Bima Satria Putra
Dari Sungai Hingga ke Laut
Perspektif Anarkis Yahudi atas Konflik Palestina
בַּיָּמִ֣ים הָהֵ֔ם אֵ֥ין מֶ֖לֶךְ בְּיִשְׂרָאֵ֑ל אִ֛ישׁ הַיָּשָׁ֥ר בְּעֵינָ֖יו יַעֲשֶֽׂה
“Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel; setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri.” – Hakim-Hakim 21:25
Satu-satunya isu pada abad ke-21 yang mampu membelah populasi manusia di penjuru dunia menjadi dua kubu hanyalah konflik Israel-Palestina. Saat esai ini ditulis, jumlah korban tewas Palestina akibat pemboman dan invasi Israel pada 2023 melewati angka 11 ribu jiwa (dan terus bertambah). Jutaan orang di seluruh dunia tumpah ke jalanan untuk menunjukkan solidaritasnya pada Palestina sembari mengecam Zionisme. Di antara barisan itu, yang masih dianggap aneh, terdapat demonstran nyentrik dari sekelompok Yahudi ortodoks yang topi, janggut dan kepang rambutnya khas. Mereka menolak jika Zionisme disamakan dengan Yudaisme. Bagi mereka mengkritik Israel bukan berarti anti-semit.
Kelompok fundamentalisme Islam di Indonesia telah mempolitisasi konflik Palestina, dan ini membuat kehadiran Yahudi dalam aksi solidaritas Palestina sebagai hal janggal dan patut dicurigai. Disederhanakan secara berlebihan sebagai perang antar agama, Yahudi seolah dijadikan musuh abadi dan utama umat Islam. Di sisi berseberangan, muncul fenomena aneh lain yang tidak kalah reaksionernya, yang Noam Chomsky sebut secara peyoratif sebagai Kristen-Zionis. Mereka Kristen yang mungkin tidak mengklaim dirinya demikian, tetapi dengan mata tertutup telah mendukung dan membenarkan militerisme Israel berdasarkan tafsiran Alkitabiah atas klaim “tanah perjanjian”. Bagi dua kubu fanatik tersebut, Yahudi yang menentang negara Israel dan membela orang Palestina bisa menjadi pertanda bahwa kiamat sudah dekat. Padahal, salah satu segmen dari politik Yahudi yang menentang proyek pembentukan negara-bangsa Israel modern adalah para anarkis.
Dua subjek ini (“Yahudi” dan “anarkis”) paling sering disalahpahami. Yang pertama dipandang sebagai agama biadab dan terkutuk, yang kedua disalahartikan sebagai kekacauan dan kekerasan politis. Gabungan keduanya, anarkis-Yahudi, mengesankan jenis terburuk, atau sebuah kata sifat dengan konotasi negatif yang takkan dapat ditemukan dalam kamus manapun. Dalam esai ini bakal saya terangkan bahwa kemungkinan revolusioner semacam ini sungguh terjadi.
Tafsiran Biblikal
Kaum anarkis secara tradisional bersikap skeptis atau sangat menentang agama yang terorganisir. Meski begitu, beberapa kaum anarkis telah memberikan interpretasi dan pendekatan keagamaan terhadap anarkisme. Pengajar filsafat Bar Ilan University di Israel, Hayyim Rothman, misalnya, dalam bukunya No Master But God (2021) telah merangkum delapan rabi dan pemikir Yahudi yang secara eksplisit mengacu pada ide-ide anarkis dalam mengartikulasikan makna Taurat, praktik tradisional, kehidupan Yahudi, dan misi Yahudi modern. Menggunakan materi dari bahasa Ibrani dan Yiddi, karya Rothman adalah salah satu rujukan langka tentang Anarko-Yudaisme paling komprehensif yang tersedia dalam Bahasa Inggris.
Berdasarkan penjelasan Rothman, Anarko-Yudaisme muncul sebagai tren sejarah yang dimulai selama dua dekade terakhir abad kesembilan belas, sebagai respons terhadap penindasan kaum Yahudi Rusia, dan berlangsung selama masa Pencerahan Yahudi yang disebut Haskalah (הַשְׂכָּלָה), yang mengubah modernisasi menjadi proyek pembebasan Yahudi. Sebagai varian religius dari anarkisme, Anarko-Yudaisme menentang semua bentuk lembaga kekuasaan yang terpusat, menganggapnya sebagai masalah dan menyodorkan institusi Yahudi yang non-negara untuk swakelola berbasis egalitarianisme politik dan ekonomi. Kecenderungan ini bahkan dapat dilacak hingga masa kuno dalam Tanakh.
