narcissus
Tiap Pemerkosa adalah Polisi Tanpa Lencana: Seks, Nafsu, dan Kekerasan (Bagian II)
Peringatan Konten: Pembahasan tentang Kekerasan Seksual, Pemaksaan Seksual, Kekerasan Seksual terhadap Anak, Pemaafan Pemerkosaan, Pedofilia (Non-Grafik)
Ini adalah lanjutan dari artikel sebelumnya. Untuk membaca Bagian I, klik disini.
Salah satu fitur dari ideologi pemaaf (apologist) pemerkosaan yang direspon oleh analisis feminis terkait pemerkosaan-sebagai-kuasa, adalah pemutarbalikan relasi kuasa antara korban dengan sang pemerkosa.
Dalam artikel sebelumnya, kita mendiskusikan bagaimana pembalikan ini dikonstruksi melalui pembingkaian korban sebagai pemangku “kuasa daya-tarik mereka.” Nafsu seksual, yang sama sekali tidak terceraikan dari kuasa, tertanam sebagai kepentingan terunggul dalam ekonomi kuasa patriarkis — khususnya nafsu seksual laki-laki cisgender dewasa. Nafsu seksual bahkan dapat berakar dalam wujud otoritas epistemik, dalam mana klaim-pengetahuan (tentang, misalkan, sifat keperempuanan para transpuan,) dapat diukur melalui tingkat kelayakan mereka untuk ditiduri, yang dinilai oleh subjek-penafsu (cisgender). “Ia (bukan) merupakan perempuan sungguhan karena saya (tidak) mau menidurinya.” Dalam kata lain, nafsu seksual bahkan terkadang diberi kekuatan untuk mendefinisikan realitas—dan mendistribusikan—makna gender terhadap tubuh itu sendiri dan fitur-fitur fisiologisnya. Allonormativitas,[1] seksualitas wajib, merupakan salah satu unsur sosio-kultural normatif yang tertanam dalam nafsu seksual itu sendiri diiringi berbagai wujud kekuasaan: khususnya kuasa untuk memproyeksikan makna seksual, erotis, dan gender seseorang pada tubuh orang lain.
Meskipun yang disebut-sebut sebagai kuasa untuk memikat dan menggoda diatribusikan pada sang objek nafsu, dalam kenyataannya, justru kode sosial dan seksual patriarki-lah yang terlibat dalam produksi dan konstruksi sosial dari (pola pemunculan) nafsu itu sendiri, yang dijadikan (atau dikatakan) sebagai pemantik atau justifikasi pelaksanaan kuasa seksual. Hal ini turut mencakup pola pemunculan nafsu yang memfetisisisasi[2] ragam tubuh yang telah ditorehkan tanda-tanda sosial akan kerentanan dan ketidakberdayaan, tanda-tanda akan ketersediaan untuk di-subjugasi, misal, tubuh anak-anak. Direduksinya subjek-subjek Lain (di luar subjek-penafsu) menjadi tubuh semata, lalu tubuh menjadi objek-nafsu yang bebas untuk dilecehkan, adalah proses objektifikasi berlapis ganda. Penghapusan epistemik atas subjektivitas objek-nafsu adalah dimensi intrinsik dari objektifikasi, yang berimplikasi bahwa pemaksaan seksual terhadap tubuh mereka menjadi terjustifikasi secara moril.
