Peter Marshall
Leo Tolstoy: Sang Pangeran Kedamaian
bahwa pemerintahan manusia oleh manusia adalah penindasan, dan bahwa berpadunya tatanan dan anarki adalah bentuk tertinggi masyarakat.
Tolstoy merasa tak nyaman disebut anarkis. Maklum, makna populer anarki selalu dikaitkan dengan kekerasan. Kendati begitu, dia termasuk pemikir anarkis terbesar karena pembelaannya akan kebebasan yang amat elok dan masuk akal. Seperti Bakunin, Tolstoy berasal dari kalangan aristokrat Rusia. Bedanya, Tolstoy menolak keras panggilan revolusi kekerasan. Politik Tolstoy tidak mungkin terlepas dari pandangan-pandangan moralnya yang didasarkan pada versi non-ortodoks dari agama Kristen. Dia tampil sebagai pengritik tajam kecurangan pemerintah, imoralitas patriotisme dan bahaya milititerisme. Dia tidak hanya berupaya hidup menurut prinsip-prinsipnya — betapa pun tidak berhasilnya – tapi juga anarkisme-relijiusnya melahirkan banyak komunitas pengikut Tolstoy (kaum Tolstoyan). Demikianlah, Tolstoy menggoreskan pengaruh utama yang membentuk filsafat non-kekerasan Gandhi dan berlanjut mengilhami kalangan luas pasifis libertarian.
Disimak sepintas, Leo Tolstoy sepertinya mustahil tampil sebagai salah seorang anarkis yang paling tidak kompromis. Lahir pada 1828 di perkebunan milik keluarga Yasnaya Polyana di daerah Tula, dia anak ketiga dari lima bersaudara. Ayahnya, Pangeran Nikolai, adalah veteran dalam kampanye menentang Napoleon pada 1812. Tolstoy menjadi anak yatim-piatu ketika masih sangat kecil : ibunya meninggal ketika dia belum genap berusia dua tahun, lalu menyusul ayahnya meninggal saat dia berusia sembilan. Dia dibesarkan oleh seorang bibi tua yang saleh, yang amat memperhatikan kesejahteraan spiritual kaum miskin. Toh itu semua tak menghalanginya menikmati masa kecil yang bahagia. Ayahnya tidak pernah menjatuhkan hukuman fisik dan ia tekun mengajari sang Leo muda untuk bersikap sopan kepada para pelayan.
Atmosfir rumah yang tercerahkan mendorong timbulnya mimpi-mimpi utopis anak-anak. Permainan yang paling disukai Tolstoy ditemukan oleh kakaknya, Nikolai, yang merasa telah menyingkap rahasia besar yang ia tulis di atas sepotong kayu hijau di hutan terdekat. Mereka percaya benda itu bakal membahagiakan umat manusia; tidak akan ada lagi penyakit, kesengsaraan, kemarahan dan semua orang akan saling mencintai satu sama lain. Manusia akan terjalin dalam “persaudaraan semut” : relasi yang merujuk bukan pada koloni hirarkis sekumpulan serangga, tetapi mengacu pada sekte Moravian yang namanya dalam lafal Rusia mirip dengan kata yang berarti semut![1] Keberadaan rahasia kebenaran semacam demikian, nyatanya terus membayang-bayangi perjalanan spiritual Tolstoy di kemudian hari.
Pendidikan Tolstoy diselenggarakan di rumah. Ada sepenggal masa ketika ia didampingi oleh sebelas guru sekaligus yang tinggal serumah dengannya. Pada 1844, dia melanjutkan studi di Universitas Kazan yang sangat dia minati, untuk mempelajari bahasa-bahasa timur. Toh perhatiannya buyar dan ia tidak lulus. Selama di universitas dia memulai kebiasaan yang bertahan lama dalam hidupnya : menulis buku harian berisikan pemikiran dan rencana-rencananya. Dia berusaha menuliskan sejumlah “Aturan Hidup” baginya, tapi tak terlampau sukses : perjuangan terus-menerus dalam hidupnya, yang bergerak di antara kesadaran moralnya yang kuat dengan hasrat seksualnya yang juga bergelora, dimulailah sejak itu. Dia lantas melukiskan masa mudanya dan awal kedewasaannya sebagai “kerisauan yang parah, yang tertanam dalam kehendak melayani ambisi, kesombongan dan, yang terpenting, nafsu birahi”. Namun ia tidak banyak berbeda dengan para aristokrat muda Rusia lainnya yang hidup sejaman dengannya.[2] Moralitas anarkisnya di kemudian hari menuntut represi, dan bukan pembebasan, terhadap gelora hasrat-hasrat seksualnya yang sulit dikendalikan.
Pada masa-masa itu, Tolstoy masih bersemangat menapaki jalan lurus dalam studi yang dijalankannya sendiri. Termasuk dia sempat menjadi petani untuk beberapa saat di lahan miliknya sendiri. Lantas dia menghirup kenikmatan dan kesenangan Moskow selama beberapa tahun, sebelum kembali ke masyarakat asalnya yang sopan dan sembrono pada 1851. Ini perjalanan menemani kakaknya, Nikolai, menuju Kaukasus Utara. Di sana dia bergabung dengan resimen artileri. Dia ditempatkan di desa Cossack dan melanjutkan ekspedisi menaklukkan suku-suku di pegunungan. Pernah ia nyaris tewas karena granat pada sekali peristiwa dan pada kejadian lain ia nyaris tertangkap. Tolstoy tidak bisa berhenti berjudi dan main perempuan. Dia pecinta alam bebas.
Kehidupan komunitas-komunitas petani yang mengatur relasi antar mereka melalui adat dan kesepakatan sukarela, menggoreskan kesan mendalam padanya. Tolstoy kemudian menulis bahwa dia menyaksikan dalam pergaulan komune-komune di Cossack, orang-orang tidak mengakui pemilikan pribadi atas tanah, „ini keberadaan dan tatanan yang manis, yang tidak akan terwujud dalam masyarakat dimana pemilikan atas tanah disangga oleh kekerasan terorganisasi dari pemerintah“.[3] Toh, sampai di situ, Tolstoy belum menyentuh kesimpulan-kesimpulan anarkistik. Setelah membaca Plato dan Rosseau, dia menulis dalam buku hariannya pada 3 Agustus 1852 :"Aku akan mengabdikan seluruh hidupku demi tersusunnya rencana mewujudkan serikat aristokratis selektif, dengan administrasi monarkis yang berdasarkan tatacara pemilihan yang berlaku. Di sini aku membidik kehidupan yang mulia. Terima kasih, ya Tuhan. Beri aku kekuatan."
Di Kaukasus Tolstoy mengawali karir kesusastraannya dengan menulis beberapa kisah otobiografis dan roman pertamanya, Childhood. Sebagaimana kemudian diakuinya : "Aku tidak menjadi seorang jenderal di angkatan darat, tetapi aku menjadi jenderal dalam sastra."
Diterjunkan ke dalam perang Krimea pada 1854, dia ditugaskan pegang komando barisan selama mempertahankan Sevastopol. Ini tugas yang berdampak traumatis baginya. Dia melukiskan kengerian perang tersebut dalam Tales from Army Life dan Sketches of Sevastopol (1856) dan hengkang dari angkatan darat pada tahun yang sama. Dia menilai wajib militer sebagai salah satu ekspresi kekerasan pemerintah yang terburuk. Tolstoy pun berseru kepada kaum muda agar menolak jadi tentara. Di Krimea, dia juga meraih kembali tujuan awalnya dalam hidup — ideal kebaikan — yang telah lama terlupakan karena godaan-godaan masyarakat militer. Pada usia dua puluh tujuh dia memutuskan bahwa tujuan hidupnya adalah menemukan agama baru yang berhubungan dengan pengembangan manusia : „agama Kristen, tetapi disucikan dari keyakinan dan mistisisme, sebuah agama praktis yang tidak menjanjikan kebahagiaan nun di sana tetapi mewujudkan kebahagiaan di bumi“.[4]
Setelah kembali ke ibukota, Tolstoy beredar di kalangan pergaulan kesusastraan yang diongkosi oleh kelas atas di St. Petersburg. Pada 1857 dia melakukan perjalanan ke Eropa Barat, menghabiskan enam bulan di Perancis, Swiss dan Jerman. Di Paris dia menyaksikan hukuman massal pemenggalan kepala terhadap pembunuh. Ini menandai satu peristiwa kunci dalam hidupnya dan menjadi awal perubahan dirinya, secara berangsur-angsur, menuju anarkisme. Dia dicekam rasa ngeri akan „hasrat arogan dan kebiadaban Negara untuk menjalankan keadilan dan hukum Tuhan“. Dalam secarik surat kepada sahabatnya, dia mengabarkan bahwa hukum yang tidak masuk akal ini diciptakan oleh manusia :
Kebenarannya adalah bahwa negara merupakan konspirasi yang dirancang tidak hanya untuk mengeksploitasi, tapi yang terpenting adalah untuk mengkorupsi warga negaranya… aku memahami hukum-hukum moral, hukum moralitas dan hukum agama, yang tidak mengikat namun mengarahkan orang untuk maju dan menjanjikan masa depan yang harmonis; dan aku merasakan hukum-hukum seni yang selalu memberikan kebahagiaan; sebaliknya hukum-hukum politik adalah sekumpulan dusta yang buruk sehingga aku tidak mampu melihatnya lebih baik atau lebih buruk … sejak sekarang aku pasti tidak akan pernah mengunjungi dan melihat hal itu lagi dan aku tidak akan pernah mengabdi kepada pemerintah macam apapun, dimanapun.[5]
Sebagaimana kemudian ditulisnya dalam A Confession (1882), akibat menyaksikan pelaksanaan eksekusi, muncul semacam kegoyahan pada segala yang selama ini diyakininya, dan proses dekonstruksi tersebut bergerak maju secara tak tertolakkan.[6]
Sebelumnya, Tolstoy termasuk yang menyangsikan bahwa sosialisme bisa mengubah Negara. Namun kali ini dia bersiap menyongsong gagasan penghapusan Negara. Dia amat terpikat dengan keyakinan Proudhon, sebagaimana diungkapkan dalam What is Property? (1844), bahwa pemerintahan manusia oleh manusia adalah penindasan, dan bahwa berpadunya tatanan dan anarki adalah bentuk tertinggi masyarakat. Dalam buku catatannya, dia mengkritisi filsafat materialis-sepihak dari Proudhon. Toh dia menambahkan, „memang lebih baik menyimak perkara sepihak ini dari sisi para buruh dan pemikir masa lalu, terutama ketika mereka saling melengkapi satu sama lain. Dari sini datanglah cinta yang mempersatukan segala pandangan menjadi satu, dan inilah hukum kemanusiaan mutlak yang sederhana.“[7]
Tolstoy tidak hanya meraba-raba untuk merumuskan konsepsi yang matang tentang cinta universal. Tumpukan buku catatannya menunjukkan dia sudah bergulat dengan banyak soal berkaitan dengan minat dan perhatiannya tentang masa yang akan datang. Dia meyakini „Nasionalitas adalah penghalang tunggal menuju pertumbuhan kebebasan.“ Tolstoy sudah siap menyambut gagasan bahwa „ketiadaan hukum memang mungkin terjadi, tetapi harus ada keamanan guna melawan kekerasan“.[8] Inilah tindakan pendudukan melalui kekerasan — dia saksikan langsung dalam skala besar dalam Perang Krimea — yang mencegahnya untuk mendukung munculnya sosialisme revolusioner. Baginya, tak ada alasan untuk menerima pembenaran tumpahnya darah demi tujuan politik, betapa pun bermanfaatnya hal itu. Namun dia sepakat (dan terus memperjuangkannya selama hidupnya) dengan ajuan Proudhon : „Semua pemerintahan adalah setara dalam ukuran kejahatan dan kebaikan. Ideal terbaik adalah anarki.“[9]
Setelah perjalanan di luar negeri, Tolstoy kembali pulang ke Yasnaya Polnaya dan terjun dalam upaya memajukan tanah pertanian beserta para budak milik keluarganya. Dia mendirikan sekolah bagi anak-anak petani pada 1859 yang membuatnya sibuk selama tiga atau empat tahun ke depan. Dia tidak begitu yakin apa yang harus diajarkan kepada mereka — pandangan moral dan relijiusnya belum kokoh — sehingga dia membiarkan mereka mempelajari apa yang mereka suka. Katanya pada dirinya sendiri : „Dalam sebagian perkembangannya, kemajuan telah berjalan keliru dan dengan seorang anak petani primitif seseorang harus bekerja dengan semangat kebebasan sempurna, membiarkan mereka memilih jalan kemajuan yang mereka senangi.“[10] Metodenya berjalan berbasis kebebasan individu dan ia menjadi yakin bahwa bukanlah sekolah yang berperan penting dalam mendidik orang, melainkan kehidupan.