Profesor Amnon Shapira dari Ariel University di Israel, telah menyusun bahan primer Anarko-Yudaisme dalam Anarkhizm Yehudi Dati [יתד ידוהי "םזיכרנא"] yang terbit dalam Bahasa Ibrani pada 2015. Didalamnya, ia menyatakan bahwa Kitab Keluaran (שמות) menggambarkan masyarakat Israel tanpa mekanisme pemerintahan terpusat, diatur oleh kode hukum “anarkistik” dari masyarakat kuno, dan berjalan berdasarkan ketaatan batin dan sukarela terhadap hukum Taurat. Sistem ini bertahan sampai mereka menempati tanah yang dijanjikan, ketika mereka hidup dikelilingi oleh masyarakat yang bernegara (seperti Filistin, Midian, Moab, dan Kanaan) sebagaimana dikisahkan Kitab Hakim-Hakim (ספר שופטים).
Ahli Mesir kuno dan sarjana biblika Kenneth Kitchen dalam On the Reliability of the Old Testament (2003) menjelaskan bahwa pada saat krisis, masyarakat Israel akan dipimpin oleh kepala suku ad hoc, yang disebut sebagai hakim (shoftim). Dalam narasi biblikal, hakim digambarkan sebagai pemimpin yang jabatannya tidak diwariskan, berasal dari suku Israel yang berbeda-beda, dipilih oleh Tuhan yang murka karena umatnya beribadah kepada allah bangsa lain. Salah satunya adalah hakim Gideon, yang menolak permintaan orang Israel untuk berdirinya pemerintahan Gideon: “Aku tidak akan memerintah kamu dan juga anakku tidak akan memerintah kamu tetapi Tuhan yang memerintah kamu” (Hakim-Hakim 8:23).
Orang Israel kembali mengajukan permintaan yang sama pada zaman Nabi Samuel: “Berikanlah kami seorang raja untuk memerintah kami, seperti pada bangsa-bangsa lain.” Permintaan ini membuat Samuel kesal, karena orang Israel ingin meniru pembentukan kerajaan seperti bangsa di sekitar mereka yang tidak mengenal Tuhan. Tuhan berfirman dengan berat hati pada Samuel: “Dengarkanlah perkataan bangsa itu dalam segala hal yang dikatakan mereka kepadamu, sebab bukan engkau yang mereka tolak, tetapi Akulah yang mereka tolak, supaya jangan Aku menjadi raja atas mereka.” Tuhan meminta Samuel mengingatkan mereka tentang konsekuensi berdirinya negara: pajak, wajib militer, perbudakan dan otoritarianisme. Natan Hofshi mengomentari pendirian kerajaan manusia pada zaman Samuel sebagai pengingkaran terhadap kedaulatan ilahi: “Tidak ada satupun raja, yang baik atau buruk, bahkan yang terbaik di antara mereka, yang sesuai dengan keinginan Tuhan -semua itu membuat-Nya tidak senang.”
Selanjutnya, narasi biblikal mengisahkan Kerajaan Israel terpecah dengan berdirinya Yehuda, dan kedua kerajaan mungil ini hancur. Meski banyak perdebatan soal kesahihan historis atas kerajaan tersebut, kitab dua belas nabi (שנים עשר) yang menyusun bagian akhir Perjanjian Lama, sepenuhnya bernada anti-otoritarian dan mengutuk kesewenang-wenangan penguasa Israel.
Bagi anarkis Yahudi, deklarasi kemerdekaan berbeda dengan deklarasi pembentukan negara. Tidak akan ada yang namanya kemerdekaan di dalam negara, sebab negara melibatkan mekanisme pemaksaan dan instrumen kekerasan. Rabi Shmuel Alexandrov menjelaskan bahwa Israel “tidak memiliki tujuan statis [bernegara] dalam pernyataannya [shofar].” Dengan mengutip Zakharia 4:6, Rabi Alexandrov menyatakan bahwa kebebasan hanya dapat dicapai, “bukan dengan keperkasaan [militer] atau kekuatan [fisik], melainkan dengan roh-Ku,” yakni firman Tuhan semesta alam.
Dengan begini, anarkis Yahudi memahami “Kerajaan Tuhan” (מַלְכוּת שָׁמַיִם) secara harfiah. Dalam pandangan Rabi Avraham Yehudah Heyn, “’Jadikan Dia [Tuhan] raja di surga dan di bumi dan di keempat penjuru' -ini bukan sekadar gagasan metafisik.” Keberadaan raja dan pemerintahan manusia mendustai otoritas Tuhan, sehingga mengakui Tuhan sebagai satu-satunya raja berarti ketiadaan pemerintahan manusia. Kitab Yesaya (יְשַׁעְיָהוּ) 33:22 menegaskan hal ini: “Sebab Tuhan ialah Hakim kita, Tuhan ialah yang memberi hukum bagi kita; Tuhan ialah Raja kita.” Ketika ada “raja” di surga, tidak diperlukan lagi raja yang terdiri dari darah dan daging.
