Title: Otopsi Syair
Subtitle: Antologi Puisi Itjang Djoedibarie
Language: Bahasa Indonesia
Date: 2025
Source: Otopsi Syair (2025)

وتوڤسي سياير

O t o p s i S y a i r

ANTOLOGI PUISI ITJANG DJOEDIBARIE

Pengantar: Bonang P. Sirait

Prolog: Hamdan Muhammad
Epilog: Iman Tato

The author of this work hereby waives all claim of copyright (economic and moral) in this work and immediately places it in the public domain; it may be used, distorted or destroyed in any manner whatsoever without further attribution or notice to the creator.

OTOPSI SYAIR
ANTOLOGI PUISI ITJANG DJOEDIBARIE

Penulis: Itjang Djoedibarie

Penyunting: Hamdan Muhammad

Penata sampul: Sanda Selamba

Penata isi: Dadang Rukmana

Naskah diramu dan dikumpulkan oleh

Arsip Bawah Tanah Tjikeroeh & Tandjoengsari

Pertama kali diterbitkan secara terbatas oleh Komite Hitam pada 1982 dalam bahasa Inggris dan diselundupkan ke dalam beberapa penjara di Asia untuk mendukung kepenyairan tahanan politik anarkis internasional.

oleh Komite Hitam, Mei 1982
oleh Project Muslihat Committee, Mei 2025

ix + 57 halaman, 11.8 x 16.8 cm

ISBN: 978-81-00-19275-7

Project Muslihat Committee

Jl. Itjang Djoedibarie, Dusun Taraju, Desa Sayang,
Kec. Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat

proyekmuslihat@riseup.net

Pengantar Penerbit

Sulit—dan barangkali tidak mungkin—membaca puisi-puisi Itjang Djoedibarie tanpa menyadari bahwa yang sedang kita buka bukan sekadar lembaran sastra, melainkan berkas penyidikan. Bukan penyidikan terhadap seseorang, melainkan terhadap seluruh sistem yang membuat “puisi” menjadi legal, indah, dan tidak berbahaya.

Sebagai kriminolog yang enggan disebut penyair, Itjang menulis puisi seperti membedah mayat. Ia tidak menulis karena ingin mengekspresikan rasa, tapi karena ingin mencari jejak kejahatan dalam setiap metafora. Puisi baginya adalah alat visum: sebuah laporan yang kaku, dingin, tapi tak dapat disangkal. Dengan nada autopsi, ia membedah tubuh bahasa, melacak luka-luka struktural dalam diksi, membongkar organ metafora yang busuk oleh kekuasaan, dan mengarsipkannya tanpa belas kasih.

Dalam korespondensi terakhirnya dengan saya, sebelum Ia membunuh dirinya sendiri pada tahun 1983, Itjang mengatakan::

“Aku bukan penyair, aku hanya tidak tahan melihat puisi terus dimuliakan sebagai seni, bukan sebagai kejahatan intelektual.”

Dan memang benar, Otopsi Syair bukan sekadar antologi puisi, tapi sabotase simbolik terhadap literatur yang steril. Dalam tiap baitnya, kita dapat mencium bau kebusukan institusi. Pendidikan, hukum, bahasa, keluarga, bahkan tubuh, semua menjadi target interogasi Itjang. Tak ada yang sakral. Ia mengkriminalisasi seluruh semesta dengan sarkasme epistemologis.

Dalam pendekatan Itjang, kita melihat bagaimana ilmu kriminologi—yang biasanya terkurung dalam metodologi statistik dan patologi devian—dibajak untuk kepentingan puisi gelap. Ia menciptakan apa yang oleh sebagian pembaca sebut sebagai “semiotik kriminal”, yakni gaya penulisan yang meniru struktur laporan penyidikan, lengkap dengan kontradiksi, distorsi waktu, serta penghilangan bukti. Ia menolak bentuk puisi konvensional dan memilih gaya laporan forensik yang menyamar sebagai sastra. Bait-baitnya tidak berusaha mengalir, melainkan mengeras seperti keterangan saksi yang menolak dibantah.

Jika puisi konvensional mencari keselarasan antara bentuk dan makna, puisi Itjang justru merayakan disonansi. Kalimat-kalimatnya melawan ritme, metaforanya menolak ditafsirkan, dan enjambemen yang ia pilih tampak seperti luka yang belum dijahit. Dalam Otopsi Syair, kita tidak diajak membaca, tapi menghadiri sidang pengadilan antara imajinasi dan sistem pengetahuan.

Antologi ini disusun berdasarkan kronologi penulisan puisi, mulai dari coretan kecil di balik laporan keuangan kantor kecamatan hingga lembar-lembar panjang yang ditulisnya dalam pengasingan administratif di Kecamatan Cikeruh (sekarang Kecamatan Jatinangor). Tahun-tahun itu bukan sekadar penanda waktu, melainkan fase-fase intelektual Itjang dalam mengembangkan hasrat ilegalistiknya: dari bentuk yang masih setengah sadar, hingga puisi-puisi terakhir yang menjelma seperti dokumen sabotase intelektual.

Beberapa puisi ditulis secara manual di atas surat tilang yang tak pernah dibayar, lainnya ditemukan di bagian kosong pada ijazahnya yang sebagian telah dimakan rayap, atau terselip di balik rak hukum pidana. Semua puisi kemudian dihimpun dalam proses editorial yang nyaris seperti kegiatan kriminal: menggali, menyusup, menyalin, dan mengaburkan asal-usulnya. Bahkan saya sendiri, saat menyusun naskah ini, merasa seperti sedang mencuri sesuatu dari masa lalu yang tak ingin diingat siapa pun.

Otopsi Syair bukanlah antologi untuk dinikmati. Ia tidak cocok untuk dibacakan dalam seminar sastra, tidak layak dijadikan bahan lomba deklamasi. Ia ada untuk mengacaukan. Untuk menyelinap ke dalam struktur estetika, lalu meledakkannya dari dalam.

Jika kau merasa terganggu setelah membaca puisi-puisi ini, itu artinya Itjang berhasil.

Jika kau mulai curiga pada puisi, pada narasi, pada sejarah, bahkan pada dirimu sendiri—Itjang akan tersenyum di balik lemari berkas.

Dengan ini, kami buka kembali mayat-mayat kata yang telah lama ditutup arsip.

Selamat melakukan otopsi!

Bonang P. Sirait

(Antikurator)

Muslihat Project Committee

Chongqing, Maret 2025

Prolog

“Aku bukan penyair, aku hanya tidak tahan melihat puisi terus dimuliakan sebagai seni, bukan sebagai kejahatan intelektual.”

PROLOG
I. Membuka Luka yang Tidak Ingin Sembuh

Antologi puisi Otopsi Syair bukanlah produk sastra, setidaknya bukan dalam pengertian lazim sebagaimana kita mengenalnya. Ia tidak hadir untuk memperindah wacana, tidak pula untuk menghibur atau menggugah. Ia hadir seperti laporan forensik terhadap sesuatu yang sudah mati: kata, makna, bahkan kemungkinan komunikasi itu sendiri. Kumpulan puisi ini, jika memang pantas disebut demikian, adalah residu dari kehendak untuk merusak.

