Content and trigger warning: Teks ini mengandung pembahasan tentang pelecehan fisik, mental, dan seksual, diskriminasi, dan pembunuhan yang dilakukan terhadap individu queer.
Malaginoo
Menjadi Queer berarti Mencintai Semua
Perspektif tentang Aktivisme Queer dan Anarkisme di Filipina
Ketika Tidak Normal dan Normal Berbenturan
Ketika Tidak Normal Menjadi Mematikan
Ketika Anda Menemukan yang Tidak Normal…
Ketika yang Tidak Normal Menjadi “Normal”
Untuk pertama kalinya, saya akan berbicara sebagai orang pertama, karena bertentangan dengan kepercayaan konservatif agama dan fasis macho, tidak ada yang namanya Agenda Gay™, dan komunitas queer bukanlah monolit. Saya tidak bisa menulis untuk mewakili semua queer, atau komunitas yang saya kenal dan cintai dalam kurang dari dua dekade keberadaan saya di dunia. Tidak, mereka punya cerita sendiri untuk diceritakan, dan mereka punya waktu sendiri untuk menceritakannya. Saya juga punya itu. Saya hanya bisa menulis untuk diri sendiri, tapi itu awal yang baik, bukan?
Yang Menjadi Normal
Sebagai spesies, ada mayoritas orang yang datang mendefinisikan apa yang “normal”, apa yang “benar”. Anda dapat menyebutkan apa pun yang Anda inginkan, gereja, negara, patriarki, mereka semua adalah pelakunya dalam membangun apa yang kita kenal sebagai masyarakat saat ini. Di sekitaran normal ini, seluruh kehidupan manusia dapat dibangun. Lihat saja seberapa dekat hidup Anda dengan deskripsi ini.
Sejak lahir, Anda tumbuh dengan ibu dan ayah, sehingga Anda harus dididik dengan satu atau lain cara, diikuti kedewasaan yakni bekerja mencari nafkah untuk makan, pakaian, dan tempat tinggal Anda, sambil berusaha menghidupi keluarga Anda yang dibangun dengan pasangan Anda. Anda membesarkan anak-anak Anda dengan cara yang sama seperti orang tua Anda membesarkan Anda, mengajari mereka cara bertindak, membawa mereka ke gereja, mendidik mereka tentang pekerjaan rumah tangga dan kemudian pekerjaan apa yang pasti akan mereka lakukan. Mungkin, ketika Anda tua dan lemah, mereka akan merawat Anda. Mungkin Anda akan tetap bekerja untuk menambah penghasilan keluarga Anda. Dengan satu atau lain cara, Anda pada akhirnya akan mati, tetapi Anda meletakkan fondasi bagi generasi lain untuk melanjutkannya. Kehidupan yang dijalani orang tua Anda sama dengan kehidupan yang akan dijalani anak-anak Anda.
Apakah itu terdengar akrab bagi Anda? Apakah seperti ini cara Anda menjalani hidup sejauh ini, atau apakah Anda menjalani kehidupan yang sangat berbeda dari ini?
Ada tema ajek di kelas-kelas Ilmu Sosial kita di sekolah dasar bahwa “keluarga adalah fondasi masyarakat.” Untuk menjadi dewasa saya hanya tahu satu jenis keluarga. Seorang pria, seorang wanita, menikah di gereja atau setidaknya balai kota, dan jumlah anak yang tidak ditentukan. Setiap kali saya mendengar jenis hubungan lain, mereka tidak dianggap sebagai keluarga, mereka hanya hidup bersama—tinggal bersama, begitu mereka menyebutnya. Tentu saja, buruk ketika salah satu orang tua tidak lengkap. Selalu ada suasana tidak nyaman setiap kali diskusi itu muncul, tetapi entah bagaimana masyarakat telah menerima dan membantu orang tua tunggal membesarkan anak-anak.
Namun, selalu ada yang kurang. Faktanya, saya membutuhkan waktu hampir satu setengah dekade untuk memahami konsep itu sepenuhnya, dan bahkan kemudian saya menemukan lebih banyak lagi tentang itu dari seluruh dunia. Yang kurang adalah keluarga queer, dan hubungan queer pada umumnya.
Saya belum pernah mendengar keluarga dengan dua ayah, atau dua ibu. Tentu saja, pengalaman hidup saya terbatas, tetapi untuk seorang anak yang belajar di sekolah dengan lebih dari lima ratus siswa, tidak sekali pun saya melihat seorang pria mengambil rapor anak mereka untuk ditunjukkan kepada suaminya, atau dua istri mengunjungi guru karena nilai pelajaran anaknya gagal. Tidak ada pasangan sesama jenis yang mengajari anak-anak mereka naik sepeda, menyiapkan makan malam keluarga mereka, bertengkar ketika mereka mulai bekerja, lalu berbaikan saat mereka tiba di rumah. Tidak ada. Tidak satu pun.
Anda juga tidak pernah mendengar tentang orang tua yang mendiskusikan anak-anak queer, kecuali dengan cara yang menghina, tentu saja. Seorang anak laki-laki yang bertingkah gay dan berdandan, atau seorang gadis yang terlalu sering bergaul dengan pria. Sesekali orang tua berkumpul, Anda pasti akan mendengar cemoohan tentang hal itu. Orang tua dari anak itu tidak benar-benar mendengarnya. Saya akan membayangkan itu akan menjadi neraka, dengan satu atau lain cara. Itulah hal-hal yang akan disebut oleh para penjaga lingkungan sosial untuk menghentikan seorang ibu mencabuti rambut wanita lain.
