Bima Satria Putra
Manifesto Golongan Hitam
Tesis 1
"Selama ada Negara maka ada dominasi satu kaum atas kaum lainnya, dan itu berarti ada perbudakan."— Mikhail Bakunin
Kecewalah sedari awal. Ketiga pasang kandidat dalam Pemilu 2024 beserta kubunya punya catatan buruk memuluskan proyek pembangunan yang tidak hanya menyebabkan berbagai kerusakan ekologi, tetapi juga berdampak buruk secara sosial. Seluruh kandidat tercatat patuh di bawah hukum pertumbuhan ekonomi tanpa batas. Berbagai catatan buruk yang tidak boleh diabaikan ini berlangsung di bawah arahan Presiden Republik Investasi, Joko Widodo. Pada periode pertama pemerintahannya, Jokowi merencanakan Indonesia sebagai “poros maritim dunia” dengan 24 pelabuhan besar dan 1.500 proyek pelabuhan kecil. Bagian timur republik kepulauan yang dianggap “terbelakang” ini rencananya akan di-upgrade dengan bantuan proyek infrastruktur. Semua ini ditunjang dengan target merampungkan pembangunan PLTU batubara berkapasitas total 35 ribu megawatt pada tahun kelima. Belum cukup sampai di situ, Jokowi juga menambahkan satu lagi proyek raksasa membangun Ibu Kota Nusantara (IKN). Pada 2023 lalu, Jokowi mulai menggadang-gadang hilirisasi, yakni mengutamakan pembangunan pabrik untuk industri yang mengolah bahan baku menjadi barang jadi atau setengah jadi. Dengan begini, Jokowi telah meninggalkan kerusakan serius akibat pembangunan yang digenjotnya selama dua periode pemerintahan.
Data Konsorsium Pembaruan Agraria menunjukkan bahwa sejak 2015 hingga 2022 telah terjadi 2.710 konflik agraria yang berdampak pada 5,8 juta hektar tanah dan 1,7 juta keluarga. Sebanyak 1.615 rakyat ditangkap dan dikriminalisasi, 77 orang tertembak, dan 69 orang tewas. Sejauh yang kita ketahui, 3,3 juta hektar lahan sawit ilegal telah dilegalkan. Indonesia juga masuk enam negara paling berkontribusi terhadap polusi udara global dengan kualitas udara terburuk di Asia Tenggara. Menggunakan data KLHK, Greenpeace menyoroti peningkatan laju deforestasi di Indonesia dari yang sebelumnya 2,45 juta ha (2003-2011) menjadi 4,8 juta ha (2011-2019).
Ganjar Pranowo sendiri sebagai mantan Gubernur Jawa Tengah telah menghadapi tiga konflik agraria besar di bawah rezim pembangunan Jokowi. Ganjar kukuh menerbitkan izin baru pabrik semen di Pegunungan Kendeng meski putusan Mahkahmah Agung melarangnya. Pabrik semen sering dibenarkan sebagai syarat mutlak pembangunan sebab masifnya proyek infrastruktur meningkatkan konsumsi semen. Padahal saat itu produksi semen tengah surplus sampai harga sahamnya anjlok. Di bawah kepemimpinan Ganjar pula, warga Wadas Purworejo yang menolak proyek penambangan terbuka batuan andesit sempat menghadapi kekerasan aparat. Rencananya, hasil tambang Wadas digunakan untuk pembangunan Bendungan Bener, yang menjadi pembangkit listrik tenaga air. Kasus ketiga adalah penolakan warga nelayan di Batang terhadap pembangunan PLTU terbesar di Asia Tenggara. Wadas dan Batang menjadi korban dalam persiapan target pasokan listrik yang tidak realistis demi kebutuhan kawasan industri di Jawa Tengah.
Entah di desa dan di kota, rakyat menghadapi ancaman buldoser yang sama. Anies Baswedan sendiri pernah berjanji untuk tidak menggusur dalam kampanye Gubernur DKI pada 2017. Tetapi ia melanggarnya dengan mengeluarkan izin mendirikan bangunan di lahan reklamasi di utara Jakarta dan menggusur pemukiman pinggir kali di Sunter. Warga Kampung Bayam yang tergusur oleh proyek Jakarta International Stadium (JIS) masih menagih janji Anies atas hak untuk tinggal di rumah susun Jakpro yang baru. Karena tidak mendapatkan akses hunian, warga Kampung Bayam sampai melakukan pendudukan gedung secara paksa. Anies juga tidak memenuhi janjinya untuk mencabut Pergub No. 207/2016 tentang Penertiban Pemakaian/Penguasaan Tanah Tanpa Izin yang Berhak yang dibuat oleh Gubernur Ahok sebelumnya. Pergub ini membenarkan pengancaman warga dan penggusuran paksa dengan dasar terbitnya sertifikat atas nama korporasi atau sekadar dimasukannya tanah tersebut sebagai aset badan pemerintah secara sepihak. Pergub ini juga yang dianggap sebagai penyebab konflik lahan di Pancoran Buntu II, Gang Lengkong Cilincing, Muara Angke, Kapuk Poglar, dan Tanah Merah. LBH Jakarta mencatat sekitar 115 kasus pada tahun 2023.