Itjang bukan penyair. Bahkan, ia membenci puisi sebagai bentuk ekspresi yang terlalu tunduk pada estetika moral dan pasar simbolik. Itjang adalah kriminolog, bukan sekadar karena latar pendidikannya di Kriminologi Universitas Indonesia,, tapi karena seluruh cara berpikirnya menempatkan bahasa, estetika, dan budaya sebagai lokasi kejahatan. Dalam setiap puisi, ia tidak menulis—ia menginterogasi. Dalam setiap bait, ia tidak bersajak—ia mengintimidasi.

Puisi Itjang adalah autopsi atas tubuh wacana. Ia membedah idiom, membongkar metafora, dan memperlakukan diksi seperti tersangka dalam ruang interogasi. Maka antologi ini diberi judul Otopsi Syair, bukan untuk alasan artistik, melainkan sebagai penegasan bahwa yang sedang disajikan adalah jejak kekerasan simbolik yang telah terjadi dan mungkin akan terus berlangsung jika tidak dihentikan oleh ledakan literasi ilegalistik.

II. Puisi sebagai Bukti Kriminal
Jika kita menyimak kerangka format puisi-puisi Itjang, kita tidak akan menemukan struktur yang lazim. Tidak ada struktur metrum yang memikat. Tidak ada irama yang cair. Yang ada adalah formulir-formulir investigasi. Lokasi kejadian, waktu, kondisi korban, hasil forensik, hingga catatan obsesif yang menyerupai deskripsi gangguan kepribadian. Itjang merampok struktur legalistik dan menyuntikkan darah sastra ke dalamnya. Inilah yang disebut oleh Bonang P. Sirait—teman sekaligus penyunting pasca-mortem Itjang—sebagai “semiotik kriminal”.

Setiap puisi seperti potongan laporan polisi yang terlalu estetis untuk diterima institusi, tetapi terlalu vulgar untuk disukai penyair. Di sinilah letak kejeniusan Itjang: ia menulis dengan keyakinan bahwa puisi seharusnya dibenci, bahkan oleh penulisnya sendiri.

III. Cikeruh dan Rawamangun: Titik Konsentrasi Kekacauan

Tidak dapat dimungkiri bahwa banyak sekali referensi lokal yang mewarnai karya-karya Itjang. Kecamatan Cikeruh—kini Kecamatan Jatinangor—bukan hanya tempat kelahirannya, tetapi juga pusat segala hasrat pemberontakan naratifnya. Dan Rawamangun, tempatnya merantau dan singgah di kamar kosan berukuran 2x3 di belakang rumah warga, menjadi sumber awal Itjang mencatat dan menyusun puisi-puisi yang menyerupai bukti kejahatan linguistik.

Nama-nama lokal di Sumedang hingga Jakarta, muncul bukan sebagai lokasi sentimental, tapi sebagai titik-titik resistensi terhadap dominasi pusat. Ia melawan bukan dengan senjata, tapi dengan catatan kecil yang kemudian berubah menjadi “arsip bawah tanah”. Tak mengherankan jika beberapa baitnya secara eksplisit mencatatkan kebusukan birokrasi kampus, rumah ibadah, dan kantor desa. Baginya, pusat korupsi bukan hanya Jakarta—melainkan juga ruang seminar, forum sastra, dan dosen pembimbing skripsi.

IV. Kronologi dan Kematian Estetika

Penyusunan Otopsi Syair dilakukan berdasarkan urutan waktu, mulai dari tahun 1975 (awal kuliah) hingga 1982—setahun sebelum Itjang mengakhiri hidupnya dengan metode yang tidak pernah tercatat dalam protokol medis mana pun. Puisi-puisi dari tahun awal penuh dengan satir tipis, menyindir idiom nasionalisme dan agama dengan nada masam. Namun menjelang akhir 70-an dan awal 80-an, gaya bahasanya menjadi semakin nihilistik, radikal, dan tanpa saringan. Puisi terakhirnya bahkan tidak memiliki struktur bait, hanya fragmen-fragmen semantik seperti muntahan nalar yang gagal dimuntahkan secara utuh.

Banyak dari puisinya ditemukan di atas kertas hasil sidik jari, belakang surat tilang, atau halaman kosong di surat keterangan aktif kuliah. Beberapa disalin di atas nota pembelian mie instan, dan ada juga yang ditulis di balik foto keluarga yang sudah dibakar setengah.

V. Pandangan Bonang dan Cumbu

Bonang P. Sirait, seorang yang belakangan menjadi semacam kunci menuju Itjang (beliau adalah satu-satu sahabat sekaligus saksi hidup Itjang yang masih hidup), pernah menulis: “Puisi Itjang bukan karya sastra. Ia adalah artefak kriminal yang sedang menunggu untuk diadili oleh pembaca.” Bonang tidak memuja karya-karya Itjang, justru sebaliknya, ia mencurigai mereka. Tapi kecurigaan itu sendiri yang membuatnya tertarik.

Sementara itu, Cumbu Sigil, sahabat karib Itjang selain Bonang, menulis dalam sebuah catatan yang tak pernah diterbitkan:

“Aku tidak tahu apakah Itjang benar-benar menulis puisi, atau hanya membenci bahasa sedemikian rupa sampai ia harus merusaknya dengan membabi-buta. Tapi satu hal yang pasti: ia meninggal tanpa meminta kita mengenangnya.” (Sigil, 1983)

Melalui Otopsi Syair, kita belajar bahwa sastra bisa menjadi ruang kriminal. Bahwa puisi tidak harus jujur, tidak harus indah, dan tidak harus menyelamatkan siapa pun. Kebohongan yang dikelola dengan presisi akan mengalahkan kebenaran yang malas ditelusuri. Dengan ini, kita belajar bahwa fiksi dapat menggantikan sejarah—bukan dengan membantahnya, tetapi dengan membuatnya tampak lebih kredibel dari dokumen negara dan artikel ilmiah.

Hamdan Muhammad

(Arsiparis)

Arsip Bawah Tanah

Tjikeroeh & Tandjoengsari

Sayang, 2025

Periode 1975–1977

“Aku tidak tahu apakah Itjang benar-benar menulis puisi, atau hanya membenci bahasa sedemikian rupa sampai ia harus merusaknya dengan membabi-buta. Tapi satu hal yang pasti: ia meninggal tanpa meminta kita mengenangnya.” (Sigil, 1983)

Kasus Lidah yang Menolak Mengucap Doa

1975

KODE KASUS:

#89/IDI-16

LOKASI TEMUAN:

Lorong belakang Gereja Katakombe, Jl. Maut No. 13

JAM PENEMUAN:

03:12 WIB

KONDISI KORBAN:

Tidak ada tubuh. Hanya lidah tergantung di paku salib.

HASIL PEMERIKSAAN FORENSIK:

  • Identitas:

Tidak terkonfirmasi. Lidah memiliki luka-luka bakar berbentuk ayat suci.

  • Kondisi:

Beku oleh ketakutan, mengeras oleh sumpah palsu. Terdapat sisa darah yang mengering membentuk huruf "A".

  • Barang Bukti:

Kertas doa lusuh, ditulis dalam bahasa yang sudah mati.

  • Rekaman suara dengan bisikan:

“Aku menolak tunduk.”

