“What is bigger picture, the bigger picture of the white man! Can you see that we are not all alike except to white eyes?” — Chimamanda Ngozi Adichie dalam Half of The Yellow Sun.

Saya senang dengan perkembangan feminisme yang semakin subur di Indonesia. Beberapa media daring pop mulai banyak memproduksi tulisan untuk membongkar tentang konstruksi gender yang muncul di sekeliling kita dan saya sangat menyukai atmosfer semakin banyak penulis tentang gender dan feminisme. Namun di satu sisi, feminisme harus selalu dikritisi karena selayaknya ilmu pengetahuan, feminisme butuh kritik untuk terus berkembang. Saya sangat terganggu dengan wacana terkini terkait feminis pascakolonial yang mengerdilkan wacana feminisme sebatas rasisme dan tuduhan anti kulit putih. Benar adanya bahwa feminis kulit hitam telah mengkritik dengan keras dan menghancurkan bangunan feminisme gelombang pertama dan kedua yang cenderung white-middleclass-centric. Tapi, ada banyak hal yang harus menjadi catatan. Saya dikejutkan dengan topik bahasan anti-kulit putih, teriak bule rasis tapi di satu sisi selalu mencari pasangan kulit putih. Setiap kali saya mau mengkritik hal ini, dialog ditutup dengan block (percakapan di media sosial). Buat saya, wacana feminisme pascakolonial di internet hari ini tidak membahas apalagi menyelesaikan masalah pascakolonialisme yang benar-benar terjadi. Menurut saya, analisis feminisme pascakolonial yang muncul cenderung berkembang dari para feminis yang egois dan diskursusnya terbatas pada apa yang merugikan dirinya secara personal saja. Padahal, analisis pascakolonial menuntut untuk terlibatnya variabel ekonomi, sosial dan politik internasional yang menyebabkan ketimpangan sosial yang hari ini terjadi. Esai ini ditulis untuk mengkritik dikursus pascakolonial dalam bahasan feminisme di Indonesia hari ini.

Kebangkitan Feminisme yang “Egois”?

Hari ini, pengarusutamaan gender menjadi salah satu agenda penting dalam pembangunan Indonesia. Walau kebijakan tersebut sudah muncul sejak pemerintahan presiden Abdurahman Wahid, penerapannya dalam pemerintahan masih pasang surut. Namun yang jelas, agenda tersebut terus diwacanakan. Selain itu, bahasan tentang feminisme juga sudah mulai menjadi dikursus yang ramai diperbincangkan baik pro maupun kontra. Kehadiran muslimat anti-feminis yang sudah didengungkan oleh kelompok HTI sejak 2015 dan kini gerakan konservatif dan reaksioner berkonsolidasi untuk menentang feminisme melalui gerakan seperti menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) melalui organisasi AILA. Gerakan menolak feminisme mendapat panggung seiring dengan arus feminisme yang menguat kembali di Indonesia pasca kejatuhan Soeharto. Dalam sebuah analisis yang diterbitkan The Conversation oleh Dyah Ayu Kartika misalnya, menjelaskan bahwa kelompok anti-feminisme bisa melenggang masuk parlemen akibat dari upaya para feminis yang memperjuangkan kenaikan komposisi perempuan dalam parlemen. Uniknya, perempuan-perempuan anti-feminisme yang masuk parlemen akibat feminisme menyuarakan tentang hak perempuan namun menolak total ide tentang feminisme dan kesetaraan gender yang dibawa oleh feminis.

Baik dikursus feminisme dan anti-feminisme keduanya bicara soal perempuan namun punya dasar definisi yang berbeda tentang perempuan. Jika kelompok feminis dalam RUU PKS mengajukan definisi perempuan sebagai individu dan warga negara, kelompok anti-feminis menggunakan definisi perempuan dengan asosiasi keluarga dan “mandat” biologis. Sebab itu pertentangan antara kelompok feminis dan anti-feminis adalah pada dasar definisi perempuan yang dimaksud menjadi individu vs bagian dari keluarga konservatif.

Konsep perempuan sebagai individu juga digunakan dalam dikursus di dalam komunitas-komunitas feminis sendiri. Ada berbagai kelompok-kelompok feminis yang rutin berdiskusi tentang feminisme baik daring maupun luring. Namun, sependek pengamatan saya dalam beberapa kelompok tersebut, analisis perempuan sebagai individu meleset menjadi perempuan sebagai individu egois karena tidak bisa berpikir masalah lain selain masalah dirinya sendiri.

