John Zerzan
Kebahagiaan
Apakah kebahagiaan benar-benar mungkin dalam masa penuh kehancuran? Bisakah kita (entah dengan cara bagaimana) berkembang, memiliki hidup yang penuh? Apakah kesenangan masih bisa selaras dengan kehidupan hari ini?
Perasaan mendalam akan kesejahteraan telah diambang kepunahan. Seberapa sering kita mendengar, "Betapa bahagianya kami berada di tempat ini”? (Matius 17:4, Lukas 9:5, Lukas 9:33) atau referensi dari Wordsworth tentang "Kesenangan yang melekat dalam kehidupan itu sendiri"[1]? Sebagian besar dari kondisi yang sedang terjadi dan dilema yang menyertainya diungkapkan Adorno melalui pengamatannya: “Kehidupan yang salah tak bisa dihidupi dengan benar.”[2]
Dalam era ini kebahagiaan, jika tidak menjadi usang, adalah sebuah ujian, sebuah kesempatan. "Untuk menjadi bahagia artinya dapat menjadi sadar diri tanpa rasa takut.”[3] Kita telah sedemikian putus asa-nya demi mendapatkan kebahagiaan, lihatlah rak-rak buku, ruang konseling, dan acara talk show yang tak henti-hentinya mempromosikan resep kepuasan. Namun, kalimat-kalimat penenang lama dan klise baik dari Oprah, Eckhart Tolle, dan Dalai Lama nampaknya bekerja sama baiknya seperti Happy Meal, happy hour, atau sebuah ajakan dari Coca Cola untuk “Pour Happiness!” Tuangkan kebahagiaan!
Mabuk akan cuma jadi optimisme dangkal dari tahun kemarin, selalu begitu. Mandat suci dari kebahagiaan justru ada dalam kecompang-campingan. Seperti yang Hélène Cixous katakan, kita "dilahirkan dalam kesulitan untuk mengambil kesenangan dari ke-tidak-ada-an."[4] Kita hanya merasakan "sedikit cahaya/dalam kegelapan yang hebat," mengutip Pound, yang meminjam dari Dante.[5]
Bagaimana kita mengeksplorasi ini? Apakah yang diharapkan kembali adalah: kebahagiaan? Dalam terang dari semua yang berdiri teguh di jalannya atau yang mengikisnya, apakah kebahagiaan sejatinya hanya sebuah kecelakaan yang tak disengaja?[6]
Sangat sering, memang, kebahagiaan dibahasakan dengan pendekatan yang tidak pada tempatnya. Walter Kerr membuka bukunya The Decline of Pleasure dengan pernyataan: “Saya akan mulai dengan asumsi bahwa anda kurang lebih sama tidak bahagianya dengan saya”[7] “Kita adalah masyarakat yang terkenal akan ke-tidak bahagia-annya,” menurut Erich Fromm.[8] Tapi kita tidak harus pergi kemana-mana untuk mengakui kebenaran mendasar tentang diri kita sendiri dan masyarakat ini. Berbagai macam teori kontemporer telah terus menerus secara bertahap mengarah kepada gagasan tentang diri, mendefinisikan ulang hal itu sebagai tak lebih dari persimpangan diskursus yang terus bergerak. Ketika diri adalah segalanya tapi terhapuskan, “kebahagiaan” bahkan tidak lagi bisa menjadi tema yang valid.
Tetapi impian kita akan kesejahteraan (wellbeing) tidak bisa dengan begitu mudah dihilangkan. Elisabeth Roudinesco memberikan penilaian yang masuk akal akan hal ini: “Semakin besar individu dijanjikan kebahagiaan dan perlindungan yang ideal, semakin ketidakbahagiaan dalam dirinya akan terus ada. Tingkatkan profil resiko secara tajam, dan mereka yang menjadi korban kebohongan akan semakin bangkit melawan mereka yang telah mengkhianatinya.”[9]
Dalam dunia yang tidak stabil ini kebahagiaan dan ketakutan bergabung dengan aneh. Orang-orang merasa takut. "Mereka takut," kata Adorno, bahwa "mereka akan kehilangan segalanya, karena kebahagiaan yang mereka ketahui bahkan sejak dalam pikiran, adalah untuk dapat berpegangan pada sesuatu."[10] Kondisi ini secara kualitatif kontras dengan apa yang kita ketahui tentang beberapa masyarakat yang tidak terdomestikasi: ketiadaan rasa takut mereka, kepercayaan mereka terhadap dunia yang mereka tinggali.