KOMENTAR:

"Lidah ini lebih jujur dari seribu pengkhotbah. Ia menolak bahasa yang dikuduskan negara. Ia mengucap kufur dengan ketulusan puisi."

CATATAN HASIL OTOPSI:

Puisi ini tidak ditulis, melainkan dirobek dari tenggorokan yang membatu.

Doa-doa mengering seperti kerak luka di altar.

Seseorang mencoba menyelamatkan dunia dengan menyumpal mulutnya sendiri, tapi kita datang dengan pisau, dan membedah diam itu hingga ia menjerit seperti anak haram kebudayan.

Kami tidak percaya mukjizat. Kami percaya darah.

Dan lidah yang menolak doa

adalah alat bukti bahwa tuhan telah mati

di tangan notaris.

Ilmu Pengetahuan dan Jamban

1975

Dalam ruang kelas yang kosong,

aku menyalakan proyektor ke lubang kakus.

Setiap tetes kotoran di sana

lebih jujur dari epistemologi kampus.

Dosen filsafat itu berkata:

"Bahas Sartre!"

Aku bahas septic tank.

Lalu aku diusir.

Dokumen Rahasia #Z-19: Kronik dari Mayat yang Bicara Sendiri

1975–1976

Tingkat Kerahasiaan:

Tinggi

Akses Khusus:

Disimpan di dalam mimpi buruk pejabat pendidikan

Mayat ini tidak diam.

Ia membaca puisiku setiap malam.

Ia mengeluh bahwa dunia hanya percaya pada bukti,

padahal luka bisa dibaca lewat diam.

Ia membisikkan fakta:

bahwa bahasa adalah pisau bedah

dan puisi adalah laporan kematian yang dibuat indah.

Berkas 05/B: Anak yang Hilang dan Puisi yang Lolos Sensor

1976

Kode Kasus:

05/B

Status:

Tidak tuntas.

Catatan:

Puisi ini sempat dimuat dalam buletin gereja lokal.

“Anak hilang disebut pemberontak.

Puisi disebut propaganda.

Tapi yang lebih kriminal dari itu adalah

kenyataan yang terus diulang tanpa jeda.”

Kami cari jejak kaki di puisi ini.

Ditemukan:

  1. sepatu kiri di stasiun,

  2. serpihan huruf di toilet umum,

  3. dan sebait syair di papan pengumuman kematian.

Tubuh yang Menggantung Diri di Pertanyaan

1976

KODE KASUS:

#90/IDI-17

LOKASI:

MCK RT 001 RW 005, Cimanggung

WAKTU PENEMUAN:

01:44 WIB

KORBAN:

Pria, usia ±35 tahun, tanpa identitas.

KEADAAN MAYAT:

Tergantung dengan celana dalam disumpalkan ke mulut.

Dinding ditulisi kalimat:

“AKU TIDAK PERCAYA SEMUA PERTANYAAN”

BARANG BUKTI:

  1. Buku filsafat dengan halaman dibakar (judul tak terbaca)

  2. Botol tinta kering

  3. Sebuah pertanyaan ditulis dengan darah: “Apa makna?”

Penyebab kematian:

  • Gantung diri akibat overdosis absurditas

  • Patah logika servikal

  • Trauma semantik kronis

Penyair mencatat:

"Ia tidak mati karena ingin tahu. Ia mati karena tahu bahwa tahu adalah perangkap."

Puisi bukan jawaban.

Puisi adalah bekas luka karena bertanya.

Subyek Ditemukan dalam Posisi Telungkup di Dalam Ayat

1976

TKP:

Buku pelajaran bahasa, halaman 74

Kondisi:

Frasa rusak berat. Eufemisme membusuk. Majas melata.

Hasil otopsi:

Terdapat luka tembak semantik di bagian metafora dada.

Ironi patah pada ruas kalimat ke-3.

Kata depan ditemukan di rongga tenggorokan tanpa fungsi.

Diagnosis:

Mati karena kelebihan makna yang ditumpuk dengan dogma tata bahasa.

Relasi Internasionar

1975–1977

Aku memaki diplomat yang bersalaman

sambil menyembunyikan pisau

lalu tersenyum dalam foto di surat kabar

.

Aku lebih percaya pada musuh

yang meninju wajahku langsung.

Karena ia jujur.

Sedangkan kamu, kekasih,

menciumku sambil berpikir tentang mantanmu.

Sialan. Diplomasi ternyata sudah menyusup ke ranjang.

Periode 1978–1980

“Insureksi tak perlu dimulai dari bom, cukup dari anak SMP yang menulis kata ‘tai’ di helm-nya.”

Rahasia di Balik Stiker Helm Anak Tetangga

1978

KODE KASUS:

#02/IDI-34

LOKASI:

Helm motor modifikasi

KORBAN:

Otoritas moral RT

KEADAAN:

Dicoret dengan tulisan “TAI NEGARA”

Diduga pelaku adalah anak SMP berprestasi

BARANG BUKTI:

  1. Spidol hitam

  2. Coretan tembok rumah RT:

“Jangan ditiru, amoral!”

CATATAN FORENSIK:

Insureksi tak perlu dimulai dari bom,

cukup dari anak SMP yang menulis kata “tai” di helm-nya.

“Anarki bukan lahir dari teori,

tapi dari rasa mual yang tidak bisa lagi ditahan.”

Dan kadang, pemberontakan itu lucu.

Sampai ketua RT lapor ke polisi.

Kalimat dengan Luka yang Tidak Dapat Diedit

1978

KODE KASUS:

#01/IDI-33

LOKASI:

Tempat sampah fakultas

KORBAN:

Kalimat kritis

KEADAAN:

Dipotong tanpa pisau

BARANG BUKTI:

  1. Kertas yang terlalu banyak coretan

  2. Komentar editor:

“Tolong kurangi nada pemberontakan”

CATATAN FORENSIK:

Setiap suntingan adalah mutilasi makna.

“Kau tidak bisa mengoreksi luka

tanpa membuatnya berdarah kembali.”

Dan aku biarkan kalimat itu terus mengalir

tanpa titik.

Tanpa sensor.

Tanpa permintaan maaf.

Penghuni Kost yang Membisu dalam Kamus

1979

KODE KASUS:

#00/IDI-31

LOKASI:

Kamar kost ukuran 2x3

KORBAN:

Bahasa ibu

KEADAAN:

Mati lemas di bawah selimut tenggat waktu

Tidak ditemukan saksi, dua bungkus mie instan

BARANG BUKTI:

  1. Kertas catatan dengan ejaan ngaco

  2. Kamus Bahasa Sunda yang dijadikan ganjalan pintu

CATATAN FORENSIK:

Leluhurku mati di antara tumpukan sampah.

Karenanya, aku menciptakan leluhurku yang baru.

“Aku tidak lupa bahasa ibuku,

aku cuma tidak bisa lagi mengucapkannya di sini.”

Setiap dinding kamar kost adalah rak mayat

bagi kata-kata yang tak pernah selesai diucapkan.