Sebagian kelompok feminis pada hari ini sibuk bicara tentang identitas perempuan yang dibandingkan dengan lelaki semata. Kampanyenya sekedar merayakan perbedaan perempuan dan lelaki dengan argumen yang terbatas pada “saya” tapi tidak menganalisis masalah sosial ekonomi yang lebih luas. Dengan masuknya wacana pascakolonialisme, perilaku sebagian feminis—yang saya sebut egois—ini mengerdilkan wacana pascakolonialisme menjadi sekadar ekspresi budaya. Kemarahan akan ketimpangan personal sebagai perempuan heteroseksual yang mendamba kehidupan yang global. Contohnya adalah pertanyaan yang dimunculkan oleh sahabat saya dalam sebuah diskusi feminisme pascakolonialisme yang kami lakukan dalam komunitas.

Gw gak suka deh sama wajah gw, masa gw dibilang mirip Bule terus,” ujarnya.
“mengapa kamu enggak suka dibilang mirip bule?” tanya saya.

Saya mengharapkan jawaban darinya “bahwa kecantikan di Indonesia dikonstruksi oleh kapitalisme yang berkiblat pada negara-negara pemilik modal, sehingga menjadi cantik adalah berkulit putih dan hidung mancung membuat perempuan Indonesia terus menerus melakukan konsumsi untuk mencapai standar cantik tersebut

Tapi ternyata dia menjawab, “orang-orang memuji gw mirip bule karena bule cantik, gw capek dengan pikiran mengagung-agungkan kulit putih terus

Dia melihat permasalahan ketimpangan pada dirinya dan penampilannya, feminisme pascakolonial baginya bukan tentang ketimpangan ekonomi mengapa dirinya sebagai perempuan Indonesia tidak bisa jadi direktur di NGO internasional tempat dia bekerja. Dia bicara tentang penampilannya dan itu dia masukan dalam kritik pascakolonialisme. Selama feminisme bekerja dalam kerangka sempit dan memikirkan masalah personal tanpa menyertakan analisa yang lebih luas seperti kapitalisme, dikursus feminisme menjadi tumpul, dangkal dan reaksioner. Feminisme Indonesia menjadi sekadar merespons dikursus global dan menerapkannya mentah-mentah tanpa menelaah ke dalam dan ke belakang. Feminisme akan terus marah pada patriarki tapi tidak bisa menjelaskan tentang dari mana patriarki tersebut berasal. Lantas bagaimana cara menyelesaikan sesuatu yang kita tidak tahu mulai dari mana?

Kolonialisme dan Pascakolonialisme

Hal yang utama dalam membicarakan feminisme dan wacana pascakolonialisme adalah mengetahui letaknya dalam pohon pengetahuan. Dalam teori feminisme, feminis pascakolonial masuk dalam gelombang ketiga yang merupakan cabang dalam bidang wacana dan identitas budaya. Feminisme pascakolonial bergerak dalam ranah identitas sebagai alat perjuangan, tetapi (harusnya) tidak buta dalam penguasaan sejarah. Mengapa bahasannya disebut pascakolonialisme? karena wacana ini hendak memeriksa penindasan dan ketimpangan yang masih terjadi pasca gelombang kemerdekaan negara-bangsa pasca Perang Dunia ke-II.

Dalam wacana pascakolonialisme sebelumnya kita melacak tentang kolonialisme. Kolonialisme adalah sebuah sistem. Sebuah sistem yang di dalamnya terdapat feodalisme, rasisme dan imperialisme yang membuat sebuah negara-bangsa menderita secara terstruktur. Saya akan menggunakan analisa sejarawan untuk menganalisis tentang kolonialisme di Indonesia. Kami sejarawan historiografi telah bersepakat bahwa kolonialisme dimulai dengan imperialisme dan awet berkat feodalisme. Feodalisme adalah struktur pembagian kekuasaan terpusat antara kelompok bangsawan (awalnya berbentuk monarki).

Bentuk kerajaan-kerajaan dan pembedaan hierarki antar manusia berdasarkan darah keturunan menjadi penyokong munculnya Feodalisme. Feodalisme juga bisa berbentuk hubungan patron-client, seorang hamba dan majikan yang membuat majikan bisa terus mengeksploitasi si hamba dan hamba menganggap hal tersebut sebagai sebuah pengabdian. Kekuasaan kolonial di Nusantara awalnya berjalan direct-rule dan berubah pada akhir abad ke-18 menjadi indirect-rule dengan menggaji para bangsawan menjadi pegawai pemerintahan kolonial. Sebab, penduduk pada saat itu lebih menuruti pemimpin bangsanya yang berwarna kulit sama dan posisi jabatan lebih tinggi untuk diberikan hasil bumi (pajak) dan kerja paksa daripada kulit putih asing. Singkatnya, bangsawan menggunakan kekuasaannya untuk mengeksploitasi rakyat dan kolonial menggunakan posisi bangsawan untuk mengeruk keuntungan untuk negaranya. Novel karangan Mutatuli berjudul Max Havelaar yag dielu-elukan sebagai karya sastra menolak kolonialisme, mengkritik tentang praktek tanam paksa dan korupsi birokrat yang menyebabkan kelaparan dan kemiskinan di tanah jajahan.