Meski ketiga calon wakil presiden sejauh ini belum punya riwayat dalam konflik agraria dan perusakan lingkungan (mungkin tidak secara langsung), bukan berarti mereka bebas dari kontroversi. Mahfud M.D. adalah yang paling getol mendehumanisasi LGBT atau kaum minoritas gender dan seksualitas sejak tahun 2017, dan menyatakan bahwa mereka bisa dikriminalisasi lewat RKUHP yang baru. Mahfud M.D. bahkan sempat menyudutkan perempuan dengan menyatakan bahwa perilaku korupsi pejabat laki-laki adalah akibat para istri menuntut terlalu banyak.
Sementara itu, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) pernah menjadi Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi pada periode kedua pemerintahan SBY. Kekayaan Cak Imin dilaporkan sebesar Rp 1,6 miliar (US$170.000) pada bulan April 2009 namun melonjak menjadi sebesar Rp 6,9 miliar (US$733.000) pada bulan November. Cak Imin beralasan bahwa ia "tidak disiplin dalam melaporkan kekayaannya”. Pada hari buruh 2011, Cak Imin juga berjanji untuk menghapus sistem kerja outsourcing, yang telah diprotes besar-besaran oleh buruh. Tapi setahun kemudian, ia menerbitkan peraturan baru yang memperbolehkan outsourcing di lima sektor industri dan hanya mengganti istilahnya saja. Ia sempat dicurigai dan dipanggil KPK atas dugaan korupsi pada 2012 di kementerian ketenagakerjaan.
Pasangan kandidat nomor 2 mungkin yang paling problematik. Gibran Rakabuming baru menjabat Walikota Solo selama setahun delapan bulan dan kerap diragukan kecakapannya. Pengajuannya sebagai kandidat melewati proses dramatis. Anwar Usman, adik ipar Presiden Jokowi yang menjabat sebagai Ketua MK, dipecat setelah mengeluarkan putusan yang membuka jalan bagi keponakannya untuk maju. Tindakan ini dituding sebagai wujud nepotisme dan politik dinasti.
Prabowo sendiri diduga terlibat dalam penculikan 13 aktivis pro-demokrasi pada tahun 1997-1998 yang membuatnya diberhentikan secara tidak terhormat dari militer. Pasukan di bawah komando Prabowo menculik dan menyiksa setidaknya sembilan aktivis demokrasi pada bulan-bulan sebelum Kerusuhan Mei 1998. Memanfaatkan koneksinya dengan Presiden Suharto, Prabowo dan saudaranya berupaya membungkam kritik politik dan jurnalis pada tahun 1990’an. Sejauh ini yang tercatat menerima peringatan adalah Goenawan Mohamad, Gus Dur dan Nurcholish Madjid. Prabowo menyiram minyak ke kobaran api dengan membangkitkan sentimen anti-pengungsi Rohingya saat berkata, “tidak begitu fair kalau kita harus menerima semua pengungsi itu menjadi beban kita.” Dua hari kemudian, mahasiswa di Aceh melakukan pengusiran paksa terhadap pengungsi. Koordinator aksinya merupakan tim sukses dari salah satu calon legislatif Gerindra di Aceh Selatan.
Meski media barat dengan agak lembut menyebut Prabowo sebagai “nasionalis sayap kanan”, riwayat dan perilakunya mencerminkan ia kandidat paling otoritarian. Prabowo yang paling sering menggunakan retorika patriotisme dan melakukan penyederhanaan berlebihan untuk menjelaskan segala isu nasional sebagai “campur tangan asing”. Dalam debat Pemilu 2019, misalnya, Prabowo mengklaim serangan teroris di Indonesia disebabkan oleh kemiskinan dan dilakukan oleh non-Muslim yang menyamar sebagai Muslim, dikirim oleh negara lain, dan dikendalikan oleh asing. Dari mulutnya Prabowo, segalanya menjadi konspirasi yang seringkali tak berdasar. Bisa ditebak bahwa di saat keinginannya tidak terpenuhi, sementara ia telah memiliki dukungan kekuatan bersenjata yang cukup, Prabowo satu-satunya elit politik di Indonesia yang selangkah saja jaraknya menuju fasisme. Ia juga melabeli dirinya sebagai seorang “loyalis”, yang nilai loyalitasnya tentu ia sendiri yang tentukan.