Bhutan, sebuah negara di pegunungan Himalaya menarik banyak perhatian di pertengahan dekade awal abad ini karena konsep mereka tentang Kebahagiaan Domestik Bruto (Gross National Happiness): sebuah keputusan untuk mengukur kualitas masyarakat mereka, bukan dengan output industrialnya (Produk Domestik Bruto/Gross National Product), akan tetapi dengan melihat sisi kebahagiaan warganya. Akan tetapi akhirnya, Bhutan dengan cepat kehilangan karakter tersendiri dari kebudayaannya, yang berhasil mendorong gagasan GNH ini di tempat pertama. Dibanjiri dengan budaya pop, perhatian selebriti, mode dan tren, juga semua hal berbau globalisasi modernitas, penekanan pada kebahagiaan sebagai nilai nasional pada akhirnya memudar.
Masyarakat massa membatasi "kebahagiaan" hanya dalam lingkup konsumsi dan hiburan hingga dalam derajat yang tinggi. Namun, kebahagiaan tetap merupakan pengalaman tentang kepenuhan ( fullness ), ketimbang sebagai upaya serius yang salah untuk mengisi kekosongan. Banyak penelitian menunjukkan bahwa tingkat kebahagiaan menjadi menurun dengan meningkatnya akumulasi kekayaan.[11] Dengan menyingkirkan diri kita sendiri dari alam, kita semakin tidak peka terhadap keutuhannya, dan melihat alam hanya seperti obyek pasif lainnya untuk dikonsumsi.
Adakah kebenaran dari kebahagiaan, melalui pendapatnya siapa kebahagiaan dapat dibenarkan? Kebahagiaan adalah sesuatu yang melingkupi dengan cepat. Kebahagiaan memiliki banyak aspek dan manifestasi. Kebahagiaan adalah hal yang mendasar, potensial; sebagaimana kesehatan, kebahagiaan menjalar dan berkembangbiak pada hal-hal lainnya. Kebahagiaan dilakukan dengan reaksi keseluruhan dari seseorang terhadap hidupnya, dan untuk alasan itu sendiri, kebahagiaan adalah sesuatu yang personal sebagaimana misteri. Filsuf Wittgenstein memiliki pandangan yang keras dan temperamen pesimistik terhadap pengalaman nestapa yang intens dia bagi. Dia merupakan sosok dari lelaki yang tidak bahagia, namun kemudian penulis biografinya, Norman Malcolm, mengabarkan kata-kata terakhirnya, “Katakan pada mereka aku memiliki hidup yang indah.”[12] Kehidupan John Keats yang singkat selalu dibayang-bayangi oleh penyakit, tapi dia sering mengklaim bahwa semuanya begitu indah karena mereka mati. Sumberdaya kebahagiaan bersandar pada berbagai bidang dari hidup kita, tapi karakter mereka sesungguhnya tidak terpisah. Kehidupan manusia tidaklah pernah tinggal dalam isolasi, maka kita mencari pengalaman-pengalaman yang lebih dari sekedar berarti bagi diri kita sendiri. Pengalaman mendalam Vivasvan Soni berkata banyak: “Tak ada bagian dari hidup yang terkurung dan tidak berkaitan dengan kebahagiaan. Segala yang berkaitan dengan hidup adalah sesuatu yang tak terhingga. Tak ada tragedi yang paling mengenaskan dibandingkan dengan ketidakbahagiaan, dan tak ada tanggungjawab bagi kita selain dari kebahagiaan.”[13]
Pada pengalamanku sendiri, prinsip dasar dari kebahagiaan adalah cinta. Inilah dimensi di mana kita menemukan pemenuhan yang terbesar. Frantz Fanon, yang terkenal untuk karya-karyanya pada bahasan lain, adalah orang yang loyal pada sebuah standar dari “cinta otentik—mengharapkan bagi orang-orang lain apa yang diasumsikan untuk dirinya sendiri.”[14] Terdapat juga kepuasan-kepuasan lainnya, tapi apakah mereka cocok untuk memuaskan dan memperkaya kualitas dari relasi-relasi cinta? Jika seorang anak mendapatkan cinta dan perlindungan, itulah hal mendasar untuk kebahagiaan hidup yang menyeluruh. Jika keduanya tidak tersajikan, prospek anak tersebut akan sangat-sangat terbatas. Jika hanya salah satunya saja yang diberikan, aku pikir kadar cinta atau bahkan perlindungan atau keamanan adalah sesuatu yang janggal untuk kebahagiaan.
