Title: Seks, Nafsu, dan Kekerasan: Apa yang Dimaksud dari "Pemerkosaan adalah Perihal Kuasa"?
Authors: narcissus, voltage
Language: Bahasa Indonesia
Publication: Judith's Dagger
Date: April 4, 2023
Source: Retrieved on 24 Jan 2025 from https://immerautonom.noblogs.org/sex-desire-and-power/
Notes: Translated by voltage from https://immerautonom.noblogs.org/sex-desire-and-violence-ii/ with several annotations (explanations of terms/concepts lacking precise equivalent in Indonesian).

Peringatan Konten: Pembahasan tentang Kekerasan Seksual, Pemaksaan Seksual, Kekerasan Seksual terhadap Anak, Pemaafan Pemerkosaan, Pedofilia (Non-Grafik)

Akan Kawan-Kawan Kamar Yang Ganjil

Anda kemungkinan pernah mendengar seseorang menegaskan, “pemerkosaan bukan seks, pemerkosaan adalah kuasa” (“rape isn’t about sex, rape is about power.”) Atau variasinya yang terbilang reduktif: “pemerkosaan bukan perihal seks, pemerkosaan adalah perihal kuasa,” atau “pemerkosaan bukan perihal nafsu, melainkan perihal kuasa,” maupun ragam varian lain dari slogan anti-pemerkosaan klasik tersebut.

Harus saya akui bahwa slogan-slogan ini selalu terasa kurang pas bagi saya, atas alasan-alasan yang saya harap akan segera terjelaskan. Namun, baru-baru ini, saya berkali-kali melihatnya diutarakan dalam argumen yang mengkhawatirkan, khususnya bersamaan dengan pernyataan lain yang, sekilas, mirip: “kebanyakan orang yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak bukanlah ‘pedofil (sungguhan),’—bukan orang yang memiliki ‘ketertarikan pedofil’—melainkan, kekerasan seksual terhadap anak adalah ‘perihal kuasa.’” Misal, ambil contoh berikut:

n-s-narcissus-seks-nafsu-dan-kekerasan-id-1.png

Meski hal ini awalnya mungkin terlihat seperti persamaan rasional, kedua pernyataan tersebut lahir dari titik mula dan kerangka yang berbeda. Slogan-slogan seperti “pemerkosaan bukan perihal seks, pemerkosaan adalah perihal kuasa,” berawal dari aktivisme anti-pemerkosaan, mayoritas setidaknya lahir dari pemikiran feminis anti-pemerkosaan, tetapi klaim bahwa “kebanyakan pelaku kekerasan seksual terhadap anak bukanlah (katanya) pedofil sungguhan/kebanyakan pelaku kekerasan seksual terhadap anak tidak tertarik secara seksual pada anak-anak,” berakar langsung dari aliran yang secara historis sangat anti-trans, yaitu seksologi akademik, kajian yang secara intrinsik pun antagonistik terhadap feminisme, khususnya trans-feminisme, dan didirikan sebagai “bantahan” sistematis serta terlegitimasi secara akademis terhadap pengetahuan politik feminis tentang kekerasan seksual. Bahkan, tesis spesifik di atas, terkait pembedaan “pedofil sungguhan” dan “pelaku kekerasan seksual” yang bertindak secara oportunis, datang langsung[1] dari konsep ragam “tipologi” psikoseksual yang ganjil dan telah lama terpatahkan, gagasan Michael Seto, James Cantor, Ray Blanchard, dan seksologis lainnya yang terhubung dengan International Academy of Sex Researchers dan Clarke Institute of Mental Health. Meski tetap patut dibaca dalam konteks aslinya, tesis yang diajukan umumnya bukan bahwa kekerasan seksual terhadap anak adalah perihal kuasa, melainkan perihal “kejahatan karena kesempatan.”[2] Entah bagaimana, hal ini tampaknya telah terleburkan dengan slogan feminis di atas.

Keseluruhan sejarah panjang akan seksologis akademik dan kedekatannya dengan gerakan anti-feminis, transfobia, pemaafan (apologia) pemerkosaan dan kekerasan seksual,[3] gerakan Father’s Rights dan Men’s Rights,[4] serta hubungannya dengan berbagai organisasi dan individual yang menyediakan bantuan hukum bagi orang dewasa (umumnya laki-laki cisgender) yang dituduh sebagai pelaku kekerasan, maupun hubungan yang mencurigakan dengan (yang disebut) “Man-Boy Love Movement,”[5] berada jauh di luar cakupan esai ini. Begitu pula analisis mendetail atas permasalahan dari kerangka “parafilia” yang dihasilkan oleh pendekatan psikoseksual, yang akan memerlukan pembahasan terpisah. Bahkan klaim spesifik yang menarik perhatian saya: “kebanyakan pelaku kekerasan seksual terhadap anak-anak tidak tertarik secara seksual pada anak-anak” layaknya mendapat pembedahan sendiri. Harapannya saya dapat menuliskan analisis lanjutan bagi topik-topik tersebut di waktu depan. Untuk sementara, cukuplah saya jabarkan:

  1. Banyak alasan kuat untuk mencurigai, terutama sebagai anarkis, argumen apapun yang keluar dari lingkungan akademik tersebut tentang kekerasan seksual, kuasa, dan yang disebut “pedofilia.”

  2. Seksologi, yang berupaya memisahkan kekerasan seksual dari kekuasaan dan penindasan struktural dan memandang kekerasan seksual, paksaan, dan pelecehan melalui ilmu patologi psikis individual atau “kejahatan karena kesempatan” semata, secara hakiki berlawanan dengan semua kritik feminis atas budaya pemerkosaan.

Cukup ingat hal-hal tersebut jika di waktu lain anda menemui klaim serupa.