Yang Menjadi Tidak Normal
Querness didefinisikan baik itu secara diam-diam atau berlebihan. Tidak ada yang normal menjadi queer.
Saya dapat mengatakan bahwa saya belum menjalani kehidupan yang normal. Tentu, saya mungkin hidup dalam kehidupan borjuis kecil yang paling kecil, tetapi itu tidak berarti bahwa hidup saya akan sesederhana yang dikatakan oleh beberapa Marxis. Hidup adalah penjumlahan: kepribadian ditambah keadaan. Kebetulan saya adalah queer yang sangat marah yang tinggal di negara yang mentolerir tetapi tidak menerima identitas saya. Akibatnya, menjadi queer hanya terasa dalam gerakan bawah tanah, terutama di sekolah yang kental dengan tradisi Katolik .
Ketika Anda mengupas kesan pertama dan kesalehan yang kami kenakan dalam mematuhi peraturan sekolah, ada banyak anak yang tidak normal sama sekali. Ada gay flamboyan yang melakukan cross-dress dan berdandan kapan pun mereka bisa. Ada biseksual yang secara terbuka memberikan saran hubungan yang berurusan dengan orang lain secara signifikan tergantung pada jenis kelamin atau orientasi seksual mereka. Ada sekelompok lesbian yang biasanya lebih mengerti banyak hal “ates” (kakak perempuan) yang bisa Anda tanya. Namun, meskipun mereka relatif nyaman/menerima dalam situasinya, mereka masih mencoba untuk menemukan siapa diri mereka dan bagaimana mereka cocok di dunia. Beberapa akhirnya akan menyadari bahwa mereka adalah transgender, beberapa akan menerima aseksualitas mereka, dan yang lain mungkin melanjutkan hidup mereka apa adanya. Tetapi dalam masyarakat seperti ini, di dunia tempat kita hidup seperti ini, ada dua rute yang bisa diambil oleh seorang queer.
Tetaplah seperti ini dan menjadi subjek kemarahan dunia, atau patuhi norma, dan raih apa yang diharapkan kepada Anda.
Ketika Tidak Normal dan Normal Berbenturan
Para penatua yang bermaksud baik dan homofobia yang jujur sama-sama memperingatkan queer tentang bahaya tidak mengikuti kehidupan normal. Apakah Anda akan menjadi harubiru? Anda jelas akan sakit. Anda tidak ingin menetap dengan suami? Anda tidak akan bisa menghidupi diri sendiri. Anda ingin menetap dengan pria lain? Semua orang di lingkungan akan curiga terhadap Anda dan mengira Anda seorang psikopat. Anda ingin menjalani operasi? Hormon? Jangan ubah cara Tuhan menciptakanmu. Anda tidak akan berhenti dan memilih bersembunyi? Kami akan memaksa Anda untuk berubah, suka atau tidak, apa pun yang diperlukan. Semua yang ingin kita lakukan, ada keberatan yang didasarkan pada Alkitab atau tradisi kolonial lain yang bertahan dari penjajahnya.
Tentu saja, orang seperti saya dapat mengabaikannya, mengatasi tantangan dan diskriminasi yang menyertainya. Saya bisa membuktikan kepada mereka bahwa saya setara, bahkan, lebih baik dari mereka. Saya bisa bekerja keras, lulus kuliah, mendapatkan gelar master, gelar doktor. Saya bisa menjadi pengacara, pebisnis, politisi, dan advokat yang sukses untuk tujuan saya dalam skala yang lebih luas. Saya dapat membuktikan kepada mereka bahwa seorang queer dapat menjadi anggota masyarakat yang produktif, bahkan terhormat.
Bacalah paragraf itu sejenak. Saya harap Anda dapat menemukan masalah dalam semua ini. Kita akan kembali ke situ.
Agar adil, para pendukung LGBTQI+ di seluruh dunia, dan khususnya di negara saya melakukan pekerjaan luar biasa dalam meningkatkan kesadaran tentang identitas seksual dan gender kita, dan memerangi diskriminasi di tempat kerja dan di jalanan. Salah satu dari mereka melangkah lebih jauh dengan membawa pernikahan sesama jenis ke Mahkamah Agung. Tentu saja, kasus itu sangat sulit, bahkan queer pun bisa melihatnya. Meskipun demikian, semuanya terbukti memposisikan queer sebagai masalah di media dan benak rata-rata orang Filipina.
Tapi semua ini dapat disimpulkan dengan sangat jelas namun sangat bermasalah. Tidak peduli seberapa kaya keluarga Anda, seberapa terdidiknya Anda, atau seberapa suksesnya Anda, Anda punya hambatan untuk ditanggulangi. Untungnya, kekayaan itu, pendidikan itu, pengaruh itu dapat menyamakan bidang permainan Anda, dan memberi Anda kesempatan untuk melawan. Tentu saja, bagi mereka yang mampu, ini adalah hal yang benar untuk dilakukan, untuk berdiri dan berjuang demi diri sendiri dan saudara-saudara yang Anda cintai. Tapi jangan sampai kita lupa, ini adalah seorang anarkis yang menulis karya queer. Tindakan semacam itu tidak cukup dalam menyelesaikan masalah yang datang dengan kapital dan negara.