Hal lain yang terhubung erat, yaitu proses delegitimasi terhadap hak korban akan kedirian epistemiknya, proses penyangkalan kapasitas mereka untuk mengetahui dan berbicara serta bertindak sebagai saksi terpercaya tentang hidup dan tubuh mereka sendiri. Jika seorang korban — atau perempuan, atau anak-anak, atau individu trans — tidak mampu bertindak sebagai saksi terpercaya tentang “kebenaran” tubuh mereka sendiri, namun sang subjek-bernafsu, atas dasar nafsu mereka, dianggap memegang suatu otoritas epistemik, maka sang korban dapat menjadi objek berkali tiga: sebagai objek-nafsu, objek kekerasan, dan objek pengetahuan. Dalam konteks ini, salah satu cara di mana seorang korban pemerkosaan seringkali dibingkai sebagai “pemangku kuasa sebenarnya,” adalah melalui diskursus “tuduhan palsu.” Sebuah narasi (kontra-faktual) diproduksi dalam mana sang korban dibayangkan sebagai memegang kemampuan unik untuk melepaskan seluruh kuasa negara yang hebatnya atas sang pelaku kekerasan, untuk “menghancurkan hidupnya” atas satu “kekeliruan” semata, atau “miskomunikasi.” Kuasa untuk “menghukum” atau mengampuni. Sang pemerkosa diandaikan sebagai senantiasa bergantung pada kemurahan korban, sementara sang korban seringkali digambarkan sebagai “punitif, karseral,[3] pendendam, antagonistik,” dsb, apabila mereka tidak mengampuni dan menunjukkan belas kasihan yang secara implisit dianggap sebagai hak sang pemerkosa. Pengalaman terjebak di antara diskursus “tuduhan palsu” yang memposisikan mereka sebagai narator non-kredibel, dan diskursus “dendam punitif/pengampunan wajib” yang memposisikan mereka sebagai pihak yang melaksanakan kuasa paksaan atas sang pemerkosa, pastinya terasa familiar bagi korban manapun yang pernah mengalami kekerasan dalam konteks Kekristenan Evangelis. Misal, pertimbangkan pendeta Indiana yang memperkosa perempuan berusia enam belas tahun. Ketika dikonfrontasi oleh korban, ia mengaku, dan para jemaatnya bangkit untuk merangkul dirinya dengan belas kasih dan dukungan, dalam pelukan grup yang besar, menghindarkan sifat punitif kasar yang dianggap oleh ideologi Evangelis sebagai praktik “dunia (sekuler)” terhadap para pemerkosa. Gereja sendiri lanjut mencurahkan dukungan bagi sang pelaku dalam pernyataan yang menegaskan komitmen mereka untuk “menunjukkan dukungan, dorongan, bantuan dan pengampunan yang telah mendefinisikan jiwa kolektif dan kabinet lembaga ini.” Hal ini relatif tipikal bagi penanganan kekerasan dalam kultur Evangelis. (Tentu saja, hal ini juga familiar bagi banyak penyintas di lingkungan “radikal” dan “anarkis” yang telah dihadapkan pada ragam proses “keadilan restoratif” yang “secara radikal” membuahkan hasil yang sama dengan gereja-gereja Evangelis.)
Perempuan dan anak-anak secara umum (dan khususnya feminis) diimajinasikan sebagai pemangku kuasa non-akuntabel atas laki-laki cisgender secara umum — seorang perempuan (atau anak) cukup menuduhkan pemerkosaan untuk menghancurkan permanen seorang pria yang tak bersalah, dan seketika itu pun seperangkat kuasa legal dan sosial akan menimpa pria tersebut. (Sekali lagi, meskipun seorang pemerkosa dapat bergender apapun, dan orang dengan gender apapun dapat mengalami pemerkosaan, dalam cara berpikir patriarkis yang memproduksi naratif-naratif demikian, laki-laki cisgender-lah yang hampir senantiasa diimajinasikan sebagai prototipe “korban” dari “kepanikan moral” tak-terkendali dan “mentalitas perburuan penyihir” yang disebut-sebut menganugerahkan otoritas epistemik hebat ini pada kaum gender marginal dan anak-anak.)
Hal ini seringkali diajukan khususnya terkait “hubungan seksual” yang (seolah-olah) berada di bawah pengawasan hukum: seorang anak atau remaja yang memberi “konsen” untuk “berhubungan” dengan seorang pria dewasa digambarkan seakan memiliki akses istimewa terhadap kuasa dahsyat atas “pasangan” mereka, karena, jika mereka memiliki tendensi pendendam atau berkeinginan “menghukum” “pasangan” mereka, mereka cukup tinggal “menyalahkan sang pihak dewasa” atau “membongkar hubungan” untuk mengekspos sang pria tak berdaya terhadap persekusi hukum. Diskusi-diskusi ini memiliki paralel dengan berbagai teknik yang ditemukan dalam naratif supremasi kulit-putih, transfobik, dan homofobik. Misalkan, skenario dimana seorang profesor laki-laki kulit putih yang kaya dan ternama menganggap dirinya sebagai martir yang menghadapi risiko penangkapan dan persekusi lantaran menolak menggunakan pronomina seorang mahasiswa, atau menyebarkan “sains” “ras realis” yang “dibungkam” dan seterusnya: idenya yaitu bahwa mereka yang dimarginalisasi, dilainkan, dan ditindas (misal, mahasiswa muda, Kulit Hitam, trans, dan queer yang berada di bawah otoritasnya secara formal sekaligus juga dimarginalisasi secara struktural di bawah dominasi de facto-nya sebagai seorang laki-laki cisgender kulit putih di atas rantai makanan) memiliki kuasa untuk “menghancurkan hidupnya,” atas kekeliruan kecil atau tuduhan-tuduhan palsu imajiner. Begitu pula seorang pemaaf kekerasan yang menganggap dirinya sebagai seorang “revolusioner” yang menghadapi risiko penangkapan dan persekusi karena mengupayakan seks dengan anak-anak.
