Banyak orang yang bermimpi untuk melakukan perubahan sosial ternyata lupa untuk melakukan pembebasan dari lingkup yang paling kecil, yaitu dirinya sendiri.

Membaca judul di atas mungkin kalian akan bertanya-tanya apa itu Queer atau siapakah Queer? Beberapa diantara kalian mungkin pernah mendengar kata Queer dari terminologi LGBTIQ (Lesbian,Gay, Bisexual, Trans, Intersex, Queer). Gay yaitu seorang laki-laki yang menyukai laki-laki, lesbian seorang perempuan yang menyukai sesama perempuan dsb. Itulah identitas gender yang kita kenal selama ini selain perempuan dan laki-laki. Lalu apa dan siapakah Queer? Apakah dia seorang laki-laki, perempuan, atau yang lain? Identitas gender tidak mampu menjelaskan siapakah Queer walau di dalam terminologi umum dia dilekatkan erat dengan terminologi LGBTIQ.

Untuk mencari tahu tentang Queer kita perlu mendengarkan gagasan Judith Butler mengenai gender. Melalui teori performativitas, Butler mengungkapkan bahwa gender bukanlah soal siapa kamu tetapi apa yang kamu lakukan (ekspresi dan perilaku). Hal tersebut berbeda dengan wacana politik identitas yang memandang gender sebagai sebuah identitas yang esensial. Dalam konteks tertentu identitas digunakan untuk mempermudah identifikasi seksualitas seseorang, namun identifikasi ini sangat mungkin keliru karena identitas memunculkan pola-pola kaku sementara seksualitas bersifat cair (dinamis). Kita tidak bisa menganalogikan kecairan seksualitas seperti seseorang yang memerankan pertunjukan teater atau drag queen yang bisa sesukanya merubah perannya di dalam seni pertunjukan. Seksualitas yang cair adalah ketertarikan seksual, ekspresi gender, modifikasi tubuh, dan penyesuaian kelamin yang berubah dari waktu ke waktu. Sesuatu yang bisa diubah atas pilihan atau terpengaruh oleh situasi seseorang.

Queer memandang seksualitas tidak lepas dari hegemoni wacana dan kuasa atasnya. Tidak semua orang memiliki ruang untuk berekspresi dan bertingkah sesuai yang dia inginkan. Misalkan seorang perempuan harus menikah dengan laki-laki padahal sebenarnya dia menyukai sesama perempuan. Ia tidak bisa menolak pernikahan yang sudah ditentukan oleh keluarganya. Apakah orang tersebut lantas bukan Queer karena dia menikah dengan seorang laki-laki dan dianggap sebagai heteroseksual oleh orang lain?

Sampai di sini saya ingin mengajak kalian untuk meninggalkan pertanyaan siapakah Queer? Queer bukan hanya homoseksual saja, dia bisa jadi heteroseksual, biseksual, dsb. Mendefinisikan Queer adalah suatu hal yang sangat menantang. Queer berasal dari terminologi Bahasa Inggris. Menurut pemahaman penulis, kata Queer belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan beberapa ahli seksualitas Nusantara tetap menggunakan Queer untuk menangkap makna ke-queer-an. Namun, bukan berarti makna Queer yang berasal dari Budaya Amerika-Eropa sama dengan makna yang ada di Nusantara. Saya melihat celah bahwa Queer Nusantara memiliki karakteristik yang berbeda. Queer bisa menjelma menjadi banci, bencong, cong, cyn, lonte, mbakbro dan berbagai kosakata yang merepresentasikan penolakan politis terhadap kemapanan seksualitas.

Menurut Nikki Sullivan, Queer adalah disiplin ilmu yang menolak untuk didisiplinkan. Walaupun demikian Teori Queer memiliki beberapa hal yang serupa yaitu menolak politik identitas dan memahami seksualitas secara kontekstual. Kita harus memulai melihat seksualitas tidak hanya sebatas teori, tetapi juga praktek keseharian yang ada di sekitar kita.

Kenapa Queer Anarkis? Apakah ada kaitan antara seksualitas dan anarkis? Pertanyaan ini penting untuk dipertanyakan karena kita perlu melihat seksualitas secara politis. Banyak orang yang menyatakan dirinya ideologis dan bermimpi untuk melakukan perubahan sosial ternyata lupa untuk melakukan pembebasan dari lingkup yang paling kecil yaitu dirinya sendiri. Seksualitas adalah hal yang paling intim dari diri manusia. Menurut saya, seseorang yang bermimpi untuk melakukan perubahan sosial seharusnya terlebih dahulu memulai pembebasan dirinya, pembebasan seksualitas.

Tanpa kita sadari atau tidak, tubuh kita adalah medan pertarungan politik kuasa. Apakah kita masih mengingat Undang-Undang Pornografi atau perda-perda yang mengatur kewajiban seorang perempuan berhijab? Peraturan tersebut adalah contoh bagaimana negara mengintervensi seksualitas warga negaranya supaya sesuai dengan heteronormativitas. Sebagai orang yang sadar, kita tentunya perlu untuk membuat pernyataan politis dan oleh karena itu penting bagi kita untuk memilih Queer Anarkis sebagai ruang kritik.