Ketika Tidak Normal Menjadi Mematikan
Tidak ada satu kasus pun yang dapat menyoroti persimpangan kapitalisme, imperialisme, dan dominasi pria kulit putih straight dalam masyarakat global selain Jennifer Laude. Dia ditemukan tak bernyawa di sebuah motel Olongapo pada tahun 2014, dibunuh oleh seorang Amerika, William Pemberton. Tentu saja, pengadilan tidak akan menyebutnya pembunuhan berencana, melainkan hanya pembunuhan. Apa bedanya? Pemberton tidak melakukannya dengan waras. Dia “sedang tenggelam dalam panasnya nafsu, dia mengunci tangan mendiang, dan menenggelamkan kepalanya di toilet”[1]
Mari sejenak kita kesampingkan kata ganti (pronoun yang digunakan media untuk menyebut Jennifer dalam berita adalah his atau kata ganti pria, yang seharusnya menggunakan her atau kata ganti wanita) yang salah dan fokus pada penjelasan itu. Panasnya nafsu? Setiap queer akan menyadari bahwa itu adalah hal ekstrem yang bisa saja mereka alami. Orang straight menjadi bingung dan marah pada diri mereka. Tampaknya pengadilan mencoba memaafkan transfobia dan maskulinitas beracun yang ditunjukkan Pemberton, menorehkannya menjadi sebatas gairah dan kebingungan. Harry Roque, kemudian pengacara pembela Laude, menunjukkan dirinya seperti jam yang rusak, menyatakan bahwa “tidak benar bahwa keadaan yang meringankan ini menunjukkan kefanatikannya terhadap seorang perempuan transgender dan bahwa kefanatikan itu sendiri adalah alasan dia membunuhnya.”[2]
Lagi pula, apa yang bisa diharapkan dari pengadilan negara yang tidak mengakui hak perempuan transgender untuk menjadi perempuan? Apa yang kita harapkan dari sebuah negara yang terus dikendalikan oleh kepentingan asing, terutama negara yang dibangun untuk keuntungan orang kulit putih yang macho, dan tentaranya pada saat itu?
Ini bukan satu-satunya insiden, dan ini bukan hanya pembunuhan. Berapa banyak queer yang bunuh diri karena bullying[3] atau lebih buruk, stigma HIV?[4] Berapa banyak lesbian, aseksual, non-biner yang lahir sebagai perempuan yang diserang dan diperkosa untuk “memperbaiki mereka?” Berapa kali pejabat pemerintah bercanda tentang homoseksualitas seolah-olah itu bagian lucunya? Berapa kali senator itu menyebut homoseksual sebagai momok di mata Tuhan? Berapa banyak pekerja queer yang terus bekerja keras di tengah krisis internasional ini hanya untuk memenuhi kebutuhan? Berapa banyak dari mereka yang menghadapi diskriminasi di jalanan, di tempat kerja mereka, atau di rumah mereka sendiri hanya karena identitas mereka? Berapa banyak yang terus menderita saat mereka mengutuk dunia karena menjadi diri mereka sendiri dan mencintai siapa yang mereka cintai?
Saya tidak tahu jawaban untuk semua itu. Karena ada banyak dari kita. Begitu banyak dari kita yang terpaksa menjalani hidup secara normal, atau hidup di pinggir jalan jika tidak ikut-ikutan. Pilihan yang ada untuk dilakukan: hidup dalam kebohongan atau menderita sampai mati?
Di satu sisi, Anda berakhir di sarang transparan, menjalani kehidupan “normal”, yang sama sekali asing bagi Anda. Setiap saat, rasanya Anda seperti diawasi, dan saat Anda tergelincir, semua neraka akan menghantam Anda. Jadi Anda memastikan setiap langkah yang sempurna, bahkan jika itu berarti menikah dengan orang yang menjadikan Anda menyesali diri sendiri, dan memiliki anak meskipun itu bertentangan dengan keinginan Anda. Di sisi lain, ada kehidupan yang terbuka perihal siapa diri Anda, dan membuat marah semua orang di sekitar Anda. Ucapan Anda terus-menerus diawasi, perilaku Anda, dan tindakan Anda. Anda menerima penghinaan dan diskriminasi setiap hari dan pada akhirnya, Anda akan ditinggalkan oleh orang-orang yang Anda cintai dan mereka yang menjadi pegangan Anda, karena berani menunjukkan siapa Anda sebenarnya.
Itu adalah pilihan-pilihan dalam pertumbuhan saya, dan tidak diragukan lagi pilihan-pilihan yang harus diambil oleh kebanyakan queer. Tanpa alternatif lain selain hidup dengan berkilah atau hidup terkucilkan, seorang queer akan tetap hidup lebih buruk, jika tidak secara ekonomi atau sosial, maka secara psikologis, untuk sesuatu yang tidak pernah salah, tetapi sesuatu yang ditolak masyarakat.
Begitulah cara saya berpikir, sampai saya menemukan konsep cinta yang bebas, dan membuat pilihan sebelumnya dan mentalitas sebelumnya tidak relevan.
