Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely”

- Lord Acton

Tulisan pendek ini bukan merupakan analisis mendalam tentang politik, kekuasaan, ataupun negara. Bukan pula mengenai suatu argumentasi dengan berbagai kutipan serta teori njelimet khas dari para tokoh terkenal yang kerap dipuja dan sering dijadikan sebagai bahan masturbasi. Jauh dari itu, ini hanyalah ungkapan keluh kesah. Hasil observasi dangkal secara subjektif mengenai realitas yang kian hari makin banyak ditemui yang perlahan-lahan mulai dianggap sebagai suatu kewajaran–suatu yang rasional.


Melalui bukunya yang berjudul Orang-Orang Kampus, A. M. Lilik Agung dengan sangat menawan telah menawarkan beberapa karangan fiksi pendek yang secara garis besar bercerita tentang sisi lain dari kehidupan mahasiswa aktivis 98 baik itu sebelum dan sesudah tumbangnya rezim Orde Baru. Dalam salah satu karangannya berjudul Bapak Lelap yang juga dimuat dalam buku tersebut, Lilik Agung mencoba mengangkat kisah hidup Bima. Seorang mahasiswa Hukum dari salah satu universitas di Yoyakarta.

Sosok Bima dalam karangan tersebut digambarkan sebagai seorang yang cerdas, lugas, dan tangkas. Kepiawaiannya dalam menulis analisis-analisis politik serta diskusi menyoal problematika kontemporer yang melanda negara, telah membuat dirinya menjadi seorang aktivis kampus. Seorang pendobrak yang dengan lantang turut aktif dalam melawan kezaliman sebuah pemerintah bernama Orde Baru. Dengan segenap idealisme dan prinsip yang terus ia pegang, Bima kemudian benar-benar menjelma menjadi seorang pejuang. Seorang penggerak aksi untuk menuntut keadilan. Seorang negosiator ulung. Seorang tokoh dalam garda depan mahasiswa yang mewakili suara jutaan rakyat Indonesia yang telah lama mendamba bentuk-bentuk keadilan dan kemakmuran.

Setahun setelah kursi kekuasaan rezim Orde Baru hancur, Bima, sang pendobrak, berhasil menyelesaikan kuliahnya. Ia melanjutkan fase hidupnya untuk melanglang buana sebagai seorang pengancara yang membela orang-orang kecil sebelum pada akhirnya memutuskan ikut bertarung untuk menduduki kursi legislatif. Sepak terjang dan reputasinya sebagai pejuang pembela keadilan untuk mereka yang tertindas berhasil mengantarkannya menjadi seorang wakil rakyat, menjadi anggota DPR.

Tentu, mereka yang tertindas menaruh harapan besar pada Bima agar mampu membuat suatu perubahan luar biasa namun sederhana dari dalam sistem: merubah kondisi yang sebelumnya buruk menjadi lebih baik; membuat orang-orang kecil bisa merasakan apa sesungguhnya arti dari keadilan sosial dan kesejahteraan umum secara materiil. Namun, harapan itu haruslah sirna. Bima, pemuda harapan bangsa. Sang ksatria pendobrak gagah yang selalu mengusung idealisme harus tunduk pada kehidupan politik praktis yang kepalang licik serta berbagai macam bentuk kongkalikong yang turut menyertainya. Seperti yang sudah-sudah, Bima terjerat kasus korupsi!

Barangkali tak ada yang istimewa dan luar biasa dari karangan Lilik Agung yang satu ini, tapi mungkinkah ada suatu kesadaran yang mengatakan bahwa datangnya ketidakistimewaan tersebut lantaran kisah-kisah seperti Bima kerap ditemukan dalam kondisi kehidupan materiil? Kondisi kehidupan yang nyata?

Apabila dikaitkan dengan konteks kehidupan sosial dan politik, khususnya di Indonesia, cerita-cerita seperti Bima tak lain hanya cerita biasa yang muncul setiap waktu dan di mana pun. Seorang dengan segala macam bentuk prinsip serta idealisme yang bertekad ingin melakukan perubahan sosial ke arah yang lebih baik dengan pertama-tama meraih dan menduduki kursi kekuasaan hanyalah sebuah cerita usang yang penuh dengan omong kosong.

Ironisnya, omong kosong dan kebohongan belaka tersebut terus dan selalu diyakini oleh banyak bahkan semua orang sebagai tindakan yang harus dan tidak boleh tidak: “Barang siapa yang ingin melakukan perubahan agar kondisi masyarakat lebih baik, masuk lah ke dalam sistem ini. Perjuangkanlah gagasan dan cita-cita kalian”; “Jadilah seorang pemuda pintar dan teruslah belajar agar kelak bisa menjadi penjabat. Menjadi penerus bangsa yang punya kuasa untuk merubuhkan kondisi sosial yang buruk ini!”–begitulah ucap mereka, para penguasa, para elit politik, yang acapkali terdengar di berbagai media yang kini menguasai diri kita sehingga menganggap ungkapan-ungkapan tersebut sebagai niscaya.

