Juan Lee
Politik Identitas Queer dan Kolonialisme Jiwa
Women’s March Jakarta kemarin merupakan pengalaman yang mengharukan bagiku. Lautan orang dengan rambut berwarna, pakaian bebas, bendera pelangi, dan bahkan bendera trans membanjiri lokasi sekitar Monumen Nasional.
Tugu raksasa emas dan beton tersebut dikelilingi oleh rakyat yang ingin membebaskan diri dari kekangan patriarki, negara, modal, agama, dan takhayul, —merdeka dari kekuatan-kekuatan yang dipaksakan masuk ke dalam tenggorokan hidup kita semua. Daerah di seberang Perpustakaan Nasional pada pagi itu tidak hanya dipenuhi asap hitam kendaraan bermotor dan kebisingan detak jantung kota Jakarta saja, tetapi juga orasi dan poster tentang krisis lingkungan, otonomi perempuan di lingkup reproduksi, kejahatan berat 1998 yang tidak terselesaikan, kondisi marjinal kaum disabilitas, protes terhadap pemerkosaan, dan banyak permintaan progresif lainnya.
Sekilas melihat atmosfer tersebut, aku seakan-akan mendapatkan kesempatan meneropong ke masa depan dunia yang dipimpin oleh rakyat yang sadar, kritis, dan aktif berpolitik. Sinar di ujung lingkaran setan perputaran dari satu rezim fasis ke rezim fasis lainnya, atas nama reformasi tak bergigi. Tetapi sepertinya surga tidak hadir di atas neraka.
Aku mengamati maraknya penggunaan bahasa Inggris dalam aksi tersebut, dimulai dari nama aksi itu sendiri – Women’s March Jakarta. Akun Instagram aksi memuat frasa-frasa Inggris seperti harmful practices, revenge porn, dan marital rape. Undangan terbuka pendaftaran relawan aksi penuh dengan kata-kata Inggris seperti open recruitment, stage manager, liaison officer, dan sebagainya. Banyak dari poster yang ditampilkan peserta juga berisi dengan slogan-slogan seperti no one is less than human, sisterhood is powerful, I’m marching for those who can’t be here, dan seterusnya.
Walaupun aksi membahas krisis eksploitasi pekerja rumah tangga dan pekerja perempuan secara umum, mengapa aksi diartikulasikan dalam bahasa yang tidak bisa dipahami oleh perempuan-perempuan penjual minuman di depan gerbang Monas itu sendiri? Jika betul bahwa tidak ada manusia yang lebih rendah dari manusia lainnya, bahwa persaudarian adalah kekuatan, dan bahwa peserta memprotes untuk orang-orang yang tidak bisa hadir dalam protes, mengapa bahasa aksi menggunakan bahasa yang kurang bisa dipahami oleh buruh yang secara sistematis dieksploitasi dan direndahkan dibandingkan manusia lainnya, maupun saudari perempuan kita yang kurang berpendidikan, dan juga pekerja-pekerja seks yang tidak bisa hadir dalam protes?
Kesenian dalam aksi seperti tertampilkan dalam lirik lagu yang berbunyi “we are women king” oleh Yacko menampilkan kembali pemahaman diri, aksi, dan rakyat melalui bahasa dan lensa kolonial yang patut dipertanyakan. Salah satu women king yang disebut, misalnya, adalah Kartini, perempuan yang berjuang melawan pernikahan kolonialisme Belanda dengan feodalisme Jawa. Tidak pantas memanggil Kartini dengan gelar feodal, antara lain karena dia sendiri menulis untuk menanggalkan gelar feodal dia sebagai seorang Raden: panggil aku Kartini saja!
Penting untuk mempertanyakan betapa dalamnya politik dan kejiwaan kolonial yang ditampilkan dalam aksi. Konsep-konsep gender, queer, lesbian, gay, bisexual, dan transgender adalah konsep-konsep yang berasal dari kondisi objektif Amerika Serikat dan Eropa. Tidak sepenuhnya tepat jika orang-orang yang bukan lelaki ataupun perempuan di negara dunia ketiga, seperti kathoey di Thailand dan Bissu di Sulawesi, dipanggil queer ataupun transgender. Pengimporan politik tersebut tanpa pencernaan kritis menghasilkan politik yang tidak sesuai dengan keperluan konkrit rakyat Indonesia pada hari ini maupun fungsi asli konsep tersebut dalam konteks keadaan negara dunia pertama.
Misalnya, kata queer berasal dari hujatan yang diberikan masyarakat Amerika Serikat pada orang-orang yang menolak berpartisipasi dalam kekangan skrip reproduksi masyarakat, baik itu penindasan perempuan oleh laki-laki mulai dari pembagian pekerjaan rumah tangga yang tidak adil dan tidak digaji hingga norma pakaian dan seksualitas yang menyertainya, maupun dikecamnya seksualitas yang bukan dalam keluarga antara suami dengan istri.