Kelahiran Zionisme
Dengan hancurnya kerajaan Israel-Yehuda, identitas nasional Israel punah. Tetapi Yahudi bertahan dan mewariskan ingatan kolektif budaya yang menjadi fondasi bagi kelahiran agama Abrahamik baru: Kristen dan Islam. Nyaris sepanjang sejarah Masehi, sebagian besar orang Yahudi tinggal dalam diaspora di luar Tanah Israel. Diaspora terjadi karena berbagai konflik sejarah dan proses bertahap yang terjadi selama berabad-abad, dimulai dengan penghancuran Israel oleh Asyur, penghancuran Yehuda oleh Babilonia, penghancuran Yudea oleh Romawi, dan pemerintahan berikutnya oleh umat Kristen dan Muslim. Rangkaian depopulasi dan eksodus Yahudi terjadi.
Di bawah kekuasaan Romawi Timur (Byzantine), seluruh kawasan Filistia, Yudea dan Samaria direorganisasi menjadi Palaestina Prima. Istilah Palestina kemudian terus dipakai, termasuk oleh orang Yahudi (dan penggagas Zionisme) sebagai kesatuan geografis dari tanah muasal mereka, sampai penggunaan itu berhenti dengan berdirinya negara Israel pada 1948. Alkitab yang terbit hingga awal abad ke-20 juga menampilkan peta “Tanah Suci Palestina” sebagai lampiran mereka, sebelum akhirnya peta di Alkitab baru-baru ini meralatnya sebagai Israel.
Diaspora Yahudi menyusun komposisi Yahudi menjadi beberapa jenis: Ashkenazi (wilayah Kekaisaran Romawi, khususnya Rusia dan Eropa Timur); Sephardi (Semenanjung Iberia, yakni Spanyol dan Portugal); serta Mizrahi yang tetap di berada di Palestina, yang terbagi antara Mashriqi, Yahudi asiatik yang bermukim di Timur Tengah dan Maghrebi di Afrika Utara. Kelompok-kelompok ini memiliki sejarah paralel yang memiliki banyak kesamaan budaya serta serangkaian pembantaian, penganiayaan dan pengusiran, seperti pengusiran dari Inggris pada tahun 1290 dan dari Spanyol pada tahun 1492. Terkadang, sebagian kecil migrasi Yahudi kembali ke Palestina, jauh sebelum aliyah (עֲלִיָּה) pertama Zionis pada 1885. Namun mereka menyusun sebagai kelompok minoritas dan tidak tertarik dalam pengambilalihan kekuasaan, apalagi mendirikan pemerintahan Yahudi dalam bentuk apapun. Selama di luar Palestina, Yahudi menjadi taklukan banyak bangsa, dan pada dasarnya, tak bernegara. Ini akan menyusun sejarah Yahudi yang kaya dan amat beragam, tetapi pada dasarnya anarkistik.
Akibat meningkatnya antisemitisme di Eropa, seperti kasus Dreyfus di Prancis dan pogrom anti-Yahudi Ashkenazi di Kekaisaran Rusia, lahir gerakan Zionis. Pencetus awalnya adalah Theodor Herzl, Yahudi Austro-Hungaria, yang tidak percaya dengan pembebasan Yahudi. Menurutnya anti-semitisme tidak bisa diperangi, melainkan hanya bisa dihindari dengan perginya orang-orang Yahudi keluar dari Eropa. Herzl tidak bisa berbahasa Ibrani atau Yiddish, tidak memiliki pendidikan Yahudi, bahkan dituduh sebagai atheis.
Usulan Herzl soal negara etno-nasionalis di Palestina dalam esainya Der Judenstaat (1895) menyatakan pembatasan kekuasaan dan mengabaikan para agamawan. “Kita akan menahan para imam kita di dalam kuil mereka dengan cara yang sama seperti kita akan menjaga tentara profesional kita di dalam barak,” dan “mereka tidak boleh ikut campur dalam penyelenggaraan negara yang memberikan keistimewaan kepada mereka.” Menurutnya, keterlibatan para imam “akan menimbulkan kesulitan-kesulitan di luar dan di dalam diri mereka.” Wajar jika para rabi, yang dituduh enggan kehilangan hak istimewanya, justru menjadi kelompok awal yang paling getol menentang idenya.
Pada tahun 1897, para rabi Jerman berusaha menghentikan Kongres Zionis. Mereka berpendapat bahwa niat untuk mendirikan negara Yahudi bertentangan dengan “janji-janji mesianis Yudaisme.” Para anarkis Yahudi biasanya menafsirkan kedatangan Mesias sebagai penerapan atas anarkisme religius, meskipun para rabi di Jerman saat itu, adalah yang berpikir bahwa hal itu akan berwujud negara. Oleh karena itu, mereka memandang Zionis hendak mewujudkan ideal Mesiasnistik tanpa Mesias. Yang tidak kalah penting, para rabi khawatir bahwa gerakan itu justru semakin menjadi bahan bakar anti-semit. Karena buku Herzl diterbitkan dalam bahasa yang dapat dipahami orang non-Yahudi, para rabi khawatir jika anti-semitisme berubah rupa dengan mendukung agenda Zionis, yakni membenarkan bahwa Yahudi harus diusir dari Eropa (motif yang sungguh terwujud). Karena ditentang oleh para rabi, Herzl memutuskan untuk mengubah tempat Kongres Zionis Pertama ke Basel, Swiss.