Jejak Mayat di Rapat RW

1980

KODE KASUS:

#96/IDI-26

LOKASI:

Balai Warga RW 08

KORBAN:

Aspirasi kolektif

KEADAAN:

Ditembak dengan ajuan proposal

Dibekap dengan kata “musyawarah mufakat”

BARANG BUKTI:

  1. Spanduk bertuliskan “Partisipatif”

  2. Kertas notulen tak bertanda tangan

CATATAN FORENSIK:

Rapat itu kuburan kolektif,

di mana setiap gagasan dikafani dengan birokrasi.

“Yang bersuara dibungkam dengan aturan tata tertib.”

Tidak ada yang memberontak.

Mereka hanya mengangguk sampai leher patah.

Kremasi Nalar di Ujung Kampus

1980

KODE KASUS:

#93/IDI-22

LOKASI:

Belakang Gedung Rektorat

KORBAN:

Skripsi mahasiswa tingkat akhir

KONDISI:

Dibakar utuh

Ditemukan tulisan dengan arang:

“AKU BUKAN SUMBER DAYA MANUSIA!”

BARANG BUKTI:

  1. Map skripsi hangus

  2. Ijazah yang belum diterbitkan

  3. Cap stempel birokrasi universitas

CATATAN FORENSIK:

Nalar terbakar bukan karena bodoh,

tetapi karena dipaksa tunduk pada logika kapital.

“Intelektual tanpa hasrat pemberontakan

hanyalah perpanjangan tangan negara.”

Dalam api, aku melihat akreditasi dibakar.

Dan itulah akhir dari semua seminar.

Periode Akhir
1981–1982

“Intelektual tanpa hasrat pemberontakan

hanyalah perpanjangan tangan negara.”

Mayat Keadilan Ditemukan Dalam Berkas Lelang

1981

KODE KASUS:

#92/IDI-21

LOKASI:

Ruang arsip kantor BPN (Badan Pertanahan Nasional)

KORBAN:

Sebidang tanah waris

KEADAAN:

Sertifikat digunting

Surat keterangan waris ditandatangani dengan darah

BARANG BUKTI:

Tinta hitam palsu

Foto keluarga yang dibakar setengah

CATATAN OTOPSI:

Tanah bukan pusaka,

tapi barang bukti.

“Keadilan dikubur bukan dengan tanah,

melainkan dengan meterai.”

Dalam dunia yang ditata oleh notaris,

perlawanan hanya bisa diarsipkan sebagai barang hilang.

Rahim yang Dibakar oleh Konstitusi

1981, disembunyikan dalam amplop berbau formalin di bawah meja kantor Komando Daerah Militer III/Siliwangi.

Rahim ini bukan milik ibu kandungmu

Rahim ini hasil rampasan tentara

yang menggeledah tubuh setiap perempuan

untuk mencari pasal pidana yang tersembunyi di dalam vagina.

Kapan terakhir kau sebut “ibu pertiwi” tanpa rasa ingin muntah?

Kapan terakhir kau cium bendera tanpa mencium bau daging terbakar?

Setiap bait ini adalah peluru

Setiap jeda adalah jeda tembak

Setiap rima adalah algoritma sensor

yang gagal menyensor amarah

yang tidak kau deteksi

di bawah kuku jari mayat-mayat demonstran.

Aku bukan penyair

aku hanya kriminolog

yang menemukan puisi di retakan tengkorak

yang menulis laporan forensik dengan tinta menstruasi

dan menyobek alibi negara dengan pinset.

Puisi ini tidak indah

karena keindahan telah dibunuh oleh estetika negara

dan aku menolak memakamkannya di Museum Sastra.

Rongga Paling Gelap Adalah Diriku

belum pernah diterbitkan semasa hidup

TKP

  1. Cikeruh, kamar gelap, sisa kopi basi.

  2. Tali tambang yang dicuri dari bekas gudang logistik BP3K.

  3. Satu kursi patah.

  4. Satu meja dengan paku menancap dari arah dalam.

  5. Satu suara tidak terdengar—diriku.

PREMIS

  1. Bahwa kehancuran paling konsisten berasal dari pusat nalar.

  2. Bahwa risiko adalah satu-satunya jalan untuk menjadi tak terjangkau.

  3. Bahwa diriku adalah mayat yang terlalu lama menunda pembusukan.

HASIL PEMERIKSAAN

  1. Kepala dibenturkan berulang kali pada ide-ide yang tak pernah selesai.

  2. Nafas digergaji oleh pengkhianatan ideologis yang tampak seperti kawan lama.

  3. Darah masih mengalir, tapi menuju mana, aku tidak tahu.

CATATAN PUISI/FRAGMEN OBSESI:

Aku buka jendela, bukan untuk melihat dunia

tapi untuk memastikan dunia tak pernah memandangi balik.

Aku isap udara seperti menenggak racun,

dan kusambut segala hal yang tak bisa dimaafkan.

Di ujung tali yang kusimpul dengan telunjuk

tergantung penghakiman yang tak pernah sempat disidangkan.

Semua orang menunggu penebusan.

Tapi aku tak sudi memberi

bahkan pada diriku sendiri.

ANALISIS RISIKO

  1. Risiko tertinggi bukanlah mati;

  2. Risiko tertinggi adalah tetap hidup sambil tahu bahwa tak ada satu pun yang bisa dibetulkan;

  3. Dan karena itu, aku ambil risiko: menjadi tak ada.

SIMPULAN

Aku bukan korban. Aku adalah perencana bunuh diri epistemik.

Aku tidak ingin diselamatkan. Aku ingin hilang tanpa catatan.

Tapi jika catatan ini ditemukan, maka jangan jadikan aku martir.

Jadikan aku titik koma yang gagal jadi kalimat penuh.

Cikeruh, 1981

Arsip Untuk Dibakar

disalin dari sobekan kertas di bawah bantal Itjang,

tanggal tidak dicatat.

LOKASI:

Kamar 3x3, dinding dipenuhi coretan paku.

Radio rusak mengulang statik kosong.

Kipas mati.

Meja penuh sisa rokok merek palsu.

Tumpukan arsip dengan cap fakultas.

Satu kaleng bensin tidak tertutup rapat.

LATAR TEORITIK:

Mereka bilang arsip menyelamatkan sejarah.

Aku bilang arsip adalah cara negara menunda pembakaran.

Semua bentuk dokumentasi adalah cara lembaga merangkul kegagalan lalu menjinakkannya.

Aku menolak diarsipkan. Maka kutulis ini.

HASIL PEMERIKSAAN:

Identitas:

Tertulis “mahasiswa” di ijazah, tapi “musuh sistem” di surat pengantar polisi.

Motif:

Menghapus bukan untuk melupakan, tapi untuk mencegah kolonisasi ingatan.

Alat bukti:

Coretan-coretan puisi yang sengaja tak disempurnakan.

Tanda tangan tidak ditemukan—karena tak ada yang harus mewakili tubuh ini.

FRAGMEN/FRASA/OBSESI:

Aku ingin membakar setiap kata

yang pernah kusebut sebagai penyelamat.

Termasuk kata “puisi”,

karena terlalu banyak bajingan yang mengklaim menulisnya.

Ingin kutulis ulang hidupku

dengan tinta dari darah hewan sembelihan:

najis, brutal, dan penuh kemungkinan.

