Adalah Carmelita Torres – seorang pekerja rumah tangga – wanita muda berusia 17 tahun yang berasal dari Cihuahua City, Meksiko. Ia tinggal di juarez, sebuah kota di bagian utara Meksiko. Setiap harinya ia harus menyeberang dari Juarez ke El Paso, Texas untuk membersihkan rumah majikannya di AS. Tak dinyana, wanita muda ini yang kemudian dijuluki sebagai “Latina Rosa Parks” oleh dunia.

Semua berawal ketika wabah penyakit tifus menyerang tahun 1916 di Los Angeles dan dipicu oleh stereotip “orang Meksiko yang kotor”, pemerintah AS meluncurkan kebijakan karantina (de-lousing) di sepanjang perbatasan selatannya. Kebijakan ini menetapkan bahwa untuk memasuki Amerika Serikat, orang Meksiko akan ditelanjangi secara paksa dan dimandikan dengan bahan kimia beracun, termasuk minyak tanah dan zyklon B, pakaian mereka di masukkan ke dalam mesin uap raksasa dengan bahan bahan kimia berbahaya, serta kelompok laki-laki harus dicukur paksa untuk membersihkan tubuh mereka dari kutu yang menjadi penyebab wabah. Sialnya, para petugas AS yang melakukan inspeksi diam-diam memotret wanita yang mereka telanjangi dan menempelkannya di tembok-tembok kantin lokal. Tidak hanya itu, beberapa migran diantaranya di bakar di penjara El Paso setelah dimandikan dengan minyak tanah di perbatasan, sebuah peristiwa yang dikenal di daerah itu sebagai penjara holocaust AS.

Tragedi ini pun sampai ke telinga Carmelita Torres. Pada tanggal 28 Januari 1917, pukul 07.30 pagi ketika Carmelita mendekati perbatasan untuk menjalankan rutinitas hariannya, ia diminta untuk menjalankan protokol perbatasan, namun ia menolak untuk ditelanjangi dan disiram dengan gas beracun, seperti yang diwajibkan bagi orang-orang Meksiko lainnya. Alih-alih patuh, sebaliknya ia berhasil mengagitasi 30 wanita lainnya untuk bergabung dengannya dalam pembangkangan tersebut. Satu jam kemudian, hampir 200 lebih wanita bergabung dalam aksi mereka. Pada siang harinya, ribuan orang berdemonstrasi di perbatasan. Massa melemparkan botol dan batu ke arah petugas polisi sambil meneriaki mereka. Para demonstran memblokir lalu lintas ke El Paso. Beberapa orang bahkan berbaring di rel di depan gerbong kereta untuk membuat blokade. Bersama-sama, kelompok ini berhasil menutup perbatasan selama dua hari.

Sayangnya, terlepas dari ekspresi kemuakan dan kemarahan para migran atas penganiayaan brutal tersebut, pemberontakan dapat dipadamkan. Carmelita di tangkap dan dipenjarakan. Beberapa laki-laki bahkan di eksekusi di depan umum. Dan para sejarawan Amerika tidak tau lagi apa yang menimpa Carmelita Torres setelah dia dipenjara. Seperti yang dikatakan salah satu artikel, “kami telah kehilangan setiap jejaknya”.

Namun hal terpenting adalah sebuh sejarah perlawanan lahir kala itu. Carmelita Torres, seorang wanita muda pemberani memahami betul bahwa protokol perbatasan itu bukan hanya tentang tifus dan kutu, tetapi bagian dari pola penindasan yang lebih besar. Dia disebut sebagai penghasut, provokator, pemberontak. Tapi dia hanya seorang wanita muda yang muak dengan ketidakadilan dan penghinaan yang dialami manusia.Sebuah protes yang kemudian di kenal dengan sebutan “The Bath Riot’s”. Seorang jurnalis Amerika John Carlos Frey mengabadikan kisah Carmelita Torres dalam bukunya berjudul “Sand and Blood” – sebuah buku yang menggambarkan sejarah perbatasan AS-Meskiko.

Paska itu, meskipun protes kecil-kecilan tetap ada, namun kebijakan karantina perbatasan (de-lousing) tetap berlaku hingga 40 tahun kemudian.