Beberapa orang tidak bersepakat tentang sentralitas cinta. Nietzsche dan Sartre merasa melihat cinta sebagai sesuatu yang bersifat membatasi, mendekati sejenis hak istimewa. Seorang juara dari ironi murahan, E.M. Cioran, memperlihatkan meditasi ini: “Aku berpikir bahwa sang kaisar memikat hatiku, Tiberius, aku terpikat oleh kebencian dan kebuasannya... Aku mencintai dia karena baginya para tetangganya tampak tidak dapat dibayangkan. Aku mencintainya karena dia tak mencintai siapa pun.”[15]
Akan terlihat seperti apakah wajah dari sejarah kebahagiaan? Kebahagiaan pernah menjadi fokus sentral dari pemikiran di dunia Barat. Nicomachean Ethics-nya Aristoteles, misalnya, adalah dikursus besar yang membahas hal tersebut. Epikurus menghabiskan hidupnya dengan menghadapi pertanyaan tentang bagaimana untuk merealisasikan kebahagiaan, merangsang kemarahan dari teman modern kita, Cioran. Cioran merujuk pada tulisan-tulisan Epikurus yang dianggapnya sebagai sebuah “tumpukan kompos”, mengutipnya sebagai indikasi dari jalan salah yang menjadi “saat masalah kebahagiaan menggantikan pengetahuan.”[16]
Lebih dari itu, akuntabilitas emosi Cartesian dihitung dari seberapa banyak sensasi yang memasuki gambaran, dan Voltaire (1694-1778) adalah penulis terakhir yang berbahagia, merujuk pada Roland Barthes. Abad 18 menunjukan begitu banyaknya tulisan-tulisan tentang kebahagiaan, kebanyakan berfokus pada kesejahteraan privat. Sebuah depolitisasi secara menyeluruh dari apa yang bermakna sebagai kebahagiaan yang mengambil tempat, pada surga masyarakat massa. Kant melambangkan trend tersebut, dengan mengikat—bahkan menyamaratakan—tugas yang berorientasi moralitas dengan kebahagiaan.
Abad baru memamerkan ketegasan Romantis pada kesenangan ketimbang kebahagiaan (contohnya Blake, Wordsworth, dll), dengan kekuatan kesenangan berkonotasi bahwa hal tersebut hanyalah fana belaka. Kesementaraan memang adalah himne untuk masa depan yang penuh harapan yang diekspresikan dalam Simponi Kesembilan nya Beethoven, khususnya gerakan akhirnya berdasarkan "Ode to Joy"-nya Schiller. Musik tersebut baru-baru saja disebut sebagai musik serius terakhir yang mengeksepsikan kebahagiaan/kesenangan. Sejak kehidupan industrial mulai menyebar, bukanlah suatu kebetulan Hegel melihat sejarah manusia sebagai catatan dari kesialan yang tidak dapat ditukar.
Upah buruh modern dan politik teori kontrak sosial (Rousseau, the U.S. Constitution, etc.) mengesahkan pengejaran kebahagiaan privat. Dalam ranah publik, pertanyaan akan kebahagiaan umum selalu diremehkan. Penghargaan menjadi nama dari permainan ini. Untuk Hegel, properti dan kepribadian menjadi hampir sama artinya; Marx mengasosiasikan kebahagiaan dengan kepuasan kepentingan saja.
Sentimentalisme merupakan aspek penting bagi etos budaya abad ke-19: tablo emosional mendasar dari masyarakat yang hilang. Masyarakat anonim yang terfragmentasi telah memiliki segalanya namun meninggalkan tujuan dari kebahagiaan luas. Para utilitarianisme awal Victoria, John Stuart Mill, yang setidaknya lebih tidak kasar dari pendirinya Bentham, telah gagal untuk menyadari pelemahan zaman. Mill merupakan filsuf kebahagiaan sosial yang terakhir.
Jean-François Lyotard menempatkan “pengambilan dari yang nyata” di tengah pengalaman modernitas.[17] Kita kehilangan acuan-acuan, hal-hal yang nyata, merasakan kontak dengan apa yang non-simulasi. Bagaimana bisa kebahagiaan tidak mengalami penurunan dalam negosiasi? Kebahagiaan telah mengalami penurunan; pendakian budaya tekno adalah penurunan dari kebahagiaan tersebut.[18] Kesuraman hari ini, mengisolasi kegilaan teknologi terus tenggelam lebih jauh, dengan efek-efek patologis. Tetapi pencarian kita tetap pada apa yg telah bagi Spinoza adalah: pencarian kebahagiaan, dengan realitas tubuh-tubuh kita dalam kenyataan, dunia jasmani.