Jika esok kalian bertanya siapa aku,

jawab:

… (Catatan: teks asli sobek)

Rawamangun, 1981

Laporan Kehancuran Diri Subjek B-1982

Ditemukan di antara lembar tugas praktikum teori kontrol sosial milik Itjang Djoedibarie. Judul awal tercoret: “Permohonan Beasiswa”

SUBJEK:

Kode Identifikasi: B-1979

Jenis kelamin: tidak relevan

Status: akademik gugur

Keterangan medis terakhir: mual eksistensial, pendarahan etis, agitasi kognitif

LOKASI OTOPSI:

Gudang bekas laboratorium sosiologi.

Lampu neon mati separuh.

Meja terbuat dari sisa peti mati.

Dinding dipenuhi grafiti kata “data”, disilang dengan pisau cukur.

LATAR TEORITIK:

Teori-teori kriminologi modern telah gagal memahami subjek yang secara sadar memilih kehancuran sebagai metode eksistensial. Maka penyelidikan dilakukan dengan pendekatan hibrida antara psiko-forensik, linguistik ilegal, dan arsitektur kekacauan.

TINDAKAN PRA-OTOPSI:

Subjek menolak anestesi naratif.

Tidak ditemukan jejak afeksi normatif.

Terdapat indikasi penolakan total terhadap indeks moral publik.

PEMERIKSAAN VISUAL:

  1. Luka bakar pada korteks: akibat paparan konstan terhadap diktat akademik.

  2. Memar pada kesadaran: disebabkan oleh perdebatan palsu dalam ruang kelas steril.

  3. Jejak sabotase diri ditemukan dalam bentuk catatan kaki yang sengaja menyimpang dari isi.

FRAGMEN PATOLOGIS YANG DITEMUKAN:

Saya tidak ingin diselamatkan oleh sistem

yang menulis “pengetahuan” dengan tangan penuh tinta birokrasi.

Saya ingin mati tanpa catatan medis,

tanpa biografi yang bisa dikutip dalam jurnal-jurnal yang dibaca oleh dosen-dosen yang mencuri waktu tidur saya..

Jika tubuh saya mengandung kebenaran,

silakan didekonstruksi.

Tapi jangan harap kau bisa rekonstruksi.

HASIL LABORATORIUM SEMIOTIK:

  1. Fragmen puisi menunjukkan mutasi morfologis antara narasi dan nihilisme.

  2. Penggunaan diksi “pembakaran”, “hilang”, dan “tidak berguna” mengalami frekuensi di atas normal.

  3. Simbol-simbol arkais seperti “lonceng”, “api”, “kamar mandi”, dan “kursi dosen” muncul sebagai totem kehancuran institusional.

ANALISIS TOPOGRAFI EMOSI:

Subjek menunjukkan pola denyut emosi terbalik:

  1. rasa muak meningkat ketika diberi penghargaan

  2. rasa tenteram muncul saat ditinggalkan

  3. klimaks afektif terjadi pada momen kesendirian total disertai musik punk instrumental

KESIMPULAN OTOPSI:

  1. Subjek menolak klasifikasi post-mortem.

  2. Tidak ingin dikubur dalam kategori “pejuang”, “penyair”, “mahasiswa”, atau “korban”.

Satu-satunya wasiat tertulis:

“Buang aku ke dalam indeks kegagalan.

Jangan jadikan mayatku sebagai studi kasus.

Jadikan aku ….. (catatan: teks tercoret, tidak bisa dibaca)

yang menolak dipakai.

Rawamangun, 1982

Deklarasi Ketidakhadiran

“Tidak ada hubungan antara nalar dan keberanian. Dalam absennya bel, aku hadir sebagai gelombang yang tak terjangkau dan tak terdefinisi.”

Deklarasi Ketidakhadiran

Surat untuk Bonang, Masyrakat Cikeruh, dan Cumbu Sigil

“Sudah lama aku menduga bahwa eksistensiku hanya berfungsi sebagai gangguan minor bagi sebuah sistem yang terlalu teguh membentengi diri dari kehancuran. Setiap hipotesis yang kutulis, setiap puisi yang kubacakan di warung atau di pos ronda, hanyalah gema kecil yang ditelan sistem sonik dominasi. Aku tidak menyangka bahwa yang paling sulit dikalahkan bukanlah negara, bukan pula modal, melainkan harapan samar bahwa manusia masih bisa diselamatkan.

Bonang, barangkali dalam catatan sejarah orang-orang kelak, namamu akan dimaki. Dan mungkin memang pantas begitu—kau menukar lonceng itu untuk pelarian, bukan untuk propaganda. Tapi aku tahu benar: dari awal kau tidak pernah menjual idealisme karena memang tak pernah membelinya. Dan justru karena itu, aku menghormatimu. Kau bukan pengkhianat, Bonang. Kau oportunis sejati—seorang yang tahu benar cara kerja dunia dan tidak pura-pura mencintainya. Kau jenius dalam cara yang tidak bisa diajarkan. Maka walau logika kita tak pernah sejalan, dan meski pencurian itu membuatku membusuk di batas waras, kau tetap sahabatku. Seperti bayangan yang terus mengikuti cahaya, kau adalah sisi gelap dari setiap teori yang kutulis—tak tergantikan.

Kepada warga Cikeruh, aku tawarkan satu hipotesis sosiologis:

subkultur perlawanan hanya akan lestari jika ia membebaskan diri dari jebakan solidaritas palsu dan mitos kepahlawanan formal. Data lapangan menunjukkan bahwa kontrol sosial pusat kota—dengan birokrasi dan festival kultural—telah mematikan dinamika kreatif dan negasi kultural kita di pinggiran. Jangan terperangkap pada narasi “pahlawan desa”; kembangkan metanarasi tersendiri yang jauh dari alibi agung dan retorika menyejukkan. Bila suatu saat surat ini jatuh ke tangan kalian, ketahuilah bahwa hidup kalian terlalu penting untuk dibentuk oleh narasi dari luar. Jangan biarkan akademisi dari kota datang dan memberi bingkai terhadap kenyataan yang telah kalian hidupkan sendiri. Arsipkan peristiwa kalian sendiri, dan bila perlu, palsukan masa lalu agar sejarah kalian tak bisa dikendalikan siapa pun. Bangunlah kebohongan yang lebih jujur dari kebenaran mereka.

Bila perlu, namai anak-anakmu dengan nama-nama yang tidak dikenal negara. Biarkan suara kalian hanya dipahami oleh kalian sendiri.

Cumbu Sigil, aku tidak tahu apakah kau akan benar-benar membaca ini atau menganggapnya sebentuk sentimentalitas murahan dari seorang kriminolog gagal. Tapi bila suatu hari puisi-puisimu mulai dimaknai terlalu serius, terlalu religius, tolong cemarkan mereka kembali. Kuburkan setiap baris dalam ketidakjelasan. Jangan izinkan siapa pun menjadikan puisimu sebagai pelajaran. Puisi bukan sekolah. Puisi adalah gangguan. Jangan menua dalam penjelasan. Jika ada satu puisi yang harus disampaikan untukku setelah aku mati, tolong jangan jadikan itu sebagai penghormatan. Bacalah dengan suara pelan dan lidah getir—bukan sebagai elegi, tapi sebagai sabotase kecil.