Ketika Anda Menemukan yang Tidak Normal…
Cinta yang bebas tidak bisa ada tanpa penemuan diri. Sulit untuk memperluas batas dan membebaskan diri Anda dari apa yang tertanam di kepala Anda sebagai seorang anak tanpa momen realisasi spontan dan motivasi berkelanjutan untuk memahami bagaimana perasaan Anda terkait aspek-aspek tertentu dalam hidup Anda. Secara pribadi, ada saat-saat di mana saya tidak dapat memahami apa yang saya alami karena hal itu tidak pernah dibahas panjang lebar kepada saya. Saya tidak bisa menempatkan ketertarikan yang saya rasakan pada orang-orang yang saya rasa dekat karena saya diberitahu bahwa tidak ada tempat untuk menaruhnya. Ini mungkin tampak agak klise, tetapi memang benar bahwa bukan hanya persahabatan atau kedekatan yang membuat saya dekat dengan mereka, itu adalah ketertarikan dan cinta sejati.
Jadi ini maksudnya apa? Ada kebutuhan untuk mendidik diri sendiri tentang bagaimana kita menangani perasaan kita, tentang orientasi, identitas, dan ekspresi kita, dan tentang bagaimana kita dapat membangun ruang interaksi dan dukungan yang aman di lingkungan kita bagi mereka yang merasakan hal yang sama. Tetapi pada saat yang sama, kita juga perlu mendedikasikan diri kita sendiri, dari bias dan prasangka yang diindoktrinasi ke dalam diri kita tidak hanya oleh pendidikan yang didominasi oleh Gereja, tetapi juga normalitas yang dibentuk orang-orang straight seperti faktanya begini: peran gender dan stereotip, penggunaan cercaan homofobik, toleransi terhadap queer dengan memahami situasi mereka dan masalah yang dihadapi mereka.
Ini datang dengan cara yang berbeda untuk orang yang berbeda pula, tetapi salah satu katalis untuk informasi, pendidikan, dan de-pendidikan di generasi saya adalah munculnya Internet. Hadir di hidup saya dan banyak teman queer saya dengan cara yang berbeda: postingan media sosial, artikel berita selama Pride Month, cerita dari orang queer lainnya, dan bahkan, hiburan massal. Dari sana, mengumpulkan pengetahuan sehingga menjangkau orang-orang queer lainnya, menemukan ruang untuk berbagi pengalaman Anda dan belajar tentang menangani banyak hal karena menjadi queer.
Ruang-ruang ini akhirnya berangkat dari keamanan relatif dan pemisahan forum online dan pesan pribadi ke lingkaran kehidupan nyata, di mana bentuk dukungannya secara fisik dan vokal. Tentu saja, mereka adalah kelompok-kelompok kecil dalam lingkungan yang besar, tetapi bahkan pertunjukan kecil pembangkangan, dalam pidato, pakaian, retorika, sudah cukup untuk menegaskan, meningkatkan kesadaran, dan menyatukan lebih banyak orang.
Upaya memahami isu-isu mendasar masyarakat dikombinasikan dengan pelebaran ruang untuk kritik dan diskusi berkembang secara tidak mengejutkan ke dalam diri saya secara politik, dan saya perlu menemukan kerangka intelektual dan ideologis yang memberikan saya jalan kepada queer dan sekutu lain dengan niat yang sama.
… Dalam Banyak Bentuk
Sepanjang jalan itu, saya menemukan berbagai karya dari berbagai aktivis dan ahli teori, sebagian besar melalui catatan kaki di artikel online seperti yang Anda baca sekarang. Saya kira fenomena “Google Bookchin”, meskipun bermasalah dengan caranya sendiri, bekerja bagi sebagian orang, karena hal berikutnya setahu saya membaca Libertarian Municipalism, lalu tentang arti otonomi, dan seterusnya dan seterusnya.
Tidak seperti kebanyakan karya Marxis yang Anda temukan dari pandangan sepintas feed Twitter, ini memiliki pendekatan yang berbeda guna mencapai pembebasan dan mengalami kebebasan. Meskipun beberapa di antaranya mungkin berasal dari teks-teks klasik tentang nilai kerja dan dinamika kelas-kelas yang berbeda, namun jelas bahwa ia tidak menganggapnya sebagai dogma seperti gerakan sosialis lainnya, tetapi sebenarnya mengkritiknya, dan melihat cara memadukannya untuk melawan pemerintah, yang digunakan orang berprivilese untuk keuntungannya sendiri, dipengaruhi oleh budaya, tradisi, dan perspektif yang sudah ketinggalan zaman bagi dunia modern.
Anarkisme. Saya tahu tentang anarkisme, sejarahnya, agitator dan pencelanya. Saya juga tahu tentang konotasinya: kekisruhan, perselisihan, kekacauan, masyarakat yang terdekonstruksi, hancur, dan berantakan. Para tetua saya memperingatkan bahwa mereka yang mengatakan yang berwenang adalah jahat, mereka yang tidak mendukung masyarakat kita saat ini adalah musuh kita, mereka yang tidak mematuhi dan menghormati aturan yang telah dibuat untuk kita tidak boleh dihormati dan harus dieliminasi. Sekarang, katakan padaku, apakah itu terdengar familiar?
