j-m-junkir-maruta-saya-karyawan-bukan-buruh-id-2.jpg

Tidak semua orang menyadari kedudukan kelas mereka di dalam tatanan kapitalisme. Orang sering kali memiliki gagasan yang bertentangan tentang diri mereka sendiri, pekerjaan mereka, dan kelas mereka. Sebagai contoh di Amerika, ada mitos bahwa hampir semua orang adalah kelas menengah atau bahwa siapa pun yang bekerja keras bisa sukses. Ini adalah gagasan kelas dominan yang membenarkan kapitalisme, yang sudah tertanam kuat di dalam masyarakat. Hilangnya kesadaran kelas tidak terjadi secara otomatis. Para pekerja menyerap mitos-mitos ini melalui berbagai cara: pendidikan, khotbah, siaran televisi, dst. Ia berkembang melalui perjuangan dan pertarungan ideologi, kerap kali lewat penumpasan dengan kekerasan aktor-aktor perjuangan kelas. Hal yang terakhir ini terjadi di Indonesia.

Sekarang, kelas pekerja Indonesia mengalami fragmentasi akibat hilangnya kesadaran kelas. Mereka tidak tahu, dan jika tahu, enggan disebut "buruh". Mereka lebih senang disebut "karyawan". Mitos karyawan ini punya akar historis yang bisa dilacak. Pada masa Orde Lama, apa yang sekarang disebut "karyawan" sebenarnya menganggap diri sebagai buruh atau sama dengan kelas pekerja pada umumnya. Karena mereka buruh, mereka berserikat dan memperjuangkan hak di tempat kerjanya. Misal, karyawan pegadaian membentuk Serikat Buruh Pegadaian (SBP), pegawai di toko membentuk Persatuan Pekerja Toko (PPT), tenaga kesehatan membentuk Serikat Buruh Kesehatan, sipir membentuk Serikat Buruh Kependjaraan (SB Kependjaraan), dan pegawai negeri Pemda membentuk Serikat Buruh Pegawai Daerah (Sepda). Serikat buruh terbentuk di banyak industri, toko maupun departemen pemerintahan dan mereka bergabung ke federasi Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang dekat dengan PKI.

Di tengah iklim Perang Dingin 1960'an, TNI AD yang didukung Amerika Serikat untuk pertama kalinya menggunakan istilah "Operasi Karya". Ini adalah keterlibatan militer dalam berbagai ranah sipir, termasuk ekonomi. Mereka juga mendirikan federasi sayap kanan, Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) sebagai tandingan SOBSI pada 1960, yang sebelumnya adalah Persatuan Karyawan Perusahaan Negara (PKPN). Terakhir, Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) berdiri pada 1964. Saat terjadinya Peristiwa 1965, berbagai serikat buruh yang menjadi anggota SOBSI dibubarkan dan ribuan anggotanya dibantai atau dipenjara. Semenjak itu, seluruh sektor tenaga kerja kerah putih tidak lagi menyebut dirinya "buruh", melainkan "karyawan". Perayaan Hari Buruh juga dilarang, dan istilah "buruh" menjadi lekat dengan komunisme serta PKI.

Baru pada dekade 90'an kesadaran kelas itu perlahan dibangun kembali. Kelompok karyawan paling pertama di Indonesia yang mulai menyadari dirinya buruh adalah para jurnalis, yang menyebut diri mereka "buruh/kuli tinta." Hari ini, bahkan para dosen yang sadar juga membentuk Serikat Pekerja Kampus (SPK). Meski begitu, Reformasi masih belum juga mampu menghapus dampak deradikalisasi politik kelas yang awet dalam kesadaran masyarakat. Orde Baru berhasil menciptakan penyangkalan kelas (class denial) dengan keberhasilannya memisahkan pekerja non-fisik (karyawan) dari pekerja fisik (buruh). Istilah “buruh” masih dipahami dalam pengertian yang sempit, merujuk pada pekerja di bidang industri manufaktur, atau "pekerja material", atau yang lebih luas, “pekerja non-terampil yang mengandalkan tenaga fisik”. Pegawai, karyawan, petugas, aparatur, tenaga, mitra, atau magang misalnya, dengan demikian biasanya tidak dianggap sebagai buruh.

Penyangkalan ini pada gilirannya menghasilkan seperangkat nilai, yakni prasangka kelas (classist). Para karyawan yang tidak mengeluarkan keringatnya untuk kerja fisik biasanya menganggap dirinya satu derajat lebih tinggi ketimbang pekerja fisik. Hal ini diperparah oleh ilusi "kelas menengah", yakni suatu golongan yang dibuat-buat, yang definisinya biasanya tidak mengacu kepada pengertian ekonomi apapun, tetapi lebih ke sosial budaya. Kenyataannya, kelas menengah yang dimaksud biasanya juga kelas pekerja yang mampu bergaya hidup lebih baik seperti para borjuis. Ini merupakan hasil rekayasa sosial yang menakjubkan. Anarkis dan antropolog David Graeber menyatakan:

“'Kelas menengah' adalah kelas palsu. Ia tidak pernah benar-benar ada. Jika Anda punya bos, dan mendapatkan upah atau gaji, Anda adalah seorang pekerja, dan harus bangga berada di kelas pekerja. Istilah 'kelas menengah' mengisolasi para pekerja yang memiliki hak istimewa demi kepentingan mereka yang berkuasa sehingga siapa pun di luar lingkaran elit akan terpecah belah dan saling bertikai ketimbang melawan lembaga dan tatanan kekuasaan."