Sudah patut menjadi pengetahuan awam bahwa hal-hal di atas merupakan kebalikan realitas. Kenyataan atas perlakuan sistem hukum terhadap korban pemerkosaan dan kelompok yang dimarginalisasi telah terdokumentasi begitu ekstensif dan tak diragukan, sehingga sia-sia lah untuk merekapitulasi begitu banyaknya analisis yang dilahirkan dari pemikiran ini. Tapi belakangan ini begitu banyak golongan kiri, progresif, anarkis dan sejenisnya yang nampak telah bergeser cukup jauh ke arah kanan terkait (katanya) isu kekuasaan terlewat besar dalam sebuah tuduhan pemerkosaan, sehingga penting untuk menyatakan secara eksplisit: korban pemerkosaan, terutama anak-anak, dibungkam dan diragukan dalam tiap langkah mereka, dari keluarga mereka sendiri hingga mahkamah agung sialan, dan hal ini telah berlangsung beratus-ratus tahun, setua usia arsip pengadilan dan norma persidangan yang tercatat sejarah.[4]
Dalam keseluruhan kerangka tersebut, distribusi kuasa sesungguhnya dibalikkan dalam diskursus – sang korban pemerkosaan memegang kuasa seksual maupun punitif atas sang pemerkosa tak berdaya, yang lemah diliputi daya-tarik sang korban serta mati kutu dihadapan hukum; tingkat “kelayakan diperkosa” dalam individu gender marginal dan anak-anak (misal, daya-tarik seksual mereka dan kerentanan terhadap kekerasan seksual) menganugerahkan mereka suatu kuasa sosial dan legal yang dahsyat, untuk “menghancurkan hidup laki-laki” dengan, pada pokoknya, merusak reputasinya. (Kendatipun terdapat kontradiksi internal: dalam konteks demikian dimana seorang pemerkosa dipahami sebagai merebut kembali kuasa dari seseorang yang telah menyalahgunakan kuasa putatif mereka atasnya, adanya transfer kekuasaan dari sang korban ke sang pemerkosa patut diakui secara implisit.)
Pemerkosaan, ujar balik para feminis, tidak disebabkan oleh kelemahan dan ketidakberdayaan sang pemerkosa terhadap hebatnya nafsu seksual, sebagaimana dipaksakan oleh diskursus-diskursus maskulinis dan patriarkis sebelumnya, justru sebaliknya; pemerkosaan adalah ekspresi dari kehendak mengontrol dan mendominasi sekaligus kapasitas untuk mewujudkannya. Saya tidak mengartikan kapasitas disini sebagai kekuatan fisik, meski hal ini dapat menjadi faktor (namun, karena pemerkosaan sangat sering tidak diiringi kekerasan fisik, kekuatan fisik bisa jadi tidak berperan sama sekali); saya bermaksud bahwa sang pemerkosa selalu tahu secara implisit, bahkan jika mereka secara sadar memegang kepercayaan anti-feminis sebagaimana dideskripsikan di atas, bahwa mekanisme kuasa legal, sosial, dan gender sesungguhnya ada di sisi mereka, bukan sang korban. Kapasitas untuk memperkosa adalah sebuah kapasitas sosial, kapasitas struktural, bukan kapasitas inheren yang dimiliki suatu jenis tubuh atau individu tertentu. Kuasa untuk memperkosa terdistribusi secara timpang melalui pengorganisasian sosial patriarkis: laki-laki cisgender diberi prerogatif atas kekerasan seksual sebagai sebuah komponen dari teknik-teknik penguasaan yang dapat mereka akses, bagian dari apa yang Sayek Valencia sebut sebagai “nekropatriarki”:
“Saya memahami nekropatriarki sebagai privilese untuk mengerahkan teknik-teknik kekerasan nekropolitis yang dianugerahkan patriarki kepada figur-tubuh laki-laki individual (sebagai raja-raja kecil atas populasi di bawah kekuasaannya). Maka laki-laki memiliki, diantara privilese gender mereka, pengetahuan dan sosialisasi kultural atas penggunaan teknik-teknik nekropolitik, dan legitimasi penanganan serta penggunaan kekerasan sebagai teknik utama bagi penguasaan. Mereka [...] yang berperan sebagai eksekutor kekerasan, umumnya laki-laki cishet, bertindak sebagai pasukan bersenjata bagi sang ‘raja.’ Kejahatan mereka berlangsung diiringi impunitas, dan terdapat nihilnya keadilan yang kontinu bagi perempuan trans dan cis, begitu pula kelompok minoritas. Dikarenakan ras/etnis, seksualitas, dan kelas mereka, para pelaku memiliki monopoli atas teknik kematian, kekuasaan gender, kelas, ras, penyimpangan seksual, dan diversitas fungsional.”