Tolstoy mengembangkan teorinya sendiri tentang pembelajaran spontan. Dia hendak menghapus semua metode dan membolehkan siswa mengatur dirinya sendiri. Di atas pintu masuk sekolah dituliskannya : „Masuk dan Pergilah dengan bebas.“ Sekolah berjalan tanpa campur tangan, siswa bebas mempelajari apa yang mereka ingin pelajari : „Manakala mereka tunduk hanya kepada hukum-hukum alam, seperti yang muncul dari panggilan alam mereka sendiri, mereka tidak merasa terprovokasi dan tidak berisik; tetapi tatkala mereka tunduk kepada campur tangan yang ditetapkan sebelumnya, mereka tidak mempercayai legalitas bel, program dan peraturan.“[11]
Dari pengalamannya, Tolstoy menilai bahwa setakaran tertentu ketidakteraturan ternyata berguna dan kebutuhan akan tatanan (keteraturan) harus datang dari siswa itu sendiri. Dia yakin bahwa relasi alami antara guru dan murid hanya dapat dicapai jika tidak ada paksaan dan keharusan; pemaksaan, menurutnya, selalu diterapkan melalui ketergesa-gesaan atau absennya penghormatan atas manusia. Oleh sebab itu siswa dibiarkan menyelesaikan perselisihan mereka sendiri sejauh yang dimungkinkan. Tidak ada ujian dan tidak ada sistem baku dalam memberikan pengakuan dan sanksi. Tugas utama pendidikan adalah mengajari anak „sesedikit mungkin“ dan mengembangkan kesadaran terhadap adanya fakta bahwa „semua orang adalah saudara dan setara satu sama lain“.[12]
Tolstoy membedakan secara tajam antara kebudayaan dengan pendidikan. Kebudayaan bersifat bebas, tetapi pendidikan. menurutnya, adalah “kecenderungan seseorang untuk membuat orang lain seperti dirinya”; inilah “budaya dibawah kekangan”.[13] Pada tataran ini, Tolstoy bersiteguh menentang pendidikan Negara yang cenderung membentuk anak muda sesuai kebutuhan Negara : “Kekuatan pemerintah bersandar pada sikap abai dari rakyat dan pemerintah tahu itu. Oleh sebab itulah aku senantiasa maju menentang pendidikan (negara).“[14] Bagi Tolstoy, tugas terpenting adalah mengembangkan sensibilitas moral siswa dan kemampuannya untuk berpikir sendiri.
Guna menyebarluaskan pandangannya, Tolstoy meluncurkan kajian bulanan Yasnaya Polyana pada Januari 1862, yang terbit sampai dua belas nomor. Pertama-tama, dengan lugas dia menyatakan: “Guna menentukan yang baik dan yang buruk, dia yang diajari harus memiliki kuasa penuh untuk mengungkapkan ketidakpuasannya atau, setidaknya, menghindari pelajaran-pelajaran yang tidak memuaskannya. Biarkan terbukti bahwa hanya ada satu kriteria dalam mengajar : kebebasan!“[15]
Dalam menjaga prinsipnya bahwa sekolah harus menyesuaikan dengan kebutuhan khusus siswa-siswanya, Tolstoy membuka diri dengan mengakui bahwa sekolahnya adalah contoh yang mungkin paling buruk dibanding yang lainnya. Kebanyakan pakar kontemporer menyalahkannya sebagai seorang „pedagog nihilis“. Toh pendekatan libertariannya yang berdasarkan kebutuhan anak, bukan hanya mengembangkan pandangan Godwin, tapi juga berpengaruh luas bagi pertumbuhan „sekolah-sekolah bebas“ pada abad dua puluh.
Minatnya terhadap teori pendidikan mendorong ia kembali mengunjungi Eropa Barat pada 1860. Di Inggris dia mendengar Dickens menggelar kuliah tentang pendidikan dan beberapa kali ia bertemu dengan seorang buangan dari Rusia, Alexander Herzen, yang menyunting The Pole Star. Di Brussels dia bertemu Proudhon yang baru saja merampungkan karyanya tentang konflik bersenjata antar bangsa – War and Peace. Tolstoy terkesan oleh pemikir anarkis yang memiliki „keberanian pendirian“ itu, sementara Proudhon melihat anak muda Rusia itu sebagai „orang yang sangat terdidik“ dan dia tergetar oleh beberapa kabar darinya tentang emansipasi kaum budak pada 1861.[16]
Dalam perjalanan pulang ke Yasnaya Polnaya, Tolstoy diangkat sebagai Penengah Perdamaian untuk menyelesaikan perselisihan antara para budak terbebaskan dengan para bekas majikan mereka. Pengalaman itu menggoreskan pada dirinya rasa kebencian yang permanen terhadap proses pengadilan dan dia lantas menyarankan jangan lagi ada seorang pun datang mengadu ke lembaga peradilan. Polisi merazia sekolahnya yang dianggap mau mengkaji kesusastraan subversif dan tokoh-tokoh revolusioner lantas mengasingkannya dari pemerintahan. Dia menuliskan kegusarannya dalam suratnya kepada Alexander II. Dalam surat itu dia menyangkal bahwa dia adalah seorang konspirator, sekalian dia unjuk-diri menjelaskan profesi yang dipilihnya sebagai „pendiri sekolah rakyat“.[17]
Tolstoy tak menghentikan relasi sesaatnya dengan para pelacur dan seorang pelayan yang sudah menikah di tanah keluarganya, yang melahirkan seorang putera untuknya. Dia juga menjalin percintaan dengan perempuan-perempuan dari kelasnya sendiri, namun pada 1862, melalui keakraban yang singkat, dia menikahi Sophie Andreyevna Behrs. Sophie melahirkan tiga belas anak untuknya, empat diantaranya meninggal. Kendati menjadi yang terkasih di mata Tolstoy dan juga menjadi notulen yang cemburu bagi pikiran-pikiran yang diucapkan suaminya, Sophie menyepakati pandangan Tolstoy terhadap wanita (sayangnya, sama dengan Proudhon), yakni bahwa peranan terpentingnya dalam kehidupan adalah peran keibuan. „Setiap perempuan,“ tulis Tolstoy, „betapapun dia bisa mendandani, menamakan dirinya sendiri dan betapa pun halus budinya, yang menahan diri dari melahirkan tetapi tidak menahan diri dari hubungan seks, adalah seorang pelacur. Dan betapa pun rendahnya seorang wanita, jika dia dengan sengaja mencurahkan hidupnya untuk melahirkan anak, dia telah melakukan pengabdian terbaik dan tertinggi dalam hidupnya — memenuhi keinginan Tuhan — dan tidak ada seorang pun yang berada di atas dirinya.“[18] Belakangan Tolstoy menganggap perempuan sebagai penggoda yang berbahaya, yang membelokkan lelaki dari kehidupan spiritualnya.
Tanpa memandang, atau mungkin memang lantaran dorongan seksualnya yang kuat, Tolstoy akhirnya meyakini bahwa lebih baik tetap menyendiri dan menjadi bujangan. Dalam kisahnya, Kreutzer Sonata (1890), dia semakin menegaskan bahwa andaikata hasrat memang mendorong seseorang untuk menikah, orang itu harus terus berupaya untuk tetap semurni mungkin. Ucapannya, yang tak pelak memang mencerminkan masalah-masalahnya sendiri dalam membina hubungan suami istri, berbunyi : „Laki-laki memang bisa bertahan dari gempa bumi, epidemi, penyakit-penyakit mengerikan dan segala derita fisik, namun tragedi yang paling pedih, dan akan tetap begitu, adalah tragedi kamar tidur.“[19] Dia akhirnya menilai seks sebagai kejahatan terbesar dan menyarankan kesucian sempurna – jelas, sebuah ideal, selain butuh upaya yang keras, yang dia sendiri toh tak mampu mencapainya bahkan sebagai seorang lelaki tua.
Kendati menyatakan bahwa kodrat mendasar perempuan hanya terpenuhi melalui tugas keibuan dan menolak seks yang tanpa menghasilkan keturunan, seperti juga Proudhon, Tolstoy tidak menganggap perempuan berada dibawah laki-laki. Dia mendukung pendidikan yang setara bagi laki-laki maupun perempuan. Dia membesarkan putera-puteranya dengan cara yang sama sebagaimana dia membesarkan anak-anak perempuannya, dan mereka adalah para pendukungnya yang paling bersemangat. Sembari menolak cinta bebas, menempatkan monogami sebagai hukum alami kemanusiaan, dan membela pernikahan sebagai satu-satunya jalan moral bagi seks, dia menulis dalam buku hariannya : „Tentu saja aku menentang segala batas-batas legal dan mendukung kebebasan sejati : satu-satunya ideal adalah kesucian dan bukannya kenikmatan.“[20] Dalam hal ini Tolstoy mengikuti ajaran St. Paul : lebih baik menikah ketimbang membakar asmara, tapi yang paling baik diantara semuanya adalah menjauhkan diri sepenuhnya dari gairah seksual. Baginya, kehidupan spiritual melibatkan upaya tanpa henti untuk membebaskan diri seseorang dari gairah akan tubuh semata. Betapapun, hal itu bukanlah pemakluman bagi misogyny-nya atau kebencian terhadap perempuan, yang kasar, yang pada ujungnya bisa meluas menjadi misanthropy, kebencian terhadap manusia.