Pada tahun 1890an Anton Chekhov mengunjungi Pulau Sakhalin, dengan para pengumpul-pemburu Gilyak-nya. Chekhov mengamati bahwa mereka belum terbiasa dengan jalanan. “Seringkali,” ia menulis,”anda akan melihat mereka…berjalan melewati rawa di samping jalanan.[19] Mereka selalu berada di suatu tempat, dan tidak tertarik berada di jalan raya industrialisasi. Mereka belum kehilangan singularitas masa kini, yang secara tepat dihapus oleh teknologi. Dengan rentang perhatian kita yang menurun, serta kehausan akan hiburan, di manakah kita di dunia ini? Diri tanpa tubuh menjadi semakin terlepas dari dunia nyata, termasuk realitas emosional.
Kecemasan telah menggantikan kebahagiaan sebagai sensasi yang disahkan, sekarang komunitas tidak lagi hadir.[20] Kita tidak lagi mempercayai naluri-naluri kita. Mempertahankan jarak yang jauh dari ritme alam dan pengalaman-pengalaman pokok dari indra-indra dalam kekonkritan mereka yang intim, para “pemikir” yang terkemuka seringkali mentahbiskan atau menegakkan keadaan yang tidak bahagia dan tidak berwujud ini. Alain Badiou, contohnya, sepakat dengan Kant bahwa kebenaran dan kesehatan secara menyeluruh adalah “kemerdekaan kebinatangan dan seluruh dunia akal.”[21]
Tetapi apa yang abstrak mengenai kebahagiaan? Setiap keadaan-keadaannya adalah lengkap pada setiap saat-saat yang diwujudkan. “Setiap kebahagiaan datang untuk pertama kalinya,” seperti Levinas sadari.[22] Czeslaw Milosz mendeskripsikan kebahagiaan masa kecilnya: “Aku hidup tanpa kemarin atau pun hari esok, dalam saat ini yang abadi. Itulah, tepatnya, arti dari kebahagiaan.”[23] Ironi dan pemisahan postmodern, dengan landasan merangkul area teknologi, merupakan salah satu sarana untuk merebut kita dari saat ini.
Salah satu kerinduan manusia yang paling mendasar adalah untuk memiliki, untuk mengalami sebuah persatuan dengan sesuatu di luar dirinya. Bruno Bettelheim menggambarkan sebuah perasaan, dalam kasusnya ditimbulkan oleh seni yang hebat, “dari menjadi selaras dengan alam semesta… [dari] kebutuhan-kebutuhan yang terpenuhi. Saya merasa seolah-olah saya sedang berkomunikasi dengan masa lalu manusia dan berhubungan dengan masa depannya. Dia mengasosiasikan hal ini dengan “oceanic feeling”-nya Freud, sensasi dari sebuah ikatan yang tidak terpisahkan, dari menjadi satu dengan dunia luar sebagai sebuah keseluruhan.”[25]
Menurut saya adalah masuk akal untuk melihat ini sebagai sesuatu yang tertinggal—sebagai rantai hidup yang mendalam untuk kondisi yang sebelumnya. Ada sebuah kesepakatan hebat akan literatur antropologi/etnologis dalam menggambarkan orang-orang pribumi yang tinggal dalam kesatuan dengan dunia alam dan satu sama lain. Kelangsungan hidup itu sendiri mengharuskan ketidakadaan batas antara dunia dalam dan dunia luar. Pertahanan hidup kita yang pokok mengharuskan kita untuk mengembalikan kesatuan tersebut. Sementara itu kita masih bisa merasakan pengembalian ke keadaan yang bersatu tersebut. Cukup sering dalam konseling psikologi, ada pencarian masa kecil di mana seseorang pernah sehat dan bahagia. Bisa dikatakan, untuk menerapkan tesis “ontogeny recapitulates phylogeny”, kita masing-masing memberlakukan kembali sejarah kemanusiaan yang lebih besar.