Meski demikian, saya terus-menerus melihat dua pernyataan berdampingan dari dua pandangan yang berlawanan kategoris ini: salah satunya menyatakan klaim pengetahuan seksologi yang pseudo-saintifik, trans-antagonistik, dan umumnya anti-feminis, sementara satu lainnya menyatakan klaim pengetahuan feminisme seks-positif dan aktivisme anti-pemerkosaan. Bagaimana bisa “pemerkosaan adalah perihal kuasa,” sebuah kritik feminis klasik atas budaya pemerkosaan, kian digaungkan dalam konteks yang begitu janggal dan kontradiktif? Lebih mencolok lagi, saya berulang kali melihat mereka yang menyebut diri sebagai “Orang Berketertarikan Anak,” (Minor Attracted Persons)—mereka yang mengidentifikasi diri sebagai pedofil—mempersenjatakan dalih ini untuk menidakkan kritik feminis akan budaya pemerkosaan seluruhnya, menggantinya dengan perspektif seksologi patologis-klinis.

Cakupan esai ini terbatas pada mengamati dan menyuarakan kritik feminis itu sendiri, dan bagaimana dalam pandangan saya, kritik tersebut tergerus seiring waktu menjadi sesuatu yang dapat disadur sebagai padanan berbagai kerangka ideologi yang dasarnya berseberangan dengan feminisme. Khususnya, membahas artikulasinya dalam argumen-argumen seperti di atas.

“Pemerkosaan Bukan Perihal Seks, Melainkan Perihal Kuasa”

Pertama-tama, slogan “pemerkosaan adalah perihal kuasa” diambil dari sanggahan khusus atas mitos bahwa orang (utamanya, laki-laki cisgender) melakukan pemerkosaan karena diliputi nafsu, “godaan,” atau bahkan kerupawanan korban sendiri, yang akan dibahas di bawah.

Maka dari itu, kritik feminis ini lebih akurat disusun menjadi:

“Pemerkosaan bukanlah kekalahan akan nafsu, melainkan pelaksanaan kuasa.”

Sebelum lanjut, saya patut memaparkan bahwa tidak ada satu “feminisme” monolitik, melainkan banyak aliran feminisme, yang tak selalu bersepakat. Meski benar bahwa sejumlah feminis (e.g., Susan Brownmiller dan Germaine Greer, TERF[6] terkenal yang mengaku sebagai penyemburit), terutama (tapi tidak hanya) feminis liberal seks-positif dan para choice feminist[7] libertarian awal tahun 80an, sungguh mendukung aliran harfiah yang mendefinisikan pemerkosaan sebatas sebagai tindak kekerasan dan bukan seksual, benar pula bahwa mereka telah mendapat kritik berat dari feminis-feminis lain, termasuk tapi tidak terbatas pada feminis Marxist, feminis sosialis, feminis Kulit Hitam dan Dunia Ketiga, trans-feminis, dan ya, feminis anarkis seperti kami.[8] Di samping kegagalan mereka menjawab pertanyaan jelas, “jika memang hanya soal kekerasan atau kekuasaan dan tak berhubungan dengan seks, mengapa ia tidak memukul korban saja?” (kekerasan fisik non-seksual, bagaimanapun juga, adalah sarana utama bagi pria cisgender dewasa untuk menyatakan kekuasaannya atas pria cisgender dewasa lain), tesis tersebut menyangkal realitas tak terhindarkan bahwa korban pemerkosaan—yang mayoritas adalah kaum gender termarjinalkan dan anak-anak—secara mayoritas (jika tidak selalu) mengalami pemerkosaan sebagai hal seksual. Dan para pelaku pemerkosaan, pun, sebagian besar (jika tidak selalu) mengalami pemerkosaan sebagai hal seksual—sebagai pencarian kepuasan seksual—terlepas juga mempersepsikannya sebagai kuasa (dan mereka dapat saja tak mengalaminya sebagai kuasa sama sekali, sebagaimana akan dijelaskan). Misal, Susan Brownmiller termasuk dalam golongan yang berargumen “pemerkosaan bukan perihal seks” dan berangkat dari sudut pandang bio-esensialis keras, yang meyakini “jenis kelamin biologis” dari anatomi manusia dan perilaku (hetero)seksual padanannya sebagai hal ontologis pra-sosial atau “alamiah”. Maka jenis kelamin dan seksualitas bertempat di luar dunia sosial dimana relasi kuasa terbentuk dan nyata; kuasa bersifat sosial, sementara seks bersifat anatomis, maka pemerkosaan (yang berkenaan dengan kuasa) pastilah bersifat sosial, namun seks(ualitas) bersifat biologis dan pra-sosial. (Kendati ia kemudian kurang-lebih mengkontradiksi pernyataannya sendiri, dengan menempatkan “kapasitas struktural untuk memperkosa” dan “kerentanan struktural terhadap pemerkosaan” dalam realitas “alamiah” dari anatomi manusia, sebuah pandangan yang kini populer di lingkungan TERF.)[9] Tentunya tidak semua feminis penganut pandangan ini merupakan bio-esensialis—banyak di antaranya bukan, dan kebanyakan cenderung menganggap dirinya terbuka terhadap para “transeksual” sebagaimana terminologi saat itu—namun, anda mungkin ingat juga akan klaim liberal yang populer bahwa “gender bersifat sosial namun seks bersifat biologis,” dan ada alasan kuat di baliknya. Justru pandangan demikianlah, saya duga, yang mendasari penerimaan progresif populer akan “pemerkosaan bukan perihal seks”; yaitu keinginan memposisikan “seks” dan “seksualitas” atau “nafsu seksual” di luar alam sosial dan karenanya di luar kuasa, dan pastinya di luar jangkauan kritik.