Saat nama Gibran mulai digadang sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo, kita tahu bahwa mimpi buruk masa Jokowi akan diwariskan. Keduanya tegas melanjutkan agenda Jokowi untuk hilirisasi. Tapi apa gunanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi kalau ternyata juga memperbesar ketimpangan kekayaan? Pada 2021, 50% penduduk hanya memiliki 5,46% dari total kekayaan nasional, sementara 10% penduduk terkaya memiliki 60,2% dari total kekayaan (ini meningkat dibandingkan tahun 2001 dengan persentase 57,44%). Pembangunan yang dibangga-banggakan pemerintahan Jokowi terbukti tidak menghasilkan kesejahteraan yang merata dan meningkatkan jurang kekayaan yang semakin ekstrim.
Salah satu kesalahan besar para pemilih adalah mengira bahwa sifat dan rekam jejak pribadi akan menjadi faktor yang paling menentukan jalannya pemerintahan. Padahal, menyelidiki profil para kandidat semata tidak cukup. Yang harusnya jadi sorotan utama adalah komposisi kubunya, yang terdiri dari para kapitalis yang paling diuntungkan dari kemenangan kandidat yang mereka sokong. Siapa yang paling diuntungkan dari pengaturan ekonomi nasional seperti ini?
Bisa ditebak, tidak satu pun pasangan kandidat bersih dari kepentingan. Perusahan industri militer yang disenggol Anies patut dibongkar. Tapi contoh paling mencolok adalah oligarki tambang dan energi yang berada di balik dua kubu kandidat dalam Pemilu 2019, seperti diuraikan dalam laporan gabungan organisasi lingkungan di Indonesia. Saat pemetaan kepentingan ini diulangi, hasilnya masih sama. Oligarki tanbang juga tersebar di semua kubu dalam Pemilu 2024. Mereka inilah yang nanti akan paling dilayani kepentingannya. Hal ini bukan karena para kandidat tersebut jahat, tapi semata-mata karena mereka adalah bagian dari sistem interaksi kekuasaan (baca: negara) yang didominasi oleh modal besar (baca: kapitalisme). Perintah-perintah ini yang berkuasa atas diri mereka.
Jadi, mereka semua adalah bagian dari kelas penguasa yang diuntungkan dengan adanya tatanan yang berdiri di atas penderitaan kelas yang dikuasai. Meski tinjauan obyektif menunjukkan pasangan nomor 2 sebagai yang terburuk dari yang lain, semua kandidat masuk golongan kelas borjuis-birokrat yang sama. Ideologi mereka cuma satu: penjarahan. Oleh sebab itu, siapa pun yang terpilih dalam Pemilu 2024, kebijakan-kebijakan yang melindungi oligarki akan terus dijalankan dan kepentingan rakyat akan terus tersingkirkan.
Tesis 2
“Siapa pun yang terpilih, negara yang menang.” – Anonim
Setelah mengetahui mana kandidat Pemilu 2024 yang paling buruk, lalu apa? Kalau menurut Franz Magnis-Suseno: “Pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, tapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa.” Logika ini rusak, sebab jika sudah mengetahui semua kandidat yang tersedia buruk, mengapa kita harus tetap memilih? Seolah kita tidak punya pilihan selain memilih, seburuk apa pun pilihan yang tersedia.
Saya setuju dengan motif pragmatis Magnis-Suseno, dan saya akan ikut mencoblos andai terdapat kandidat macam Hitler (atau Stalin). Tapi dalam situasi saat ini, prinsip “mencegah yang terburuk berkuasa” adalah sia-sia. Seperti yang sudah-sudah, kalau pun kubu yang terburuk kalah, bahkan lawan paling gigih sekalipun bakal mengajukan kompromi. Oposisi sungguhan di Indonesia hanyalah fenomena sejarah yang cuma terjadi pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Sesudah itu, seluruh partai politik pasca-reformasi tidak sungkan untuk menjilat ludah sendiri. Hal ini membuat formasi kawan atau lawan hanya bersifat sementara. Prabowo sendiri menyatakan jika dirinya memenangkan Pemilu 2024, maka ia akan meniru Jokowi untuk merangkul kubu yang kalah. Ini strategi yang apik karena dengan demikian Prabowo mencoba memastikan ia bakal diperlakukan serupa andai dirinya yang kalah.