Freud mengkontradiksikan peradaban dan kebahagiaan disebabkan karena peradaban [domestikasi, lebih tepatnya] adalah “berdasarkan wajib kerja dan penolakan instingtual.”[27] “Harus berjuang melawan insting-insting adalah formula untuk kemerosotan; selama hidup menanjak, kebahagiaan dan insting adalah satu hal,” Nietzsche mengamati.[28]
Internalisasi dan universalisasi dari penolakan kebebasan adalah apa yang disebut oleh Freud sebagai sublimasi. Sebagaimana Norman O. Brown melihat hal tersebut, sublimasi “mengandaikan dan melanggengkan kehilangan dalam hidup dan tidak bisa menjadi modus di mana hidup itu sendiri adalah hidup.[20] Kemajuan yang sangat dari peradaban mengharuskan ukuran yang lebih besar dari penolakan, penempatan yang lebih hebat untuk menempatkan diri kita terpisah dari lingkungan. Dan tetap saja “ocean feeling” dapat tetap dirasakan dengan kuat, memanggil kembali keadaan sebelumnya dari menjadi. Betapa hidup akan terasa lebih segar, jelas dan bernilai setelah penyakit yang serius; ini banyak menjadi kasus dalam pemulihan kita dari penyakit yang kita sebut sebagai peradaban.
Tetapi sekarang kita berada di sini, sangat jauh dari keutuhan asli atau kepenuhan. Dan “ketakutannya,” dalam penilaian Adorno, “adalah pertama kalinya kita hidup di dunia yang menyebabkan kita tidak bisa lagi mengimajinasikan hidup yang lebih baik.”[30] Sekarang ini satu-satunya konteks kebahagiaan adalah yang terimajinasikan tersebut, atau setidaknya, kebahagiaan yang dicapai dengan mengekspresikan kenyataan akan ketidakbahagiaan. Dalam kata-kata sakit hatinya Milosz: “Akan terlihat bahwa semua manusia harus jatuh ke dalam pelukan masing-masing, menangis bahwa mereka tidak dapat hidup….”[31]
Tujuan hidup adalah untuk menghidupi hidup dengan kuat, untuk menjadi sepenuhnya terbangun. Tujuan ini bertabrakan dengan putusnya harapan dari peradaban yang baru, sebuah kiamat pemahaman seluruhnya, sebuah “gardu” yang kamu namakan lanskap kebudayaan. Sebuah rasa tidak berdaya dipromosikan dalam bagian besar oleh doktrin postmodernisme ambiguitas dan ambivalensi.
Kebahagiaan memerlukan penolakan yang disebut Foucault dengan kondisi “tubuh-tubuh jinak”, penolakan yang lebih terhadap menjadi jelas dibandingkan menjadi yang dijinakkan, penentuan untuk hidup sebagai “kaum barbar” mempertahankan ketidakbebasan dan matinya rasa dari peradaban. Insting memberitahu kita adanya sesuatu yang berbeda, namun betapa jauhnya hal tersebut; kita tahu bahwa kita dilahirkan untuk sesuatu yang lebih baik. Realita ketidakbahagiaan yang mendalam adalah pengingat bahwa insting tersebut, yang hidup dan berjuang untuk didengar. Cerita mengenai kebahagiaan tidak perlu berkembang seperti yang sudah terjadi.
Dalam hidup kita sendiri kita sangat beruntung untuk bisa merasa diberkati, mendapatkan sedikit kesenangan, rasa menjadi berarti. Untuk memiliki akan ketercengangan terhadap keluarbiasaan karena kita berada di bumi ini. Kebahagiaan didasarkan kepada ketidakberartian; hidup yang berarti adalah arti sebuah hidup. “Untuk kebahagiaan, hal yang sama berlaku sebagaimana pada kebenaran: seseorang tidak mempunyai hal tersebut, selain yang terdapat di dalamnya,” dalam formulasi tajam Adorno.[32]
Ia juga mengatakan,”Filsafat ada dalam rangka untuk menebus apa yang kau lihat dalam penampilan seekor hewan.”[33] “Untuk bertemu muka dengan diri sendiri,” dalam kata-katanya Thoreau.[34] Untuk menyadari diri kita sendiri dalam kapasitas kemanusiaan kita yang mungkin (yaitu tidak menyalahkan diri kita sendiri untuk batasan yang dipaksakan kepada kita). Dan untuk menemukan kekuatan untuk mengatakan apa yang tidak terucapkan. Ketidakbahagiaan bukanlah hasil dari pemahaman kedalaman nyata akan keberadaan kita; sesungguhnya, pemahaman ini bisa membebaskan, menguatkan. Hal ini bisa mengantarkan kepada sesuatu yang hampir tidak bisa menjadi lebih penting lagi: pencarian langsung dan kedekatan di dunia nyata. Sebuah tugas untuk menghadapi ketidakbahagiaan kita yang telah dijinakkan, telah dibuat beradab dan diatur oleh teknologi.