Dan tidak begitu lama sampai saya menemukan betapa banyak literatur yang ada tentang studi gender dan isu-isu queer, sejak beberapa dekade dan abad. Bahkan, setiap kali saya membaca sesuatu tentang seks dan gender, atau feminisme, atau perjuangan queer, terutama jika mereka ditulis di Barat (yaitu Eropa dan Amerika Serikat) selalu kembali menelusuri ke gerakan cinta yang bebas yang dipengaruhi oleh prinsip-prinsip anarkis. Seperti sarkasme Emma Goldman dan penghapusan keluarga oleh Mikhail Bakunin. Oscar Wilde kembali menilik Max Stirner. Seperti Mujeres Libre, atau Daniel Guérin, atau bahkan YPJ modern. Semuanya kembali merujuk ke anarkisme, yang didefinisikan dengan tiada Tuhan tiada tuan (no Gods no masters).
Mengapa? Karena anarki adalah kebalikan dari negara. Karena anarkisme adalah kebalikan dari filosofi yang membimbing kelas penguasa sepanjang sejarah. Karena seperti bagaimana queer mempertanyakan supremasi straight, anarkisme mempertanyakan supremasi dalam segala bentuk. Melalui anarkisme, banyak feminis dan queer menemukan dasar menyerang institusi yang terus menindas mereka. Perulangan yang berbeda dari gerakan untuk dekonstruksi keluarga yang dipimpin ayah dan alam semestanya, negara yang kebapak-bapakan yang didominasi oleh penguasa laki-laki kulit putih semuanya merupakan perjuangan melawan hierarki, melawan otoritas, melawan kekuasaan. Anarkisme selalu merupakan penolakan terhadap norma-norma masyarakat. Mengutip seorang kawan, “Seseorang dapat membuat hal atas anarkisme sebagai queering politik.”
Sama seperti itu, seperti banyak orang sebelum saya, saya menemukan kerangka kerja dari mana saya dapat mencoba mengembangkan pemahaman terkait identitas saya, dan hubungan saya dengan dunia di sekitar saya. Dari situ saya semakin sadar betapa masif dan luasnya ruang lingkup perjuangan yang kita semua hadapi, terutama di nusantara ini di mana hubungan sosial, ekonomi, dan politik, bisa dikatakan benar-benar kacau. Tentu, kemajuan akan datang ke daratan kita, selain itu, tidak ada yang bisa tetap statis dan stagnan selamanya. Tetapi menganalisis masalah yang dihadapi queer di Filipina itu ibarat mengintip dari balik bangunan, keramahtamahan “kemajuan” dibuat untuk meyakinkan kita.
Ketika yang Tidak Normal Menjadi “Normal”
Saat ini, realitas kita menyatakan bahwa perlu tetap waspada untuk melindungi diri kita sendiri. Tidak peduli masyarakat kita dianggap seberapa “progresif” dan “toleran”, permukaannya hampir selalu berantakan. Anda bisa menentukan pilihan sendiri terkait sektor masyarakat yang akan Anda lihat homofobia dan transphobia: ruang dewan[5] industri musik,[6] di media sosial, belum lagi di dalam gereja-gereja dan rumah-rumah. Anda bertanya-tanya bagaimana dengan jajak pendapat yang menunjukkan lebih dari 70% orang Filipina dapat menerima homoseksual tetapi hanya 25% dari mereka yang berpikir itu bukan tindakan tidak bermoral.[7]
Anda tahu betapa buruknya suatu budaya dapat memperlakukan queer-nya jika mereka pun bahkan tidak memiliki kata-kata yang tepat tentang identitas queer. Dalam kebanyakan bahasa, Bakla dan Bading dapat berarti setiap orang yang non-straight. Tibo bisa berarti gadis mana pun yang bahkan terlihat non-straight. Silahis adalah kata yang tidak jelas perihal biseksual. Dan jika bukan karena queer yang mengklaim istilah itu untuk diri mereka sendiri, semua ini dianggap murni penghinaan.
Dan yang mengejutkan, untuk banyak ruang progresif, ini adalah masalah yang masih mempengaruhi mereka. Menjadi diskriminatif terhadap kaum queer dan menjadi seksis terhadap perempuan begitu adanya tertanam dalam jiwa kolektif kita sehingga hal itu termanifestasikan bahkan dalam organisasi sosialis dan anarkis. Entah itu di luar ideologi[8] atau secara langsung mengarah pada ketakutan dan kebencian[9] masih ada rasa dominasi dan otoritas yang bertahan oleh orang-orang straight, oleh laki-laki, dan oleh mereka yang memiliki privilese yang tidak menghadapi perjuangan ini setiap harinya.
Bahkan kaum queer sendiri memiliki masalah dengan diri mereka sendiri, karena mereka tumbuh tanpa mengetahui alternatif lain atas norma. Mereka menolak siapa diri mereka, mereka menolak apa yang mereka rasakan dan bagaimana mereka bertindak, karena mereka tahu rasa malu dan diskriminasi seperti apa yang mereka hadapi, atau mereka tidak dapat menerima identitas mereka berdasarkan perspektif agama dan budaya mereka. Mereka masih menyesuaikan diri dengan biner gender. Mereka masih memperdebatkan keabsahan seorang transgender. Mereka melakukan diskriminasi berdasarkan ekspresi gendernya, hanya menyukai gay yang “dapat diterima” (baca: maskulin).