Di sisi lain, banyak dari mereka yang mengkritik apa yang disebut “deseksualisasi pemerkosaan,” seperti Monique Plaza, Winifred Woodhull, dan Teresa de Lauretis, mengambil perspektif sosial konstruksionis keras, memahami bahwa tidak hanya gender dan kuasa, tetapi juga yang disebut “jenis kelamin biologis” dan “seksualitas”, sesungguhnya bersifat sosial, dan karenanya terlibat dalam institusi dan ideologi kekuasaan patriarkis. Mereka berargumen bahwa memisahkan pemerkosaan dari alam “seks” dan menempatkannya secara eksklusif dalam alam “kekerasan,” mengizinkan seseorang secara teori menentang pemerkosaan tanpa perlu mempertanyakan institusi sosial (hetero)seksualitas dan kanon-kanon normatifnya. Mengklaim pemerkosaan sebagai “non-seks” menumpulkan kritik akan normativitas-cishet.[10] Akan hal ini, setidaknya, meski tentu tak seluruhnya,[11] saya setuju dengan para kritik. Saya berpandangan bahwa perpecahan ini, yang terjadi khususnya di tengah era perang seks feminis pada era ‘80- dan ‘90-an,[12] merupakan titik di mana pokok kritik dalam “pemerkosaan adalah perihal kuasa” mulai kehilangan daya, dan juga awal penyemaian benih-benih kooptasinya oleh para pendukung pemikiran anti-feminis eksplisit seperti seksologi.[13]

Terlepas hal tersebut, satu hal yang disepakati oleh para feminis “pemerkosaan bukanlah seks” dan para kritiknya adalah bahwa slogan tersebut dan argumen-argumen turunannya bermula sebagai perlawanan terhadap mitos patriarkis yang saya sebut di atas: bahwa pemerkosaan disebabkan oleh sang pelaku diliputi oleh nafsu. Dan mereka tentu sepakat atas kritik spesifik terkait mitos itu sendiri: “pemerkosaan bukanlah kekalahan akan nafsu, pemerkosaan adalah soal [pelaksanaan] kuasa.” Meski beberapa dari mereka sampai pada kesimpulan bahwa pemerkosaan adalah “non-seks” dengan pemisahan artifisial antara seks dan kuasa, mereka yang lain bersikeras bahwa, “alih-alih mengesampingkan masalah relasi antara seks dengan kuasa melalui penceraian antara keduanya dalam pikiran kita, kita perlu menganalisis mekanisme sosial, termasuk bahasa dan struktur konseptual, yang menalikan keduanya dalam budaya kita.”[14]

Persetujuan umum ini merujuk pada fakta bahwa kritik tersebut berakar dari jaringan kukuh antara para feminis yang memperlakukan seksualitas, nafsu, dan kuasa sebagai tak terpisahkan dan saling terkait dalam pelaksanaan dan pembentukan patriarki. Lebih penting lagi, pelaksanaan kuasa tak senantiasa perihal “merasa” berkuasa dan mendominasi. Sangat sering pelaksanaan kuasa tersebut secara subjektif diindra oleh sang pelaksana sebagai “netral.” Praktik-praktik kuasa seringkali diremehkan sebagai kejadian alamiah atau kodrat dari hal-hal, bukan sebagai pengalaman dominasi aktif yang dirasakan. Seseorang yang merasa berkuasa, merasakan sensasi kekuatan pribadi, tidak sama dengan seseorang yang sungguh-sungguh melaksanakan kuasanya atas tubuh orang lain. Baik dalam artian bahwa seseorang dapat merasa berkuasa meski tak memiliki akses terhadap kuasa material, dan juga dalam artian bahwa seseorang dapat merasa tak berkuasa selagi melaksanakan kuasa secara aktif.

Pikirkan BDSM: idealnya, BDSM meliputi pihak dominan merasakan sensasi kuasa selagi tidak sungguh-sungguh melaksanakan kontrol material-koersif apapun atas pihak submisif. Perasaan berkuasa dan melaksanakan atau memaksakan kuasa bukan hal yang sama.[15]

Karena, secara terus terang, kuasa bukanlah suatu perasaan.

Kuasa adalah kapasitas untuk menyatakan atau memaksakan kehendak anda. Khususnya kemampuan untuk memaksakan kehendak anda atas orang lain.

Kritik feminis pada mulanya timbul dalam konteks pergumulan ideologis khusus terkait natur seksualitas, nafsu, dan kekerasan seksual. Ia merupakan kontra-argumen akan klaim terkait natur pemerkosaan yang kurang lebih demikian: nafsu seksual dapat begitu hebatnya meliputi seseorang (umumnya laki-laki cisgender, secara tersurat maupun tersirat dalam pemikiran seorang pemaaf pemerkosaan) sehingga ia kehilangan kendali akan dirinya. Pemerkosaan, dalam pandangan ini, bukanlah pernyataan kekuasaan melainkan hasil dari kehilangan kuasa oleh pelaku sendiri, kehilangan kuasa atas tubuh mereka. Klaim ini membalikkan realitas pemerkosaan guna membingkai pelaku kekerasan sebagai bukan pelaku kekerasaan melainkan, dalam skenario terburuk pun, seorang laki-laki yang kalah oleh kelemahannya.

Tujuan kritik feminis mulanya adalah menolak gagasan bahwa para pemerkosa tak berdaya melawan nafsu mereka, mempertahankan bahwa para pemerkosa memiliki agensi penuh atas tindakan mereka dan kekerasan seksual bukan sebatas “kesilapan” individual atau “kehilangan kontrol,” melainkan manifestasi dan praktik kekuasaan struktural dan sistemik. Pentingnya, peran krusial dari pemerkosaan sebagai mekanisme operatif dari penindasan sistemik dan struktural berarti pemerkosaan tak dapat semata-mata menjadi perihal pengalaman pribadi seorang pemerkosa terkait kuasa, meskipun bagi beberapa individu pelaku pemerkosaan, pengalaman pribadi akan perasaan dominan dan berkuasa dapat menjadi komponen motivasi mereka. Ini berarti terlepas apakah seorang pelaku pemerkosa merasakan sensasi dominasi kuasa (yang bisa ya maupun tidak), tindakan perlakuan kekerasan seksual itu sendiri merupakan (1) pelaksanaan kuasa seksual, gender dan terwujud, (2) dimungkinkan melalui ragam wujud kuasa sistemik yang mendorong dan membolehkan kekerasan seksual dalam nuansa gender dan seksual, dan (3) sebuah mekanisme operatif sosial dari penindasan.