Formasi politik hari ini sungguh menggelikan jika kita memeriksa ulang bagaimana lenturnya riwayat koalisi pasca-reformasi. Sebagai konsekuensinya, hal ini melahirkan budaya politik balas budi. Megawati misalnya, telah mengungkit-ungkit jasa partai dalam membesarkan Jokowi. Sementara Anies di saat bersamaan telah disentil karena dianggap lupa diri atas bantuan Prabowo yang menyokongnya jadi Gubernur DKI Jakarta. Dengan demikian, negosiasi juga berasal dari tekanan agar kandidat lawan yang menang membalas hutang politiknya.
Yang paling utama, kerukunan secara praktis diperlukan untuk memastikan keberlanjutan proyek pembangunan (baca: bisnis) yang dikuasai oleh kelas borjuis birokrat yang sudah mapan selama hampir satu dekade. Periode pertama Jokowi memusatkan perhatiannya pada infrastruktur (transportasi dan energi) melalui “poros maritim dunia”. Setelah itu, dengan fasilitas yang memadai akhirnya mereka bisa dengan mudah membuka dan memperluas tambang atau perkebunan, dan proyek investasi lainnya melalui pengesahaan UU Cipta Kerja dan revisi undang-undang lain. Hilirisasi yang dilontarkan Jokowi tahun lalu hanyalah tahap lanjutan dari kepentingan industrialisasi.
Jadi, ketimbang menjadi oposisi, elit politik memilih negosiasi, sebab plihan lain yang tersedia andai kepentingan mereka tidak diakomodasi hanyalah kudeta militer. Apabila hal ini terdengar berlebihan, riwayat hidup Prabowo harus diperiksa sekali lagi dengan teliti: Prabowo menikahi putri kandung Presiden Soeharto, menceraikannya tepat saat Soeharto lengser pada 1998; gagal dalam persaingan untuk menjadi calon presiden dari Partai Golkar pada 2004, gagal terpilih dalam Pemilu 2008 dan Pemilu 2014; lalu gagal lagi dalam Pemilu 2019 dan berakhir pada klaim kecurangan pemilu yang menyebabkan kerusuhan dimana delapan orang tewas dan 737 orang luka-luka. Empat bulan kemudian ia diangkat menjadi Menteri Pertahanan yang dengan campur tangannya membuat anggaran Kemenhan meroket sejak 2020 dan mengambil porsi terbesar di APBN. Ini menunjukkan gejala militerisasi yang mengkhawatirkan. Karakter ambisius dan emosional, kontak dan latar belakang militer, serta dugaan pelanggaran HAM, memberi sedikit petunjuk tentang apa yang terjadi jika Prabowo kalah dalam Pemilu 2024. Ini sesuatu yang kemungkinannya sangat kecil, tapi bukan berarti nol.
Lagi pula, para elit politik memandang bahwa menjadi oposisi ongkosnya terlalu mahal dan merugikan. Ini tidak sepadan dengan tujuan borjuis-birokrat untuk menumpuk kekayaan sebanyak mungkin dalam waktu sesingkat-singkatnya (lima tahun). Jadi kemungkinan yang lebih besar selain kudeta adalah menggelar tawar-menawar yang hasilnya bakal berbentuk kabinet koalisi, pemerataan pembagian jabatan, jatah yang adil untuk tender dan proyek, mempermudah terbitnya aturan atau izin, berbagi saham atau merger perusahaan, serta bentuk kerja sama lainnya yang menguntungkan kelas mereka sendiri.
Pengaturan utama koalisi oleh karena itu bukanlah kesamaan ideologis, melainkan kemudahan bermanuver. Label partai nasionalis, liberal, atau konservatif Islam adalah akal-akalan untuk menarik minat para konsumen (baca: pemilih). Pada akhirnya, yang membedakan mereka masing-masing sebenarnya cuma seberapa vulgar teknik kampanye dengan memanfaatkan retorika agama atau jargon patriotisme. Hal tersebut tidak lain adalah untuk menyembunyikan maksud dari kepentingan kelas mereka yang sebenarnya.
Menjelang tiga dekade reformasi, kita mestinya punya sedikit tingkat kematangan politik. Kita mesti belajar bahwa begini realitasnya: pagi-pagi kita sudah disuguhkan berita tentang pertentangan kandidat, sementara mereka berada dalam satu meja yang sama pada perjamuan makan malam. Dengan alasan merawat persatuan, mereka semua kompak melanggengkan kepentingan kelasnya. Selebihnya? Para domba menunjukkan ketololan mereka dengan terus mengembik pada tokohnya masing-masing dan saling seruduk satu sama lain.
