Maria Magdalena
Magdalena’s Diary: Cannabis, Kemiskinan Struktural, dan Kapitalisme Farmasi
Trigger Warning: Tulisan ini membahas hal berat seperti penindasan, kemiskinan struktural, kriminalisasi cannabis, eksploitasi industri farmasi, dan juga kekerasan aparat. Serta stigma dan ketidakadilan yang dirasakan keluarga saat orang terdekat terjebak dalam sistem hukum karena cannabis. Jika tema ini relate denganmu, maka kemungkinan akan memicu perasaan ngga nyaman dan kenangan yang sulit.
Hari-hari kadang terasa makin sempit, seperti dinding-dinding kehidupan terus mendekat, memenjarakan. Tenggat waktu menekan tanpa ampun, berita-berita berseliweran ngga berhenti, dan beban untuk bertahan hidup rasanya begitu berat. Pada momen seperti ini, aku jadi paham kenapa ada orang yang beralih ke cannabis — bukan cuma untuk mencari kelegaan, tapi juga sebagai bentuk perlawanan sunyi terhadap dunia yang terasa begitu berisik dan kacau.
Buat sebagian orang, cannabis menjadi obat. Ia menopang tubuh ketika rasa sakit kronis menyerang, melonggarkan otot-otot yang terlalu tegang menjadi rileks, dan meredam suara bising kecemasan yang terus memekik di kepala. Sederhana namun nyata, gimana tanaman ini bisa ngelakuin hal-hal yang sering kali dijanjikan tapi gagal diberikan oleh obat-obatan farmasi. Tapi ironisnya, tanaman ini malah dihakimi dan dicap buruk di banyak tempat, manfaatnya tenggelam di bawah stigma dan ketakutan yang sudah usang.
Cannabis bukan cuma soal menyembuhkan tubuh, namun juga soal menyembuhkan pikiran. Buat beberapa orang, ini bukan sekadar pelarian, tapi cara untuk bikin realitas yang tajam dan kejam jadi sedikit lebih lembut. Bayangkan kekacauan di kepalamu tiba-tiba melambat, simpul-simpul kecemasan yang mengikatmu mulai terurai, dan untuk sesaat, dunia terasa manusiawi. Hidup jadi sedikit lebih ringan, dan waktu yang biasanya seperti arus deras mendadak terasa berhenti. Momen-momen kecil seperti itu bisa jadi penyelamat bagi orang-orang yang hampir menyerah.
Namun, yaaa ngga semuanya indah memang. Ada sisi gelap yang jarang dibahas. Buat sebagian lainnya, cannabis menjadi tali penyelamat — upaya putus asa buat nemuin sedikit kedamaian di tengah hidup yang terasa ngga mungkin dijalani. Dunia ini keras. Tingkat kecemasan terus melonjak, biaya sekadar bertahan hidup makin menghimpit dan sesak, tapi kita semua diminta terus jalan seolah-olah ngga ada yang salah. Dalam kondisi seperti ini, cannabis jadi lebih dari sekadar tanaman; ia menjadi teman, pelipur lara, membantu bertahan ketika semuanya terasa runtuh.
Kenapa ya, sesuatu yang sederhana seperti tanaman bisa jadi topik yang bikin ribet banget? Aku sering kepikiran soal ini. Kriminalisasi cannabis itu kayak gambaran kejam dari kemiskinan yang dipelihara dan dibuat kapitalisme. Kita hidup di dunia yang semuanya tuh ada harganya — bahkan hak untuk sehat atau sekadar hidup layak dijual sebagai barang mewah dan limited. Kemiskinan ini bukan kecelakaan, bukan sekadar efek samping dari sistem yang kacau. Ini dirancang, sengaja dibuat biar mereka yang di atas tetap aman di singgasana mereka.