Zionisme adalah benih yang sama dengan munculnya nasionalisme bangsa-bangsa Eropa pada pertengahan abad 19. Kala itu umat Kristen Eropa mulai mengidentifikasi diri dengan kebangsaan yang mereka rasa cocok, menyanjung sejarah, bahasa dan tradisi mereka yang khas, dan penentuan nasib sendiri. Dalam situasi seperti itu, Yahudi terjerembab dalam krisis eksistensial dimana mereka mulai menjadi asing di tanah yang telah mereka huni sejak lama. Beberapa tokoh Yahudi mendukung asimilasi di tempat mereka berada. Para Yahudi di Konstantinopel misalnya, akan menganggap dirinya sebagai orang Turki beragama Yahudi. Sebaliknya, Herzl mengusulkan nasionalisme Yahudi, sebuah bangsa yang terpisah dari Eropa, sebagai solusi atas anti-semitisme.
Karena mereka menjadi sebuah bangsa tersendiri, maka bangsa Yahudi membutuhkan tanah dan wilayah. Usul Herzl: Argentina atau Palestina. Dalam kongres Zionis 1897, ditentukan bahwa “rumah nasional” bangsa Yahudi yang bakal dibentuk itu adalah Palestina. Meski begitu, “rumah nasional” adalah istilah ambigu yang bisa merujuk pada negara atau ‘pusat spiritual’. Ini letak perpecahan Zionisme. Meskipun Zionisme dalam wacana populer saat ini merujuk pada pembentukan negara Yahudi, tidak semua kubu dalam sejarah gerakan politik Zionis mendukung negara etno-nasionalis.
Pada awal abad ke-20, Zionis terpecah menjadi faksi Zionis Politis pendukung berdirinya negara Yahudi di Palestina, Zionis Kultural yang mendorong kebangkitan budaya di Palestina terlepas dari keadaan diplomatiknya, dan Zionis Teritorialis untuk komunitas swa-kelola otonom dimanapun Yahudi berada. Penolakan terhadap pembentukan negara adalah sebagian dari aspirasi Zionis. Meskipun mereka kecil, namun mereka jadi bagian yang sah dari gerakan Zionis, sampai akhirnya Zionisme diambil alih oleh kaum nasionalis borjuis. Organisasi Zionis Dunia (WZO) sendiri tidak secara eksplisit menyerukan pembentukan negara Yahudi hingga tahun 1942.
Kritik Anarkis Yahudi
Yahudi mungkin salah satu kelompok paling garang dan aktif dalam sejarah panjang anarkisme. Beberapa punggawa anarkisme, seperti Emma Goldman, Alexander Berkman, hingga Murray Bookchin, David Graeber, dan Noam Chomsky, semuanya Yahudi. Sejak awal munculnya Zionisme, anarkis Yahudi gigih memposisikan dirinya sebagai penentang proyek Zionis faksi pertama. Beberapa Zionis sayap kiri seperti Yitzhak Tabenkin, Berl Katznelson dan Mark Yarblum sebagian besar dipengaruhi oleh sosialis libertarian seperti Peter Kropotkin dan Leo Tolstoy. Joseph Trumbledor, yang menjadi pahlawan sayap kanan Israel, secara terbuka menyatakan dirinya sebagai seorang anarko-komunis. Gerakan komune pertanian kibbutz awalnya membawa ideologi anarkis ke Timur Tengah pada awal abad ke-20, yang dilakukan oleh gelombang besar emigran Yahudi dari Eropa Timur yang tiba di Palestina.
Para anarkis punya beragam visi alternatif tentang Palestina, cara mewujudkannya tanpa kekerasan, hingga rekonsiliasi untuk kemungkinan hidup berdampingan. Misalnya R. Yaakov-Meir Zalkind, yang masuk dalam faksi Zionis Kultural. Zalkind adalah tokoh lingkaran anarkis Yahudi di London dan editor Arbeter Fraynd [Sahabat Buruh], jurnal anarkis berbahasa Yiddish paling penting pada masanya. Jurnal Arbeter Fraynd yang dikelolanya, menjadi arena perdebatan yang sengit tentang Anarko-Zionisme. Seorang penulis yang mengenalkan dirinya sebagai 'anarkis Zionis' misalnya, menyatakan bahwa Zionisme hendak memukimkan kembali ‘buruh Yahudi tunawisma’, bukan untuk mendirikan sebuah negara, dan bahwa kedua gerakan tersebut menentang kapitalisme sambil mempromosikan pembebasan dan menekankan hak pilih manusia dalam mencapainya.