Seiring waktu, komunitas orang queer mulai menggunakan istilah tersebut sebagai identitas mereka, memakai hujatan sebagai perisai, dalam konteks perlawanan berorganisasi yang lebih luas dimana mereka saling menyediakan perumahan dan sumber daya untuk anggota komunitas mereka dan juga orang-orang lain yang membutuhkannya sambil mencoba menghancurkan struktur sosial yang mengekang kehidupan dengan berbagai cara. Dalam kata lain, queer dalam konteks tersebut bukan hanya identitas berbasis warna rambut, cara berpakaian, dan seksualitas seseorang, tetapi suatu identitas politik yang mewakili suatu perlawanan organisasi massa terhadap eksploitasi. Sementara itu, dalam konteks Indonesia hari ini, perlawanan militan komunitas dan organisasi massa dalam bentuk tersebut tidak ada – yang ada hanyalah LSM yang didanai perusahaan multinasional dan negara dunia pertama – dan queer menjadi istilah berbau politik identitas.
Makna identitas queer dalam konteks negara dunia pertama bukan disebabkan oleh bunyi atau arti kamus dari kata tersebut tetapi sebagai tanggapan komunitas queer terhadap penggunaan kata queer sebagai penghinaan. Hal ini tidak berlaku di Indonesia, dimana kita dihina dengan sebutan-sebutan lainnya.
Aku menyadari hal ini antara lain saat berbicara dengan seorang teman di kampung yang bercerita tentang kegemaran dia dengan rambut panjang dan berperan sebagai wanita dalam dunia kesenian, sehingga sering dikira orang sebagai wanita. Namun, ketika aku menggunakan bahasa dan pemahaman tentang gender yang diimpor dari dunia pertama untuk berbicara tentang hal tersebut, ternyata tidak nyambung dengan pengalaman dia. P
erenungan lebih lanjut juga mengungkapkan bahwa bahasa dan pemahaman tersebut tidak cocok dengan pengalaman hidupku. Aku tidak ingin menjadi non-binary atau perempuan trans. Aku tidak ingin membeli tas bendera pelangi dari IKEA. Aku ingin merdeka, memakai pakaian yang nyaman dan indah, penuh dengan bunga dan merah muda, berambut panjang dan tidak berkumis, mencintai orang-orang yang aku hormati, terlepas dari seks, warna kulit, maupun agamanya.
Analisis gender yang memahami identitas perempuan, non-binary, dan lelaki sebagai label-label estetik yang sebatas bentuk ekspresi diri, gagal mendalami seksualitas lebih lanjut sebagai posisi seseorang dalam ekonomi politik dan reproduksi masyarakat beserta kondisi kejiwaan yang menyertainya.
Alasannya, ini adalah sebuah analisis yang memisahkan gender dari politik, sejarah, dan kondisi hidup rakyat Indonesia. Kebudayaan diceraikan dari ekonomi politik. Identitas dan eksploitasi kaum queer di Indonesia diceraikan dari pengendalian jumlah populasi melalui program keluarga berencana pada masa Orde Baru, kebijakan pemerintah dan penghakiman masyarakat yang memaksa perempuan untuk menjadi seorang ibu, dan sistem kekeluargaan modern antara satu suami ayah dan satu ibu yang diperkenalkan oleh kolonialisme.
Hasilnya, marginalisasi kaum queer seakan-akan jatuh dari langit, muncul dari kehampaan secara ajaib, dan akarnya dari sistem ekonomi yang mengejar modal tanpa akhir beserta sistem reproduksi yang mengeksploitasi seksualitas dan pekerjaan rumah tangga perempuan tidak dipahami. Dan tentunya fenomena yang tidak dipahami akarnya dan hubungannya dengan kehidupan rakyat secara menyeluruh tidak bisa dilawan secara efektif. Analisis gender kebarat-baratan ini adalah bagian dari pembentukan jiwa rakyat yang pendiam, penurut, pasif, terlepas dari sejarah, dan tidak berpolitik, dalam kata lain pekerja yang “ideal” bagi kepentingan perusahaan multinasional.
Tidak mengejutkan bahwa salah satu panduan pembuatan poster adalah larangan “membuat poster untuk kampanye politik”. Kurang jelas apa yang dimaksud dengan politik dalam larangan tersebut. Dalam membayar pajak, berpakaian sopan, dan memasak nasi saja, aku sudah berpolitik karena taat pada negara, berpakaian sesuai norma seksual, dan tidak memasak sagu ataupun sumber makanan lainnya yang sedang dihapus oleh kolonialisme rezim Jawa.