Suatu hal lain yang terhubung intim dengan ide bahwa pemerkosa hanyalah “diliputi nafsu”, adalah pola pikir terkhusus bahwa merasakan ketertarikan atau keinginan seksual terhadap seseorang memberi mereka kuasa atas anda. Arketipe seperti femme fatale, narasi “tipu daya feminin,” dan secara umum, gagasan bahwa kaum gender termarjinal (termasuk anak-anak!) dapat mempersenjatakan “daya tarik” (desirability) mereka untuk mengendalikan dan menguasai para target tak berdaya yang menginginkan mereka (sekali lagi, secara implisit dimengerti sebagai laki-laki cisgender, subjek “normatif” yang bernafsu.) Dalam konteks ini, kekerasan seksual terkadang digambarkan sebagai cara merebut “kembali” kuasa dari sang subjek berdaya-tarik, atau setidaknya sebagai konsekuensi dari “kuasa daya tarik” yang dimiliki sang individu.

Kita dapat melihat rasio ini dilancarkan sebagai pemaafan kekerasan dalam konteks seksualitas dan tindak-tindak seksual yang setidaknya seakan diharamkan secara sosial: seorang pria yang “berhubungan” dengan remaja atau anak kadang dibingkai oleh para pemaaf sebagai tak berdaya terhadap sang anak, bahwa anak itulah yang “memegang kuasa sebenarnya dalam hubungan,” lantaran ia, sebagai objek nafsu, dapat mudah mempergunakan daya tariknya untuk mengendalikan “pasangan”-nya. Jalan pikiran ini tentu muncul dalam tulisan-tulisan pemaaf “hubungan” demikian,[16] namun timbul pula dalam pandangan (katanya) objektif dan analitik dari para sejarawan, antropolog, sosiolog, dsb. akademik liberal, yang kemungkinan menganggap diri mereka sebagai penentang “kekerasan seksual” dan kemungkinan besar akan tersinggung ketika dipersamakan.[17] Intinya, hal ini merupakan gaya berpikir normatif, tak terbatas pada mereka yang dengan sadar menggalang “hubungan” anti-egalitarian demikian, namun meluas dan seringkali tanpa disadari. Inilah natur dari budaya pemerkosaan; ideologi ini adalah norma dalam masyarakat, bukan pengecualian. “Kuasa” putatif yang dipegang oleh objek nafsu ditarik dari status mereka sebagai “penjatah” atas seks yang begitu diinginkan oleh sang subjek-penafsu. Mereka dapat menolak atau menghadiahi, mereka dapat membujuk dan menggoda, dan seterusnya, namun pada akhirnya “kuasa” untuk memutuskan apakah seks akan terjadi, apakah mereka akan “memberi” seks pada sang subjek-penafsu, apakah mereka akan menyelamatkannya dari penderitaannya, berada dalam (katanya) genggaman mereka sepenuhnya.

Dalam pandangan ini, adalah kekuatan pribadi dari sang subjek-penafsu untuk menolak cengkeraman nafsu yang mencegah mereka melakukan kekerasan seksual. Dengan ini, baiklah kita pertimbangkan lagi klaim standar seksologis bahwa “…pelecehan seksual [terhadap anak] menjadi wajar ketika sebuah motivasi untuk mengejar kepuasan seksual bertemu dengan kontrol-diri rendah dan kesempatan[18] [Penekanan oleh saya], dengan pemahaman konteks yang telah didiskusikan. Karena seksologis berargumen bahwa mayoritas pelaku kekerasan seksual bukanlah yang disebut “pedofil sungguhan,” (tak tentu tertarik pada anak-anak)[19] kita dapat menyimpulkan bahwa “kesempatan” yang dimaksud, entah bagaimana, mengarahkan nafsu seksual pelaku (“motivasi untuk mengejar kepuasan seksual”) pada sang korban. Dalam kata lain, “kesempatan” disini secara tersirat berarti “godaan,” bukan keadaan acak semata: kesempatan itu sendirilah yang sesungguhnya menimbulkan nafsu terhadap suatu objek spesifik. Kerangka berpikir ini, bahwa kekerasan seksual “menjadi wajar/dapat diharapkan” ketika seorang subjek-penafsu (subjek dengan “motivasi untuk mengejar kepuasan seksual”) diliputi (karena rendahnya kontrol-diri) oleh godaan (kesempatan), adalah kebalikan persis dari kritik feminis dalam semua variasinya, bahkan slogan “pemerkosaan bukan perihal seks, pemerkosaan adalah perihal kuasa,” yang telah saya kritisi lantaran membuka pintu bagi upaya kooptasi. Hal ini justru mereproduksi mitos itu sendiri yang menjadi motivasi sanggahan bagi lahirnya slogan tersebut.

Namun ada pula bagian tersirat dari mitos ini: jika objek nafsu menjanjikan seks dan lalu tiba-tiba menolak, mempergunakan “daya tarik” mereka untuk “mengendalikan” sang subjek-penafsu tanpa pernah mau menghadiahi “kepatuhan” sang subjek dengan memberi akses seksual akan tubuh mereka, maka jika sang subjek-penafsu diliputi akan nafsu, kehilangan kontrol, dan lalu mengambil apa yang ditahan darinya, maka sang pelaku pemerkosaan-lah yang dianggap merebut kembali kuasa dari sang objek nafsu. Tindakan sang subjek-penafsu dianggap patut dimaklumi (karena mereka telah menjadi “korban” dari kendali “kejam” dan “mencengkeram”) dan pemerkosaan bahkan secara implisit dianggap layak dialami oleh korban (toh, sang objek-nafsu yang manipulatif seharusnya tahu mereka sedang bermain dengan api, kan?) Lebih lagi, saya hendak menekankan pada anda kata-kata “diliputi” dan “dikalahkan.” Sebutan ini, ketika digunakan untuk membingkai kekerasan seksual sebagai hasil dari “diliputi oleh nafsu” memposisikan sang pemerkosa sebagai pihak yang kehilangan kuasa melalui tindakan kekerasan seksual itu sendiri, seraya membingkai pemerkosaan sebagai manifestasi dari kuasa korban untuk memikat dan menggoda. Secara paradoks, pemerkosaan menjadi sarana bagi seorang penafsu tak berdaya untuk mengambil kembali kuasa dari objek-nafsu yang mengontrol mereka dengan menggugah nafsu dan sebagai suatu momen kelemahan pribadi bagi sang pemerkosa yang kehilangan semua kuasa atas tubuh mereka sendiri, dengan tak berdaya dikendalikan nafsu yang disebabkan sang korban.