Feodalisme seperti ini terus dipelihara dan tumbuh. Dan ketimpangan sosial akibat kolonialisme tidak saja dipelihara oleh kulit putih pemilik modal dari Eropa/Amerika, tapi terus berjaring dengan keluarga bangsawan dan para birokratnya di Indonesia. Dalam dikursus feminisme pascakolonialisme di Indonesia, kolonialisme diartikan sama dengan rasisme. Diskursus feminis pascakolonial menjadi sebatas kerugian hubungan romansa personal asimetris karena masalah warna kulit. Binaritas antara lelaki penjajah (kulit putih) berbanding dengan yang perempuan dijajah (berkulit coklat). Pemikiran sempit ini menihilkan upaya sejarawan yang menerangkan bahwa kolonialisme dan rasisme adalah dua hal yang berbeda. Dan mengkerdilkan analisis pos-kolonialisme tentang ketimpangan struktural sosial-ekonomi global

Isu pascakolonial berhubungan dengan sirkulasi ketimpangan ekonomi negara dijajah-terjajah. Seperti tambang semen di Kendeng, penderitaan kerusakan alam dialami oleh penduduk sekitar tetapi keuntungan dari eksploitasi alam dan penjualan semen masuk ke kantong pemilik saham PT HeidelbergCement, Jerman. Isu budaya yang harusnya jadi pascakolonialisme adalah menolak kebencian terhadap kelompok LGBT yang diwariskan oleh kolonial Belanda. Sebab, pascakolonialisme berarti mengecek sisa-sisa kolonialisme yang bercokol, penindasan yang masih berlangsung dan keuntungan ekonomi bagi suatu golongan. Tidak selalu berkulit putih karena pelaku kolonialisme bisa saja mereka para elite yang melanggengkan sistem.

Diskursus Feminisme Pascamodern dan Pascakolonialisme

Sayang seribu sayang, diskusi feminis pascakolonialisme di Indonesia sifatnya reaksioner akibat feminisme individual egois tersebut. Saya punya tiga catatan tentang dikursus feminisme di Indonesia. Pertama, sangat kerdil, dikursus pascakolonial menjadi terbatas pada masalah pribadi dan hubungan romansa yang heteronormatif. Kedua, kurangnya analisa mendalam seperti pendekatan ekonomi dan sirkulasi ketergantungan ekonomi negara bekas terjajah sebagai dampak dari kolonialisme dan terakhir. Ketiga, kurang menggali dari pengalaman gerakan feminisme terdahulu.

Pertama, kritik tentang anti-pemujaan terhadap kulit putih tidak salah. Namun dibutuhkan analisa mendalam mengapa kita menolak representasi kulit putih dalam segala hal. Dalam wacana pascakolonialisme, kulit putih memang menjadi entitas yang didambakan sekaligus dibenci. Beberapa komunitas feminisme yang menyatakan gerakannya bersumber dari semangat pascakolonialisme, isunya terbatas pada hubungan heteroseksual timpang antara lelaki kulit putih dan perempuan lokal. Jika memang bermain dalam kerangka identitas perempuan disandingkan dengan lelaki, dikursusnya sangat sempit karena identitasnya terbatas pada perempuan heteroseksual dan tidak melibatkan pengalaman yang lain seperti homoseksual yang juga sering mengalami scam/penipuan internasional yang tidak bisa melapor ke mana-mana karena identitas seksualnya.

Selain itu dikursus pascakolonialisme sebatas pertentangan Barat-Timur sudah lama usang dan tuduhan bahwa hanya kulit putih yang bisa menjajah dibantah habis oleh Frans Fanon, dalam White Skin in The Black Mask. Jika memang feminis pos kolonial mau bergerak dalam wacana pos-kolonial harusnya mulai bergerak dari akar (radikal) seperti epistemologi ilmu pengetahuan karena pembahasan tentang konstruksi pengetahuan dan terma-terma yang kita gunakan hari ini adalah warisan kolonial seperti yang diceritakan Ann Stoler dalam “Rethinking Colonial Categories: European Communities and the Boundaries of Rules”. Dengan memahami bahwa kolonialisme adalah sistem dan berbeda dengan rasisme, harusnya para feminis ini memahami bahwa apa yang dilakukan orang Indonesia di tanah Papua juga bisa dikatakan kolonialisme. Berpikir dalam binaritas antara penjajah-terjajah sudah lama usang dalam Feminisme dan kita menggunakan tubuh perempuan sebagai alam/bangsa adalah sebuah analogi, sebuah siasat dalam gerakan feminisme yang bukan untuk ditelan mentah-mentah melainkan sebuah kait supaya kita tertarik untuk mempelajari dan menganalisa lebih banyak tentang lapisan-lapisan penindasan terhadap perempuan dan sejarahnya.