Zalkind sendiri berpisah dengan gerakan Zionisme. Tetapi ia mengangankan berdirinya komunitas Yahudi anarko-komunis yang otonom di Palestina kelak, yang akan menjadi “tempat lahirnya masyarakat baru yang hidup berdasarkan cita-cita Yudaisme dan kemanusiaan yang paling mulia.” Palestina harus menjadi pusat kebudayaan bagi Yahudi di seluruh dunia, tempat segelintir Yahudi diaspora dapat diterima, tetapi bukan sebagai imigran mayoritas. Apalagi, Zalkind menolak perubahan Zionis menjadi gerakan politik yang fokus pada Palestina, karena Zionisme malah menyelesaikan masalah pengungsi Yahudi dengan menggusur penduduk Arab setempat dan pada gilirannya mengubah mereka menjadi pengungsi baru. Jika ini terjadi, tulisnya, “langkah pertama kita memasuki dunia etika kolonialisme menjadi penanda memalukan bagi orang-orang Yahudi yang tidak akan pernah bisa dihapuskan, ini adalah darah paling hitam yang pernah dituliskan dalam sejarah kelam politik kolonial.”
Tokoh lain adalah Isaac Nachman Steinberg, sosialis Yahudi Rusia. Meski dia tidak secara terang-terangan mengklaim diri sebagai anarkis, pemikirannya menurut Rothman bernada libertarian. Steinberg menekankan aspek diaspora dan menyatakan bahwa sepanjang sejarah, Yahudi selalu “terdesentralisasi, sukarela dan kooperatif.” Menggemakan kekesalan Samuel, Steinberg mengingatkan supaya orang Yahudi “tidak meniru dunia di sekeliling mereka.” Dirinya menganjurkan agar Yahudi berpegang teguh pada diasporaisme yang selama ribuan tahun anti-politis, tanpa negara, benih yang berkembang di tanah baru. Tentang Palestina sendiri, Steinberg menomorduakannya secara geografis. “Palestina adalah dimanapun roh Yahudi berkobar,” ujarnya. Lagipula, pengalaman diaspora ini punya pelajaran untuk dipetik:
“Dalam pengembaraan mereka di seluruh dunia, orang-orang Yahudi berulang kali melihat bagaimana negara-negara dan peradaban-peradaban statis [negara] muncul, tumbuh, mencapai puncak kekuasaan dan kejayaan, dan kemudian runtuh akibat 'dosa' dan kejahatan… [dan] tirani yang kejam. [Orang Yahudi] yang telah melihat apa yang dilakukan orang-orang non-Yahudi terhadap negara mereka, harusnya tidak mudah terpancing melakukan tindakan serupa.”
Rabi Shmuel Alexandrov, libertarian dan pasifis Yahudi dari Belarusia, menyeret diaspora lebih jauh untuk menghapus perbatasan negara dan mendukung kosmopolitanisme. Ia mengelaborasikan kisah saat Tuhan menghancurkan Menara Babel di dalam Kitab Kejadian (בְּרֵאשִׁית) yang penduduknya satu bahasa, berhimpun di satu tempat, dan memiliki ambisi peradaban. Akhirnya, Tuhan membuat penduduknya berserak ke penjuru bumi. Baginya, kisah ini sebagai pembubaran atas identitas nasional.
Rabi Shmuel Alexandrov menyatakan bahwa “Zionis baru yang hanya ingin mendirikan negara Yahudi”, sebagai ajaran “yang paling jauh dari agama kita.” Ia menggunakan Kitab Yesaya (יְשַׁעְיָהוּ) 2:3 untuk menjadikan Palestina hanya sebagai “ibukota” renaisans budaya dan religi Yahudi, dipenuhi oleh elit budayawan. Tetapi ia menolak pusat ini berfungsi sebagai langkah awal untuk pengumpulan umum para imigran Yahudi.
Kitab Yesaya (יְשַׁעְיָהוּ) pasal 2 juga dianggap penting dalam visi Rabi Yahudi Aaron Shmuel Tamaret yang lahir di Belarusia. Perwujudan Israel menjadi negara, dengan nasionalisme dan militerisme, justru bertentangan dengan penglihatan Nabi Yesaya tentang Sion: “bangsa tidak lagi mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak akan lagi belajar perang.” Rabi Tamaret menghujat sikap Zionis yang menganut nasionalisme, patriotisme, statisme, dan militerisme sebagai “peniruan yang mirip kera atas adat istiadat Barat.” Israel, tegasnya, harus teguh dalam komitmennya terhadap misi Abraham. Ia harus menolak godaan dewa-dewa asing dan menghancurkan berhala-berhala yang bernama bangsa, tanah, dan negara.
