Roxanne
Kita Semua Queer!
Queer sengaja tidak memiliki bentuk khusus sehingga memungkinkan adanya interseksionalitas dalam identitas manusia. Ketika kita mengatakan queer, hal itu membuka berbagai macam kemungkinan.
Mungkin ada baiknya saya mengawali essai ini dengan mengungkapkan kegagalan. Saya gagal untuk menggambarkan sebuah ide tentang seksualitas sebagai spektrum yang dinamis dan berkembang dari waktu ke waktu. Ada kendala bahasa yang tidak bisa saya gunakan sehingga terpaksa menggunakan terminologi queer. Tom Boellstorff menjelaskan kegagalan yang saya alami sebagai “sulih suara budaya” di mana terminologi queer yang berasal dari Bahasa Inggris dan budaya barat tidak saya temukan di bahasa yang saya gunakan sehari-hari. Seolah queer adalah benda asing padahal saya merasa makna yang ingin direpresentasikan terasa dekat dalam masyarakat Nusantara. Saya tidak mengatakan queer yang ada di barat sama persis dengan yang ada di Nusantara. Seperti yang dicontohkan oleh Tom Boellstorff tentang Orang Inggris yang gay dan Orang Indonesia yang gay, seperti hubungan antara “cantik” dalam bahasa Inggris (beauty) dan konsep biyuti yang digunakan oleh laki-laki gay Filipina (Manalansan 2003:15). Oleh karena itu saya memutuskan penggunaan terminologi queer berikut adalah sebuah terminologi yang terbuka untuk dikontestasikan dan menolak untuk didisiplinkan dalam suatu definisi tetap.
Ketika saya memberi judul esai ini “Kita Semua Queer”, saya tidak sedang membicarakan queer untuk merepresentasikan identitas payung bagi non-heteroseksual. Saya justru sedang berupaya untuk membangun argumen bahwa queer adalah hal yang inklusif dan setiap manusia memiliki ke-queer-an dalam dirinya. Argumen saya dikuatkan oleh pendapat Hendri Yulius, “Queer bukanlah LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender. Teori queer dapat menjadi alat untuk membongkar seksualitas kita, baik heteroseksual maupun LGBT.” Bagaimana mungkin? Biarkan saya mengambil beberapa contoh sederhana sebagai berikut. Beberapa, tidak semua!
Jika kamu gelisah karena dianggap bukan sebagai perempuan atau laki-laki sejati? Kamu adalah queer.Konsep kesejatian dikaitkan bagi seseorang yang mampu memerankan peran gender sesuai dengan jenis kelaminnya (cis-gender). Misalnya seorang laki-laki dikatakan sejati jika ia adalah seseorang yang maskulin, kuat, dan berkuasa. Sebaliknya laki-laki yang lemah lembut dan tidak berkuasa dianggap kurang kelaki-lakiannya dan dimaki bencong. Queer menolak konsep kesejatian. Pertama, gender bukanlah takdir bawaan lahir. Gender adalah peran maskulin, feminim dan lainnya yang dikonstruksi oleh budaya. Kenyataannya setiap budaya memiliki pola maskulinitas dan feminitas yang berbeda-beda. Di Budaya Jawa sendiri yang patriarkis, laki-laki dapat memerankan penari feminim di sebuah pertunjukkan yang diadakan keraton. Hal tersebut menandakan bahwa laki-laki tidak harus selalu maskulin.
Kedua, Queer menolak bineritas laki-laki dan perempuan. Jika ada anggapan bahwa manusia diciptakan laki-laki dan perempuan berdasarkan jenis kelamin lahir. Anggapan tersebut melupakan bahwa ada interseks selain penis dan vagina. Maka gender sebenarnya tidak ada kaitannya dengan jenis kelamin. Gender adalah konstruksi masyarakat yang sangat mungkin untuk dikontestasikan. Konsep kesejatian sebenarnya tidak memiliki pijakan kuat karena unsur seksualitas di dalam budaya sebenarnya cukup beragam.
Kamu sering dikatakan “sekong” (baca: sakit) padahal kamu tidak sakit, kamu sebenarnya adalah queer.Mereka yang mengatai dirimu sekong sedang mengidap penyakit “kenormalan” di dalam pola pikir mereka. Secara kasat mata otak mereka membagi mana seksualitas yang normal dan tidak normal. Menurut Judith Butler, ”Norma sosial yang membentuk keberadaan kita membawa keinginan yang tidak bersumber dari kepribadian asli kita. Hal ini menjadi lebih kompleks dengan fakta bahwa kelangsungan hidup kita pada dasarnya bergantung pada norma-norma sosial ini” Seseorang dinilai “manusia” jika mampu mematuhi norma-norma sosial yang berlaku di dalam masyarakat sedangkan orang yang tidak mampu mematuhi norma sosial akan dianggap “kurang manusia.” Mereka mengatakan LGBT adalah penyakit karena berpijak hanya hubungan heteroseksual saja yang dianggap normal. Namun hal tersebut hanyalah gejala dari sebuah kuasa besar terhadap seksualitas manusia.