Bukan, di sini bukan maksud saya untuk membenci politik. Saya mengerti sedikit jika manusia tidak pernah bisa lepas dari aktivitas politik. Saya hanya membenci tindakan monopoli kekuasaan oleh segelintir orang. Saya membenci segala kondisi di mana segelintir orang mendapatkan legitimasi untuk menundukan, mengatur, menindas, mendominasi, dan memerintah hidup orang banyak. Karena, seperti yang telah diungkapkan secara tersirat sebelumnya, tak ada yang dapat diharapkan dari sedikit orang pemegang kekuasaan.

Apa yang kerap mereka sampaikan saat kampanye: wacana mengenai kemakmuran dan kesejahteraan untuk semua rakyat pada mulanya memang benar ditunjukkan untuk semua rakyat. Namun, setelah mereka duduk di ruang penuh kenyamanan dan kenikmatan–sementara orang-orang yang mengantarkan mereka pada hal tersebut setiap waktu harus dihantui oleh kegelisahan akan ketidakbercukupan hidup untuk diri serta keluarganya–realisasi wacana tersebut–kemakmuran dan kesejahteraan–pada akhirnya hanya diberlakukan serta didistribusikan untuk mereka yang telah berhasil duduk di kursi kekuasaan. Itulah mengapa saya dengan keras kepala menganggap apabila perjuangan serta tekad untuk menduduki kursi kekuasaan guna mewujudkan kehidupan yang dikehendaki oleh orang banyak hanyalah mitos, kepalsuan, kebohongan–singkatnya: omong kosong!

Kembali, sayangnya itu mesti menjadi sebuah siklus. Layaknya hukuman yang diemban Sisyphus, kondisi-kondisi seperti itu terus terulang sepanjang waktu dengan aktor–Bima-Bima lain–yang silih berganti. Segala upaya untuk menghentikannya mulai dari desentralisasi kekuasaan sampai ajang pemilihan pemimpin baru dalam beberapa waktu sekali, dengan sangat jelas, telah jatuh pada kesia-siaan–justru malah membuatnya semakin menjadi buruk.

Lantas apa yang perlu dilakukan? Saya tak akan membahas seputar sifat dari kekuasaan secara teoretik, apalagi mengajukan solusi untuk mewujudkan wacana good government. Karena, selain itu telah banyak diperbicangkan dan dikemukakan, hal tersebut telah pula hadir dalam bentuknya yang sama sekali kosong. Satu-satunya hal yang ada dalam kepala saya hanyalah–terinspirasi dari diktum yang dimuat dalam esai I Want to Kill Cops until I’m Dead–bahwa kita mesti mengarahkan peluru pada segala keniscayaan positif mengenai para pemimpin, para penguasa, para pengambil kebijakan, dari tingkat terendah sampai yang tertinggi!

Kita tak perlu lagi mempercayai janji dan omongan mereka yang datang dalam waktu beberapa tahun sekali. Kita tak perlu bangga akan prestasi mereka. Kita tak perlu lagi merasa senang jika kediaman kita–tempat tinggal kita–didatangi oleh mereka. Tak perlu lagi merasa takjub akan ungkapan “pemimpin yang merakyat”. Karena dengan sangat jelas mesti kita sadari bahwa rakyat itu sendirilah yang memimpin!

Lebih jauh, kita tak lagi harus tunduk dan mematuhi segala peraturan, undang-undang, serta kebijakan konyol yang bahkan dalam pembuatannya tidak pernah mengikutsertakan kita–sama sekali tidak. Seperti apa yang telah ditulis oleh David Graeber dalam esainya berjudul Fragment of Anarchist Antropology, merupakan suatu kewajiban untuk menolak segala bentuk kebijakan serta hal-hal yang dapat disandingkan dengannya. Kita mesti menyadari bahwa “kebijakan” merupakan negasi dari politik. Kebijakan merupakan wujud dari bagaimana para penguasa atau aparat negara memaksakan kehendaknya atas yang lain; hanyalah suatu yang direka-reka oleh sekelompok orang–elit politik–yang menganggap mereka lebih tahu dari orang lain soal bagaimana mengurusi banyak hal. Sebab sejatinya, premis dasar kebijakan adalah lawan dari gagasan yang mendukung agar orang-orang mengelola urusan dengan tangannya sendiri secara mandiri.

Jadi, pada akhirnya, kita mestilah menyadari dan melakukan ini semua. Sudah saatnya bagi kita untuk meniadakan dan tak lagi memercayai mitos dan cerita usang tersebut. Kesadaran kita tak boleh hanya sampai pada anggapan bahwa suatu era pemerintahan baru yang niscaya lebih baik dibandingkan era sebelumnya telah dikorupsi. Namun, melampaui dari itu, kita harus pula membiasakan diri untuk menyadari bahwa sejatinya segala macam bentuk kekuasaan itulah memanglah korup!