Dan cannabis? Tanaman yang sebenarnya punya potensi besar buat kesehatan atau bahkan bantu ekonomi kecil malah dianggap ancaman. Tapi ancamannya bukan ke masyarakat, kan? Ancaman sebenarnya adalah gimana cannabis bisa ngeguncang industri farmasi yang memonopoli itu, yang cuma peduli sama cuan. Negara, industri farmasi, sampai polisi bekerja bareng memastikan cannabis tetap dilarang. Mereka pakai narasi “bahaya narkotika” buat nutupin agenda mereka — buat tetap berkuasa. Hhhh…
Kemiskinan Struktural: Alat Kapitalisme untuk Mengontrol
Kemiskinan ini ngga terjadi begitu saja. Kemiskinan juga merupakan produk dari eksploitasi sistemik. Kapitalisme menciptakan dunia di mana orang dipaksa bertahan dengan upah yang rendah, kerja yang berat, atau mencari celah di luar sistem formal untuk tetap melanjutkan hidup. Di tengah tekanan itu, cannabis sering muncul sebagai pilihan terakhir — entah jadi sumber penghasilan, obat yang terjangkau, atau pelarian sederhana dari beban hidup yang terus menghimpit.
Tapi kapitalisme ngga pernah membiarkan solusi yang ngga menghasilkan keuntungan buat elitnya. Industri farmasi, salah satu pilar terbesar kapitalisme global, punya peran penting dalam mengontrol siapa yang punya akses kesehatan. Mereka menetapkan harga yang mencekik, memonopoli paten, dan memastikan bahwa kebutuhan akan kesehatan terus jadi mesin uang bagi mereka.
Cannabis, dengan manfaat medisnya yang luas menjadi ancaman bagi model bisnis ini. Sebagai obat alami yang terjangkau dan mudah diakses hanya dengan menanam sendiri, cannabis meruntuhkan narasi bahwa kesehatan harus mahal dan dikontrol oleh resep dokter. Jika orang mulai menanam tanaman mereka sendiri untuk mengobati rasa sakit kronis atau kecemasan, industri farmasi akan kehilangan keuntungannya yang bernilai miliaran.
Negara dan Polisi: Anjing Penjaga Kapitalisme
Negara, yang seharusnya melindungi rakyatnya justru sering jadi perpanjangan tangan kapitalisme. Dengan undang-undang yang mengkriminalisasi cannabis, negara memastikan bahwa solusi ini tetap di luar jangkauan rakyat kecil. Negara ngga bertindak netral. Dalam setiap kebijakan yang dibuat, ada kepentingan kapitalisme yang tersembunyi di baliknya. Undang-undang yang mengkriminalisasi cannabis ngga benar-benar bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang mereka klaim. Polisi, sebagai eksekutor hukum menjalankan perannya dengan brutal terutama terhadap komunitas miskin yang mencoba bertahan hidup dengan menanam atau menjual cannabis.
Bayangkan, ada seorang petani kecil yang menanam cannabis untuk bayar sekolah anaknya. Di mata hukum, ia langsung dicap kriminal. Polisi datang, meratakan ladangnya, dan menyeretnya ke penjara. Di sisi lain, perusahaan farmasi besar bebas mengembangkan obat berbasis cannabis di lab mewah mereka. Bedanya? Mereka punya uang untuk memanipulasi pelanggaran hukum yang mereka lakukan.
Kemiskinan struktural bikin siklus ini makin kejam. Orang miskin ngga punya akses untuk kesehatan layak karena biayanya yang selangit. Cannabis, yang sebenarnya bisa jadi solusi terjangkau dan efektif, malah dirampas oleh sistem hukum yang lebih peduli dengan keuntungan kapitalis. Kalau orang miskin tetap bekerja dalam sistem formal, mereka hanya dapat upah rendah. Kalau mencoba alternatif seperti cannabis, mereka dihukum.