Sayek Valencia, “NecroPolitics, Postmortem/Transmortem Politics, and Transfeminisms in the Sexual Economies of Death,” diterjemahkan oleh Olga Arnaiz Zhuravleva[5]
Mekanisme kuasa legal, sosial, dan gender seringkali (namun tidak konsisten) condong ke pihak pemerkosa bahkan ketika sang pemerkosa bukan seorang laki-laki cisgender kulit putih. Akses terhadap kuasa hukum atau kuasa narasi patriarkis memang secara signifikan kurang dapat diandalkan sebagai bemper bagi individu gender marginal, dan kalaupun tersedia seringkali wujudnya berbeda dari akses milik laki-laki cisgender. Kendatipun, diskursus budaya pemerkosaan sangat kuat dan hegemonik, dan tetap secara konsisten berkomplot untuk menjustifikasi dan membiarkan pemerkosaan dalam berbagai cara. Misal, dalam kasus guru perempuan cisgender yang memperkosa murid laki-laki di bawah umur, sang korban teramat dirugikan bahkan dalam hal sebatas mengartikulasikan (atau memahami) dirinya sebagai seorang korban. Ia mungkin “secara formal” diakui sebagai korban dalam konteks doktrin hukum (itupun jika pemerkosaan diketahui) namun asosiasi sifat korban hanya dapat berlangsung di luar birokrasi hukum dalam situasi-situasi tertentu. Ketika seorang Men’s Rights Activist[6] berniat menuduh para feminis berbohong terkait ketimpangan gender dalam distribusi kuasa pemerkosaan, ia dapat mengungkit sang murid laki-laki sebagai korban, namun di luar konteks tersebut sang korban tetap senantiasa dijebak dalam diskursus tergenderisasi yang mengonstruksikan tubuh perempuan cisgender sebagai tidak mampu memperkosa, sementara “tubuh laki-laki” sebagai senantiasa bernafsu seksual, senantiasa menyetujui, menginisiasi, berhasrat – sang perempuan yang memperkosanya ditempatkan dalam diskursus sebagai piala/hadiah dambaan yang “beruntung” bisa ia “dapatkan.” Disini dapat dilihat pula berat makna nafsu seksual, khususnya posisi subjek (ekuivalen) maskulin sebagai subjek-penafsu, dalam diskursus kuasa seksual. Kita juga dapat melihat bagaimana korban anak-anak lebih jauh lagi dari kekuasaan dibanding perempuan dewasa, bahkan ketika korban merupakan anak laki-laki. Bahkan, gender seorang korban anak yang berhadapan dengan pemerkosa dewasa nampak tak banyak berpengaruh pada (kenihilan) akses mereka untuk luput dari kekerasan fisik dan epistemik negara serta sistem hukum, yang bekerja sama dengan pemerkosa mereka.[7] Ataupun ketika seorang perempuan cisgender memperkosa seorang perempuan transgender, kuasa gender yang dipegang sang pemerkosa atas korban sangatlah manifes dan nyata, namun tersamarkan oleh diskursus yang membingkai tubuh perempuan cisgender sebagai tak mungkin dijadikan senjata pemerkosaan dan diskursus yang membingkai transpuan sebagai mengganggu atau mengancam keperempuanan cisgender, dan seterusnya.