Kritik feminis menolak keseluruhan pandangan ini dengan menegaskan bahwa kekerasan seksual adalah praktik seksual dalam pelaksanaan kuasa. Kerangka ideologi feminis memandang praktik seksual sebagai sebuah arena kritis bagi produksi peran gender, “tubuh berjenis kelamin” (ide bahwa tubuh menjadi “berjenis kelamin” atau diwarnai “perbedaan seksual” melalui diskursus dan melalui perwujudan praktik seksual pengukuhan-gender), dan kuasa itu sendiri.

Kritik feminis tersebut merupakan penolakan terhadap dikotomi palsu antara praktik seksual dengan pelaksanaan kuasa patriarkis. Hal ini sama sekali bukan tentang pemisahan eksklusif antara seksualitas/nafsu, dengan pelaksanaan kuasa. Justru terbilang persis kebalikannya. Ini tentang mengenali pemerkosaan baik sebagai ekspresi pokok dari seksualisasi patriarkis atas kuasa, SERTA sebagai sarana pokok untuk melabeli tubuh, seksualitas, dan nafsu dengan pemaknaan hirarkis ala stratifikasi-kuasa.

Pemerkosaan, dalam analisis feminis ini, adalah proses pembentukan gender patriarkis.

Ia adalah arketipe dan paradigma heteroseksualitas sebagai ideologi hegemonik (yang, harus diterangkan, BUKAN berarti “semua seks hetero adalah pemerkosaan.” Itu adalah argumen strawman, yang tidak cukup tempat untuk saya eksplorasi disini, namun tetap patut diantisipasi. Ideologi seksual hegemonik tidaklah sama dengan identitas seksual, dan meski seksualitas merupakan konstruksi sosial, individu tetap memiliki agensi untuk beroperasi dalam maupun berlawanan-dengan batas-batas institusi konstruksi sosial dalam cara-cara yang kompleks.)

Fenomena seperti pemerkosaan dalam penjara (yang, dalam pengalaman saya, sering diungkit sebagai contoh dimana laki-laki cishetero melakukan kekerasan seksual terhadap laki-laki lain sebagai pernyataan kekuasaan atas mereka, meski pemerkosaan dalam penjara tentunya tidak terbatas pada praktik oleh narapidana laki-laki cisgender) bukanlah bukti akan ketiadaan seksualitas dalam pemerkosaan, maupun bahwa kekerasan seksual “bukan perihal seks,” mereka justru merupakan contoh sangat jelas akan seksualisasi kuasa, dan praktik seks sebagai arena kritis bagi produksi kuasa. Korban pemerkosaan dalam penjara dimengerti sebagai “terdominasi” bukan hanya karena pemerkosanya telah memaksakan kekuasaannya atas sang korban—yang dapat dengan sama mudahnya ia lakukan dengan melukainya secara fisik—namun karena sang korban telah direndahkan ke dalam posisi seksual seorang perempuan atau anak dalam suatu ekonomi seksual yang patriarkis terkait kuasa, gender, nafsu, dominasi, dan subordinasi. Hal ini bukan hanya suatu wujud abstrak dari konsep “kuasa” yang netral-gender, netral-seksualitas, melainkan sebuah praktik seksual dari kekuasaan yang memaksakan genderisasi sang subjek (korban) dan seksualisasi tubuh, melalui pemaksaan seks pada tubuh. Pemerkosaan dalam penjara tidak membuktikan bahwa seksualitas dan kuasa adalah terpisah kategoris, melainkan kebalikannya: ia menunjukkan bahwa kuasa (yang khususnya bersifat gender) dilaksanakan dan dikonstruksi melalui praktik-praktik seksual yang dilakukan melalui dan pada tubuh.

Kritik feminis tersebut merupakan bantahan terhadap ragam cara penggambaran peran kuasa dalam kekerasan seksual. Sebuah bantahan baik terhadap dikotomi palsu yang mempresentasikan seks dan nafsu sebagai hakiki terpisah dari kuasa maupun gagasan bahwa kuasa dapat diproduksi oleh daya tarik seseorang.

Mengambil analisis feminis tersebut, yang begitu bergantung pada pemahaman akan seksualitas, nafsu, dan kuasa sebagai saling berkaitan dan membentuk, dan memelintirnya menjadi “pemerkosaan bukan seks, pemerkosaan bersifat non-seksual, terpisah dari seksualitas secara hakiki, dan hanya perihal ‘perasaan berkuasa’” sebenarnya mengacaukan argumen aslinya!