Ruang kritik tersebut akan saya mulai dengan mencari tahu akar kekerasan (penindasan) berbasis gender. Rubin Gayle mengatakan bahwa masyarakat menganut hierarki seks dalam sistem budaya, agama, hukum, media massa, dll. Kuasa tersebut membagi seksualitas ke dalam pembagian biner: normal-tidak normal, legal-kriminal, halal-dosa, dsb. Sebagai contoh, agama hanya mengakui hubungan heteroseksual dan memandang homoseksual sebagai dosa. Dari contoh tersebut kita dapat memahami bahwa heteroseksual dipandang lebih tinggi dari homoseksual. Ada otoritas yang membatasi sebuah seksualitas yang halal (diperbolehkan) dan yang berdosa (dilarang). Orang yang melakukan perbuatan terlarang menurut otoritas tersebut lalu akan dihukum dan terjadilah kekerasan berbasis gender.

Orang-orang menguatkan batas biner tersebut untuk menciptakan kemapanan seksualitas bernama heteronormativitas. Michael Warner adalah orang pertama yang menggunakan terminologi tersebut pada tahun 1991. Dia mendasarkan teorinya pada teori hierarki seks yang dikembangkan oleh Rubin Gayle. Menurut Warner, heteronormativitas merujuk pada sebuah sistem budaya yang menganggap hubungan normal dan alami adalah hubungan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan memerankan peran konvensional mereka, yang sesuai dengan norma budaya setempat. Hubungan seksual adalah ketika laki-laki melakukan penetrasi kepada perempuan.

Heteronormativitas kemudian melahirkan pandangan homophobia dan heteroseksisme. Homophobia adalah pandangan negatif dan tindakan diskriminatif terhadap homoseksual. Sedangkan heteroseksisme adalah pikiran dan tindakan diskriminatif yang terjadi karena bias maskulinitas dan feminitas. Misalnya, laki-laki feminim sering diganggu karena dianggap bukan laki-laki sejati. Dibalik orang-orang yang ditindas oleh heteronormativitas, ada kelompok orang yang mendapatkan privilege (hak istimewa). Peggy McIntosh menyebutnya dengan straight privilege, atau hak istimewa sebagai seorang heteroseksual. Dia menggambarkan bagaimana seorang laki-laki kulit putih mendapatkan banyak keuntungan dari statusnya dibandingkan seorang perempuan kulit berwarna. Jika kita bandingkan dengan di Indonesia, straight privilege ini mungkin dimiliki oleh seorang laki-laki Jawa yang menikah.

Setelah memahami akar kekerasan (penindasan) berbasis gender, apa yang kemudian ditawarkan oleh Queer Anarkis? Sebagai sebuah ide, saya mengajak kalian untuk berimajinasi tentang sebuah keadaan di mana tidak akan ada lagi kekerasan berbasis gender dengan menghapuskan heteronormativitas. Saya menyebut keadaan itu sebagai anarki gender. Bayangkan sebuah keadaan di mana kita tidak perlu terhalang oleh sekat-sekat identitas gender. Semua orang memiliki hak dan akses yang sama. Semua orang bisa menjadi apa saja. Semua orang berdaya untuk mengatur tubuhnya masing-masing.

Hal-hal kecil apa yang bisa kita lakukan? Pertama, lakukan gender sesuai gayamu. Tanpa bermaksud mengesampingkan kuasa heteronormatif yang ada di sekitar kita, saya ingin mengajak kalian untuk menantang berbagai ajaran seksualitas yang diajarkan oleh berbagai institusi kuasa seperti agama, hukum, sistem budaya dll. Kita tidak membutuhkan legitimasi atas gender kita. Kita tidak perlu menjebak diri kita pada keharusan untuk menjelaskan apakah gender kita. Kita pun seharusnya tidak perlu memikirkan gender orang lain.

Kedua, meyakini seksualitas itu cair (dinamis). Alasan mengenai hal ini sudah saya sampaikan secara sederhana di paragraf atas. Ketiga, melela itu tidak perlu. Saya belum menemukan sebuah alasan orang melela selain untuk mendapatkan pengakuan atas ke-queer-annya. Kenapa kita harus mengungkapkan seksualitas kita sementara orang-orang yang memiliki privilege tidak perlu melakukannya? Alasan lain kenapa kita tidak perlu melela adalah bertentangan dengan fakta bahwa seksualitas cair. Jika demikian berapa kali kita harus melela?

Keempat, tolak asimilasi. Asimilasi adalah upaya penggabungan Queer ke dalam sistem kenormalan seksualitas. Misalnya gerakan Queer untuk menuntut pernikahan sesama jenis. Pernikahan bukan solusi atas kekerasan berbasis gender. Queer justru perlu mengkritik institusi pernikahan. Queer tidak membutuhkan kenormalan (kemapanan).

Kita tidak harus selalu menegosiasikan diri dengan sistem seksualitas masyarakat. Negosiasi sesungguhnya adalah proses untuk memoderasi kekerasan dan hal tersebut tidak bisa ditolerir. Di dalam sejarah gerakan, kita perlu menolak asimilasi karena hal itu adalah taktik pecah belah bagi queer yang ingin bersatu melawan penindasan. Liberalisasi harus kita pilih sebagai jalan satu-satunya karena pembebasan yang sesungguhnya adalah pembebasan diri.

***

Referensi:

1. Meg John Barker dan Julia Scheele, Queer a Graphic History.

2. Judith Butler. Gender Trouble.

3. Kate Bornstein. My New gender Workbook.

4. Gender Anarchy Manifesto, http://www.strike.coop/gender-anarchy-manifesto