Sejak menikah, Tolstoy tinggal di tanah pertanian Volga dan memadukan manajemen progresifnya dengan penulisan War and Peace (1863-9), ini karya yang, sulit disangkal, berada dalam jajaran roman terbaik dunia. Semula ia merancang sosok hero dari salah seorang pemberontak gerakan Desember yang diasingkan ke Siberia pada 1825. Namun akhirnya ia menjejakkan romannya ke konteks zaman yang lebih ke belakang, ke kurun waktu sebelum serangan Napoleon pada 1812. Pertimbangan-pertimbangan politik perlahan-lahan digantikan oleh karakterisasi. Dalam pengantar rancangan romannya tersebut dia menyatakan : „Saya akan menulis sejarah rakyat yang lebih bebas ketimbang sejarah para negarawan.“ Dalam kisahnya dia menghadirkan peruntungan nasib dua keluarga — Rostov dan Bolkonski – yang berhadapan dengan latar zaman perjuangan Rusia melawan Napoleon. Pangeran Andrew yang penuh kebanggaan diri dan Pierre yang hedonis namun ulet, mencerminkan dua aspek kepribadian Tolstoy sendiri.
Toh karya ini melintas keluar dari tendensi psikologis. Dengan judul yang dipinjam dari karya Proudhon, War and Peace, Tolstoy dengan tekun menunjukkan bahwa sejarah tidak diciptakan oleh individu-individu terpilih, melainkan tersusun oleh sejumlah besar kondisi. Kemenangan-kemenangan militer, misalnya, tidak diraih layaknya permainan catur melainkan dihasilkan oleh peristiwa-peristiwa tak terduga dan yang bersifat kebetulan, yang kesemuanya itu menyusun keberuntungan dalam perang. Ini posisi yang memang dekat kepada Marx, namun Tolstoy tidak menumbuhkan keyakinan a’la Marx tentang sesuatu yang tak tertolak.
Dalam artikel “Some Words about War and Peace” (1868), Tolstoy menjelaskan filsafat sejarahnya. Sementara manusia secara psikologis berharap yakin bahwa dia bertindak sesuai kehendak bebasnya dan tindakan-tindakannya benar-benar bergantung atas kehendaknya, semakin dia melibatkan dirinya dalam tindakan-tindakan yang dilakukan orang lain, semakin berkurang kebebasannya. Dengan demikian berarti ada hukum ketetapan sebelumnya yang membimbing sejarah, kendati memang sukar bagi manusia untuk meramalkan atau mengendalikannya. Pendekatan ini membuat Isaiah Berlin menggambarkan Tolstoy sebagai seekor rubah yang paham banyak hal, meski Tolstoy sendiri meyakini bahwa dia adalah seekor landak yang hanya tahu satu hal besar : “Tolstoy menerima realitas dalam keberbagaiannya, sebagai sekumpulan entitas terpisah yang dilihatnya dengan kejernihan dan penetrasi yang kedua-duanya setimbang kadarnya, sesuatu yang langka. Namun dia meyakini hanya satu totalitas yang luas dan besar, setunggal keseluruhan yang terpadu.”[21]
Kendati dalam periode ini dia, utamanya, menjuruskan diri kepada sastra, Tolstoy mendukung peradilan pribadi ketimbang peradilan militer yang tengah menyidang seorang perwira. Namun perwira ini dinyatakan bersalah dan dieksekusi. Mudah ditebak, peristiwa ini memperkeras tumbuhnya perlawanan Tolstoy terhadap insitusi-insitusi militer dan peradilan Negara. Dia kemudian menulis dakwaan hukuman mati yang menggugah dalam I Cannot Be Silent (1908).
Minatnya berlanjut ke bidang pendidikan dan penulisan kisah-kisah serta, A Primer, sebuah karya untuk anak-anak petani. Karya besar berikutnya, Anna Karenina (1874-82), melukiskan dilema antara seniman kreatif dengan seorang moralis teguh yang dialami sendiri oleh Tolstoy. Karya itu menghamparkan sebagian besar kejadian hidupnya. Seperti Anna, dia merasa terombang-ambing diantara dua kekuatan kontradiktif — antara dorongan vitalitas yang melingkupi kehidupan (Anna yang “sangat bergairah untuk hidup”), dengan betotan kesia-siaan dan tragedi hidup. Tolstoy merekam betapa pada masa-masa ini dia bepergian menembus ladang-ladang berlumpur di tanah pertanian keluarganya dan berkata pada dirinya sendiri “baiklah — engkau akan lebih terkenal daripada Gogol atau Pushkin atau Shakespeare atau Moliere — dan lalu apa?”[22]
Dengan segera Tolstoy mengalami krisis spiritual mendalam yang membawanya ke ambang bunuh diri. Toh sementara dicekam oleh perasaan bahwa kehidupan manusia bak arus kejam yang memuarakan segala hal menuju ketiadaan, dia menjadi yakin akan adanya belokan jalan Tuhan untuk menggenggamnya kembali. Dia makin meminati soal-soal keagamaan dan mengunjungi beberapa biara. Sebagaimana diuraikannya dengan amat menyentuh dalam A Confession (1882), dia menimbang masa lalunya dengan kengerian : “Dusta, merampok, segala jenis perzinahan, mabuk, kekerasan, membunuh — tidak ada kejahatan yang tidak kulakukan …”[23]
Setelah pencariannya yang putus asa untuk menemukan makna kehidupannya dalam filsafat dan agama, dan kemudian terjun ke tengah khalayak, pada akhirnya dia menyelami agama cinta yang berdasarkan tafsir harafiah atas Gospel, terutama Sermon on the Mount. Kristenitas baru inilah yang menjadi penegas kecenderungan libertarian masa mudanya dan membantunya mengembangkan filsafat anarkisme pasifis. Namun ini tidak pernah ditelusurinya penuh-konsisten, dan upaya tak menentu untuk menjalankan filsafatnya — betapa pun tulus dan sungguh-hati — telah membuka kemungkinan tuduhan hipokrit terhadapnya.
Filsafat
Dalam serangkaian buku, pamflet dan komentar yang diluncurkan pada 1880-an dan 1890-an, Tolstoy menguraikan versi yang sepenuhnya non-ortodoks tentang Kristenitas. Dia sampai pada satu keyakinan bahwa Kristus bukanlah anak Tuhan melainkan seorang pengajar moral yang agung. Tidak ada akhirat, meski kita semua adalah bagian dari yang tidak terbatas. Pada saat yang sama, ada cahaya yang memperlihatkan diri dalam akal manusia, yang datang dari sumber diluar diri kita dan akan abadi setelah kematian kita. Tidak seperti pemikiran analitis philosophes, ini tidak menjauhkan tapi justru mengarahkan kita menuju Tuhan, karena aktivitas akal adalah kebenaran, dan Tuhan adalah kebenaran sejati. Tuhan sama sekali bukan wujud pribadi yang menghakimi kita; “Tuhan adalah keseluruhan itu, ke sanalah pengakuan kita tujukan sebagai bagian darinya : bagi seorang materialis — materi; bagi seorang individualis — sosok ampuh yang unik; bagi seorang idealis — yang diimpikannya, Cinta.” Tidak ada pemisahan atau kontradiksi Romantik antara cinta dan akal, karena “akal mesti mencintai” dan “cinta mesti masuk akal”.[24] Itulah jantung filsafat Tolstoy.
Tolstoy pada akhirnya yakin bahwa ajaran Yesus dalam Gospel memberikan kunci pemahaman bagaimana kehidupan yang baik harus dijalankan di bumi. Dari pembacaannya yang seksama atas Gospel, dia menyimpulkan lima firman berikut:
(1) Jangan marah, hiduplah damai bersama semua manusia. (2) Jangan memperturutkan dirimu dalam kenikmatan seks. (3) Jangan menjanjikan apa pun dalam sumpah kepada siapa pun. (4) Jangan melawan kejahatan, jangan mengadili dan jangan menghampiri hukum. (5) Jangan membeda-bedakan berdasarkan kebangsaan, cintailah orang asing seperti mencintai masyarakatmu sendiri. Semua firman ini berpadu dalam satu : segala yang kau harapkan orang-orang perbuat padamu, lakukanlah itu kepada mereka.[25]
Bagi Tolstoy prinsip-prinsip ini membentuk pesan sentral Kristenitas dan menjadi dasar ajaran moralnya. Firman pertama menegaskan anarkismenya mengingat segala pemerintahan didasarkan pada kekerasan terorganisasi. Firman keempat – „Jangan melawan kejahatan“ — menjuruskan ia untuk mengembangkan doktrinnya, doktrin non-kekerasan, yaitu penolakan untuk melawan kejahatan dengan kekerasan. Ini tidak berarti bahwa seseorang tidak boleh melawan kejahatan sama sekali; sebaliknya, adalah tepat jika melawan kejahatan dengan bujukan dan mempengaruhi opini publik tempat institusi-institusi kejahatan itu berdiri. Firman kelima berdasarkan tafsir Tolstoy atas pepatah „Cintailah musuhmu“ yang maksudnya adalah musuh nasional seseorang; ini memerlukan penolakan terhadap setiap jenis patriotisme, bahkan patriotisme kaum tertindas.
Dengan semua keyakinan tersebut, merupakan langkah logis simpel bagi Tolstoy untuk berpendapat bahwa semua pemerintahan, hukum, polisi, angkatan bersenjata dan semua perlindungan hidup atau properti adalah imoral. Hukum Tuhan selalu berada diatas hukum manusia. Karenanya dia menyimpulkan : „Saya tidak bisa ambil bagian dalam aktivitas pemerintahan yang bertujuan membela rakyat dan propertinya melalui kekerasan; saya tidak bisa menjadi hakim atau ambil bagian dalam sidang-sidang peradilan; saya juga tidak bisa membantu orang lain untuk ambil bagian dalam peradilan hukum dan kantor-kantor Pemerintah.“[26] Juga bahwa tidak seorang pun yang mempunyai hak untuk menguasai apa saja yang orang lain ingin mengambilnya.
Kendati semangatnya serupa retorika Puritan — mengutuk hasrat akan ketamakan, kemarahan dan birahi — Tolstoy tidak bisa dikatakan seorang moralis. Dia menganjurkan kebahagiaan yang harus ditemukan dalam kehidupan yang akrab dengan alam, kerja sukarela, keluarga, persahabatan dan kematian yang tidak menyakitkan. Baginya, hidup adalah berkah bagi individu yang mengenal Kristus dan berupaya mewujudkan kerajaan Tuhan di bumi. Menurut Tolstoy, Kristus dalam hidupnya sendiri menunjukkan bahwa jika orang hidup tanpa menentang orang lain melalui kekerasan dan tanpa memiliki properti mereka, ia akan memperoleh kepuasan.