Jadi secara keseluruhan, inilah arah argumen yang berusaha saya ajukan:
Setiap pemerkosaan (termasuk setiap interaksi seksual dewasa dengan anak-anak) mengukuhkan relasi dominasi dan subjugasi antara, secara minimum, sang pemerkosa dan sang korban. Namun setiap pemerkosaan juga berfungsi memproduksi dan mereproduksi sebuah relasi dominasi dan subjugasi masyarakat (secara prototipikal, melalui genderisasi paksa atas subjek-subjek yang terlibat serta seksualisasi tubuh), antara mereka yang memangku legitimasi sosial implisit maupun eksplisit dalam pelaksanaan teknik-teknik penguasaan (nekropatriarkis, kenegaraan, dsb) dengan mereka yang dikenai dan ditimpa teknik-teknik penguasaan demikian. Pemerkosaan adalah teknologi penindasan. Pemerkosaan adalah pernyataan keberhakan, dalam hal “menjadi pemilik suatu properti,” memegang titel hak atas tubuh seseorang. Pemerkosaan adalah relasi properti. Karenanya, ia memegang signifikasi khusus dalam hierarki dewasa-anak, yang terdefinisi secara karakteristik sebagai relasi properti, dalam mana anak-anak dikonfigurasi sebagai properti parental dan/atau objek pertukaran antar-subjek-dewasa, dalam hal pernikahan anak, persemburitan, atau praktik-praktik lain dimana seorang “pemilik” dewasa dapat memperizinkan akses seksual atau fisik terhadap tubuh anak di bawah penjagaannya kepada orang dewasa lain.[8]
Semua relasi kuasa antar kelompok atau kelas besar — misal, hubungan antara negara dengan warganya, atau kelas pemilik dengan kelas pekerja, dewasa dengan anak, laki-laki cisgender dengan perempuan, dsb. — harus disolidifikasi dan dipertahankan melalui akumulasi banyaknya teknik penguasaan dalam praktik-praktik rutin sehari-hari. Seluruh pelaksanaan teknik penguasaan ini selalu memiliki fungsi reifikasi bagi penindasan seluruh subjek yang terdampak. Inilah alasan mengapa semua polisi itu bajingan. Tiap polisi bertindak sebagai agen dan penegak monopoli negara atas kekerasan politis, selama mereka bertindak sebagai polisi, tak peduli jika mereka menyelamatkan kucing dari pohon, atau jika mereka mengaku-ngaku “takut akan bahaya keamanan,” misal, (mengaku) merasa tak berdaya atas keberlangsungan hidup mereka di hadapan “ancaman.”
Setiap pemerkosaan mengukuhkan dan menegakkan hierarki kekerasan yang mengalir — melalui mekanisme (nekro)patriarki, kapitalisme, dan negara, dan melalui pelaksanaan kuasa yang terang dan manifes — turun dari mereka yang memegang akses terhadap pelaksanaan kuasa atas tubuh-tubuh yang dimarginalisasi, dilainkan, dan ditindas. Setiap pemerkosaan terhitung praktik penindasan, terakumulasi dalam skala-besar menjadi budaya pemerkosaan atau patriarki. Karenanya patriarki adalah keseluruhan struktur kuasa, dari pendeta hingga polisi hingga prinsip peradilan “tak bersalah hingga terbukti sebaliknya,” yang memfasilitasi tiap individu pemerkosa untuk bebas melancarkan kuasanya atas tubuh korban. Fasilitasi kebebasan pelaksanaan kuasa sang pemerkosa tersebut nyata dan prevalen dalam tiap level negara; monopoli atas kuasa yang absah tidaklah digunakan untuk “menangkap pelaku pemerkosaan” atau “melindungi anak-anak,” namun untuk mengaburkan dan memutus akses korban terhadap wujud kuasa apapun, termasuk kuasa sistem keadilan untuk menangani dampak kekerasan. Dalam arti ini, setiap polisi adalah sekutu dan fasilitator pemerkosa, jika tidak merupakan pemerkosa itu sendiri (yang terbukti nyata, dengan rekor statistik yang mencengangkan).