Kedua, analisa pascakolonial ala feminis “egois” ini dangkal sebab tidak menyertakan analisa ekonomi dan sejarah Indonesia. Wacana pos kolonialisme adalah penjelasan budaya tentang apa yang terjadi hari ini. Mengapa kulit putih superior dan kulit berwarna dipandang universal. Mengapa sirkulasi ekonomi mengalir dan terpusat pada negara-negara bekas penjajah dan negara terjajah terus berada dalam kategori under development dengan kesenjangan ekonomi yang tinggi? Hal ini disangkutkan dengan melihat gambaran yang lebih besar: sirkulasi ekonomi kepada negara-negara bekas penjajah. Sehingga isu pascakolonialisme yang seharusnya muncul adalah tentang ketimpangan ekonomi, akses kerja dan lingkungan hidup. Bagaimana mungkin negara-negara di Eropa menikmati alamnya yang asri dan udara yang bersih sedangkan produksi bahan mentah dan ekstraksi yang menghasilkan banyak limbah, terus dilakukan di negara berkembang seperti Indonesia.

Poin terakhir sangat penting, adalah penguasaan sejarah Indonesia dalam pergerakan feminisme Sebab kemunculan feminisme/emansipasi terjadi pada masa awal pergerakan perempuan bersamaan dengan semangat anti-kolonialisme. Sehingga hanya perempuan bumiputera yang dicatat dan boleh ikut dalam gerakan perempuan nasional sementara perempuan Tionghoa, perempuan Indo, transpuan dan perempuan lain tidak diikut sertakan. Jika kita mau mengacu pada gelombang Feminisme Interseksional, kita harus mengakui eksklusivitas gerakan perempuan di masa awal dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Kita mulai menggandeng teman-teman kelompok perempuan Tionghoa, kelompok perempuan santri, kelompok perempuan Asia Barat, kelompok perempuan buruh pabrik, kelompok perempuan nelayan, perempuan lesbian dan Transpuan. Penyertaan berbagai identitas kelompok perempuan memperkaya dikursus feminisme sehingga wacana Feminisme di Indonesia nantinya tidak terbatas pada dirinya sendiri sebagai perempuan kota kelas menengah terdidik saja.

Penutup

Saya harap dengan esai ini kita mulai membuka diskusi pascakolonialisme dalam feminisme Indonesia yang lebih luas, tidak selalu tentang hubungan romansa heteroseksual dengan lelaki kulit putih yang dibenci sekaligus didambakan. Tidak sekadar penampilan dan masalah personal. Diskursus feminis pascakolonialisme seharusnya tidak menjadi diskusi reaksioner untuk merespons lingkungan global. Seperti harapan saya terhadap feminisme di Indonesia yang bisa beranjak dari masalah personal menuju pembongkaran sistem bernama patriarki yang lebih luas. Saya menolak sempitnya pemahaman pascakolonialisme sebatas slogan “dominasi kulit putih terhadap kulit berwarna”, karena bagaimanapun juga bukankah menggeneralisasi kulit berwarna sebagai sebuah entitas universal juga melanggengkan kolonialisme itu sendiri, bukan?

Daftar Pustaka

  • Bandel, Katrin 2016, Kajian Gender dalam Konteks Pasca Kolonial, Sanatha Dharma University Press.

  • Fanon, Franz 2017, Black Skin, White Masks (trans. by Charles Lam Markmann), Pluto Press.

  • Fachriansyah, Rizki 2019, “My body is not mine’: Indonesia Without Feminists group starts online campaign“, <www.thejakartapost.com without-feminists-group-starts-online-campaign.html diakses 10 Juli 2019.

  • Indrawan, Angga 2015,“Muslimah HTI Tolak Kesetaraan Gender“ <nasional.republika.co.id> diakses 10 Juli 2019.

  • Kartika, Dyah Ayu 2019, “An Anti-Feminist Wave In Indonesia’s Election?” <www.newmandala.org>diakses 10 Juli 2019.

  • Lomba, Annie 2016, Kolonialisme dan Poskolonialisme, Pustaka Narasi.

  • Putri, Perdana 2015, “Feminisme Itu Bukan Sekadar Pilihan Personal!“, <indoprogress.com> diakses 10 Juli 2019.

  • Said, Edward W 1979, Orientalism, Vintage Books Edition.

  • Stroler, Ann Laura 1989, “Rethinking Colonial Categories: European Communities and the Boundaries of Rule”, Comparative Studies in Society and History, Vol. 31, No. 1, pp. 134–161.