Keyakinan moral dan agama baru Tolstoy, pada awalnya membuat dia lebih aktif mencela ketidakadilan. Pada 1881 dia menulis kepada Tsar baru, memintanya agar mengampuni para pembunuh Alexander II : “Balaslah kejahatan dengan kebaikan, jangan lawan kejahatan, maafkanlah setiap orang.”[27] Tentu saja Tsar gusar diperingatkan bahwa hukum Tuhan berada diatas segala hukum lain; permintaan pengampunan tidak didengarnya. Alexander III tidak bisa memenjarakan sang pangeran pembangkang ini, tetapi dia berhasil melarang karya-karyanya. „L. Tolstoy yang tercela ini“, demikian Tsar, „harus dihentikan. Dia bukanlah siapa-siapa melainkan seorang nihilis dan kafir.“
Pada 1882, Tolstoy turut serta dalam sensus di Moskow dan mengunjungi pemukiman-pemukiman kumuh untuk pertama kalinya. Pengalaman mengerikan itu hanya memperkuat perhatiannya terhadap kaum miskin. Dalam upaya menjalankan keyakinannya, dia menolak melakukan tugas juri. Dia meninggalkan olahraga berdarah dan menjadi vegetarian sejak dia merasa bahwa sungguh imoral merampas nyawa binatang untuk hiburan atau memuaskan hasrat, terutama jika ada kemungkinan untuk hidup sehat tanpa makan daging. Pada 1886 dia membuka persentuhan langsung yang baru dengan rakyat Rusia, ketika berjalan kaki sepanjang 130 mil dari Moskow sampai Yasnaya Polyana. Dalam masa didera kelaparan serius yang sangat memukul Rusia Eropa selama 1891-1892, dia juga terjun — dengan bantuan keluarganya — dalam kampanye mengurangi penderitaan para korban.
Dalam karyanya The Kingdom of God is Within You (1894), Tolstoy meringkas tahun-tahun membaca dan meditasinya. Dia melukiskan eksploitasi dan penindasan yang bertentangan dengan Kristenitas sejati tapi juga seringkali dijalankan atas nama Kristen. Dengan energi besar, digambarkannya juga kemunafikan mereka yang makmur dan terhormat, termasuk dirinya :
Kita semua bersaudara, namun setiap pagi seorang saudara perempuan atau laki-laki membersihkan pispot-ku. Kita semua saudara, namun setiap pagi aku membutuhkan sebatang cerutu, gula, cermin dan benda-benda lain yang diproduksi oleh sesamaku, saudara-saudaraku sendiri, di atas pengorbanan kesehatan mereka sendiri; aku menggunakan benda-benda ini dan bahkan menuntutnya … Kita semua bersaudara, toh aku menyodorkan pendidikan, pengobatan dan karya sastraku kepada kalian yang miskin hanya demi uang.[28]
Uang hasil roman berikutnya, Resurrection (1899), yang mengisahkan regenerasi moral seorang bangsawan muda, dia serahkan untuk membantu sekte Dukhobors yang teraniaya agar bisa beremigrasi ke Kanada. Roman tersebut mencerminkan pandangan estetisnya yang baru yang telah diungkapkan dalam What is Art? (1897-8) : seni adalah perpanjangan moralitas, yang dalam era Kristen mesti mencerminkan pandangan relijius tentang tempat manusia dalam dunia. Seni juga harus cukup sederhana agar dipahami setiap orang.
Banyak ahli sejarah sastra dan penulis biografi mengkaji bahwa para moralis ditempatkan secara lebih baik ketimbang para seniman dalam masa kemudian kehidupan Tolstoy. A.N. Wilson, misalnya, berpendapat “absennya akal sehat yang disengaja dalam diri Tolstoy, pada puncaknya merupakan kematian imajinasi artistiknya.”[29] Namun ini adalah pandangan yang terlampau menyederhanakan. Selalu ada tema moral kuat dalam novel-novel besar Tolstoy terdahulu, dan banyak karya fiksinya belakangan, seperti kumpulan cerita pendek The Death of Ivan Ilyich (1886), The Master Man (1895) dan novel pendek Hadzhi Murad (1911), menunjukkan bahwa kekuatan imajinatifnya bertahan sampai akhir. Keputusannya untuk menulis secara sederhana dan jelas sehingga petani yang paling tidak terdidik pun bisa paham, seringkali menambahkan kekuatan yang bertenaga bagi cerita-cerita terbaiknya. Selain itu, kemampuannya mengekspresikan diri dengan semangat sederhana memberi kekuatan khas tersendiri pada karya-karya moral dan politisnya yang kemudian.
Sebagai pemikir moral dan reformis agama, Tolstoy melanjutkan mengembangkan bentuk Kristenitas berdasarkan Khotbah di atas Bukit yang menolak segala kekuasaan duniawi dan menekankan pentingnya perlawanan non-kekerasan terhadap kejahatan. Dia berusaha membersihkan Kristenitas dari mistisisme dan mentransformasikannya ke dalam kode moral yang bisa tampil menarik bagi manusia rasional. Namun itu kelewat jauh dalam penilaian Dewan Suci Gereja Ortodoks Rusia yang mengasingkannya pada 1901. Tolstoy merespon dengan menuliskan pernyataan keimanan :
Aku meyakini Tuhan yang kupahami sebagai Spirit, sebagai cinta, sebagai Sumber segalanya. Aku percaya Dia ada dalam diriku dan aku dalam diri-Nya. Aku yakin bahwa kehendak Tuhan itu jelas dan dapat dimengerti sebagaimana tertuangkan dalam ajaran seorang manusia, Yesus, yang diangkat Tuhan dan manusia berdoa kepadanya dan aku anggap itu sebagai hujatan kepada Tuhan. Aku yakin kekayaan sejati manusia berada dalam perbuatannya memenuhi kehendak Tuhan, dan kehendak-Nya-lah bahwa manusia harus saling mencintai satu sama lain sehingga mereka, kepada orang lain, harus berbuat apa yang mereka inginkan agar orang lain berbuat hal serupa kepadanya – itulah yang dinamakan hukum dan sabda kenabian sebagaimana dinyatakan dalam Gospel. Karenanya aku yakin bahwa makna hidup setiap orang pastilah ditemukan hanya dengan memperbesar cinta yang ada dalam dirinya … bahwa meningkatnya cinta mengarahkan manusia … menuju tegaknya kerajaan Tuhan di bumi; yaitu, menuju tegaknya tatanan kehidupan dimana perselisihan, penipuan dan kekerasan yang sekarang berkuasa akan digantikan oleh kesepakatan bebas, kebenaran dan persaudaraan cinta satu sama lain.[30]
Alhasil, alih-alih melorotkan reputasinya, pengasingan Tolstoy justru membuatnya lebih populer di kalangan rakyat Rusia.
Non-resistensi yang bermakna perlawanan damai menjadi kunci keyakinan politik baru Tolstoy. Dia senang sekali menemukan esai Thoreau tentang pembangkangan sipil. Dalam The Kingdom of God is Within You, dengan lugas dia menerapkan prinsip cinta non-resisten terhadap pemerintah, Gereja, patriotisme dan perang. Utamanya, dia mengkritisi kejahatan yang disebabkan oleh mereka yang menyombongkan diri merasa berhak mencegah kejahatan yang mungkin akan terjadi dengan menggunakan kekuatan, namun kejahatan itu toh belum terjadi. Kritisismenya juga ditujukan terhadap penyelidikan-penyelidikan atau inkuisisi suci, pemenjaraan narapidana politik, hukuman-hukuman pemerintah dan teror bom para revolusioner. Kristenitas sejati memang revolusioner, namun ia hendak mencapai reformasi moral individual dan bukan kekerasan revolusi sosial.
Yang membuat Kristenitas Tolstoy menjadi anarkistik adalah klaimnya bahwa manusia, seiring pengembaraan spiritualnya dari kegelapan menuju cahaya, akan semakin menumbuhkan dirinya sembari mengikis tahapan pemerintahan dalam sejarah. Seorang Kristen sejati bebas dari segala otoritas manusia karena hukum ketuhanan tentang cinta yang telah tertanam dalam setiap individu — Kristus menyadarkan kita akan hal ini — adalah panduan yang layak, panduan utama dalam hidup.
Tolstoy sama yakinnya dengan Godwin bahwa Negara akan terhapus. Seperti Godwin, ia juga menanam keyakinan dalam menumbuhkan opini publik untuk mendorong kematian Negara. Akan datang suatu masa “tatkala semua institusi yang berdasarkan kekerasan akan hilang karena telah jelas bagi semua orang bahwa institusi-insitusi tersebut tidak berguna dan bahkan salah”.[31] Manusia akan menjadi begitu rasional sehingga mereka tidak akan lagi berminat merampok dan membunuh satu sama lain. Tolstoy selanjutnya meramalkan, “Akan tiba dan telah datang suatu masa tatkala prinsip-prinsip Kristen tentang kesetaraan (persaudaraan manusia, komunitas properti, dan non-resistensi jalan kekerasan terhadap kejahatan) akan muncul sealami dan sesederhana prinsip-prinsip kehidupan keluarga, sosial atau nasional.’[32] Makna pokok kehidupan karenanya terletak dalam mengarungi dunia dengan mengupayakan berdirinya kerajaan Tuhan melalui setiap pengakuan sederhana individu terhadap kebenaran. Dan dalam hal ini, tidak ada tempat untuk pemerintah dan Negara.
Pemerintah
Kendati basis penentangan Tolstoy terhadap pemerintah pada tataran spiritual, beberapa anarkis menerimanya karena ia mempertautkan secara tajam antara pemerintah dengan kekerasan. Dia menegaskan bahwa karakter utama pemerintahan adalah berdasarkan kekerasan. Mereka memaksa warganya bertindak bertolak belakang dengan harapan dan kesadaran warga itu sendiri ketika mereka membebankan pajak dan wajib militer. Kekuasaan Negara juga tidak bisa menjadi obat bagi kekerasan pribadi karena kekuasaan itu justru senantiasa menyuntikkan bentuk-bentuk kekerasan terbaru. Semakin kuat Negara, semakin besar kekerasan yang dilakukannya.
Tolstoy masuk pada inti persoalan ketika dia menjelaskan bahwa kekuatan fisiklah yang membuat manusia mentaati hukum yang mapan. Dalam definisi yang mudah diingat, dia menegaskan: „Hukum adalah sejumlah aturan yang dibuat oleh orang yang memerintah dengan menggunakan kekerasan terorganisasi, dan mereka yang tidak patuh akan ditundukkan, kehilangan kemerdekaannya, atau bahkan dibunuh.“[33] Aturan-aturan itu tidak dibuat atas dasar keinginan bersama tetapi dibuat oleh pihak yang berkuasa. Begitulah biasanya, dimana-mana aturan-aturan dibuat atas dasar kepentingan mereka yang memiliki kekuasaan.