Dengan sistematis aku menutup bab ini: pilihanku untuk mengakhiri hidup bukan lahir dari impuls putus asa, melainkan dari sintesis konseptual antara teori anomie Merton dan urgensi destruktif Nietzsche. Aku memilih mati bukan karena lemah, melainkan untuk menunjukkan bahwa absennya aku lebih menohok ketimbang kehadiran norma.

"Tidak ada hubungan antara nalar dan keberanian. Dalam absennya bel, aku hadir sebagai gelombang yang tak terjangkau dan tak terdefinisi."

Terakhir, ini bukan kesaksian, melainkan deklarasi ketidakhadiran.”

Itjang Djoedibarie

Cikeruh, 10 September 1983

Epilog

Pada akhirnya, Otopsi Syair bukan sekadar naskah yang dibuka dan dibaca, melainkan semacam prosedur visum kultural terhadap lanskap sosial yang telah lama membusuk dalam diam. Inilah warisan Itjang Djoedibarie: bukan nilai, bukan moral, bukan doktrin, tapi berkas-berkas luka yang disusun sebagai puisi. Dan hanya mereka yang berani membuka luka itu tanpa sarung tangan ideologi yang mampu bertahan hingga halaman terakhir.

Mungkin akan ada sedikit kontradiksi dengan prolog yang ditulis oleh Hamdan, karena kami memiliki perbedaan pandangan terhadap Itjang dan cara kami memahami sejarah hidupnya.

Dalam pemahaman saya yang masih sangat terbatas, puisi-puisi Itjang ditulis bukan dari ilham, melainkan dari investigasi. Ia menolak model penyair sebagai penerima wahyu atau pemikul penderitaan kolektif. Baginya, penderitaan kolektif adalah kebohongan yang sudah dilembagakan melalui sistem pendidikan dan kampanye politik. Maka ia menciptakan puisi sebagai metode kejahatan, sebagai modus pembongkaran. Bukan pembongkaran ideologis, melainkan pembongkaran struktural—bahkan sampai ke fondasi semantik bahasa.

Ketika ia mulai menulis puisi, ia sadar bahwa Sumedang bukan hanya tempat geografis, tapi juga laboratorium sosial tempat segala bentuk kekuasaan saling berkelindan: keluarga militer, kampus semi-feodal, LSM bayaran, partai oportunis, bahkan pemuka agama yang memanfaatkan cerita rakyat. Dalam ruang inilah puisi Itjang bertumbuh—tidak sebagai estetika, melainkan sebagai alat penghancur. Setiap bait yang ia tulis adalah tindak kriminal yang menyaru sebagai kesenian.

Puisi-puisinya lahir dari ruang-ruang yang tidak diakui sebagai ruang literasi: WC umum, rak ijazah yang dibakar, balik brosur koperasi desa, atau bagian belakang formulir kelurahan. Dan itu bukan tanpa alasan. Sebab menurut Itjang, tempat lahir puisi harus lebih penting dari tujuan distribusinya. Apa gunanya puisi yang ditulis di laptop mahal tapi tak bisa mengguncang kepala tukang ojek di depan kampus?

Jika pembaca ingin memahami Itjang, mereka harus terlebih dahulu memahami konteks lokal yang membentuknya. Bukan sekadar "latar belakang", tapi sebagai medan kriminal yang menghasilkan bahasanya sendiri.

Mari kita lihat secara rinci beberapa konteks tersebut:

1. Topografi Sosial Sumedang: Kekuasaan dalam Skala Mikro

Sumedang bukan kota industri, bukan pusat peradaban, dan bukan pula ibukota kebudayaan. Namun justru karena itulah tempat ini menjadi menarik bagi Itjang. Ia menyebutnya "daerah transisi yang dijajah dua kali: oleh sejarah dan oleh modernisasi." Dalam Sumedang, terutama kawasan Kecamatan Cikeruh (sekarang Kecamatan Jatinangor) dan Tanjungsari, kekuasaan hadir bukan dalam bentuk tank atau propaganda, melainkan melalui aparatur kecil: guru agama, karang taruna, kepala dusun, dan tentu saja, dosen-dosen pembina yang lebih percaya akreditasi daripada kebebasan berpikir.

Itjang melihat semua itu bukan dengan mata sosiolog, tapi dengan sudut pandang kriminal. Ia menyebutnya sebagai bentuk "kolusi hening" di mana semua orang berpura-pura hidup baik-baik saja demi mempertahankan status sebagai warga terhormat. Maka puisinya justru menolak kehormatan, dan lebih memilih mengais lumpur: jamban kampus, papan pengumuman yang dipaku ulang, dan gudang tempat barang bukti hilang disimpan.

2. Konteks Bahasa: Sunda, Negara, dan Simulakra

Sebagai anak dari keluarga Sunda dengan pendidikan tinggi di bidang kriminologi, Itjang memiliki ketegangan batin yang unik: antara bahasa ibu dan bahasa hukum; antara metafora lokal dan terminologi modern. Ia tahu bahwa ketika seseorang berkata "tangkalna geus paéh", itu bukan hanya laporan ekologis, tapi juga sinyal bahwa desa telah kehilangan akarnya.

Karena itu, ia tidak pernah menggunakan bahasa lokal sebagai ornamen. Dalam puisi-puisi yang tidak ditulis di sini–karena menggunakan bahasa Sunda–kata-kata seperti sanghyang, kakarut, embung, atau kaeureun muncul bukan untuk melestarikan budaya, tapi untuk menunjukkan bagaimana bahasa itu telah dijadikan tropi oleh birokrasi kebudayaan. Ia menulis bukan untuk membangkitkan Sunda Wiwitan, tapi untuk menunjukkan bahwa bahkan sunda wiwitan pun bisa menjadi alat negara jika dikurasi secara salah.

3. Politik Identitas dan Kegagalan Kolektif

Salah satu keberanian terbesar Itjang adalah keputusannya untuk tidak memihak pada kolektif mana pun. Dalam satu suratnya, ia menyebut: “Organisasi mahasiswa adalah pabrik kekuasaan. Puisi adalah sabotase terhadap produksinya.”

Ia menghormati kawan-kawan yang berjuang lewat struktur formal, tapi ia tahu bahwa struktur selalu menciptakan hierarki, dan hierarki selalu membusuk. Maka ia menolak ikut diskusi. Menolak tanda tangan petisi. Menolak menjadi panitia acara. Ia hanya menulis. Dan menulis. Dan membakar sebagian tulisannya agar tidak bisa dijadikan bukti.

Banyak dari kita akan melihat ini sebagai sikap egois (meskipun Itjang memanglah seorang egois). Tapi jika pembaca memahami gagasan kriminalitas sebagai tindakan yang menolak hukum karena hukum itu sendiri adalah bentuk kolonisasi jiwa, maka posisi Itjang jadi masuk akal. Ia menolak segala bentuk representasi. Dan karena itu, puisinya tidak bisa digunakan untuk mendukung gerakan mana pun. Bahkan gerakan anarkis sekalipun.

4. Sabotase Sebagai Strategi Estetik

Banyak orang membingungkan sabotase dengan vandalisme. Tapi Itjang membuat pembedaan yang tegas. Vandalisme hanya ingin menghancurkan. Tapi sabotase ingin mengguncang fondasi dengan cara yang samar.