Catatan Kaki:
[1] Dikutip dari John Cowper Powys, The Art of Happiness (New York: Simon and Schuster, 1935), hal. 49.
[2] Theodor Adorno, Minima Moralia (London: MLB, 1974), #18, hal. 39.
[3] Walter Benjamin, One-Way Street and Other Writings (London: NLB, 1979), hal. 71.
[4] Hélène Cixous, First Days of the Year (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1998), hal. 142.
[5] Ezra Pound, The Cantos of Ezra Pound (New York: New Directions, 1972), #CXVI, hal. 795.
[6] Its etymology is of interest in this regard. From hap (Greek): chance, fortune, as in happen. Our English word luck comes, in fact, from the German for happiness, Glück.
[7] Walter Kerr, The Decline of Pleasure (New York: Touchstone, 1962), hal. 1.
[8] Erich Fromm, To Have or to Be? (New York: Harper & Row, 1976), hal. 5.
[9] Elisabeth Roudinesco, Philosophy in Turbulent Times: Canquilhem, Sartre, Foucault, Deleuze, Derrida (New York: Columbia University Press, 2008), hal. xii.
[10] Theodor Adorno, Negative Dialectics (New York: The Seabury Press, 1973), hal. 33.
[11] Jeremy Rifkin, The Empathic Civilization (New York: Penguin, 2009), hal. 498.
[12] Norman Malcolm, Ludwig Wittgenstein: A Memoir (Oxford: Oxford University Press, 1958), hal. 106.
[13] Vivasvan Soni, Mourning Happiness: Narrative and the Politics of Modernity (Ithaca: Cornell University Press, 2010), hal. 494.
[14] Frantz Fanon, Black Skin, White Masks, diterjemahkan oleh Charles Lam Markmann (New York: Grove Press, 1967), hal. 41.
[15] E.M. Cioran, The Temptation to Exist (New York: Quadrangle, 1968), hal. 200.
[16] Ibid., hal 168-169.
[17] Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: a Report on Knowledge (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), hal. 79.
[18] Albert Borgmann, Technology and the Character of Contemporary Life (Chicago: University of Chicago Press, 1984), hal. 124, 130.
[19] Quoted and discussed in Timothy Taylor, The Artificial Age (New York: Palgrave MacMillan, 2010), hal. 192.
[20] Peter LaFrenière, Adaptive Origins: Evolution and Human Development (New York: Psychology Press, 2010), pp 288, 296-297. Also Patricia Pearson, A Brief History of Anxiety…Yours and Mine (New York: Bloomsbury, 2008).
[20] Peter LaFrenière, Adaptive Origins: Evolution and Human Development (New York: Psychology Press, 2010), pp 288, 296-297. Also Patricia Pearson, A Brief History of Anxiety…Yours and Mine (New York: Bloomsbury, 2008).
[21] Dikutip dari Peter Hallward, pengantar dari penerjemah untuk Alain Badiou, Ethics: an essay on the understanding of evil (New York: Verso, 2001), hal. xxi.
[22] Emmanuel Levinas, Totality and Infinity (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1998), hal. 114.
[23] Czeslaw Milosz, Proud to be a Mammal: Essays on War, Faith and Memory (New York: Penguin Classics, 2010), hal. 80.
[25] Sigmund Freud, Civilization and its Discontents, translated by James Strachey (New York: W.W. Norton, 1962), hal. 12.
[27] Sigmund Freud, The Future of an Illusion, translated by James Strachey (New York: W.W. Norton, 1961), hal. 12.
[28] Friedrich Nietzsche, Unmodern Observations, William Arrowsmith, ed. (New Haven: Yale University Press, 1990), hal. xv.
[30] Theodor Adorno and Max Horkheimer, “Dialogue,” NLR September/October 2010, hal. 61.
[31] Czeslaw Milosz, op.cit., hal. 296.
[32] Theodor Adorno, Minima Moralia, op.cit., #72, hal. 112.
[33] Adorno and Horkheimer, “Dialogue,” op.cit., hal. 51.
[34] Henry David Thoreau, Journal (Toronto: Dover Publications, 1962), hal. 51.