Tolstoy terbuka untuk mengakui bahwa mungkin ada masa tatkala pemerintah memang diperlukan atau, sebagaimana dikatakannya, „kejahatan“ mendukung pemerintah tidak lebih baik baik dari keadaan tak berdaya melawan kekuatan terorganisasi para tetangga yang bermusuhan. Namun dia yakin bahwa kemanusiaan tidak lagi membutuhkan pemerintah. Dengan dalih melindungi warganya, pemerintah justru hanya menjalankan pengaruh berbahaya. Dengan mengklaim hak moral untuk memberikan vonis, pemerintah dengan cara-cara imoral semata-mata berusaha membuat tindakan buruk menjadi tampak baik.[34]
Kritisisme terpenting Tolstoy terhadap pemerintah adalah bahwa pemerintahan, secara tak tertolak, demikian intim terkait dengan perang. Basis semua pemerintahan berakar pada kekerasan dalam bentuk polisi, tentara, pengadilan dan penjara. Sebagaimana organisasi militer, tujuan utamanya adalah berperang. Mereka secara tetap memperkuat angkatan bersenjatanya tidak hanya untuk menghadapi musuh dari luar melainkan juga untuk menghadapi subyek-subyek penindasan mereka. Dengan sendirinya, pemerintahan yang memberi kekuasaan pada militer adalah organisasi paling berbahaya yang mungkin ada.
Pada saat yang sama, Tolstoy tidak menempatkan tanggungjawab perang semata-mata kepada menteri-menteri pemerintah: “Perang dalam kenyataannya adalah akibat tak terhindarkan dari keberadaan tentara; dan tentara hanya dibutuhkan pemerintah guna menundukkan warga kelas pekerja mereka.”[35] Tambahan lagi, Tolstoy paham benar bahwa perang disebabkan oleh ketimpangan distribusi properti dan ajaran palsu yang mengilhami rasa patriotisme.
Apapun bentuknya, Tolstoy menolak patriotisme yang menyokong pemerintah. Patriotisme, cinta spontan seseorang terhadap bangsanya di atas bangsa lain, seringkali kasar, berbahaya dan imoral. Dalam Christianity and Patriotism (1894), secara sengit, dia menggambarkan bagaimana pemerintah mengipas-ngipas patriotisme guna mendukung perang. Lantas dia menegaskan bahwa patriotisme tidak lebih dari bentuk perbudakan:
Dalam pengertian yang paling sederhana, jelas dan tak tertolak, patriotisme tiada lain merupakan alat bagi pihak penguasa untuk mewujudkan ambisi dan hasrat ketamakannya, sementara terhadap pihak yang dikuasai, patriotisme adalah alat penguasa untuk melepaskan martabat kemanusiaan, akal, kesadaran dan membangkitkan sikap layaknya budak kepada mereka yang berkuasa.[36]
Tolstoy bahkan menolak patriotisme bangsa-bangsa terjajah yang berjuang demi kemerdekaannya. Pengutamaan terhadap bangsa seseorang tidak akan pernah bisa menjadi baik atau berguna karena ini mengabaikan persepsi tentang kesetaraan manusia dan rasa hormat akan martabat manusia. Sehingga tujuannya mestinya tidak untuk mendukung perjuangan nasionalis demi kemerdekaan, melainkan bagi bangsa-bangsa terjajah, untuk memerdekakan dirinya dengan menolak berpartisipasi dalam langkah kekerasan yang dilakukan pemerintah.
Dalam Patriotism and Government (1900), Tolstoy menelanjangi pernyataan munafik tentang kekuasaan besar yang menuntut kedamaian sambil menyiapkan perang. Dengan menolak argumen penolakan (yang dipopulerkan oleh para pendukung persenjataan nuklir) bahwa penemuan senjata penghancur yang mengerikan akan mengakhiri perang, dia bersikeras bahwa satu-satunya obat sejati adalah menghilangkan pemerintahan yang justru menjadi instrumen pamungkas dari kekerasan : „Guna membebaskan manusia dari persenjataan dan perang yang mengerikan, yang cengkeramannya meningkat terus, kami menghendaki… penghancuran instrumen kekerasan, itulah dia yang bernama Pemerintah, dan yang dari situlah kejahatan terbesar selalu mengalir.“[37] Kecuali ada pelucutan senjata universal, Tolstoy meramalkan bahwa perang yang lebih mengerikan akan selalu terjadi. Seandainya saja orang-orang mampu mengenali bahwa mereka bukanlah anak dari Bapak bangsa atau budak pemerintah, melainkan anak-anak Tuhan, maka „institusi-institusi gila yang tidak berguna, melelahkan dan merusak yang disebut Pemerintah itu, dan segala penderitaan, pelanggaran, penghinaan dan kejahatan yang mereka perbuat, harus berhenti“.[38] Perang, wajib militer dan semua tindakan paksaan pemerintah hanya akan berakhir dengan pembubaran Negara secara perlahan-lahan.
Tolstoy adalah seorang anarkis — salah seorang yang bersemangat — karena dia secara khusus menuntut adanya masyarakat tanpa pemerintahan dan Negara. „Hukum mengakibatkan perbudakan, hukum dibuat oleh Pemerintah, karenanya orang hanya dapat dibebaskan dari perbudakan melalui penghapusan Pemerintah,“ demikian pendapatnya. Bahkan terhadap opini dominan yang mengatakan bahwa Negara memang diperlukan, bagi Tolstoy sebaliknya, „saat ini Negara benar-benar tidak diperlukan karena merugikan serta berbahaya“. Dia menolak perkiraan bahwa tanpa pemerintahan akan terjadi kekacauan atau serangan pihak asing. Pengalamannya mendalami komune-komune Cossack di Ural memperlihatkan kepadanya bahwa keteraturan dan ketenteraman dimungkinkan hadir tanpa kekerasan terorganisasi dari pemerintah. Makhluk rasional bisa menyusun kehidupan sosialnya sendiri melalui kesepakatan. Sehingga sangat mungkin menciptakan masyarakat yang berdasarkan pada „persetujuan sukarela dan masuk akal, yang ditegakkan oleh adat kebiasaan“.[39] Satu-satunya prinsip moral yang diperlukan, tiada lain bahwa seseorang bertindak terhadap orang lain sebagaimana ia menginginkan orang lain berbuat yang sama terhadapnya.
“Kaum anarkis benar dalam segalanya; dalam negasinya terhadap tatanan yang ada dan dalam penekanannya bahwa, tanpa otoritas, tidak mungkin ada kekerasan yang lebih buruk daripada kekerasan otoritas dalam kondisi aktualnya kini. Mereka hanya keliru dalam berpikir bahwa anarki dapat dijalankan melalui revolusi,“[40] demikian Tolstoy dalam salah satu tulisannya. Dia sangat sadar akan argumen-argumen para pemikir anarkis terdahulu yang mengakui bahwa mereka ingin menghilangkan kekuasaan bukan dengan kekerasan melainkan dengan perubahan dalam kesadaran manusia. Dia mengutip Godwin dalam hal kemungkinan mengorganisasikan masyarakat tanpa pemerintahan dan hukum. Dia bertemu Proudhon, meminjam judul bukunya, dan terkesan oleh dukungannya terhadap anarki yang tertata. Semula dia mengagumi Bakunin sebelum tokoh ini meyakini perayaan atas kekerasan. Dia merujuk karya Kropotkin, The Conquest of Bread dan Fields, Factories and Workshops, untuk menunjukkan kemungkinan tersedianya pangan bagi semua orang.[41]
Namun demikian, bagi Tolstoy filsafat Godwin dan Proudhon memiliki kekurangan karena penekanan mereka tentang azas manfaat dalam kesejahteraan dan keadilan. Tolstoy juga tak sepakat dengan pemaknaan atas kekerasan revolusioner yang diajukan Bakunin dan Kropotkin. Pun ia tidak berminat dengan seruan Stirner dan Tucker tentang kepentingan pribadi. Utamanya, dia merasa bahwa dalam konsepsi materialistis mereka tentang kehidupan, para pemikir anarkis ateistik kekurangan senjata spiritual yang niscaya menghancurkan kekuasaan – ini merupakan pemahaman yang rawan terhadap kehidupan, yang berdasarkan itulah manusia memandang eksistensi duniawinya hanya sebagai manifestasi yang terpecah-pecah atas hidup sempurna“. Yang gagal dipahami para anarkis terdahulu, di mata Tolstoy, adalah bahwa kesejahteraan tertinggi tidak terletak dalam kebahagiaan manusia atau dalam kebajikan umum melainkan dalam pelaksanaan hukum-hukum “kehidupan maha luas“ ini yang jauh lebih mengikat ketimbang hukum-hukum manusia yang manapun.[42]
Terlepas dari ketidaksetujuan metafisiknya terhadap para teoritisi anarkis terkemuka abad sembilan belas, Tolstoy, seperti mereka, sama-sama membidik tujuan akhir untuk mewujudkan masyarakat tanpa pemerintahan. Kepada para pengritiknya yang mempertanyakan apa yang akan dia ajukan sebagai pengganti pemerintahan, ia dengan simpel menjawab bahwa pemerintahan tidak perlu diganti dengan apa pun : organisasi, yang tidak diperlukan dan menjadi berbahaya, akan dengan sendirinya terhapuskan dan masyarakat akan terus menjalani hidup yang berfaedah seperti sebelumnya. Memanglah, „bahkan jika ketiadaan Pemerintah sungguh-sungguh berarti Anarki dalam pemaknaan negatif, yakni kekacauan pemaknaan dari kata itu – yang jauh dari arti sebenarnya – maka bahkan kemudian tak ada kekacauan anrkistik yang lebih buruk ketimbang posisi ke arah mana Pemerintah-pemerintah telah menjuruskan rakyatnya dan menuju kemana mereka menjalurkan seterusnya“.[43] Bagi Tolstoy, tidak ada resiko kekacauan dalam menghapuskan pemerintahan dan Negara, karena dia benar-benar yakin bahwa “Tuhan telah menanamkan hukum-Nya dalam benak dan hati kita, bahwa tak mustahil ada tatanan (order) dan bukan kekacauan (disorder), dan bahwa tidak ada sesuatu pun kecuali kebaikanlah yang bisa timbul dari hukum pasti Tuhan, yang telah begitu nyata termanifestasikan pada kita.“[44]
Tolstoy mendasarkan kasus anarkismenya pada cinta akan kebebasan dan kebenciaan akan paksaan. Dia misalnya mengutuk perbudakan Negro bukan semata-mata karena hal itu adalah kejam melainkan juga karena perbudakan itu termasuk ke dalam kasus terntentu pemaksaan universal. Posisinya, seperti halnya abolisionis Amerika, William Lloyd Garrison, berpijak pada prinsip bahwa “tidak ada dalih apa pun yang membuat manusia memiliki hak untuk mendominasi, yakni memaksa sesamanya.”[45] Menurut Tolstoy, kemerdekaan sejati terdapat dalam diri “setiap manusia yang mampu hidup dan bertindak menurut pertimbangannya sendiri” yang bertentangan dengan kekuasaan sebagian manusia atas manusia lainnya.[46]
Cinta terhadap kebebasanlah yang membuat Tolstoy mengutuk sistem pabrik dan menuntut pengembalian tanah. Kesengsaraan buruh pabrik dan pekerja kota terletak dalam lamanya jam kerja dan rendahnya upah. Ini sama dengan kenyataan bahwa dia dicabut dari kebebasan dan “kondisi-kondisi wajar kehidupan dalam bersentuhan dengan alam” dan memaksa menjalankan kerja wajib yang monoton menurut kehendak orang lain.[47]
Kendati Tolstoy melihat penyebab utama kejahatan sosial adalah pemerintahan, dia tidak mengabaikan masalah properti. Dalam pidatonya, To the Working People, dia menegaskan kaitan antara pemerintah dengan properti, karena hukum-hukum pemerintah dimaksudkan untuk melindungi properti pribadi. Eksploitasi yang dihasilkan adalah akar segala kejahatan, yang tidak hanya menyebabkan penderitaan terhadap mereka yang memiliki properti dan mereka yang dicabut propertinya, melainkan juga membangkitkan konflik antara keduanya. Perang, eksekusi, pemenjaraan, pembunuhan dan kejahatan, semuanya adalah akibat langsung dari kepemilikan pribadi atas properti. Jika ini tidak dihilangkan, Tolstoy meramalkan tiga puluh satu tahun sebelum Revolusi Rusia: “Sebuah revolusi buruh disertai horor penghancuran dan pembunuhan mengancam kita … kebencian dan kejijikan massa tertindas semakin tumbuh sementara kekuatan fisik dan moral kelas-kelas sejahtera semakin melemah; kecurangan, yang menjadi dasar segalanya, memang membosankan.”[48]
Tolstoy tidak hanya menuntut kepemilikan bersama atas tanah melainkan juga ingin mengatasi pembagian kerja, terutama kerja manual dan mental. Dia membuat permohonan bersemangat untuk saling berbagi dalam kerja manusia di dunia. Seperti Proudhon, dia memuja kebaikan dan martabat kerja serta menuntut hidup lebih sederhana yang dekat dengan alam. Dia yakin bahwa akan ada cukup tanah bagi semua orang jika pembagiannya adil.