Hukum yang mengkriminalisasi cannabis ini ngga pernah benar-benar perihal moral atau melindungi masyarakat dari “bahaya.” Ini soal kontrol. Polisi ngga melindungi rakyat; mereka melindungi properti dan kekuasaan elit. Sistem ini memastikan bahwa orang miskin ngga punya pilihan kecuali tunduk pada tatanan yang ada.
Kemiskinan bukan cuma soal ngga punya uang. Tapi juga kehilangan akses, pilihan, dan peluang untuk hidup layak. Dalam dunia yang adil, cannabis bisa jadi solusi terjangkau untuk berbagai masalah kesehatan. Tapi kapitalisme farmasi ngga menginginkan masyarakat yang sehat — mereka butuh orang sakit yang terus-menerus membeli obat-obatan mahal. Karena, di bawah kapitalisme kesehatan itu bukan hak tapi komoditas.
Ketakutan Industri Farmasi terhadap Cannabis
Industri farmasi ngga cuma membenci cannabis; mereka takut dengan potensi pembebasannya. Cannabis memberikan alternatif yang ngga hanya lebih terjangkau, tapi juga memberdayakan. Ketika orang punya akses ke solusi alami, mereka ngga lagi sepenuhnya bergantung pada sistem kapitalis.
Tapi legalitas cannabis di beberapa negara ngga serta-merta mengubah semuanya. Justru, dalam banyak kasus, legalisasi malah menciptakan pasar baru yang dikuasai oleh korporasi besar. Petani kecil yang selama ini mengandalkan cannabis untuk hidup tetap terpinggirkan, sementara perusahaan farmasi yang punya modal besar menguasai pasar legal dengan produk premium berbasis cannabis yang harganya selangit. Jadi, meski cannabis legal, tetap saja yang mendapat untung besar adalah mereka yang sudah kaya, bukan orang biasa yang justru membutuhkan akses terjangkau.
Bukan Hanya Legalisasi
Kemunafikannya begitu jelas. penguasa malah mengkriminalisasi tanaman yang bisa memberikan sedikit kelegaan. Apa mereka benar-benar memikirkan kita?
Ironisnya, mereka yang berkuasa justru mendorong kita ke ambang batas, lalu menolak alat yang bisa membantu kita mundur sedikit dari jurang itu.
Legalisasi cannabis bukan hanya soal menghapus larangan, namun juga mengurai akar masalah yang lebih besar: kapitalisme, kemiskinan struktural, dan hukum yang ngga adil. Iya, legalisasi bisa jadi langkah pertama yang penting, tapi kita juga harus sadar bahwa ini hanya sebagian kecil dari perjuangan yang lebih besar. Kalau kontrol terhadap cannabis tetap ada di tangan elit dan korporasi besar, kita hanya akan melihat sistem baru yang lebih licik untuk mengeksploitasi rakyat, bukan sistem yang adil dan memberdayakan.
Legalitas cannabis harus dimaknai sebagai langkah menuju sesuatu yang lebih besar: pemberdayaan, akses yang adil, dan hak yang merata. Ini bukan hanya soal cannabis, tapi melawan sistem yang membuat orang miskin tetap terperangkap dalam lingkaran yang ngga adil, yang menghukum mereka hanya karena mereka mencoba untuk bertahan hidup. Ini juga tentang gimana sistem kesehatan yang dikendalikan oleh kapitalisme farmasi menjadikan kesehatan sebagai komoditas yang hanya dapat diakses oleh mereka yang mampu membeli, sementara banyak orang dipaksa mencari alternatif yang sering kali dianggap ilegal.
Cannabis menjadi simbol ketangguhan, bukti kebutuhan manusia akan kenyamanan dan ketenangan, sekaligus pengingat tentang gimana masyarakat sering gagal mendukung kita, namun kita tetap berjuang untuk menyembuhkan diri. Baik itu sebagai obat, momen rekreasi, atau cara untuk melarikan diri, cannabis adalah bentuk perlawanan sunyi dari dunia yang begitu brengsek ini.