Inilah mengapa Otopsi Syair tidak ditulis dalam format puisi konvensional. Ia menggunakan format laporan, kode kasus, analisis forensik, fragmen naratif, dan semiotika tubuh. Ia menyusup ke dalam format legal, hanya untuk menghancurkannya. Karena itu juga, antologi ini sulit ditiru. Sebab ia bukan kumpulan puisi—ia adalah operasi senyap yang dibungkus sebagai kesusastraan.

Setiap puisi dalam buku ini ditulis berdasarkan momen spesifik: penggusuran, kematian kawan, sidang akademik, penolakan beasiswa, kegagalan cinta, dan tentu saja, pengkhianatan Bonang. Tapi Itjang tidak menjadikannya personal. Ia ubah semuanya menjadi bukti. Bahkan dirinya sendiri.

Dalam puisinya, tubuhnya bukan identitas, tapi TKP.

5. Kematian sebagai Negasi Terakhir

Banyak yang tidak tahu bahwa dua minggu sebelum kematiannya, Itjang mengirim satu bundel puisi ke alamat saya di Tanjungsari, tanpa nama pengirim. Di dalamnya, ia menyelipkan secarik kertas bertuliskan: “Jika aku mati, jangan cari maknanya. Tapi jangan biarkan kematianku menjadi kosong.”

Ia tidak ingin menjadi pahlawan. Tidak ingin dikenang. Tidak ingin dipelajari. Tapi ia ingin puisinya tetap bisa meracuni sistem. Maka dengan alasan itulah, kami menyusun ulang seluruh puisinya berdasarkan tahun penulisan—bukan tematik, bukan gaya, dan bukan panjang-pendek. Sebab hanya dengan itulah kita bisa melihat jejak kehancuran yang konsisten.

Puisi pertama ia tulis dengan tangan masih goyah. Puisi terakhir—yang kami temukan di balik amplop kotor di kamar pengasingan administratif—ditulis dengan darah dan sisa tinta deklarasi ketidakhadiran. Dari situ kita tahu bahwa puisi bukan lagi alat komunikasi, tapi alat bunuh diri epistemik.

Iman Tato

(Warga Desa)

Tanjungsari, 2025

Biografi Itjang Djoedibarie

Itjang Djoedibarie (1 Mei 1956 – 10 September 1983) adalah seorang kriminolog, penyair, dan aktivis intelektual asal Kecamatan Cikeruh (sekarang Kecamatan Jatinangor), Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Indonesia. Ia dikenal karena pendekatannya yang radikal terhadap teori kejahatan struktural serta keterlibatannya dalam pencurian lonceng Menara Loji sebagai aksi sabotase simbolik terhadap warisan kolonial dan pembalasan dendam atas kematian ayahnya.

Itjang lahir sebagai anak bungsu dari Sarip Djoedibarie (1916–1956), mantan buruh perkebunan karet perusahaan swasta Belanda Maatschappij tot Exploitatie der Baud‑Landen. Ayahnya wafat 27 hari pascakelahirannya akibat sakit berkepanjangan—penyakit yang diwariskan oleh kerasnya pekerjaan di kebun karet. Kehidupan tanpa ayah membentuk karakter Itjang yang sulit diatur. Ibunya—yang meninggal ketika Itjang berumur enam tahun—menyisakan beban ekonomi yang ditanggung oleh kakak‑kakaknya hingga Itjang tamat SMA pada 1973. Sejak usia remaja, terutama setelah lulus SMA, ia pernah menjadi sopir sewaan, pedagang buku curian, pengurus domba titipan, bahkan “laki‑laki bayaran,” semua demi menabung biaya kuliah agar tidak membebani keluarganya.

Setelah menabung dua tahun, Itjang masuk jurusan Kriminologi di Universitas Indonesia (UI) pada 1975. Di kampus, ia cepat menyelami teori kejahatan struktural dan kontrol sosial: dari crime pattern theory hingga konsep anomie Merton, dengan harapan merumuskan bukti akademis atas kematian ayahnya akibat praktik eksploitasi perusahaan perkebunan karet yang dibangun oleh Willem Abraham Baud (Baron W. A. Baud)—sebuah tulisan yang tak pernah dipublikasikan dan berakhir di tempat sampah fakultas.

Pada akhir 1981, melalui Komite Hitam, Itjang bertemu dengan Cumbu Sigil (1964–2004), mahasiswa Sastra Indonesia UI yang mengklaim dirinya sebagai anti-intelektual, meski tulisan dan hidupnya membantah klaim tersebut dengan cara yang paling rumit dan menyedihkan. Mereka tidak menjadi sahabat dalam pengertian konvensional, melainkan dua kutub disfungsional yang saling memercik, saling memperkeruh. Dalam satu sesi diskusi gelap di tempat fotokopi dekat kampus, yang mereka ubah menjadi forum tanpa moderator, Itjang—dengan gaya klinis seorang kriminolog yang menulis puisi seperti menyusun autopsi—mempresentasikan makalah tentang logika institusional kejahatan estetika.

Cumbu tak menjawab. Ia hanya menyalakan rokok kretek, menatap langit-langit, lalu berkata,

“Kejahatan estetik hanya mungkin bila tak ada yang tersisa dari estetika.”

Sejak hari itu, mereka saling menularkan kebencian terhadap disiplin, terhadap sistem, dan terhadap kemungkinan bahwa sastra bisa diselamatkan. Bagi Cumbu, Itjang adalah bukti bahwa seorang kriminolog bisa menjadi penyair yang tidak peduli puisi, dan bagi Itjang, Cumbu adalah tragedi yang tak bisa dipecahkan oleh teori mana pun—dan itu justru membuatnya penting. Mereka tidak pernah saling sepakat, tetapi dari ketidaksepakatan itulah tumbuh jaringan ide dan sabotase yang mengakar di balik dokumen, puisi, dan kata-kata yang terus gagal dimaknai.

Setelah “pertemuan disfungsional” dengan Cumbu Sigil di akhir 1981, Itjang Djoedibarie semakin terjun ke dalam pusaran kehancuran. Ia bertemu Bonang P. Sirait, seorang culas yang memadukan kecerdikan politis dengan naluri oportunistik: seorang taktikawan yang lebih tertarik pada hasil konkret daripada utopis diskursus. Persinggungan antara teori kriminologi kritis Itjang—yang melihat setiap norma sosial sebagai bentuk kontrol subtil—dengan realpolitik Bonang—yang memantapkan maksud lewat tindakan performatif—menciptakan kimia strategis di antara keduanya.

Pada 1983, Itjang resmi diwisuda Sarjana Kriminologi. Tiga hari kemudian, ia mengemasi manuskrip, puisi, dan catatan lapangan, lalu kembali ke Kecamatan Cikeruh. Kembalinya ia dipenuhi kesadaran pragmatis: semua teori mesti diuji di lapangan.

Setelah sebulan dari kepulangannya, Itjang mengirim kabar samar kepada Bonang P. Sirait untuk mengajaknya “berlibur” ke kampung. Bonang tiba dengan jaket lusuh dan tawa sinis. Mereka menyusuri bekas kebun karet Baron Baud, menjejak reruntuhan rumah orang tua Itjang, lalu bertengger di panggung kayu tua dekat Menara Loji.