Sejak kurangnya lahan dan beban pajak mengarahkan orang untuk bekerja di kota-kota, Tolstoy menganjurkan Sistem Pajak Tunggal Henry George[49] untuk membebaskan tanah dari pemiliknya dan memungkinkan para petani bercocok tanam di lahan seluas yang dibutuhkan. Dalam jangka panjang, dia menimbang penghapusan total pajak dan properti tanah. Tapi ideal akhirnya bukanlah sejenis mitos surga pedesaan di pegunungan Peloponnesus, Yunani (Arcadia) pada masa yang silam. Dia mengakui bahwa dibawah kondisi-kondisi yang ada, hampir semua buruh tani sebagaimana buruh pabrik adalah para budak. Dia juga tidak menentang teknologi begitu saja dan berharap, seperti Kropotkin, teknologi itu akan membawa kemajuan teknis yang bisa memberikan kita “kontrol atas alam” tanpa menghancurkan kehidupan manusia.[50]
Cara-Cara Reformasi
Guna mewujudkan masyarakat bebas dan adil, Tolstoy sepenuhnya menanggalkan penggunaan kekuatan fisik. Dia memahami dengan jelas bahwa tidak mungkin menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan yang penuh kedamaian, yakni mengontrol dan lalu menghapuskan kekuasaan : „Segala upaya revolusioner hanya memberikan pembenaran baru atas kekerasan Pemerintah, juga meningkatkan kekuasaan mereka.“[51] Bahkan jika perubahan dalam tatanan yang ada harus dihasilkan dengan cara-cara kekerasan, tidak ada sesuatu pun yang bisa menjamin bahwa musuh tatanan baru itu tidak akan berusaha dan menggulingkannya dengan menggunakan kekerasan yang sama. Tatanan baru itu karenanya harus mempertahankan diri melalui kekerasan dan menjadi rusak dengan sangat cepat seperti tatanan yang lama.[52]
Dengan tepat ia menunjukkan bahwa pembunuhan-pembunuhan politis hanya memperkuat Negara dan memberikan kelonggaran bagi berlanjutnya represi atas rakyat. Membunuh orang hampir bukan merupakan cara yang tepat untuk meningkatkan kondisi orang itu, sementara pembunuhan terhadap raja serta presiden akan seperti memenggal Hydra, monster berkepala banyak dalam mitologi yang jika dipenggal satu kepalanya akan dengan segera tumbuh yang baru.[53] Dalam buku catatannya, Tolstoy bertanya: „Adakah perbedaan antara pembunuhan yang dilakukan oleh seorang revolusioner dengan yang dilakukan oleh polisi?“ Dia menjawab blak-blakan : „Tentu saja ada perbedaan sebagaimana antara kotoran kucing dengan kotoran anjing. Aku tidak suka bau keduanya.“[54] Hanya dengan mengakhiri kekerasan dan perbudakan yang dihasilkan dari kekerasan, maka masyarakat tercerahkan dapat tercipta. Dalam soal ini, Tolstoy adalah salah seorang anarkis paling konsisten dan berpandangan jauh. Dia lebih berharap kepada opini publik, bukannya kekerasan, sebagai alat paling berharga dan efektif untuk membasmi pemerintahan, meski dia mengabaikan potensi tiraninya yang bermaksud membuat orang patuh. Dalam tulisan-tulisannya, dia secara berkelanjutan menyerukan sosok manusia rasional dan bermoral. Baginya, akal dan cinta tidaklah terpisah melainkan dua aspek aktivitas moral yang sama : „Kebajikan akan dihasilkan dari cinta rasional, dibuktikan oleh kebenaran; dan kebajikan hanya dihasilkan dari akal yang mencintai, yang memiliki tujuan kebenaran.“[55]
Tolstoy bersikeras bahwa pemerintahan didirikan atas opini sehingga „opini publik menghasilkan kekuasaan dan kekuasaan menghasilkan opini publik.“[56] Maka dari itu, pemecahannya adalah dengan mengubah opini publik melalui diskusi dan persuasi, dengan menunjukkan bahwa segala pemerintahan adalah berbahaya dan tidak berguna. Hal terpenting untuk disimak orang adalah bahwa kekuatan terletak bukan pada kekerasan melainkan pada kebenaran. Semua organisasi kekerasan menakutkan ini sebenarnya bukanlah apa-apa jika dibandingkan „nurani kebenaran yang bergelora dalam jiwa seseorang yang memahami kekuatan kebenaran, yang dari orang itu dihubungkan kepada orang kedua, ketiga, seperti sebatang lilin yang menyinari sejumlah orang hingga tak terkira banyaknya“.[57] Seperti Godwin sebelumnya, dan Gandhi sesudahnya, Tolstoy memiliki keyakinan teguh atas kemahakuasaan kebenaran.
Bagi Tolstoy, hanya bisa ada “satu revolusi permanen — revolusi moral : regenerasi manusia inti”. Lantaran hanya orang yang hidup menurut nuraninya yang bisa mempunyai pengaruh baik terhadap orang lain, maka dia menganjurkan orang agar berupaya mencapai kesempurnaan diri-inti. Bagi para pekerja, dia mengajukan apa yang dia namakan hukum timbal balik : “demi kesejahteraan sejatimu, kau harus hidup hanya menurut hukum Tuhan, hidup bersaudara, berbuat sesuatu kepada orang lain yang kau harapkan agar orang lain juga berbuat yang sama kepadamu.”[58]
Meskipun menentang perlawanan terhadap kejahatan dengan cara kekerasan fisik, Tolstoy bukanlah orang yang suka ketenangan. Terkesan oleh contoh yang diberikan Thoreau tentang menolak membayar pajak sebagai protes terhadap perbudakan, dia menganjurkan pembangkangan sipil demi membantu membongkar institusi dan praktek kejahatan. Untuk menghapuskan pemerintahan, dia menganjurkan agar orang menolak berpartisipasi di dalamnya, menolak berjuang demi kepentingan mereka, menolak membayar pajak, menolak kekerasan pemerintah demi perlindungan properti atau orang-orang mereka. Mengingat bahwa turut serta dalam pemilihan umum, peradilan hukum, atau dalam administrasi pemerintahan adalah sama dengan berpartisipasi dalam kekerasan pemerintah, Tolstoy menuntut bahwa semua itu mesti dijauhi setiap saat.
Untuk menghilangkan properti tanah, Tolstoy lagi-lagi mengemukakan bahwa para buruh sebaiknya menjauhkan diri dari keikutsertaan dalam masalah properti tanah : “Anda mestinya tidak mendukung ketidakadilan properti tanah, baik dengan kekerasan yang dijalankan bala tentara maupun dengan menyewa atau bekerja di lahan milik para tuan tanah.”[59] Sementara bagi kelas atas, mereka bisa meringankan penderitaan kelas buruh dengan tidak membuat orang bekerja pada mereka, dengan mengerjakan sendiri sejauh mungkin semua pekerjaan yang membosankan dan tidak menyenangkan, dan dengan menemukan proses teknologi untuk mengurangi kerja yang tidak nyaman. Dia juga menganjurkan aktivitas kerjasama dan eksperimen : “pembentukan kerjasama dan partisipasi di dalamnya,” tulis Tolstoy, “adalah satu-satunya aktivitas sosial yang dengannyalah orang memiliki kehormatan diri dan bermoral, yang menolak menjadi bagian dari kekerasan, bisa berpartisipasi dalam waktu kita.”[60]
Yakin akan kekuatan kebenaran, Tolstoy menulis surat panjang kepada Tsar tentang kejahatan otokrasi dan koersi. Ia menuntut Tsar agar menghapuskan kepemilikan pribadi atas tanah. Dalam secarik surat kepada Perdana Menteri, dia lebih lanjut mendukung sistem pajak tunggal Henry George dalam hal tanah dan penghapusan properti pribadi. Mudah ditebak jika mereka menolak nasihat itu. Dengan analisanya yang jitu tentang korupsi kekuasaan dan kekerasan pemerintah, Tolstoy mestinya tidak perlu berharap jawaban yang lain.
Kala itu Tsar dan istananya sangat terganggu oleh kegelisahan di seluruh Rusia, yang disebabkan oleh karya-karya Tolstoy. Juru sensor spiritual, K.P. Pobedonostsev, penguasa Dewan Gereja Suci, dalam laporannya kepada Tsar menambahkan keterangannya tentang para pengikut Tosltoy :
Orang tidak mungkin menyembunyikan kenyataan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, rangsangan intelektual dibawah pengaruh karya-karya Pangeran Tolstoy telah benar-benar menguat dan mengancam, ia menyebarkan gagasan aneh dan sesat tentang keimanan, Gereja, pemerintahan dan masyarakat. Tujuannya sungguh negatif, asing, bukan hanya bagi Gereja melainkan juga bagi semangat nasional. Semacam kegilaan telah menguasai benak orang-orang.[61]
Sebelum Alexander III meninggal pada 1894, salah satu undang-undang pemerintahnya adalah melarang para jurnalis Rusia untuk mengatakan apa pun tentang kehidupan dan karya Tolstoy dalam pers asing.