Tokoh lain yang perlu kita sorot adalah Yahudi anti-militerisme Natan Hofshi. Meski dirinya bukanlah sarjana maupun rabi, tetapi sebagai seorang yang tinggal di Palestina sejak 1909 dan nenyaksikan berdirinya negara Israel hingga kematiannya pada 1980, sudut pandangnya jelas menarik dan lebih jernih. Sebagai seorang Zionis yang kemudian memeluk anarkisme, Hofshi adalah orang pertama yang dipenjara oleh pemerintah Israel karena menolak wajib militer, mengusulkan migrasi Yahudi ke Palestina ditunda dan bahkan mengembangkan hubungan simpatik yang intim dengan orang Arab Palestina.
Pada 1920’an, di tengah meningkatnya konflik Yahudi dengan Arab, ia melihat pertumbuhan militansi Zionisme sebagai kemunduran karena “mencoba untuk menanamkan keyakinan kepada kita bahwa kita akan mencapai tujuan nasional kita dengan darah dan senjata, dengan pembunuhan dan penghancuran.” Ia melihat militerisme Zionis sebagai upaya untuk “membangun tanah Israel bahkan membuat kesepakatan dengan iblis jika diperlukan.” Hofshi tidak menyangkal bahwa Yudaisme muncul dari budaya keprajuritan biblikal, tetapi ia menegaskan Yeremia dan para nabi lainnya benar-benar membatalkan jalur pedang ala Esau. Kepemimpinan Zionis dengan demikian menurutnya telah menaruh tradisi non-kekerasan Yahudi ke tempat sampah saat mereka memutuskan untuk mendirikan Negara Yahudi yang berdaulat meskipun ada protes dari Arab dan ancaman perang yang diakibatkannya.
Anarko-Yudaisme menyandarkan argumen mereka untuk anarkisme religius yang hari ini tampak revolusioner karena menentang pemerintah Israel. Tetapi seratus tahun lalu, kecenderungan semacam ini justru dianggap konservatif dan kolot oleh para nasionalis Yahudi “pembaharu”, karena mereka mencoba berpegang teguh pada Taurat. Pendukung Zionisme kesulitan mendapatkan pembenarannya dari Yudaisme, dan pada dasarnya menyadari hal itu. Oleh karena itu, mereka sepenuhnya mendasarkan legitimasi pembentukan negara Israel berdasarkan hukum, dukungan dan pengakuan internasional semata.
Tokoh anarkis Yahudi lain, yang atheis maupun yang menggunakan pendekatan sekuler, berdiri di sisi yang sama dengan kerabat anarkis mereka yang lebih religius untuk mengkritik Zionisme tanpa kitab suci. Emma Goldman, dalam esainya pada 1938 mendukung hak orang-orang Yahudi menetap di Palestina untuk bekerja dan berkembang sebagai suatu bangsa. Meski begitu ia mengklaim telah sejak lama “menentang Zionisme sebagai impian kaum Yahudi kapitalis di seluruh dunia untuk mendirikan Negara Yahudi dengan segala fasilitasnya, seperti Pemerintahan, hukum, polisi, militerisme, dan lain-lain.” Ia menuding “mesin Negara Yahudi” hanya untuk “melindungi hak-hak istimewa segelintir orang dibandingkan banyak orang.”
Sementara untuk raksasa intelektual seperti Noam Chomsky, komitmennya tidak perlu diragukan lagi. Chomsky sendiri besar di keluarga yang mendukung Zionisme buruh, memutuskan menjadi anarkis semenjak kecil dan bahkan pernah tinggal dalam komune kolektif pertanian di Mandatori Palestina sebelum deklarasi Israel pada 1948. Meski begitu, dirinya menjadi salah satu komentator paling berpengaruh saat ini tentang Israel dan Palestina. Chomsky menganalogikan perlakuan terhadap Gaza lebih buruk dari apartheid di Afrika Selatan, dan mendukung gerakan boikot, divestasi dan sanksi terhadap Israel. Negara Zionis baginya perwujudan mutlak dari kolonialisme:
“...kisah Palestina dari awal hingga saat ini adalah kisah sederhana mengenai kolonialisme dan perampasan, namun dunia memperlakukannya seolah-olah ini kisah yang memiliki banyak aspek dan kompleks—sulit untuk dipahami dan bahkan lebih sulit untuk dipecahkan. Memang benar, kisah Palestina telah diceritakan sebelumnya: para pemukim Eropa datang ke suatu negeri yang asing, menetap di sana, dan melakukan genosida atau mengusir penduduk asli. Zionis dalam hal ini tidak melakukan sesuatu yang baru.”