Ada banyak orang yang menceritakan kisah tentang fobianya yang terinternalisasi, dan masih bergulat dengan penerimaan diri mereka sendiri. Queer lainnya hanya menerima situasi mereka, puas dengan ceruk kecil masyarakat mereka, tidak menyadari bagaimana hal itu dapat mempengaruhi queer lain dan bahkan diri mereka sendiri. Mereka tidak menyadari betapa pentingnya suara mereka, tidak hanya untuk komunitas queer-nya, tetapi seluruh kolektif orang yang terpengaruh secara negatif juga kompleks yang terus menindas mereka.
Ketika yang Tidak Normal Kembali Menyerang
Faktanya adalah bahwa perjuangan kaum queer bukan hanya untuk kaum queer saja.
Pembebasan queer berhubungan dengan perjuangan perempuan, orang kulit berwarna, ketidaksetaraan ekonomi, koloni dan orang-orang tertindas. Kita semua memiliki identitas kita sendiri, dan perjuangan unik kita sendiri yang kita hadapi setiap hari. Kita didominasi oleh hierarki yang mendikte bagaimana kita seharusnya hidup dan bertindak, didikte bahwa kita adalah roda penggerak dalam mesin masyarakat.
“Kita perlu membangun lebih banyak keluarga berdasarkan otoritas seorang laki-laki,” agar anak-anak terbiasa diperintah oleh kapitalis atau pejabat pemerintah. “Kita perlu bekerja agar dapat menafkahi keluarga kita,” tidak peduli seberapa tidak amannya tempat kerja kita atau seberapa kecil gaji kita. “Kita harus menaati hukum” bahkan jika itu tidak menguntungkan kita, melainkan menguntungkan orang kaya dan penguasa. “Kita harus mengajari anak-anak agar memiliki anak dan tidak menjadi gay sehingga mereka dapat membangun keluarga mereka sendiri.” Jangan lupa! “Jika mereka bukan etnis yang sama dengan kita, mereka akan mengambil pekerjaan kita dan meneror jalan-jalan kita.” Siklus terus menerus seperti ini. Siapa pun yang menyimpang dari jalurnya dianggap tidak bermoral, sesat, dan jahat. Jadi, di saat kita bertarung demi agama kita, ras kita, kepercayaan kita, mereka yang mendapat manfaat dari masyarakat kita saat ini tinggal terima bersih untuk menjadi lebih kaya, lebih berkuasa, dan semakin bersedia untuk menyetubuhi kita.
Kelas penguasa menang. Orang miskin, kelas pekerja, perempuan, kulit hitam, masyarakat adat, dan queer kalah. Satu-satunya cara membalik arus adalah jika kita bersolidaritas, membangun aliansi, dan menciptakan kedekatan satu sama lain. Dan ini bahkan bukan ide baru, kita hanya perlu melihat ke masa lalu kita.
Sejarah perlawanan terhadap kolonialisme dan konversi di negara kita dituntun oleh kaum queer. Pemimpin lokal dan mistikus seperti Zamboangueño Ponciano Elofre (dikenal sebagai Dios Buhawi, atau Dewa Angin Puyuh) dan Ilonggos Tapara dan Gregorio Lampinio adalah queer, bangkit melawan institusi agama, pemerintahan, dan budaya yang asing di tanah asal mereka. Bahkan, ini mengejutkan untuk dicatat bahwa perlawanan Elofre dan Lampinio muncul pada akhir abad ke-19, ketika mungkin nusantara itu sepenuhnya dihispanisasi dan dikristenkan. Lampinio bahkan berpartisipasi dalam perang Ilustrado untuk pembebasan nasional sebagai bagian dari Revolusi Filipina di Panay.
Faktanya, kisah pemberontakan yang dipimpin oleh asog dan babaylan, salah satu pengaruh sosial dan budaya terpenting dalam masyarakat adat di seluruh negeri, kita tidak perlu meragukan betapa pentingnya peran yang dimainkan oleh kaum queer dalam sejarah kita. Fakta bahwa mereka telah difitnah dan dianiaya pertama-tama oleh penakluk, kemudian oleh elit pribumi, dan diposisikan secara diametris sebagai oposisi gereja, negara, dan patriarki berarti bahwa mereka berdiri berdampingan dengan sektor-sektor lain yang direbut sepanjang sejarah.
Perjuangan seorang dukun pribumi guna membebaskan diri dari penjajah menyatu dengan perjuangan petani di lahannya. Keyakinan dan kepedulian seseorang terhadap alam dan lingkungan menjadi tulang punggung ketidakpuasan terhadap haciendero dan pengusaha. Di zaman modern, dengan kemiskinan yang begitu mengakar, perjuangan seseorang untuk menghidupi diri sendiri dan keluarganya menyebar melalui lintas gender, jenis kelamin, agama, dan tanah air. Hanya untuk bertahan hidup, banyak orang, termasuk queer, harus menjual tenaga mereka atau lebih buruk lagi, tubuh mereka sendiri, dengan harga terendah.
Sejarah penolakan mendefinisikan peran mereka dalam masyarakat, sebagai orang buangan tetapi juga militan. Di ruang kecil yang diberikan kepada mereka untuk mengekspresikan diri, mereka melakukannya dengan keteguhan hati dan keberanian. Jika diberi kesempatan untuk berkumpul dan berbicara, mereka akan memastikan tidak ada yang akan melupakan suara dan pesan mereka. Apakah itu di pegunungan atau di jalan, mereka tahu apa yang mereka bela, dan apa yang mereka perjuangkan.