Dalam masa tuanya, Tolstoy semakin menekankan dasar relijius keyakinan moral dan politiknya. Dia gemar mengklaim bahwa dia tidak berpihak pada pemerintah maupun pada kaum revolusioner, melainkan berpihak pada rakyat. Dia tidak lelah mengulang-ulang pernyataan bahwa satu-satunya metode radikal untuk menghilangkan kekerasan dan penindasan adalah kebangkitan kesadaran relijius rakyat. Sementara dia menulis dalam buku catatannya pada September 1905, “Sosialisme adalah Kristenitas di bawah sadar”, dia toh lantas menulis dalam buku hariannya : “Kaum sosialis tidak akan pernah membasmi kemiskinan dan ketidakadilan yang berada dalam ketimpangan kapasitas. Orang yang lebih kuat dan lebih cerdas akan selalu memanfaatkan orang yang lebih lemah dan bodoh. Keadilan dan kesetaraan dalam unsur-unsur baik kehidupan tidak akan pernah bisa dicapai oleh apa pun kecuali Kristenitas, yakni ketika seseorang menegasikan dirinya dan mengakui bahwa makna hidupnya terletak dalam melayani orang lain.“
Tolstoy memiliki kesadaran yang bersifat meramalkan implikasi-impilikasi jalan Marxis menuju kekuasaan : „Bahkan jika itu harus terjadi sesuai dengan prediksi Marx, maka satu-satunya hal yang akan terjadi adalah timbulnya kelaliman. Saat ini kaum kapitalis berkuasa, tetapi kemudian para pemimpin kelas pekerjalah yang akan berkuasa.“ Tolstoy menilai kaum Marxis keliru tatkala melihat ekonomi sebagai akar segala hal, padahal justru akar segala hal itu adalah kemanusiaan yang berkembang melalui pertumbuhan kesadaran. Ia berpendapat Marx kemudian salah “dalam anggapannya bahwa kapital akan bergerak dari tangan rakyat perorangan ke tangan pemerintah dan dari pemerintah, yang mewakili rakyat, ke tangan kaum buruh”.[62]
Kegagalan Revolusi 1905 di Rusia semata mempertegas pandangan Tolstoy. Kepada seorang kenalannya, dia menulis : “Saya memang gembira dengan adanya revolusi, tapi berdukacita terhadap orang-orang yang menghancurkannya, orang-orang yang justru membayangkan bahwa merekalah yang membuat revolusi itu. Kekerasan rejim lama hanya akan bisa dihancurkan oleh non-partisipasi dalam kekerasan, dan sama sekali bukan oleh undang-undang kekerasan baru dan tolol yang saat ini tengah dijalankan.” Dia menganggap bahwa apa yang diperbuat oleh semua “partai-partai dan komite-komite kocak” itu sebagai sesuatu yang tidak penting dan tidak pula baik : “terkecuali rakyat, rakyat nyata, ratusan juta petani yang menggarap lahan, yang jika dengan non-partisipasi pasif mereka dalam kekerasan membuat segenap khalayak yang tidak karuan, lekas marah dan cepat tersinggung ini menjadi merugikan dan tidak berguna, kita akan sampai pada kediktatoran militer.”[63] Lebih lanjut, dalam artikel On the Social Movement in Russia (1905), dia menolak gagasan liberal bahwa masyarakat yang baik dapat diwujudkan dengan menggantikan pemerintahan konsitusional dengan otokrasi, sambil kemudian menunjukkan kurangnya kebebasan dalam rejim-rejim parlementer di Barat.
Tanggapannya yang lebih penting, dalam The Significance of the Russian Revolution (1906), Tolstoy mengulang pandangannya bahwa rakyat Rusia harus tetap berladang dan menghindari peradaban industri Barat. Satu-satunya cara efektif untuk mengakhiri pemerintahan koersif adalah dengan diterapkannya cinta non-resistan. Ideal ini tidak bisa dicapai oleh gerakan terorganisasi macam apa pun, melainkan oleh setiap peningkatan moral dalam diri individu. Tidak mengherankan jika Lenin, sambil memuji kritisismenya sendiri terhadap eksploitasi kapitalis dan kekerasan pemerintah, menganggap paparan Tolstoy tentang agama sebagai “salah satu hal paling korup yang ada di dunia”. Di mata Lenin, non-resistansi Tolstoyan terhadap kejahatan adalah “penyebab paling serius atas kekalahan gerakan revolusioner pertama”.[64]
Pengagum Tolstoy yang lain, Bernard Shaw, juga meragukan aspek-aspek tertentu dari filsafat sosial dan moral Tolstoy. Bernard Shaw menggolongkan Tolstoy dalam daftar lima orang yang membangun “kesadaran intelektual rasnya”. Namun, kritiknya, bahkan jika kita menganut Tolstoyisme, kita tidak dapat selamanya hidup bergantung pada kemurahan hati orang lain : “Kita bisa menyederhanakan hidup kita dan menjadi vegetarian; tapi bahkan betapapun kecilnya hidup material, ia tetap akan melibatkan problem industrial dalam produksi dan distribusi, dan itu bertentangan dengan Anarkisme … Anarkisme dalam industri, sejauh bisa dipraktekkan, tepatnya akan menghasilkan peradaban yang kita miliki saat ini, maka… hal pertama yang harus dilakukan sebuah komunitas Tolstoyan adalah membuangnya.”[65] Sebagai seorang sosialis Fabian yang mengingkari simpati kaum anarkis terhadap masa mudanya, Shaw menyamakan “anarkisme dalam industri” dengan ekonomi laissez-faire yang didukung oleh Benjamin Tucker — yang kepada jurnalnya, Liberty, Shaw memberikan kontribusi — ketimbang dengan komunisme Kropotkin yang berupaya menghapuskan sistem-upah.
Dalam masa tuanya, Tolstoy dimata isteri dan keluarganya dipandang sebagai yang menambah kesulitan di rumah. Mereka menganggap kebajikannya justru menjengkelkan dan ceramahnya sebagai yang tak tertahankan. Di mata publik, dia sebagaimana biasanya tetap begitu bersemangat dalam urusan keadilan dan kedamaian. Setelah membaca eksekusi hukuman mati dua puluh petani pada 1908 karena menyerang rumah seorang tuan tanah, dia menulis artikel terkenal, I Cannot Be Silent, yang menentang hukuman tersebut. Dia bisa menerima bahwa kejahatan-kejahatan revolusioner memang menakutkan, tetapi tidak sebanding dengan kriminalitas dan kebodohan kekerasan yang dilegitimasi pemerintah. Karena pemerintah mengklaim bahwa eksekusi itu dilakukan demi kesejahteraan umum rakyat Rusia, dia merasa bahwa sebagai bagian dari rakyat Rusia, dia termasuk seorang partisipan secara tidak sadar dalam kejahatan itu. Untuk membebaskan dirinya dari posisi yang tidak bisa ditolerir, dia menulis:
semua perbuatan tak berperi kemanusiaan ini harus dihentikan, atau bahwa keterkaitanku dengannya bisa diputuskan dan aku dijebloskan ke dalam penjara, yang di sana aku mungkin sadar dengan jelas bahwa semua horor ini tidak dilakukan atas kepentinganku; atau masih lebih baik (demikian baiknya sehingga aku tidak berani memimpikan kebahagiaan) bahwa mereka (pemerintah) menimpakan padaku, sebagaimana pada dua belas atau dua puluh petani itu, kain kafan dan borgol serta mungkin menyingkirkanku, sehingga dengan bebanku sendiri aku bisa mengetatkan hidungku yang bersabun ke kerongkongan tuaku.[66]
Menjelang akhir hidupnya, versi Kristen dan pasifis Tolstoy tentang anarkisme memperoleh banyak pengikut dan Yasnaya Polnaya menjadi tempat berziarah. Dia memberikan banyak dukungannya terhadap banyak persoalan, termasuk membantu orang-orang tertindas Dukhobors beremigrasi ke Kanada — mereka berkeyakinan seperti Tolstoy bahwa orang tidak boleh menaati manusia lebih daripada Tuhan-. Dia selalu siap menawarkan nasihatnya bagi para reformis sosial. Beberapa saat sebelum meninggal, Tolstoy menulis kepada Gandhi, yang telah terpompa semangatnya setelah membaca The Kingdom of God is Within You, bahwa cinta, yakni upaya keras jiwa manusia menuju kesatuan dan aktivitas yang dihasilkan dari upaya keras itu, adalah hukum tertinggi dan merupakan satu-satunya hukum kehidupan manusia. ”Karena cinta bertentangan dengan kekerasan,” dia menyimpulkan “segala pajak yang dikumpulkan melalui kekerasan, institusi peradilan dan polisi kita dan, yang terpenting, angkatan bersenjata kita harus dihapuskan”.[67]
Apa pun kegagalannya, Tolstoy telah berupaya keras untuk mempraktekkan apa yang ia ceramahkan. Cita-cita besarnya tentang kesucian berkali-kali terkalahkan di tempat tidurnya sendiri; luapan hasratnya telah menyingkirkan ketenangan akalnya. Tapi di lapangan dia sungguh-sungguh membagi kerja manual seperti seorang muzhik yang saleh. Dia berdandan sederhana, menolak dilayani pelayan, mengerjakan tugas sendiri, hidup seperti petani di tanahnya sendiri dan menjalankan diet vegetarian. Dia menyerahkan nasib pada istrinya dan memasrahkan hak cipta buku-buku terakhirnya. Namun meski perilakunya mempertinggi reputasi internasionalnya, ini hanya menambah permasalahan dengan keluarganya yang tidak bisa memahami tujuan barunya; hanya putri bungsunya yang bersimpati.
Keadaan menjadi lebih buruk sehingga Tolstoy memutuskan untuk pergi dan tinggal di sebuah biara. Dia meninggalkan Yasnaya Polnaya pada musim dingin 1910 dalam usia delapan puluh dua, ditemani dokternya serta putri bungsunya. Selama perjalanan panjang dalam kereta, dia mendadak sakit dan meninggal di persimpangan kecil rel kereta api di Astavopo. Untuk memenuhi keinginannya, dia dimakamkan di hutan di tanah miliknya dahulu, dimana dia sewaktu kecil bersama kakak laki-lakinya, yakin bahwa sebuah tongkat kecil harus ditemukan, tongkat yang bisa menanggulangi segala kejahatan di dunia.
Setelah kematiannya, komunitas-komunitas Tolstoyan menyebar ke seluruh Eropa. Karya-karya terakhirnya membangkitkan perasaan mereka yang memusatkan perhatian pada keberlangsungan individu di dunia yang semakin menjadi lebih otoriter dan materialis. Di Amerika, keyakinannya menemukan gaungnya dalam anarkisme Kristen Dorothy Day dan Ammon Hennacy dan mereka diasosiasikan dengan The Catholic Worker.
Setelah perebutan kekuasaan oleh kaum Bolshevik, yakni otoritas yang mengacuhkan filsafat sosialnya sekaligus juga menjelaskannya, Tolstoy termasyhur di negerinya sendiri sebagai sastrawan. Cukup ironis, properti yang ditinggalkan pemikir anarkis besar itu di Yasnaya Polnaya telah menjadi museum Negara yang dikunjungi oleh lima ribu orang setiap harinya. Pandangan subversifnya tentang militerisme, patriotisme dan pemerintahan dapat dipisahkan dari edisi paling definitif dari tulisan-tulisannya yang diterbitkan dalam sembilan puluh jilid di Uni soviet pada 1958.