Tesis 3
“Jika pemilihan dapat merubah sesuatu, mereka akan menjadikannya ilegal.” – Emma Goldman
Pesimisme kami tidak cuma terletak pada orang yang menjalankan sistem, tetapi pada sistemnya. Meskipun terdapat kandidat keempat yang lebih progresif, ia bisa jadi berakhir lebih buruk ketimbang yang ia coba gantikan. Ini karena sistem kenegaraan (statecraft) bukannya sedang bermasalah, melainkan biang masalah itu sendiri. Negara tidak rusak, melainkan memang berfungsi sebagaimana mestinya.
Saat para elit politik meyakinkan rakyat bahwa mereka telah terlibat dalam penentuan nasib mereka sendiri, kenyataannya publik tidak memiliki wewenang apa pun. Negara mengerdilkan rakyat semata-mata sebagai pembayar pajak, pemberi suara dan konstituen semata, sementara mereka saja yang berhak mengambil keputusan. Dengan demikian, rakyat hanya bisa mengawasi dan memprotes segala keputusan sewenang-wenang dan secara terpusat, yang kemudian diterapkan untuk wilayah yang luas. Seringnya kita bahkan juga tidak dapat mengawasi atau memprotes. Akhirnya, rakyat berakhir menjadi penonton semata, itu pun jika elit politik tidak memutuskan sesuatu secara sembunyi-sembunyi.
Demokrasi parlementer bagi kami adalah ilusi kelas sipil, sebab sebenarnya kita sama sekali tidak terlibat dalam pengambilan keputusan. Demokrasi dan negara adalah dua hal yang berbeda dan bertentangan. Negara memang didesain dari sononya sebagai tatanan yang berupaya memonopoli kekuasaan oleh segelintir elit. Dengan demikian, demokrasi dalam artian sebenar-benarnya hanya dapat diwujudkan dalam tatanan alternatif tanpa negara, yakni demokrasi langsung berbentuk kelembagaan komunitas-komunitas dan kolektif-kolektif otonom yang terkonfederasi.
Mereka yang masih percaya pada jalur parlementerisme, seperti Partai Buruh dan Partai Hijau, hanya bersumbangsih pada penciptaan elit-elit baru. Upaya yang mereka lakukan pada akhirnya hanyalah menciptakan lebih banyak politikus profesional yang menganggap bidang politik sebagai lapangan pekerjaan. Mereka membuat analisis strategis yang kelihatannya tepat, meminta massa yang dianggap bodoh untuk mengikuti mereka, dan akhirnya melanggengkan ketergantungan rakyat pada para profesional politik. Salah satu syarat menjadi elit politik adalah mengamini bahwa rakyat selalu terlalu muda dan tidak cakap dalam mengelola urusan-urusan publik mereka sendiri. Elit politik membiarkan (dan mengharapkan) rakyat menjadi patuh, membangun ketergantungan, dan dengan demikian, mereka dapat selalu menjadi juru selamat yang diperlukan untuk mencarikan jalan terbaik bagi rakyat.
Kami memandang bahwa pencapaian kemenangan demokratis tidak terletak pada terpilihnya kandidat yang kita usung, atau berapa jumlah kursi parlemen yang diperoleh. Demokrasi menang jika kekuasaan berada di tangan rakyat yang berjumlah banyak, dan bukan di tangan segelintir profesional politik. Demokrasi menang jika orang-orang biasa di tataran akar rumput memiliki kedaulatan nyata untuk mengatur komunitasnya masing-masing. Kemenangan demokrasi diukur dari keberhasilan komunitas-komunitas masyarakat untuk menolak dan menggagalkan berbagai keputusan dan kebijakan yang merugikan mereka. Demokrasi diukur dari kemampuan warga untuk mengorganisir aspirasi sesama warga dan mendesaknya sampai berhasil atau bahkan mewujudkannya sendiri tanpa bantuan para elit. Demokrasi diukur dari kemampuan kita untuk bersama-sama membuat kebijakan dan keputusan atas hal-hal yang mempengaruhi kehidupan kita secara langsung, baik secara pribadi dan sosial. Kelas yang berkuasa tidak mungkin membuat kebijakan yang dapat mengganggu hak istimewa mereka. Jadi, jangan mudah percaya. Negara tidak peduli, kita sesama rakyatlah yang mesti terus bahu membahu.
***
Jika diringkas, intisari dari tiga tesis anarkis adalah:
-
Semua kandidat saat ini hanya mewakili kepentingan kelasnya (borjuis-birokrat). Oleh karena itu semua kandidat sama buruknya, meski tinjauan obyektif kami menyimpulkan bahwa kandidat nomor 2 sebagai yang terburuk dari yang lain.
-
Prinsip “mencegah yang terburuk berkuasa” itu penting, tapi saat ini kurang berguna. Kekalahan bagi kubu yang terburuk tidak akan menghalangi atau menghentikan ambisi mereka untuk mencari celah dalam upaya penumpukan kapital.