Sejak negara melihat seksualitas sebagai bagian dari populasi bukan hal intim (pribadi) dari manusia. Heteronormativitas dijaga demi stabilitas kekuasaan. Negara menginjeksi kenormalan ke dalam norma masyarakat, agama, ilmu pengetahuan, media massa, dsb. Agar negara merasa perlu segera bertindak ketika seseorang mulai mempertanyakan seksualitasnya karena kesadaran adalah bibit pemberontakan. Jadi jika kamu dimaki sekong, mereka melihat kamu sebagai pemberontak juga.
Kamu merasa bingung memikirkan identitas gender karena tidak ada yang sesuai, mungkin queer adalah pilihan sederhana yang bisa kamu pilih. Identitas gender adalah cara kamu mengidentifikasi seksualitas atas dasar perasaan yang sangat personal. Ada berbagai identitas gender seperti laki-laki, perempuan, biseksual, lesbian, gay, transpuan, transmen, aseksual dll. Walaupun banyak sekali identitas gender, sangat mungkin untuk merasa tidak sesuai dengan satu identitas yang ada. Pada dasarnya manusia memiliki keterhubungan dengan berbagai hal seperti identitas (ras, kelas, jenis kelamin, seksualitas,dll). Semuanya saling berhubungan dan tidak mungkin untuk memisahkan berbagai identitas dari satu sama lain.
Bagaimana queer bisa menjadi pilihan yang sederhana? Queer sengaja tidak memiliki bentuk khusus sehingga memungkinkan adanya interseksionalitas dalam identitas manusia. Ketika kita mengatakan queer, hal itu membuka berbagai macam kemungkinan. Seperti sifat seksualitas yang cair dan dinamis. Mungkin itu salah satu alasan kenapa queer sering dikaitkan sebagai terminologi payung keberagaman seksualitas.
Jika kamu merasa memiliki seksualitas yang berbeda (non-normatif) tetapi tidak berani untuk mengekspresikannya, kamu tetaplah queer. Di belahan dunia lain, menjadi queer adalah sesuatu yang bisa mengancam keselamatan diri. Hal itu tidak memungkinkan seseorang untuk mengekspresikan gender karena situasinya. Judith Butler mengungkapkan sebuah wacana “undoing gender” tentang praktik improvisasi yang dilakukan seseorang dalam situasi yang serba terbatas. Dalam situasi tersebut seseorang akan melakukan hal berbagai adaptasi dan negosiasi yang berdampak positif atau negatif terhadap dirinya. Gender yang diekspresikan seseorang dalam situasi yang terbatas menjadi sebuah upaya bertahan hidup. Hal tersebut mungkin bukan keinginan dirinya yang sesungguhnya tetapi dia tidak memiliki pilihan. Mari ambil sebuah contoh, ada seorang perempuan lesbian yang dipaksa menikah dengan laki-laki. Apakah dia kehilangan ke-queer-an setelah menikah?
Kita semua queer? Saya berpendapat peran seseorang di dalam masyarakat bisa sangat cair. Gender tidak sama dengan jenis kelamin lahir. Jenis kelamin memberikan pembedaan fungsi reproduksi namun bisa saja tidak memiliki pengaruh langsung terhadap gender seseorang. Gender adalah sebuah konstruksi masyarakat dan bukanlah takdir yang tidak bisa dirubah. Di berbagai budaya, gender dikonstruksikan berbeda-beda tergantung pada berbagai macam faktor seperti alam dan mitos yang mendasari cerita tentang asal-mula manusia. Oleh karena itu jika ada anggapan tentang laki-laki dan perempuan adalah bawaan lahir. Kita seharusnya bertanya kembali apakah laki-laki yang satu dengan laki-laki yang lain itu sama. Jangan-jangan selama ini kita menganggap seseorang sebagai laki-laki hanya karena dia berpenis saja?
Saya sendiri mengamati bahwa peran perempuan dan laki-laki dalam budaya patriarki mulai menuju inklusivitas. Di konteks tertentu, kita akan sulit menemukan batas antara maskulinitas dan feminitas. Di dalam pembagian kerja berdasarkan gender (gender division of labor), sudah banyak ruang dimana gender tidak dipertimbangkan sebagai syarat. Saya pun berpikir pada satu titik tertentu di hari ini dan masa depan (saya menyebutnya gender anarchy), kita semua adalah queer pada akhirnya.
Rujukan:
-
Mosse, Julia Cleves. 2007. Gender dan Pembangunan.
-
Bornstein, Kate. 2013. My New Gender Workbook: A Step-by-Step Guide to Achieving World Peace Through Gender Anarchy and Sex Positivity.
-
Butler, Judith. 2004. Undoing Gender.
-
Wardhani, Wulan Kusuma. 2019. Teori Queer Sebagai Alat Pengkritik Norma-norma Tradisional. https://magdalene.co/story/teori-queer-sebagai-alat-pengkritik-norma-norma-tradisional