Para anarkis di Israel hari ini terlibat dalam demonstrasi, perusakan pagar dan tembok perbatasan, menyalurkan bantuan terhadap orang Palestina, hingga mengkampanyekan penolakan wajib militer. Meski kekuatan mereka kecil dan insignifikan, tetapi aspirasi dan kegiatan mereka cukup mengganggu dan membekas, sampai-sampai Netanyahu kerap memberikan label “pengkhianat”, “kiri” dan “anarkis” pada banyak oposisi politiknya, bahkan meski yang ia tunjuk sama sekali bukan anarkis. Para anarkis Israel adalah pembuka jalan bagi khazanah politik revolusioner Yahudi, musuh Israel dari dalam, sekutu strategis (baik teori dan praktik) dalam pembebasan Palestina yang sejati. Seperti yang telah diperjuangkan baik oleh anarkis Yahudi dan Arab di dua sisi tembok perbatasan, solidaritas menyatukan keduanya.
Secara keseluruhan, Anarko-Yudaisme telah menyediakan alternatif radikal yang menantang wacana fundamentalis agama sekaligus solusi untuk menyelesaikan konflik yang berkepanjang dan terus memakan korban.
Solusi Tanpa Negara
Posisi anarkis Yahudi yang melintasi batas-batas konflik Arab-Israel cenderung mudah disalahpahami. Jika kurang teliti, kita dapat merasa ambivalen dari sikap bermain dua kaki. Tetapi mari kita coba pertimbangan pendapat mereka secara serius. Para anarkis Yahudi tidak pernah menyangkal hak untuk menetap atau mengunjungi Palestina sebagai asal muasal atau tanah suci Yahudi. Mereka setuju dengan adanya pusat kebudayaan dan komune pertanian, tetapi menolak bahwa hal ini harus diwujudkan melalui migrasi skala massal yang terkonsentrasi, apalagi pendirian negara, melalui pengusiran, kekerasan dan perampasan lahan, yang bagi mereka justru bertentangan dengan ajaran Yudaisme. Singkat kata, bukan hal mustahil bagi Yahudi untuk menjadi anti-zionis, mendukung pembebasan nasional Palestina, rekonsiliasi Yahudi dengan Arab, sembari menyerukan pembubaran negara Israel.
Murray Bookchin, mungkin yang agak “bermasalah” dari semua tokoh Yahudi anarkis yang telah dibahas di sini. Bookchin meninggalkan Marxisme demi anarkisme, kemudian kembali meninggalkan anarkisme karena sepertinya ia tidak tahan kritik. Bookchin kemudian merumuskan alternatif sosialis libertariannya sendiri melalui proyek komunalisme yang ia sebut sebagai munisipalisme libertarian. Singkatnya, ia mengusulkan alternatif lembaga yang non-negara, dengan demokrasi langsung dari bawah ke atas melalui komune-komune yang otonom dan terhubung melalui konfederasi.
Esai Bookchin pada 1986 telah dituduh sebagai wujud pemakluman atas Zionis. Dengan mengerahkan tenaga dan konsentrasinya mengkritik otoritarianisme pemimpin negara-negara Arab, apalagi dengan sedikit kekeliruan sejarah dalam esainya, ia justru terkesan membela Zionisme. Padahal ia juga menyatakan bahwa “ada banyak hal yang bisa dikritik mengenai kebijakan Israel, khususnya di bawah pemerintahan Likud yang mengatur invasi ke Lebanon.” Sebagai Yahudi, nampaknya Bookchin hendak menekankan posisinya untuk imbang di tengah, dengan membeberkan kenyataan sejarah yang tidak dapat diabaikan: pengusiran Yahudi dari negara-negara Arab sejak dekade 1920’an.
Hal di atas harusnya tidak menghentikan kita untuk menyoroti visinya yang konsisten soal konfederalisme demokratik:
“Selama bertahun-tahun saya berharap bahwa Israel atau Palestina dapat berkembang menjadi konfederasi Yahudi dan Arab seperti Swiss, sebuah konfederasi di mana kedua bangsa dapat hidup damai satu sama lain dan mengembangkan budaya mereka secara kreatif dan harmonis.”
Apakah solusi non-negara semacam itu mungkin ditetapkan di Palestina? Saat ini, kemungkinan itu sepertinya telah dijawab di wilayah etnik Kurdi, Suriah. Perjuangan Kurdi dan Palestina mempunyai sejarah yang panjang. Para militan Rojava, termasuk Abdullah Öcalan, pemimpin pembebasan nasional Kurdi, berlatih di kamp-kamp di lembah Bekaa di Lebanon timur selama tahun 1980’an dan menjalin hubungan dengan Fattah serta sejumlah partai dan milisi Palestina lainnya. Bookchin menjadi sangat berpengaruh di kalangan Kurdi setelah Öcalan mengadopsi gagasannya untuk memajukan visi “konfederalisme demokratis,” yang coba diterapkan oleh Partai Pekerja Kurdistan (PKK) di timur laut Suriah.