-
Bahkan meski saat ini terdapat kandidat yang ideal dan progresif, pemilihan umum dan parlementerisme bukan cara yang baik, atau pasti gagal, untuk menciptakan perubahan sosial. Cita-cita kami akan kesetaraan dan keadilan sejati tidak akan muat di dalam kotak suara.
Mempertimbangkan tiga tesis barusan, maka sikap yang terpenting dalam Pemilu 2024 di wilayah terjajah yang disebut Indonesia, bukanlah perihal kandidat mana yang harus dipilih, atau apakah kita harus menjadi pemilih atau non-pemilih, melainkan semakin giat membangun gerakan rakyat sampai ke titik di mana kekuatannya melampaui pemilu yang cuma jadi arena perjudiannya para elit.
Manifesto Golongan Hitam
“Kami anarkis tidak ingin membebaskan orang-orang. Kami ingin orang-orang membebaskan dirinya sendiri.” – Errico Malatesta
Pada tahun 1970’an, mahasiswa dan aktivis pro-demokrasi seangkatan Arief Budiman memantik sebuah gerakan yang disebut sebagai Golongan Putih (istilah yang dengan sengaja dipilih agar bertentangan dengan Golongan Karya). Meski saat ini golput telah kehilangan makna dan karakter politisnya, dan malah digunakan untuk menyebut semua jenis non-pemilih, tetapi mulanya golput lahir sebagai sebuah gerakan. Golput adalah sikap memprotes pelaksanaan Pemilu 1971 yang merupakan pemilihan pertama pada masa Orde Baru. Para pengusungnya berpendapat bahwa dengan atau tanpa pemilu, kekuatan efektif yang mendominasi jalannya politik kenegaraan ujung-ujungnya jatuh ke tangan ABRI.
Apa yang dicita-citakan oleh golput telah tercapai dengan kelahiran Reformasi 1998. Tapi kita tidak merasakan kesejahteraan, keadilan dan martabat yang diharapkan sebagai buah dari reformasi. Malahan kita menerima lebih banyak kerusakan. Tahun 2023 menjadi tahun terpanas dalam sejarah peradaban manusia. Perubahan iklim akibat industrialisasi yang mencari profit tanpa batas telah mendesak kita hingga ke tepi kehancuran masyarakat secara global. Kelas berkuasa menggunakan segala jurusnya agar tatanan yang menguntungkan mereka terus bertahan bahkan di tengah-tengah krisis. Seperti pepatah terkenal, “kapitalis terakhir yang akan digantung adalah yang menjual tali gantungan”. Di tengah polusi, mereka yang akan menjual udara. Di tengah kekeringan dan gagal panen, mereka yang akan menjual air. Segalanya akan terus dieksploitasi dan dikomodifikasi.
Seluruh kubu punya kepentingan serupa untuk industrialisasi dan proyek pembangunan sebagai standar dari pertumbuhan ekonomi. Dengan begini, polusi dan kerusakan akan semakin meluas karena hilirisasi produksi yang lancar membutuhkan pasokan bahan baku yang stabil, yang akan selalu berarti lebih banyak tambang dan peningkatan produktivitas bahan mentah. Hal ini menyebabkan urbanisasi dan proletarisasi bagi masyarakat adat dan petani yang tanahnya telah berubah jadi tambang dan pabrik. Setelah kehilangan tanah, pengetahuan nenek moyang, serta akar adat istiadatnya, mereka kini hanya memiliki tenaga, yang akan ditawarkan pada tuan pemilik pabrik atau pengusaha kaya atau ditipu dengan sebutan “mitra” oleh bos barunya. Dalam banyak kasus, tambang dan pabrik bahkan tidak pula mengutamakan tenaga kerja lokal dan menjadi lahan subur bagi kecemburuan sosial dan rasisme.
Saat kelas yang tertindas sadar dan melek matanya, kelas berkuasa mencoba menyelamatkan diri dari penghakiman rakyat. Mereka mendorong militerisme dan menyewa para penjaga dan algojo yang akan melindungi mereka, aset dan kekayaan mereka, serta berbagai infrastruktur industrial yang diberi label “obyek vital negara”. Mereka berupaya mengaburkan akar penyebab krisis ini dengan menciptakan masalah palsu dan musuh yang dibuat-buat, seperti intervensi asing, krisis pengungsi, atau perebutan lapangan pekerjaan. Ini memecah belah rakyat dan kemarahan rakyat pun jadi tidak tepat sasaran. Bumi oleh karena itu tidak hanya semakin panas secara iklim, tetapi juga sosial.