Pengaruh tidak langsung Tolstoy yang paling besar sebagai seorang pemikir moral dan sosial boleh jadi tergelar di India. Gandhi mengembangkan Doktrin Tolstoy tentang non-resistansi menjadi senjata yang sangat efektif dalam kampanye mengusir penjajahan Inggris. Tapi Gandhi bergerak jauh di luar Tolstoy dengan mengembangkan tindakan kolektif dan mengorganisasikan kampanye pembangkangan masa. Sementara Tolstoy menyatakan “negara non kekerasan ideal adalah anarki yang tertata”, Gandhi menerima kebutuhan akan adanya satu pemerintahan terbatas dan bentuk demokrasi tak langsung sebagai langkah menuju cita-cita.[68] Gerakan Sarvodaya Gandhian (para pengikut Gandhi), yang berkembang di India setelah kemerdekaan di bawah bimbingan Vinoba Bhave, mendekati prinsip-prinsip Tolstoy. Bhave menegaskan kebutuhan akan satyagraha positif, yaitu bantuan non-kekerasan bagi orang lain.[69]
Di Barat, pesan Tolstoy, terutama yang diperantarai oleh Gandhi yang memberinya aplikasi lebih praktis, menemukan lahan suburnya dalam gerakan damai setelah Perang Dunia Kedua, ketika negara-negara adikuasa menggunakan ancaman penghancuran lewat nuklir sebagai alasan untuk mempertahankan kekuasaan dan mengendalikan rakyatnya. Tolstoy terbukti seorang tokoh berpengaruh dalam proses saling mendekati atau rapprochment kala itu antara tradisi pasifis dengan anarkis; taktiknya, yaitu aksi langsung tanpa kekerasan dan pembangkangan sipil, dalam tahun enam puluhan selintas tampak mampu mewujudkan revolusi damai. Para libertarian yang jumlahnya semakin bertambah, telah mengakui pandangan sentral Tolstoy bahwa kekerasan tidak bisa digunakan untuk menghilangkan kekerasan negara, dan juga tidak mungkin merenggut kekuasaan dengan tujuan menghapuskannya.
Masih mungkin bagi seorang penulis biografi seperti A.N Wilson untuk menyebut anarkisme relijius Tolstoy sebagai yang paling jelek di Rusia dan yang paling tolol dari ajaran-ajarannya.’[70] Tidak ada yang bisa lebih jauh dari kebenaran. Hampir bukan suatu kebetulan bahwa aristokrasi Rusia telah menghasilkan tiga pemikir anarkis terbesar abad sembilan belas, Bakunin, Kropotkin dan Tolstoy. Mereka semua mampu dalam jarak dekat menyaksikan tirani rejim Tsar, dan sebaliknya, mengilhami komunitas-komunitas petani untuk hidup dalam tata perilaku yang teratur dan damai tanpa sedikit pun pemerintahan.
Anarkisme relijius Tolstoy merepresentasikan upaya bersikeras yang tak menentu dalam mencari makna. Dengan menekankan cahaya akal dan kerajaan Tuhan dalam diri, dia tidak hanya menggaungkan kaum anarkis mistis Abad Pertengahan, tetapi juga mengantisipasi teologi radikal modern terbaik. Karena Tolstoy menafsirkan ajaran Gospel dengan cara-cara pasifis dan anarkis, dan memiliki keberanian untuk mempraktekkan (kendati tidak selalu berhasil) apa yang ia ceramahkan, dia akan selalu menjengkelkan mereka yang tinggal di gereja yang nyaman, dilindungi para birokrat dan sinisme. Dia akan selalu mengilhami mereka yang berupaya mengakhiri dengan damai setiap penindasan dan eksploitasi, serta mereka yang menatap ke depan menuju dunia persahabatan kreatif.
[1] Simak Henri Troyat, Tolstoy, terj. Nancy Amphoux (W.H. Allen, 1968), hal. 16
[2] Dikutip dari Ernest J. Simmons, Tolstoy (Routledge & Kegan Paul, 1973), hal. 24
[3] Tolstoy, ‘The Slavery of Our Times’, Social Evils and Their Remedy, suntingan Helen Chrouschoff Matheson (Methuen, 1915), hal. 102
[4] Catatan Buku Harian, 4 Maret 1855, Tolstoy’s Diaries, suntingan R.F. Christian (Athlone Press, 1985), hal. 101
[5] Tolstoy kepada V.P. Botkin, 24-5 Maret/5-6 April 1857, Tolstoy’s Letters, suntingan R.F. Christian (Athlone Press, 1978), I, 95-6
[6] A Confession, The Gospel in Brief, and What I Believe, terj. Aylmer Maude (Oxford Univ. Press, 1974), hal. 12
[7] Buku catatan, 25 Mei 1857, dikutip dari Simmons, Tolstoy, op.cit., hal. 54
[8] Ibid., 13 April 1857
[9] Ibid., 24 Mei 1857
[10] A Confession, The Gospel in Brief, and What I Believe, op.cit., hal. 13
[11] ‘The School at Yasnaya Polyana’, Patterns of Anarchy, op.cit., hal. 476
[12] Tolstoy kepada S.N. Tolstaya, 15 Mei 1902, Letters, op.cit., II, 618-19
[13] ‘Education and Culture’, dalam Tolstoy on Education, terj. Leo Wiener (Chicago: Univ. of Chicago Press, 1967). Simak juga Joel Spring, A Primer of Libertarian Education (New York: Free Life Editions, 1977), hal. 47-8
[14] Tolstoy kepada A.M. Kalmykova, 31 Agustus 1896, Letters, op.cit., II, 539
[15] Dikutip dari Troyat, Tolstoy, op.cit., hal. 220
[16] Ibid., hal. 205
[17] Tolstoy kepada Kaisar Alexander II, 22 Agustus 1862, Letters, op.cit., I, 164
[18] ‘What Then Must We Do?’ (1886), The Works of Leo Tolstoy, terj. Louise & Aylmer Maude (1929-1937), XIV, 384
[19] Dikutip dari Simmons, Tolstoy, op.cit., hal. 154
[20] Social Evils, op.cit., hal. 235-6
[21] Isaiah Berlin, The Hedgehog and the Fox: an essay on Tolstoy’s view of history (New York: 1953), hal. 39
[22] A Confession, The Gospel in Brief, and What I Believe, op.cit., hal. 17
[23] Ibid., hal. 8
[24] Social Evils, op.cit., hal. 206; ‘Introduction’, A Confession, The Gospel in Brief, and What I Believe, op.cit., hal. xv
[25] Ibid., hal. 167
[26] Ibid., hal. 531-2
[27] Tolstoy kepada Alexander III, 8-15 Maret 1881, Letters, op.cit., II, 343
[28] ‘The Kingdom of God is Within You’, The Lion and the Honeycomb: The Religious Writings of Tolstoy, suntingan A.N. Wilson (Collins, 1987), hal. 89-90
[29] A.N. Wilson, Tolstoy (Hamish Hamilton, 1988)
[30] Tolstoy, ‘A Reply to the Synod’s Edict of Excommunication’ (1901), On Life and Essays on Religion, Works, op.cit., XII, 223
[31] The Kingdom of God and Peace Essays, ibid., XX, 135
[32] Ibid., hal. 330
[33] ‘The Slavery of Our Times’, Social Evils, op.cit., hal. 97
[34] ‘Patriotism and Government’, Works, op.cit. XLVI, I, 250
[35] ‘Letter to a Non-Comissioned Officer’, Tolstoy on Civil Disobedience and Non-Violence, (New York: Mentor, 1967), hal. 121
[36] On Patriotism, On Civil Disobedience, op.cit., hal. 79
[37] Tolstoy, ‘Patriotism and Government’, Works, op.cit., XLVI, I, 252
[38] Ibid., hal. 261
[39] ‘Slavery of Our Times’, Social Evils, op.cit., hal. 105
[40] Tolstoy, ‘On Anarchy’, ibid., hal. 185
[41] Simak ‘To the Working People’, ibid., hal. 24
[42] ‘Government’, ibid., hal. 135
[43] ‘Patriotism and Government’, Works, op.cit., XLVI, I, 259
[44] Surat yang ditujukan kepada The Daily Chronicle (1895), Tolstoy on Civil Disobedience, op.cit., hal. 138
[45] ‘On the Negro Question’ (1904), Ibid., hal. 283
[46] ‘Government’, Social Evils, op.cit., hal. 132
[47] ‘The Slavery of Our Times’, ibid., hal. 68
[48] ‘What Then Must We Do?’, Works, op.cit., XIV, 357-8
[49] Sebuah doktrin reformasi sosial yang diajukan pada 1880-an oleh Henry George, filsuf dan ekonom Amerika, yang menekankan bahwa semua orang memiliki hak yang sama atas tanah.
[50] ‘Slavery of Our Times’, Social Evils, op.cit., hal. 79
[51] ‘Government’, ibid., hal. 138
[52] Simak Tolstoy kepada A.M. Kalmykova, 31 Agustus 1896, Letters, op.cit., II, 540
[53] Simak ‘”Thou Shall Not Kill” – On the Death of King Humbert’ (1900), On Civil Disobedience, op.cit., hal. 155
[54] Dikutip dari Simmons, Tolstoy, op.cit., hal. 212
[55] Social Evils, op.cit., hal. 206
[56] Ibid., hal. 93
[57] Ibid., hal. 190
[58] ‘To the Working People’, ibid., hal. 47
[59] Ibid., hal. 45
[60] Tolstoy kepada V.F. Totomiants, 23 Januari 1910, Letters, op.cit., II, 696
[61] Dikutip dari Simmons, Tolstoy, op.cit., hal. 204
[62] Ibid., hal. 212
[63] Tolstoy kepada A.Y. Alipov, 20 September 1906, Letters, op.cit., II, 659
[64] Lenin o Tolstom (Moscow-Leningrad, 1928), hal. 24. Diantara artikel-artikel Lenin tentang Tolstoy, yang paling penting adalah Leo Tolstoy as a Mirror of the Russian Revolution.
[65] Shaw kepada R. Ellis Roberts, Februari 1900, Letters, op.cit., II, 677
[66] ‘I Cannot Be Silent’, Works, op.cit., XXI, 404-11
[67] Tolstoy kepada Mohandas Gandhi, 7 September 1910, Letters, op.cit., II, 706
[68] Gandhi, Democracy, Real and Deceptive (Ahmedabad, 1961), hal. 28
[69] Tentang gerakan Sarvodaya, simak Geoffrey Ostergaard & M. Currell, The Gentle Anarchist (Oxford: Clarendon Press, 1971); dan Ostergaard, Nonviolent Revolution in India (New Delhi: Gandhi Peace Foundation, 1985)
[70] Wilson, ‘Introduction’, Religious Writing, op.cit., hal. 16