Pada 2013, revolusi sosial terwujud saat pecahnya perang sipil Suriah. Usulan Bookchin diterapkan di Rojava, rumah bagi populasi etnis Kurdi, Arab, dan Asyur yang cukup besar, dengan komunitas etnis Turkmenistan, Armenia, Sirkasia, dan Yazidi yang lebih kecil. Kelembagaan konfederasinya telah diapresiasi karena memberikan otonomi yang jauh lebih besar bagi masing-masing komunitas etnik untuk mengatur dirinya sendiri di tingkatan komune. Ini sesuatu yang sulit diwujudkan dalam sruktur negara yang biasanya malah jadi wahana perebutan monopoli kekuasaan yang terpusat oleh kelompok etnik tertentu. Apalagi, hal ini terang-terangan terwujud seperti di dalam negara Israel, yang sepenuhnya ditujukan sebagai negara etno-nasionalis.
Apa hikmah dari semua ini? Saya pikir pengalaman Yahudi dengan Zionisme, ironisnya, mirip dengan fasisme Nazi Jerman: malapetaka ambisi pembentukan negara-bangsa yang eksklusif secara etnik. Para anarkis Yahudi telah mewanti-wanti hal ini. Kita harus mendengarkan nasihat mereka. Untung saja, upaya pembebasan nasional dalam beberapa dekade belakangan, telah dipertimbangkan ulang oleh orang Maya di Chiapas, Meksiko dan orang Kurdi Rojava, Suriah. Pembebasan nasional hari ini tidak melulu harus berbentuk negara.
Konfederalisme Bookchin, yang dipakai Öcalan, sepenuhnya lembaga non-negara, yang mungkin bisa mengisi kekosongan platform solusi non-negara yang selama ini diusulkan oleh para anarkis, baik Yahudi maupun Arab Palestina. Artikulasi terbaru saat ini termuat dalam The No-State Solution: A Jewish Manifesto (2023) oleh Daniel Boyarin. Gagasannya nyaris mewakili linimasa sejarah pemikiran Anarko-Yudaisme yang telah muncul, seperti semangat melestarikan diaspora, yang dipasang besar-besar di halaman pembukanya: “Dimanapun kita tinggal, disitulah tanah air kita.”
Dengan mengulik sebagian besar pemikir awal Zionis, termasuk tafsirannya yang berani terhadap Herzl, Boyarin membuat kesimpulan bahwa mereka “secara eksplisit mengangankan wilayah nasional otonom Yahudi dalam sebuah negara yang terdiri dari bangsa yang lain pula.” Usulannya memang agak kontradiktif dengan judul bukunya. Tetapi gagasannya bisa dengan mudah disempurnakan jika kita menggabungkan Boyarin dengan Bookchin, yakni konfederasi (bukan negara!) antara Yahudi dan Arab, dan semua orang dari berbagai latar belakang, seperti di Rojava. Jika hal ini terdengar tidak realistis, saya mengutip Boyarin, yang diakhir bukunya juga mengutip Herzl:
“Jika kita ingin orang-orang Yahudi terus menjadi sebuah entitas yang berarti, sebuah bangsa diaspora yang memiliki budaya dan kemampuan untuk sangat peduli dan berjuang bagi bangsa tertindas lainnya (khususnya bagi bangsa yang telah kita tindas, Palestina), kita harus mewujudkannya: הדגא וז ןיא וצרת םא! [Jika Anda mau, itu bukan mimpi!]”
Rekomendasi Bacaan
Tidak ada referensi anarkisme Yahudi dalam Bahasa Indonesia. Tetapi sumber primer untuk gagasan Anarko-Yudaisme dapat dibaca melalui:
-
Hayyim Rothman. 2021. No masters but God: Portraits of anarcho-Judaism. Manchester University Press.
-
Amnon Shapira. 2015. Anarkhizm Yehudi Dati: Iyyun Panorami ba-Gilgulo shel Rayon mi-Yemey ha-Mikra we-Hazal, Derekh Abarbanel, we-ad ha-Et ha-Hadash [Jewish Religious Anarchism: Chapters in The History of An Idea, From Biblical and Rabbinic Times, Through Abravanel, Through The Modern Era]. Ariel: Hotseyt Universitat Ariel.
Untuk sejarah pemikiran dan gerakan anarkis Yahudi:
-
Anna Elena Torres dan Kenyon Zimmer (ed). 2023. With Freedom in Our Ears: Histories of Jewish Anarchism. University of Illinois Press.
-
Mina Grauer. “Anarcho-Nationalism: Anarchist Attitudes towards Jewish Nationalism and Zionism”, dalam Modern Judaism, Vol.14, No.1 (Feb., 1994), hlm. 1-19 (19 hlm). Diterbitkan oleh: Oxford University Press.
-
Ridhiman Balaji. 2021. “A Zionism opposed to a Jewish state,” dalam: Anarcho-Syndicalist Review #83, Summer, 2021.