Memperlakukan seksualitas, nafsu, dan kuasa sebagai terpisah absolut, keberadaan kuasa sebagai menyiratkan nihilnya seksualitas atau nafsu, sesungguhnya merupakan kemunduran kembali menuju dikotomi palsu yang dibantah oleh kritik itu sendiri. Pemikiran patriarkis yang disanggah ini membayangkan bahwa keberadaan nafsu seksual meniadakan pelaksanaan kuasa: sang pelaku pemerkosa dianggap tak berdaya karena seksualitas dan nafsu. Secara otomatis, seorang subjek-penafsu hanya dapat menyatakan kuasa atas tubuh orang lain jika ia tidak merasakan nafsu seksual terhadap mereka. Tetapi apa yang saya amati berkali-kali, adalah bahwa (yang dahulunya) kritik feminis ini kian diputarbalikkan dan disalahgunakan untuk kembali pada dikotomi palsu tersebut, hanya saja melalui pendekatan sisi lain: untuk menyangkal seksualisasi pelaksanaan kuasa dalam patriarki.

Pemikiran Akhir: Pemerkosaan sebagai Seksualisasi Kuasa, atau Kuasa sebagai Aseksualisasi Pemerkosaan?

Terdapat sebuah tendensi diskursus menarik yang mulai terbentuk disini, yang menurut saya, meski jarang diartikulasi sebagai kepercayaan yang disadari: pemerkosaan dibingkai (umumnya secara tak disengaja) sebagai praktik kuasa yang secara intrinsik bersifat aseksual. Kuasa itu sendiri dibingkai sebagai kebalikan yang lawan absolut dan terpisah dari “seksual,” yang secara definitif, berada dalam ranah aseksual. Kuasa secara diskursif ditempatkan dengan aman di luar praktik-praktik seksualitas-wajib allonormatif,[20] sebagai deviasi yang “Dilainkan” terhadap alloseksualitas dan cara-cara alloseksual dalam memahami hasrat, berelasi terhadap konsep hasrat: kuasa, dalam kata lain, secara diskursif di-aseksualisasi-kan, dan secara implikatif, pemerkosaan juga, sebagaimana “kuasa tapi bukan seks,” merupakan wujud aseksualisasi.

Ini, sebetulnya, bukan hal yang baru. Ada tradisi panjang dalam, seperti dugaan, seksologi dan psikiatri akademik, (di antara berbagai disiplin lain), yang (1) mengabstraksi aseksualitas sebagai “represi” patologis atau hambatan perkembangan, yang secara hakiki tidak sehat, abnormal, dan kelainan, dan karenanya cenderung menghasilkan perilaku seksual tak sehat, abnormal, dan kelainan, termasuk kekerasan seksual terhadap orang dewasa dan anak-anak, serta (2) menjauhkan kekerasan seksual sejauh mungkin dari nafsu seksual (terutama nafsu laki-laki cisgender dewasa), dengan penggambaran kekerasan seksual sebagai konsekuensi dari pikiran yang sakit, hal asing yang berada di luar moda hasrat normatif. (Seperti misalnya, seksualitas yang terepresi, tidak sehat, dan kelainan!) Khususnya, ada preseden historis yang kuat bagi pembingkaian kekerasan seksual terhadap anak sebagai hasil dari perkembangan psikoseksual yang terhambat dalam mana seorang dewasa dianggap tersendat dalam tahap kembang “kekanak-kanakkan,” yang belum lengkap, termasuk tahap-tahap yang disebut sebagai “aseksualitas kanak-kanak” dan “homoseksualitas remaja.” Lebih lanjut terkait sejarah menarik ini, saya menyarankan bacaan “Crimes Against Children: sexual violence and legal culture in New York City, 1880-1960” oleh Stephen Robertson dan “Refusing Compulsory Sexuality” oleh Sherronda J. Brown, namun saya sendiri tidak aka mendalami seluruh sejarahnya sekarang. Saya menyebutkan ini secara umum untuk mengisyaratkan beberapa petunjuk yang mungkin terkait jenis-jenis bias dan prasangka terkait seks dan (a)seksualitas yang berperan dalam kerangka seksologi, yang kini kian dipersepsikan sebagai selaras dengan (pemahaman terbilang reduktif, terlampau simplistik tentang) kritik feminis akan pemerkosaan-sebagai-kuasa.

Patut dicatat, akhirnya, bahwa bersikeras tentang “pemerkosaan adalah perihal ‘merasa’ berkuasa dan dominan” sekali lagi sesungguhnya adalah pengukuhan terhadap gagasan bahwa pemerkosaan adalah buah proses psikologi individual (pandangan yang didukung oleh kerangka patologis dalam seksologi) alih-alih hasil dari kuasa sistemik dan struktural.

Saya hendak mengklarifikasi bahwa ketika saya menyinggung klaim seksologi sebagai problematik atau mencurigakan, saya sama sekali tidak menolak ide bahwa praktik kekuasaan adalah jantung dari kekerasan seksual terhadap anak. Justru, saya menolak bahwa kekerasan seksual terhadap anak adalah selalu perihal perasaan berkuasa, perihal memiliki pengalaman subjektif akan kuasa, atau bahwa kekerasan seksual terhadap anak bersifat utama oportunistik dan tak ada hubungannya dengan memiliki ketertarikan seksual terhadap anak-anak. Saya menolak dikotomi palsu antara mereka yang dikatakan memiliki “ketertarikan pada anak” intrinsik atau patologis yang berada di luar kendali mereka, dan mereka yang mencabuli anak-anak murni karena “oportunisme” tetapi (katanya) tidak memiliki “ketertarikan pada anak,” gagasan bahwa “pedofilia” merupakan dorongan atau hasrat mewalahkan bagi sang subjek-penafsu yang tak berdaya untuk menolak, bahkan jika mereka cukup kuat untuk “melawan” dorongan untuk “bertindak.” Rangkaian ide ini, jika belum jelas, nampak pasti menjurus pada pandangan bahwa nafsu seksual adalah kekuatan tak terkendali, natural, pra-sosial atau non-sosial yang berada di luar rezim kekuasaan, dan bahwa seorang subjek-penafsu hanya dapat (antara) cukup kuat menolak atau diliputi olehnya—pandangan sama yang didiskusikan di atas sebagai bagian dari jaringan cara berpikir patriarkis yang berkonspirasi untuk menjustifikasi dan membela budaya pemerkosaan. Suatu hari, saya berharap dapat menuliskan kritik yang lebih komprehensif.