Dan tiap pemerkosa, terlepas gender mereka sendiri maupun gender korban, selalu bertindak sebagai penegak garda depan, dalam artian absolut, bagi hierarki struktural atas tubuh, gender, seksualitas, nafsu, dan kuasa. Setiap pemerkosa bertindak dalam kapasitas “pasukan bersenjata bagi sang ‘raja’,” eksekutor kekerasan, yang bertindak dengan impunitas dan senantiasa lolos dari akuntabilitas, lantaran diskursus patriarkis tentang “daya-tarik sebagai kuasa,” “tuduhan palsu,” “kepanikan moral” “perburuan penyihir,” “dendam punitif/pengampunan wajib,” dan ragam diskusi tak berujung lainnya yang kian dan senantiasa melepaskan sang pemerkosa dari setiap dan semua upaya pertolongan dan keadilan bagi pihak mereka yang ditimpa oleh perwujudan kuasa seksual oleh sang pemerkosa. Karenanya, tiap pemerkosa bertindak dalam kapasitas seorang polisi.
Untuk memerangi seorang pemerkosa, dalam wujud apapun, ialah aksi insureksi melawan keseluruhan negara bajingan, oligarki kapitalis, dan patriarki.
Inilah arti dari “pemerkosaan” sebagai “perihal kuasa.”
– narcissus
[1] Allonormativity (allonormativitas) merupakan gagasan akan kesejatian ketertarikan seksual dan romantis, yang dianggap sebagai intrinsik dan pasti dimiliki semua manusia.
[2] Fetishization (fetisisasi) adalah proses dimana sesuatu/seseorang dipersepsikan sebagai objek-nafsu seksual berdasarkan sebuah (atau beberapa) aspek identitas mereka, terlepas dari agensi mereka sendiri.
[3] Karseralitas (carcerality) paling dekat didefinisikan sebagai sifat dan/atau ideologi penjara, secara luas berarti gagasan bahwa penyimpangan dan kesalahan patut ditindaklanjuti dengan menghukum individu yang bersangkutan.
[4] Lihat Suzanne Zeedyk & Fiona Raitt, (2000) “The Implicit Relation of Psychology and Law: Women and Syndrome Evidence”.
[5] Sayak Valencia (2019). Necropolitics, Postmortem/Transmortem Politics, and Transfeminisms in the Sexual Economies of Death, translated by Olga Arnaiz Zhuravleva, in TSQ: Transgender Studies Quarterly 6 (2). 180-193. Duke University Press.
[6] Men’s Rights Movement (MRM) adalah gerakan reaksioner anti-feminis yang menganggap advokasi hak dan perlindungan perempuan telah “kelewatan” dan menggerus kepentingan laki-laki. Hal ini mencakup isu-isu tuduhan pemerkosaan palsu, hak asuh anak, dan sebagainya.
[7] Zeedyk & Raitt (2000), passim.
[8] Saya teringat pada “Boys on their Contact With Men” (1987) oleh Theo Sandfort, dimana Sandfort yang merupakan advokat boy-love mewawancarai sejumlah anak laki-laki muda dalam (yang disebut) “hubungan seksual” dengan pria dewasa, dan ia dengan berhati-hati memastikan bahwa wawancara dilakukan atas persetujuan “pasangan” dewasa mereka. Bahkan, justru para pria dewasa tersebut yang meminta anak-anak itu untuk berpartisipasi dalam riset. Sejumlah pria tersebut juga mendapat izin dari orang tua anak laki-laki yang bersangkutan. Dalam hal ini, para orang tua memberikan para “pasangan” dewasa akses seksual pada anak mereka, dan para “pasangan” dewasa kemudian memberi Sandfort akses epistemik pada anak-anak itu, dengan rapi membangun skenario dimana para anak tak sesungguhnya bebas berbicara terbuka lantaran tahu bahwa ucapan mereka akan dilaporkan pada para pria, yang mereka tahu juga menyadari adanya wawancara tersebut. Dari perspektif “etika penelitian” semata, desain studi ini tak kepalang buruknya, dan dari perspektif anarkis yang mengasihi mereka yang tertindas, studi ini menyakitkan untuk dibaca. Para anak laki-laki tersebut terjebak antara tiga lapis pihak dewasa yang berkuasa atas mereka, semuanya saling mempraktikkan pengukuhan relasi mereka terhadap para anak sebagai relasi properti. Dengan tidak mengejutkan, Sandfort berulang kali menggambarkan para anak sebagai “pemangku kuasa sesungguhnya dalam hubungan,” termasuk dalam cara-cara naratif yang mengimajinasikan kuasa legal dan “kuasa daya-tarik” sebagaimana didiskusikan dalam esai ini dan sebelumnya.