Menjadi queer berarti memahami rasa sakit dan penderitaan. Menjadi queer berarti memahami penolakan dan ketidakpedulian. Menjadi queer berarti memahami bahwa normal, normal ini tidak dapat diterima. Diskriminasi tidak dapat diterima, pelecehan tidak dapat diterima, kematian tidak dapat diterima.
Ketika Tidak Ada Lagi yang Tidak Normal
Sejujurnya, ini adalah karya pribadi, berdasarkan pengalaman saya yang terbatas dalam aktivisme queer dan anarkisme. Saya bukan otoritas dalam isu ini, tidak dengan potret yang panjang.
Tapi saya marah, sakit, dan bosan dengan masyarakat yang mendiskriminasi dan tidak hormat dengan fakta kehidupan. Saya juga orang yang mendapat dukungan dari orang-orang di sekitar saya, sebagai teman, sebagai keluarga, dan sebagai sesama manusia.
Saya memiliki privilese untuk berbicara, menulis panjang lebar tentang apa yang saya hadapi dalam konteks tanah air dan lingkungan saya; hal-hal yang bisa dihadapi seseorang yang tinggal di nusantara ini jika mereka queer, dan bagaimana perjuangan itu memengaruhi perjuangan lain yang terus kita perjuangkan setiap hari.
Saya menulis ini di akhir Pride 2020, bulan yang sudah penuh gejolak mengingat krisis kesehatan Filipina yang disebabkan oleh fokus pada Karantina yang mengarah pada Darurat Militer.[10] Kemudian, RUU Anti-Terorisme disahkan di Legislatif Republik yang akan menjadi mapan untuk disalahgunakan dalam membungkam kritik dan yang membangkang terhadap pemerintah, sesuatu yang sudah saya analisis dan diskusikan panjang lebar.[11] Belum lagi kasus cyber-libel Maria Ressa dan Rey Santos yang mempertanyakan kebebasan pers yang ditinggalkan negara ini.[12]
Tapi pukulan yang benar-benar menunjukkan kepada saya betapa kurang ajar dan otokratisnya Republik ini adalah penangkapan dua puluh aktivis di sebuah parade Kebanggaan (pride) di Manila.[13] Protes yang damai dan taat protokol menjaga jarak tetap ditindas oleh polisi dengan perlengkapan anti huru-hara tanpa ada pernyataan pelanggaran sampai beberapa jam setelah mereka ditahan. Itulah hari di mana saya menyadari bahwa sekarang, tidak satu pun yang bisa aman lagi. Normal baru adalah kediktatoran yang tidak diumumkan dengan kedok keselamatan publik yang bertentangan dengan kebebasan Filipina, yang sudah mendidih pada korupsi politisi, pengusaha, dan penjilat yang telah mengendalikan negara ini.
Kita harus merespons dengan tepat dengan menekan balik dan melawan balik. Satu-satunya cara kita dapat menentang kelas penguasa yang sangat ingin mengambil kebebasan kita, hidup kita, adalah dengan terhubung satu sama lain, untuk bersatu melawan fasis. Satu-satunya cara kita dapat membangun perlawanan adalah jika kita saling mendukung, terlepas dari siapa kita dan dari mana kita berasal. Satu-satunya cara kita dapat mengalahkan penindasan adalah dengan belas kasih dan mutual-aid; yang kita kenal sebagai bayanihan. Solidaritas dalam menghadapi perjuangan, saling membantu bukan karena imbalan atau keuntungan, tetapi karena rasa hormat dan karena cinta.
Yang kita butuhkan adalah cinta revolusioner. Bukan jenis yang didukung oleh kelas penguasa, cinta hanya untuk mereka yang normal, untuk mereka yang mendapat manfaat dari masyarakat seperti sekarang ini. Cinta revolusioner adalah cinta yang melampaui semua konstruksi sosial, baik itu warna kulit, jenis kelamin, orientasi seksual, kelas sosial, ras. Salah satu yang tidak bersyarat untuk sesama manusia dan yang saling memberi ketika kebutuhan dan keinginan muncul. Memberi itu hal yang gratis bagi semua orang, karena setiap manusia berhak mendapatkan cinta. Cinta ini harus menentukan langkah-langkah yang perlu kita ambil selanjutnya dalam pendidikan, organisasi masyarakat, dan interaksi sosial. Rumah kita berada di dalam celah-celah status quo, di mana mereka yang memerintah gagal dan menolak untuk menunjukkan rasa kemanusiaannya kepada kita, demi kepentingan mereka sendiri. Di luar norma kita dapat menemukan pembebasan dan belas kasih.
Menjadi queer berarti tidak menjadi normal. Menjadi queer berarti mencintai semua.