Di situlah, antara sapaan angin sawah dan serangga malam, Itjang meracik rencana: mencuri lonceng Menara Loji sebagai pembuktian empiris kejahatan kapital kolonial. Bonang menyeringai: “Simbol mereka jadi uang kita. Aku setuju.” Dari diskusi santai sambil membelah rambutan, strategi kriminal kritis lahir—metode analisis situasional berpadu dengan kecerdasan oportunistik. Yang pada akhirnya menciptakan cetak biru Operasi

Esoknya, dalam rapat terbatas di rumah Itjang, mereka memetakan celah keamanan Menara Loji. Itjang mengadaptasi model analisis situasional crime pattern theory untuk memetakan rotasi satpam dan pola penerangan, sementara Bonang menyiapkan aspek logistik: sewa kendaraan, peralatan katrol, dan alibi palsu. Diskursus akademis yang haus data berubah menjadi rencana aksi: penuntasan simbolik eksploitasi kolonial melalui pencurian lonceng sekaligus pembalasan dendam atas kematian ayah Itjang.

Pada malam yang dipilih—tanpa rembulan dan berhembus angin lembap—Bonang memancing satpam dengan api semak di sisi timur, sedangkan Itjang, berselimut bayang, memanjat tangga servis menara. Ia membuka pintu belfry, memasang katrol buatan tangan, lalu menurunkan lonceng dengan ketelitian seorang ilmuwan. Setiap gerakan terukur, berdasarkan perhitungan tekanan dan gaya geser yang sebelumnya diuji di bengkel milik temannya—sebuah aplikasi langsung teori mekanika kejahatan yang ia pelajari.

Lonceng diangkut ke sebuah tempat di dekat sungai Cikeruh, disembunyikan di bekas kandang sapi yang sudah tak terpakai. Tidak lama setelah lonceng dicuri, kebenaran pahit terkuak: Bonang menukar lonceng itu dengan uang tunai—cukup untuk membiayai pelariannya ke Cina Daratan. Transaksinya dirancang melalui dokumen dagang palsu, membuktikan bahwa dalam kacamata Bonang, setiap simbol perlawanan adalah komoditas yang dapat dipertukarkan. Bagi Itjang, pengkhianatan ini bukan hanya persoalan moral, melainkan disonansi kognitif yang menghancurkan struktur keyakinannya: teori rasionalitas instrumental bertemu dengan realitas kalkulasi keserakahan. Meski begitu, Itjang tetap menanggap Bonang sebagai sahabatnya.

Krisis batin Itjang memuncak menjelang 10 September 1983. Ia menulis surat terakhir di atas meja kayu berlubang rayap, meramu teori anomie Merton—ketika norma sosial kehilangan legitimasi—dengan urgensi nihilistik Nietzsche yang menyerukan destruksi. Dalam tinta hitam legam, ia menancapkan kalimat kering yang menolak segala narasi heroik dan moral (lihat Deklarasi Ketidakhadiran, halaman …)

Kabar kematiannya menyebar dengan cepat dari mulut ke mulut. Hampir satu bulan lebih pascakematiannya, Itjang selalu jadi bahan perbincangan di Cikeruh. Masyarakat Cikeruh pun menyimpan kabut luka yang ganjil. Meski sebagian besar dari mereka tidak pernah benar-benar memahami gagasan‑gagasan Itjang tentang sistem devian, kontrol sosial, atau kriminalitas struktural apalagi soal ilegalisme yang pernah ia sarankan kepada anak-anak muda di Cikeruh, tetapi mereka ingat satu hal dengan pasti: bahwa sejak setiap kepulangan Itjang dari tanah perantauan, jalan desa yang membentang dari ujung Cikeruh ke ujung Sayang mendadak hidup.

Dialah yang, pada malam-malam sunyi di pos ronda, membacakan puisi tanpa rima tentang tanah yang diperkosa dan hukum yang sakit. Ia membantu ibu-ibu menyusun pembukuan koperasi secara rapi, menata sistem pinjaman dengan prinsip akuntabilitas akar rumput.

Dialah yang menyusun arsip dokumenter sejarah kampung secara kolektif—dengan menggali narasi dari mulut para tetua, bukan dari teks resmi kelurahan.

Dalam satu insiden, saat pemerintah hendak menggusur sawah waris demi pelebaran jalan, Itjang menulis analisis hukum agraria pseudo-formal dalam bentuk pamflet anonim yang tersebar di warung kopi dan mushola—membuat proyek itu tertunda dua tahun karena keresahan warga yang tak kunjung padam.

Masyarakat, secara spontan, mulai menyebut jalan utama desa itu sebagai Jalan Itjang Djoedibarie—bukan lewat rapat RT atau SK Camat, tapi karena “ia satu-satunya yang bikin kita mikir jalan bisa jadi arsip dan senjata.”

Namun pada 1986, pemerintah kabupaten meresmikan penggantian nama menjadi Jalan Kolonel Ahmad Syam, seorang tentara lokal yang dipropagandakan pernah ikut Operasi Trikora, meski namanya asing bahkan bagi para pensiunan TNI di daerah itu. Papan nama baru dipasang; arsip RT diperbarui; dan Itjang dilenyapkan dari dokumen-dokumen, catatan bunuh dirinya dibakar. Ia benar-benar dihilangkan dari sejarah.

KEPUSTAKAAN

  1. Arsyad, D. (1984). Potongan transkrip wawancara Bonang P. Sirait dengan Komite Hitam. Forum Majalah Batubata, (3), 12–23.

  2. Djoedibarie, I. (1983). Autopsy of Poetry: Itjang Djoedibarie’s poetry anthology. Komite Hitam.

  3. Djoedibarie, I. (1983). Deklarasi ketidakhadiran: Surat terakhir Itjang Djoedibarie. The Anti-authoritarian Manuscript Archive of Tjikeroeh & Tandjoengsari.

  4. Hayam, D. (1999). Tentang Itjang Djoedibarie dan bagaimana ia dihapus dari sejarah. Jakarta: Suara Parau Publication.

  5. Muhammad, H. (2025). Sejarah Pencurian Lonceng Menara Loji. Muslihat: jurnal sastra eksperimental, 1(1), 1–4. doi.org

  6. Sirait, B. P. (1981). Kesaksianku tentang Cumbu dan Itjang (pp. 17–28.)

  7. Sirait, B. P. (1989). Biografi Itjang Djoedibarie. Sumedang: Muslihat Pinggiran Books.

  8. Soedirman, A. R. (1978). Rongga ingatan dan struktur kultural. Bandung: Balai Sementara Ilmu Sosial.

  9. Sumadikara, L. (1985). Lonceng, kolonialisme, dan tubuh rakyat: Kasus Loji di Sumedang. Jurnal Kajian Politik Pinggiran, 4(2), 55–71.

  10. Naskah-naskah ilegalisme dan arsip Cikeruh: 1930–1983.

  11. Zahrani, A. S. (2020). Arsip tubuh hilang: Otobiografi Itjang dalam relung masyarakat Jatinangor. Jurnal Etnohistoris Alternatif, 11(1), 3–19.