Keadaan ini menuntut kita untuk menggunakan pendekatan yang berbeda. Melalui manifesto ini kami menyerukan perjuangan golongan hitam (goltam). Berbeda dengan golput sebagai gerakan moral dan reformis, golongan hitam adalah gerakan politik yang militan.
Golongan hitam bukan apatisme politik, pelarian, petualangan, atau ekspresi putus asa dan tidak berdaya dari pribadi-pribadi yang terasing satu sama lain. Sebaliknya, golongan hitam adalah pengorganisiran kemarahan kolektif, bersama-sama kita mengubahnya menjadi potensi revolusioner. Golongan hitam adalah golongan putih yang diradikalisasi.
Jika golongan putih adalah gerakan pasif, maka golongan hitam memilih untuk mempersenjatai diri dalam perjuangan untuk otonomi dan solidaritas. Golongan hitam secara aktif terlibat dalam berbagai hasutan, vandalisme, sabotase dan berbagai konfrontasi terbuka yang meludahi elit politik. Golongan hitam memperbanyak kawasan bebas parpol di mana politikus dilarang masuk dan berkegiatan. Golongan hitam tidak cuma menghindari omong kosong, tetapi juga berusaha agar omong kosong tidak mendapatkan tempat. Dengan begini golongan hitam menjauhkan pengaruh otoritarian yang mencoba memperalat rakyat demi keuntungan kelasnya.
Sistem demokrasi representatif menjadi sasaran kritik utama golongan hitam. Sebagai pilihan, golongan hitam memperjuangkan alternatifnya melalui sistem demokrasi langsung. Demokrasi yang sebenar-benarnya ini hanya dapat diwujudkan melalui majelis-majelis musyawarah rakyat aras lokal. Majelis-majelis tersebut sifatnya otonom, terdesentralisir, tetapi terhubung satu sama lain melalui konfederasi. Urusan-urusan lokal harus diurus oleh masyarakat lokal yang lebih mengetahui kebutuhan riil mereka, bukannya keputusan sepihak para profesional politik yang tinggal nun jauh di sana. Sementara itu, urusan regional dan nasional dilakukan oleh berbagai komite dalam bidang yang spesifik, yang terdiri dari para delegasi yang dipilih, yang hanya menyampaikan mandat dari hasil keputusan musyawarah lokal. Para delegasi ini harus dapat ditarik atau dirotasi dengan mudah jika tidak menyampaikan mandat. Contoh-contoh penerapan praktis ini pada masa modern idealnya merujuk pada kawasan otonom di Rojava, Suriah atau Chiapas, Meksiko, atau melalui berbagai contoh sejarah konfederasi dan aliansi kampung di nusantara. Hanya dengan cara ini maka kedaulatan rakyat sungguhan ada di tangan rakyat.
Golongan hitam tidak terjebak dalam stagnansi sikap. Kami menolak pendekatan gerakan golput yang hanya abstain dari pemilihan. Oleh karena itu, golongan hitam tidak ditentukan dari metode yang digunakannya, segala cara diperbolehkan dan dapat dieksplorasi. Apa yang mendefinisikan golongan hitam pada dasarnya adalah prinsip. Terutama, golongan hitam menolak terseret dalam perdebatan kandidat dan pemilu yang memecah belah konsentrasi rakyat untuk menggalang persatuan melawan kelas yang berkuasa. Golongan hitam aktif melakukan pendidikan untuk membentuk kesadaran kritis, membangunkan para budak agar mereka mesti bergerak dulu untuk menyadari bahwa ada rantai yang melilit leher mereka.
Golongan hitam mencoba jeli dalam menentukan kapan waktunya untuk memilih salah satu, untuk memilih semuanya, untuk tidak memilih sama sekali, atau kapan waktunya merusak surat dan kotak suara. Pemilu hanya dianggap bermanfaat sebagai sarana menghasilkan ruang gerak sebesar mungkin serta memperkecil dampak buruk dan kerusakan yang diakibatkan oleh patriarki, negara, dan kapital. Tapi pemilihan tidak dianggap sebagai satu-satunya jalan, apalagi sebagai tujuan akhir.
Golongan hitam mengenali tiga skenario. Pertama, saat pemilihan umum diisi oleh berbagai kandidat yang sebenarnya sama-sama sayap tengah dan pragmatis, golongan hitam berupaya melipatgandakan dirinya untuk delegitimasi kandidat yang terpilih. Secara etis, penguasa mestinya tidak dapat berkuasa jika tidak ada yang memilih, atau sedikit yang memilih.