Tidak mengejutkan bahwa penelitian tentang gender masuk ke Indonesia pada tahun 1980-an dengan dukungan organisasi-organisasi Barat dan konferensi-konferensinya, dimana para aktivis dilatih untuk memahami analisis gender, didanai oleh pemerintah Orde Baru. Nicola Spakowski telah menulis bahwa fenomena yang sama tampil di negara Cina, dimana masuknya industri penelitian gender didanai oleh organisasi Barat dan disertai oleh penghapusan ingatan tentang gerakan perempuan progresif pada masa lalu yang menghubungkan kondisi tragis hidup perempuan dengan eksploitasi buruh, kolonialisme, dan imperialisme, dan karena itu berjuang dengan gerakan massa untuk melawan semua hal tersebut. Hal ini sama persis dengan penghapusan ingatan rakyat Indonesia pada gerakan-gerakan massa sebelum tahun 1965, antara lain Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang dihancurkan dan difitnah oleh pemerintahan fasis Orde Baru. Sampai hari ini, film propaganda rezim Orde Baru tentang Gerwani masih diputarkan dalam berbagai sekolah, antara lain oleh SMA yang aku dulu hadiri.
Apa yang seharusnya dilakukan?
Menurutku, bukan menggantikan laki-laki dan perempuan dengan menyalin sistem seksualitas feodal, seperti masyarakat Bugis dengan Oroane, Makunrai, Calalai, Calabai, dan Bissu, ataupun menyalin gerakan perempuan pada masa lalu, seperti perjuangan Gerakan Wanita Indonesia dalam melawan imperialisme dan kolonialisme. Singkatnya, sejarah tidak pernah berjalan mundur. Memang, banyak hal yang bisa dipelajari dari sejarah yang terhapuskan tersebut. Misalnya, sedikit orang yang mengenal Tris Metty, salah satu penemu Gerakan Wanita Indonesia, yang menurut dokumentasi Saskia Wieringa, secara terbuka adalah seorang perempuan lesbi, ataupun beberapa pejuang lelaki yang dalam kamp konsentrasi Buru memiliki hubungan romantis dan seksual dengan satu sama lain.
Sejarah era tersebut, dimana orang-orang “queer” berjuang melawan kapitalisme, kolonialisme, dan imperialisme bersama rakyat secara umum, patut dipelajari dan dilengkapi. Dihapuskannya kaum “queer” dari sejarah politik, ekonomi, kebudayaan, dan bahasa Indonesia adalah contoh kasus hampanya karakter negara ini, sebagai suatu peradaban yang lebih menyerupai lubang suara dan kehidupan yang telah ditimbun daripada kemanusiaan dan kehidupan.
Namun demikian, perjuangan mereka didasari oleh kondisi objektif zaman dan rakyat yang berbeda dengan konteks kita hari ini. Perjuangan masa kini harus dilakukan berdasarkan kondisi objektif rakyat masa kini. Analisis dan gerakan harus lahir secara organik dari keperluan, kesulitan, dan kesenangan dalam kehidupan sehari-hari rakyat dalam daerah tersebut, bukan diciptakan dari ludah ucapan para intelek Barat ataupun aktivis elit yang ingin menjadi orang kulit putih. Mentalitas dibalik fenomena ini, yakni tidak lain dari mentalitas taat pada atasan, merasa semakin pintar dan beradab saat berbahasa Inggris, dan membatasi diri untuk mengemis isi analisis dan bentuk praktik politik dari negara dunia pertama, dalam kata lain, pemahaman bohong bahwa feminisme, keadilan, kemanusiaan, dan peradaban berasal dari Barat, harus dipertanyakan dan dirombak.
Dalam pengamatanku, bahasa, kebudayaan, dan politik yang bisa konkrit memperbaiki kondisi rakyat dan lingkungan hidup, terlepas dari lokasi provinsi, seksualitas, cara berpakaian, kepercayaan agama, maupun warna kulit mereka, belum muncul di Indonesia. Aku membenarkan tulisan Pramoedya Ananta Toer, yang menyatakan bahwa kebudayaan Indonesia sudah busuk dan hampa, sehingga generasi muda harus menciptakan kebudayaan yang baru, dan tanpa itu “sama saja dengan ternak, karena fungsi hidupnya hanya beternak diri”. Lucunya, kalimat tersebut justru paling cocok dengan kaum “queer”, yang sudah dikarenakan seksualitasnya tidak beternak diri, dan asal-usul kata “queer” itu sendiri juga dari perlawanan melawan peternakan kapitalisme dan patriarki.
Aku sendiri tidak ingin beternak diri menjadi suami ataupun istri yang bekerja seharian sebagai budak korporat dengan gaji rendah dan kontrak tidak jelas, hanya untuk pulang setiap malam ke ruang kos yang terlalu sempit dan tidak berjendela. Aku ingin nongkrong dikelilingi orang yang aku cintai sambil minum teh manis, membaca novel dan menulis puisi, bermain catur dan menanam cabai, masak sup bersama dan bernyanyi, membagi kretek sambil menjahit baju, di dunia dimana manusia tidak menindas ataupun ditindas.
Kondisi sejarah kita berada pada titik krisis dimana yang tua sedang sakit dan mati, namun yang baru belum terlahirkan. Generasi muda Indonesia harus bisa melangkah dengan kritis dan tepat dalam arus sungai yang deras ini, melangkah maju melampaui perjuangan Srikandi, Tris Metty, Gerwani, dan Women’s March Jakarta.