Untuk sementara: benarlah halnya bahwa pemerkosa individual manapun (terlepas korbannya merupakan orang dewasa atau anak-anak) bisa jadi maupun tidak termotivasi oleh pengejaran pribadi atas perasaan kuasa subjektif atas korban yang inferior, namun bukan hal inilah yang dimaksud analisis feminis bahwa pemerkosaan adalah perihal kuasa.

Yang dimaksud yaitu bahwa pemerkosaan adalah pelaksanaan kuasa material dan manifes. Pemerkosaan adalah sebuah mekanisme penindasan operatif, pada tahap intra-personal dan struktural. Bahwa kuasa bukanlah murni dirasakan secara individual atau pribadi, meski (tentunya) berfungsi dalam tahap intra-personal juga: alih-alih, pemerkosaan adalah fungsi dari kuasa struktural dan sistemik. Sama halnya dengan kekerasan seksual terhadap anak: ia adalah fungsi dari kuasa struktural dan sistemik. Begitu pula nafsu seksual terhadap anak-anak. Hal-hal ini tak dapat dipisahkan secara sungguh-sungguh dalam pengertian yang diupayakan oleh para seksologis.

Mengganggu pasangan anda berulang kali untuk seks, bahkan setelah mereka berkata tidak? Itu tetap merupakan pelaksanaan kuasa yang bersifat gender, seksual, dan manifes, bahkan jika kecil kemungkinan bagi kebanyakan orang yang melakukannya untuk menganggapnya sebagai keperkasaan pribadi. Banyak dari mereka yang melakukan hal ini kemungkinan berpikir bahwa pasangan mereka-lah yang “memegang kuasa sebenarnya,” karena pasangan mereka “membatasi” seks yang begitu mereka inginkan.

Orang yang melakukan hal tersebut kemungkinan termotivasi utamanya oleh nafsu seksual, namun apa yang mereka lakukan bagaimanapun juga tetaplah pemaksaan seksual—penerapan kuasa koersif—terlepas bagaimana perasaan subjektif mereka tentang alasannya. Mereka memilih untuk bertindak dalam cara yang mengekspresikan perasaan berhak mereka akan kepemilikan de facto atas tubuh orang lain. Mereka bukan memilih untuk berpartisipasi dalam praktik pemaksaan ini karena mereka semata-mata begitu diliputi kuasa nafsu mereka dan tak bisa mengendalikan diri, begitu pula nafsu seksual mereka bukan sepenuhnya terceraikan dari persepsi khusus tentang kepemilikan seksual jasmaniah yang mereka ekspresikan. Apa yang mereka lakukan adalah upaya memaksakan hak mereka untuk dipenuhi nafsu seksualnya melalui subordinasi otonomi pasangan mereka di bawah nafsu mereka. Mereka tengah mengerahkan kapasitas mereka untuk memaksakan kehendak.

Dan itulah inti sesungguhnya dari kritik feminis yang dimaksud.

– narcissus


[1] EDIT: patut dilakukan perbaikan minor. Sejak penulisan, saya menemukan bahwa klaim tersebut muncul jauh sebelumnya dalam sejarah seksologi, setidaknya pada masa John Money dan Richard Green tahun 1960-an, namun kemungkinan lebih awal lagi, sejak pengembangan “pedofil” sendiri sebagai kategori psikoseksual/patologis. Seksologis yang berfokus pada kajian “tipologi seksual” dan model parafilia, seperti Seto, Cantor, Blanchard, J. Michael Bailey, Kenneth Zucker, dll, sarat dipengaruhi pemikiran-pemikiran awal tersebut, serta merupakan kolega dan kolaborator seksologis seperti Richard Green, yang mendirikan jurnal Archives of Sexual Behavior, dengan Kenneth Zucker sebagai ketua redaksi. Kendatipun, kebanyakan “bukti” kontemporer dari klaim ini yang umum dirujuk, diambil dari karya Seto, Cantor, Blanchard, dan rekan-rekan mereka. Lihat, misal, Blanchard yang mengutip Michael Seto sebagai sumber otoritatif bagi argumennya.

[2] Misal, lihat Seto, Michael (2018) Pedophilia and Sexual Offending Against Children: Theory, Assessment, and Intervention, 2nd Ed., passim.

[3] Sebagian sejarah ini relatif ditinjau baik dalam Goode, Sarah D. (2011). Paedophiles in Society: Reflecting on Sexuality, Abuse and Hope. Namun alangkah baiknya sumber ini dibaca dengan hati-hati dan kritis, lantaran sejumlah kelemahannya dalam analisis, pendekatan, dan penggunaan sumber.

[4] Men’s Rights Movement (MRM) adalah gerakan reaksioner anti-feminis yang menganggap advokasi hak dan perlindungan perempuan telah “kelewatan” dan menggerus kepentingan laki-laki. Hal ini mencakup isu-isu tuduhan pemerkosaan palsu, hak asuh anak, dan sebagainya.

[5] Salah satu contohnya, seksologis seperti Theo Sandfort (yang terafiliasi dengan tim redaksi Archives of Sexual Behavior, jurnal yang dikelola International Academy of Sex Researchers), telah berulang kali berkontribusi dalam tulisan-tulisan terkait tentang “Man-Boy Love” dengan aktivis “Emansipasi Pedofil” seperti Edward Brongersma, dan bahkan menjabat redaksi jurnal pseudo-akademik pro-“pedofilia” seperti Paidika: the Journal of Pedophilia. Brongersma dan para aktivis “Man-Boy Love” lainnya masih kian dikutip sebagai sumber kredibel oleh seksologis kontemporer seperti Michael Seto.

[6] TERF (Trans-exclusionary radical feminist) merujuk pada para “feminis” yang menentang keabsahan dan perlindungan identitas transgender, dan mendasarkan teori feminisme mereka (terutama konsepsi “perempuan” itu sendiri) pada kesejatian jenis kelamin.