Alhasil, buruh di Indonesia berjuang sebagai segmen yang terpisah-pisah. Kehancuran gerakan buruh pasca 1965, membuat karyawan kehilangan kemampuan berorganisasi yang militan seperti ditunjukkan pada masa kolonial dan awal kemerdekaan. Hal ini tidak pernah pulih sampai sekarang. Para karyawan (sektor swasta) biasanya merasa dirinya memiliki kedekatan dengan kelas manajerial seperti para direktur dan birokrat. Para pegawai sipil (sektor publik) juga lebih intim dan menjadi pembela kelas penguasa yang paling patuh. Mereka juga lebih mudah mengasosiasikan dirinya sebagai bagian dari “pemerintah”. Karyawan dan pegawai oleh karena itu merasa tidak perlu terlibat dalam perbaikan kondisi ekonomi secara kolektif, yang hari ini dijalankan buruh pabrik.

Ketimbang berorganisasi dan berjuang menuntut hak, budaya kerja Orde Baru menyediakan sarana untuk pencapaian ekonomi yang lebih instan tetapi individualistik, misalnya korupsi, kolusi dan nepotisme, mental menjilat atasan, persaingan antar pekerja yang tidak sehat di kantor serta kebiasaan pungutan liar. Budaya kerja ini masih kental sampai sekarang, sebagai dampak tidak langsung lainnya dari deradikalisasi politik kelas.

Absennya karyawan dari pengorganisiran juga membuat mereka tidak memiliki kepekaan yang dibutuhkan untuk terciptanya solidaritas kelas. Para buruh yang menghadap komputer sering berlaku kurang ajar kepada buruh kebersihan. Atau budak korporat tindak menghargai buruh restoran saat makan siang. Oleh karena itu, sepertinya akan sulit untuk melihat kembali Pemogokan Umum 1924 di Semarang yang dimulai buruh kereta api, tetapi menyebar hingga ke pedagang di pasar, tukang sado, pekerja bengkel, kusir dokar dan pegawai sipil.

Hilangnya solidaritas kelas adalah hal meresahkan, sebab peningkatan upah dan hak normatif yang diperjuangkan buruh sebenarnya ditujukan untuk dinikmati angkatan kerja semua sektor. THR misal, adalah buah perjuangan buruh semasa krisis ekonomi 1950'an yang juga masih dinikmati buruh kantoran sampai sekarang. Tapi yang lebih buruk dari tidak terlibat dalam gerakan adalah ketiadaan empati. Buruh kantoran biasanya malah yang paling lantang dalam mengecam aksi protes buruh pabrik karena menyebabkan kemacetan.

Saya tidak bermaksud untuk memperdebatkan istilah mana yang tepat: apakah “buruh”, “karyawan” atau cukup dengan istilah “pekerja”? Bukan. Itu bukan poin utama dalam tulisan ini. Poin saya adalah, suatu kosakata sering kali tidak lahir dari ruang kosong dan tidak bebas nilai. Ini artinya, kelas berkuasa secara politis juga menggunakan ranah linguistik untuk mempertahankan kepentingan kelas mereka, yang dalam kasus ini adalah memecah belah kekuatan kelas buruh dan melemahkan solidaritas kelas.

Perjuangan kelas hanya dapat diwujudkan dengan terbangunnya kesadaran kelas, yaitu sadar bahwa kita sesama buruh punya lebih banyak kesamaan dibanding dengan kelas berkuasa yang diuntungkan dari situasi penindasan terhadap kita. Tenaga kesehatan adalah buruh. Pekerja rumah tangga adalah buruh. Pekerja seks adalah buruh. Pemain sepak bola adalah buruh. Kesamaan ini yang mendasari para buruh agar mampu bahu membahu dalam perjuangan kelas, sebab kelas yang berkuasa dan yang dikuasai memiliki kepentingan yang bertentangan satu sama lain.

Kita, kelas pekerja, yang menjalankan roda kehidupan. Kita pekerja rumah sakit yang merawat orang-orang kaya, padahal obat diproduksi oleh buruh pabrik obat yang diupah murah. Kita yang memproduksi solar panel mahal sementara batubara dijual murah untuk PLTU yang polusinya membunuh ribuan orang demi keuntungan pengusaha nasional yang memenangkan Pemilu. Kita pekerja konstruksi yang membangun gedung raksasa milik 4 kapitalis yang kekayaannya setara dengan 100 juta orang Indonesia. Kita yang memasak makanan mereka, yang menjaga mereka ketika tertidur, yang menjahit pakaian mereka, menjalankan roda-roda di pabrik mereka, menjaga kekayaan mereka di bank-bank, yang mendidik anak-anak mereka.

Kita bisa menghentikan ketidakadilan ini. Menghentikan roda kehidupan dan mengarahkannya ke jalan yang benar. Kesehatan untuk semua orang. Keamanan untuk semua orang. Pangan, pakaian dan perumahan untuk semua orang. Menyelesaikan krisis ekologi dan memastikan ruang bagi setiap insan. Kita bisa melakukannya sendiri dengan otonomi, gotong-royong dan solidaritas. Kekuatan ada di tangan kita. Kita berbahaya. Kapitalis paham akan ancaman ini dan mereka mencoba berbagai cara untuk meredam kita, termasuk dengan membantai atau mencuci otak kita jika diperlukan.

Meski begitu, KITA MAMPU, JIKA TERORGANISIR, UNTUK MEMECAT PARA MAJIKAN!