[1] Lira Dalangin-Fernandez and Brian Maglungsod. “Pemberton meted 6 to 12 years for homicide in Jennifer Laude case.” Interaksyon. December 1, 2015. Dilansir dari: https://web.archive.org/web/20151204030811/http://www.interaksyon.com/article/120900/court-sentences-pemberton-to-6-to-12-years-for-homicide-in-jennifer-laude-cas
[2] VOA News. “US Marine Appeals Conviction in Death of Transgender Filipina.” VOA News. January 6, 2016. Dilansir dari: http://www.voanews.com/content/us-marine-convicted-of-killing-transgender-woman-in-philippines/3082350.html
[3] Sam Manzella. “Bisexual Teen Commits After Being Bullied at School.” Newnownext. February 2, 2018. Dilansir dari; http://www.newnownext.com/filipino-teen-bisexual-suicide-bullying/02/2018/
[4] DW. “Dying of Shame and AIDS in the Philippines.” DW.com. May 20 2018. Dilansir dari: https://www.dw.com/en/dying-of-shame-and-aids-in-the-philippines/a-19292896
[5] Chris Murphy. “Manny Pacquiao: Sorry for ‘gay people worse than animals’ remark.” CNN Edition. February 17, 2016. Dilansir dari: https://edition.cnn.com/2016/02/16/sport/boxing-manny-pacquiao-animals-gay/index.html
[6] ABS-CBN News. “After admitting it was offensive, local rapper releases transphobic song anyway.” ABS-CBN News. January 15, 2020. Dilansir dari: https://news.abs-cbn.com/entertainment/01/18/20/after-admitting-it-was-offensive-local-rapper-releases-transphobic-song-anyway
[7] Magda Mis. “Is Philippines really Asia’s most gay-friendly country?” May 16, 2014. Dilansir dari: https://news.trust.org/item/20140516162146-jipm9/)) Lihatlah bagaimana budaya queer telah berkembang selama bertahun-tahun. Ini penuh warna, beragam, dan benar-benar indah. Saya kagum dengan jumlah bakat yang dimiliki orang queer terutama dalam hal seni, musik, tari, dan sastra. Seiring waktu, mereka datang untuk mengembangkan daftar mereka sendiri, sebuah pembicaraan gay yang sampai hari ini dapat didengar dari remaja, straight dan queer. Berbagai tokoh hiburan, queer dan sekutu queer, baik di sini maupun di luar negeri menjadi pengaruh dari generasi ke generasi untuk menciptakan rahasia umum budaya yang benar-benar unik. Namun, cara budaya tradisional yang berpusat pada laki-laki, otoriter, moralitas Katolik mendefinisikan queer berdasarkan stereotip dan bajingan. Bagi banyak gay dan wanita trans, mereka hanya diharapkan menjadi diri mereka sendiri ketika di salon kecantikan, salon, atau panggung belakang kontes. Lesbian dan trans laki-laki dipandang sebagai penyimpangan, dibesarkan secara salah atau dibesarkan tanpa orang tua, menculik kekasih mereka ketika keluarga mereka menolaknya. Biseksualitas diperlakukan sebagai sebuah fase, aseksualitas pada dasarnya diperlakukan sebagai penyakit mental. Lebih buruk lagi jika Anda secara terbuka sebagai gay, karena ada diskusi tentang memiliki “itu”. Masih adanya stigma yang kuat terhadap penyakit menular seksual, khususnya HIV-AIDS. Kisah-kisah mengerikan tentang tidak diakui dan dijauhi, dihina dan didiskriminasi, bahkan insiden yang jauh lebih gelap terus mengganggu masyarakat ini. Penolakan semacam itu merajalela di semua bagian masyarakat, entah Anda kaya atau miskin, berasal dari Luzon, Visayas atau Mindanao, tinggal di kota, pinggiran kota, atau pedesaan. Bahkan, itu menjadi begitu umum, menjadi pasif, bahkan tidak dipropagandakan atau dibor ke dalam diri seseorang, itu hanya datang dengan didikan dan budaya mereka. Mengapa Anda mengolok-olok orang queer? “Karena itu lucu” Mengapa Anda tidak ingin orang gay di televisi? “Karena saya tidak ingin mereka mempengaruhi anak saya secara negatif.” Mengapa Anda begitu gampangnya berkelakuan homofobik dan transfobik? “Ganun talaga eh.” [Begitulah adanya]
[8] Garcia, J. Neil C. (2008). “Philippine Gay Culture: Binabae to Bakla, Silahis to MSM.” (3rd Edition) Hong Kong https://hkupress.hku.hk/pro/con/54.pdf
[9] Adrienne Onday. “Wrath Over Pride: A Call Out Post to Radical Cis Men and Their Inadequacy in Gender Struggles” Friendship Anarchy. 2020. Dilansir dari: https://friendshipanarchy.wordpress.com/2020/06/22/wrath-over-pride-a-call-out-post-to-radical-cis-het-men-and-their-inadequacy-in-gender-struggles/
[10] Simoun Magsalin. “Against Quarantine with Martial Law Characteristics.” Bandilang Itim PH. pril 3, 2020. Dilansir dari: https://libcom.org/blog/against-quarantine-martial-law-characteristics-03042020
[11] Malaginoo. “Against the Terror of Anti-Terror.” June 1, 2020. Bandilang Itim PH. Dilansir dari: https://libcom.org/blog/against-terror-anti-terror-01062020
[12] ABS-CBN News. “Rappler chief Maria Ressa found guilty of cyber libel.” June 15, 2020. Dilansir dari: https://news.abs-cbn.com/news/06/15/20/rappler-chief-maria-ressa-found-guilty-of-cyber-libel
[13] Rappler. “At least 20 arrested at Pride March in Manila.” Rappler. June 26, 2020. Dilansir dari: https://www.rappler.com/nation/264919-cops-arrest-individuals-pride-month-protest-manila-june-2020