] FARJ. "Carta de Princípios".

[173] Universidade Populer. Op. Cit.

[174] Kaum anarkis di abad ke-19 sering merujuk dan menganjurkan "partai anarkis", karena pada saat itu kata 'partai' hanya berarti sekelompok orang yang dipersatukan oleh seperangkat asas yang sama. Dan, "partai anarkis" bagi Malatesta sama dengan organisasi anarkis spesifik. (—penj.)

[175] Errico Malatesta. "Enfim! O que é a 'Ditadura do Proletariado'". Dalam: Anarquistas, Socialistas e Comunistas, hal.87.

[176] FAU. Resoluciones Sobre el Tema Estrategia.

[177] Juan Mechoso. Op. Cit. hal. 196.

[178] Ibid.

[179] Mikhail Bakunin. "Programa Revolucionário e Programa Liberal". Dalam: Conceito de Liberdade, hal. 188.

[180] Errico Malatesta. "Los Fines y los Medios". Kutipan dari L'En Dehors, 17 Agustus 1892. Dalam: Vernon Richards. Op. Cit. hal.69.

[181] Mikhail Bakunin. "Programa Revolucionário e Programa Liberal". Dalam: Conceito de Liberdade, hal. 188.

[182] FAU. Resoluciones Sobre el Tema Estrategia.

[183] George Fontenis. "Libertarian Communist Manifesto".

[184] Juan Mechoso. Op. Cit. hal. 197.

[185] FAU. Resoluciones Sobre el Tema Estrategia.

[186] Errico Malatesta. "A Organização II". Dalam: Escritos Revolucionários, hal. 59-60.

[187] Dalam terminologi bantuan politis Brasil, “assistencial” adalah istilah untuk menunjukkan seseorang yang melakukan hal-hal terkait kegiatan amal. Seperti, misalnya, LSM saat membagi-bagikan makanan kepada orang miskin.

[188] Mikhail Bakunin. "Programa Revolucionário e Programa Liberal". In: Conceito de Liberdade, hal. 189.

[189] Luigi Fabbri. "A Organização Anarquista". Dalam: Anarco-Comunismo Italiano, hal. 104-105.

[190] Mikhail Bakunin. "Táctica e Disciplina do Partido Revolucionário". Dalam: Conceito de Liberdade, hal. 197-198.

[191] Idem. "Programa Revolucionário e Programa Liberal". Dalam: Conceito de Liberdade, hal. 188-189.

[192] Dielo Trouda. "El Problema de la Organización y la Noción de Síntesis".

[193] Mikhail Bakunin. Império Knuto-Germânico. Dikutip dalam Daniel Guérin (org.). Textos Anarquistas (trechos de Ni Dieu, Ni Maître). Porto Alegre: LP & M, 2002, hal. 47-48.

[194] Errico Malatesta. "A Organização II". Dalam: Escritos Revolucionários, hal. 62.

[195] Mikhail Bakunin. "Educação Militante". Dalam: Conceito de Liberdade, hal. 154.

[196] Ibid. hal. 151-152.

[197] Istilah partai yang digunakan di sini berbeda dengan partai-partai yang bersaing dalam elektoralisme atau yang berusaha mengambil alih kekuasaan negara melalui revolusi. Seperti yang telah kami tekankan, "partai anarkis" bagi Malatesta adalah hal yang sama dengan organisasi anarkis spesifik.

[198] Errico Malatesta. "A Organização II". Dalam: Escritos Revolucionários, hal. 56.

[199] Idem. "Sindicalismo: a crática de um anarquista". Dalam: George Woodcock. Op. Cit. hal. 208; 212.

[200] Komisaris politik adalah petugas partai yang ditempatkan di unit-unit militer. Tugasnya adalah untuk mengawasi operasi militer dari sisi ideologis, memastikan ideologi militer dan rakyat tidak melenceng, mirip seperti “rohaniwan” politik yang mengontrol perilaku dan pikiran umat. Fungsi jabatan ini dipakai Tentara Merah Bolshevik di Uni Soviet pada tahun 1918-1942 dan juga angkatan bersenjata Nazi di Jerman dari tahun 1943 hingga 1945. [—penj.]

[201] Pada 2012, dari hasil pengorganisiran FAO selama 10 tahun terbentuklah Koordinasi Anarkis Brasil (Coordenacao Anarquista Brasiliera—CAB). Bisa dibilang CAB menggantikan peran dari FAO karena CAB "menjalani transisi dari sebuah forum ke sebuah koordinasi nasional, yang membuktikan adanya peningkatan keberlangsungan dan meletakkan fondasi untuk maju menuju organisasi anarkis Brasil”. Tentang CAB: https://anarquismo.noblogs.org/?page_id=6

[202] Dua front awal FARJ adalah Front Gerakan Sosial Urban (dulunya adalah Front Okupasi/Pendudukan) dan Front Komunitas (gerakan masyarakat). [—penj.]

[203] Di Indonesia lebih mirip seperti bimbingan belajar (bimbel). [—penj.]

[204] Akumulasi kekuatan: termasuk pengetahuan, informasi, artikulasi, pembelajaran dari masa lalu, pengalaman, dan hal-hal lainnya yang dapat memajukan dan meningkatkan kapasitas untuk bertindak. [—penj.]