Sayangnya, hukum kita belum mengatur ketentuan tentang berapa persentase non-pemilih/golput yang dibutuhkan agar hasil pemilihan dianggap tidak sah. Oleh karena itu, hal ini menjadi pertimbangan dalam menghadapi skenario kedua, yakni saat fasisme bangkit dan menempuh jalur elektoral. Pada saat itu, maka ikut memilih adalah sebuah realisme politik. Menggagalkan mereka mendapatkan kekuasaan dan terlibat dalam pertandingan di arena yang tersedia adalah kewajiban anti-fasis.
Ikut memilih bukanlah suatu kontradiksi bagi golongan hitam. Memilih juga tidak berarti memberikan legitimasi penuh pada kandidat yang menang, karena golongan hitam tetap sinis dan gigih menyibak kebusukan semua kelas berkuasa tanpa pandang rezim. Ini juga berlaku dalam skenario ketiga, yakni ketika rezim fasis menang dan berkuasa. Pada saat itu, biasanya fasis secara efektif mengendalikan segalanya, membuat hasil pemilihan dan persoalan milih-memilih menjadi tidak relevan lagi dan karena itu golongan hitam harus/terpaksa abstain. Dalam situasi seperti ini, golput/goltam tidak bisa dianggap bersalah dan bertanggung jawab atas segala kebijakan represif dan otoritarianisme akibat kemenangan kubu fasis. Segala kebijakan buruk menjadi tanggungjawab rezim fasis itu sendiri dan tidak pantas ditimpakan kepada kubu yang kalah saat memilih.
Sebelum terpeleset ke dalam skenario kedua dan ketiga, golongan hitam memastikan untuk menggagalkan fasisme sebelum ia berkembang. Golongan hitam mesti garang menginjak-injak fasisme justru di saat mereka masih berupa benih. Golongan hitam terlibat dalam konfrontasi gagasan saat fasisme masih kecil, dan konfrontasi fisik saat fasisme hendak membesar, dan menjadikannya sebagai strategi utama mencegah terjadinya skenario kedua dan ketiga. Itu sebabnya, golongan hitam menangkis fasisme terutama tidak melalui pemilihan (walau boleh saja jika terpaksa), tetapi bergantung pada keberhasilannya di awal membangun gerakan rakyat yang berdaya tempur, di mana golongan hitam memutuskan untuk meleburkan diri kedalamnya.
Karena golongan hitam tidak terlibat dalam merebut kekuasaan negara, maka golongan hitam berkomitmen untuk pengorganisiran dalam gerakan-gerakan sosial dan organisasi-organisasi kerakyatan. Dengan gigih memperkuat kekuatan populer, yang dibangun dari bawah ke atas. Golongan hitam memandang dirinya sebagai sekutu yang setara, selalu bertindak dengan etika, dan dalam berbagai arena berupaya menjadi teladan. Golongan hitam mendorong berbagai kemenangan yang dicapai lewat aksi langsung, melalui swadaya, dan tidak memberangus prakarsa-prakarsa rakyat. Golongan hitam menumbuhkan kepercayaan diri rakyat akan potensi dan kapasitas dari kekuatan mereka yang sebenarnya. Kekuatan yang paling mudah terlihat adalah jumlah. Kita banyak, elit itu sedikit. Kita bisa melakukan perubahan apa pun jika kita cukup kompak dan bertekad melakukannya.
Sekali lagi kami tekankan: perjuangan melalui jalur elektoralisme negara tidak hanya sia-sia, tetapi juga bertentangan dengan upaya membangun gerakan rakyat yang mampu dan andal untuk mengatur diri sendiri. Pemilu tidak akan menyelamatkanmu dari penggusuran. Atau upah murah. Atau kriminalisasi. Atau kekerasan gender dan seksual. Atau represi polisi. Atau industrialisasi yang menyulap bentang alam kita menjadi tidak layak huni. Pemilu berakhir, perlawanan berlanjut. Sebab siapa pun yang terpilih, nerakanya sama.
Bergegaslah kamerad, sebelum tuan yang baru terpilih dan melanggengkan perhambaanmu! Pastikan siapapun penguasa selanjutnya, kita tetap tidak dikuasai. Jadilah merdeka! Coblos dirimu sendiri!
Saran Bacaan
-
Tentang alternatif demokrasi langsung, baca Janet Biehl. Politik Ekologi Sosial: Munisipalisme Libertarian. Klik untuk UNDUH.
-
Tentang panduan pengorganisiran, baca FARJ. Anarkisme Sosial dan Organisasi. Di sini untuk terjemahan Bahasa Indonesia. Atau versi terjemahan Bahasa Inggris.
-
Tentang latar belakangan, peta kepentingan dan jejaring oligarki yang menyusun komposisi masing-masing kubu, lihat pemilu.jatam.org.