[7] Choice feminism merupakan aliran yang mendefinisikan feminisme sebagai kesetaraan dan kebebasan hak perempuan untuk mengambil “pilihan” secara individual.

[8] Untuk beberapa contoh kritik demikian, lihat sanggahan tajam dan cemerlang atas Foucault oleh Monique Plaza: Plaza, M. (1980). Our damages and their compensation. Feminist Perspectives on The Past and Present Advisory Editorial Board, 183., dan Lauretis, T. D. (1989). The violence of rhetoric: Considerations on gender and Representation. The Violence of Representation: Literature and the violence of Literature, Routledge, London.

[9] Untuk kritik terhadap Brownmiller, lihat Woodhull, W. (1988). Sexuality, power, and the question of rape. Feminism and Foucault: Reflections on resistance, 167-76.

[10] Cisheteronormativity (diterjemahkan disini sebagai normativitas-cishet) merujuk pada manifestasi patriarki cishet melalui naturalisasi, dimana dinamika sosial cisgender dan heteroseksual dijadikan dan dianggap sebagai standar “normal”, titik mula alamiah, maupun sudut pandang ter-absah dalam masyarakat.

[11] Salah satu kritik paling lantang adalah Catherine MacKinnon. Kritik sosial konstruksionis-nya akan “pemerkosaan bukanlah seks” dalam Toward a Feminist Theory of the State berwawasan dan kuat, namun kelemahan dalam analisisnya yang lebih luas menjadi kian terang dalam aktivisme-nya kini yang pro-penjara dan negara terkait perlawanan akan pornografi.

[12] Untuk ringkasan dari beberapa “perang seks” awal dari perspektif kontemporer kala itu, lihat Ferguson, A. (1984). Sex war: The debate between radical and libertarian feminists. Signs: journal of women in culture and society, 10(1), 106-112.

[13] Bahkan, teori “lingkaran pesona” (charmed circle) oleh Gayle Rubin, yang begitu berpengaruh dalam tahun-tahun berikutnya, terinspirasi kuat oleh seksologi akademik liberal. Rubin, menyadur dari seksologi dan Foucault, (sepasang kawan kamar yang aneh bagi siapapun yang familiar akan opini asam Foucault tentang “ilmu sains seksual,”) berargumen bahwa “seksualitas” dan “gender” harus dipisah ke dalam alam analisis yang berbeda, dan karenanya “penindasan gender” terpisah dari “penindasan seksual.” Ini tak terelakkan adalah pergerakan menuju “gender bersifat sosial, namun seks/jenis kelamin bersifat biologis,” kerangka liberal yang dikritisi dengan berat oleh para transfeminis—dapat diargumentasikan ini merupakan dorongan fundamental ke arah tersebut. Tentunya banyak yang dapat didiskusikan terkait pengaruh Rubin terhadap feminisme populer dan pengaruh seksologi yang ia panuti, namun hal ini berada di luar lingkup esai. Untuk kritik akan Rubin sekaligus MacKinnon, lihat Valverde, M. (1989). Beyond gender dangers and private pleasures: Theory and ethics in the sex debates. Feminist Studies, 15(2), 237-254.

[14] Woodhull, (1988). Sexuality, power, and the question of rape, 171.

[15] BDSM menjadi titik perselisihan dalam perang seks feminis persisnya karena teori-teori feminis yang berseberangan terkait kuasa; dalam topik ini, saya mengambil sisi feminisme seks-positif, namun sekali lagi, kritik menyeluruh akan ragam perdebatan perang seks tentang BDSM berada di luar cakupan esai ini.

[16] Misalkan, sekali lagi dalam kutipan demikian dari seksologis Theo Sandfort dalam Boy’s On Their Contacts with Men: a Study of Sexually Expressed Friendships (1985): “... dapat dilihat bahwa sang anak laki-laki menyadari bahwa ia bisa membatasi seks bagi pasangannya dan menggunakannya sebagai alat kuasa.” (hlm. 95, penekanan oleh saya)

[17] Misalkan, lihat kutipan seperti dari arkeolog klasik Judith Barringer dalam The Hunt Ancient Greece (2001), mendeskripsikan praktik persemburitaan Athena Kuno sebagai “... sebuah pertukaran kuasa terombang-ambing antara sang erastês yang lebih tua, yang memegang status sosial, dengan sang erômenos, yang, dikarenakan nafsu yang ia timbulkan bagi sang erastês, memegang kuasa.” (hlm. 70, penekanan oleh saya)

[18] Seto, Michael. (2018). “Pedophilia and Sexual Offending Against Children: Theory, Assessment, and Intervention.” 2nd Ed. hlm. 86.

[19] Kami secara teknis bersetuju, hanya atas alasan yang sangat berbeda—kita menolak model parafilia sepenuhnya dan, dengannya, gagasan adanya serangkaian “kronofilia,” termasuk pedofilia, efebofilia, dsb, yang disebut-sebut sebagai biologis/intrinsik bagi mereka yang ditetapkan laki-laki saat lahir, variasi seksual yang dianggap penyakit jinak, hingga penyimpangan seksual yang diproduksi oleh abnormalitas psikoseksual (ketiganya merupakan klaim yang telah digagas oleh para seksologis). Tidak ada “pedofil sungguhan” dalam pengertian umum, dan justru merupakan konstruksi sosial, karena seksualitas dan nafsu keduanya bersifat sosial, bukan biologis atau pra-sosial. Untuk analisis lebih dalam akan bagaimana nafsu seksual menjadi diarahkan pada anak-anak, lihat Liddle, A. M. (1993). Gender, desire and child sexual abuse: Accounting for the male majority. Theory, Culture & Society, 10(4), 103-126.

[20] Allonormativity (allonormativitas) merupakan gagasan akan kesejatian ketertarikan seksual dan romantis, yang dianggap sebagai intrinsik dan pasti dimiliki semua manusia.