Wolfi Landstreicher
KERJA: Perampasan Hidup
“Apa arti pengeboman seorang hakim, penculikan seorang pengusaha, penggantungan seorang politisi, penembakan seorang polisi, perampokan sebuah supermarket, pembakaran kantor seorang komisaris, pemukulan seorang jurnalis, cemoohan terhadap seorang intelektual, pemukulan seorang seniman, jika dibandingkan dengan pengasingan mematikan dari eksistensi kita, suara alarm yang terlalu pagi, kemacetan di jalan raya, barang-barang yang dijual yang berjejer di rak-rak?”
Jam alarm membangunkanmu lagi—seperti biasa, berdering terlalu pagi. Kamu menyeret dirimu keluar dari kehangatan tempat tidur menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, bercukur, dan buang air besar, lalu berlari ke dapur di mana kamu menyantap kue kering atau, jika ada waktu, roti panggang dan telur dengan secangkir kopi. Setelah itu, kamu bergegas keluar untuk melawan kemacetan atau kerumunan orang yang serupa denganmu di kereta bawah tanah sampai tiba di... yups, tempat kerja, di mana harimu dihabiskan dalam tugas-tugas yang bukan menjadi pilihanmu, dalam asosiasi yang diwajibkan dengan orang lain yang terlibat dalam tugas terkait, dengan tujuan utama untuk melanjutkan reproduksi hubungan sosial yang membatasi kamu untuk bertahan hidup dengan cara yang sesungguhnya kamu inginkan.
Tapi itu belum semuanya. Sebagai kompensasi, kamu 33 menerima upah, sejumlah uang yang (setelah membayar sewa dan tagihan) harus kamu bawa ke pusat perbelanjaan untuk membeli makanan, pakaian, berbagai kebutuhan, dan hiburan. Meskipun ini dianggap sebagai “waktu luang” dibandingkan dengan “waktu kerja,” itu juga merupakan aktivitas yang diwajibkan secara sekunder untuk menjamin keberlangsungan hidupmu, dengan tujuan utamanya lagi adalah untuk mereproduksi tatanan sosial saat ini―sederhanya, waktu luang yang diberikan untuk tidak menjalankan pekerjaan adalah persiapan untuk memulihkan energi untuk kembali bekerja. Huhuhu, nahas... Dan bagi sebagian besar orang, “Momen-momen bebas” ini semakin sedikit didapatkan―biasanya karena tuntutan lembur yang tidak dapat ditolak, dengan embel-embel kompensasi tambahan tentunya.
Menurut ideologi yang berlaku di masyarakat saat ini, eksistensi ini adalah hasil dari kontrak sosial antara para pihak yang setara—setara di hadapan hukum, maksudnya. Dikatakan bahwa pekerja kontrak menjual tenaga dan waktunya kepada bos dengan upah yang disepakati bersama. Namun, bisakah sebuah kontrak dianggap bebas dan setara ketika salah satu pihak memegang semua kekuasaan? Pada akhir negosiasi menyoal upah, ujung-ujungnya selalu harus sesuai dengan apa yang diputuskan oleh perusahaan yang seringkali karena keterbatasan peluang kerja, terpaksa harus disepakati oleh para pencari kerja (tambahan dari penyunting untuk keperluan relevansi di Indonesia).
Jika kita melihat kontrak ini lebih dekat, jelas bahwa ini bukanlah kontrak sama sekali, melainkan pemerasan yang paling ekstrem dan sebuah kekerasan struktural. Hal 34 ini paling jelas terlihat di pinggiran masyarakat kapitalis di mana orang-orang yang telah hidup selama berabad-abad (atau, dalam beberapa kasus, ribuan tahun) menurut ketentuan mereka sendiri mendapati kemampuan mereka untuk menentukan kondisi eksistensi mereka, kini terancam untuk dirampas oleh buldoser, gergaji mesin, peralatan penambangan, dan sebagainya dari para penguasa dunia. Namun, ini adalah proses yang telah berlangsung selama berabad-abad, sebuah proses yang melibatkan pencurian tanah dan kehidupan secara terang-terangan dan besar-besaran yang disetujui dan dilaksanakan oleh kelas penguasa. Tanpa alat untuk menentukan kondisi eksistensi mereka sendiri, para kaum yang tereksploitasi tidak bisa dikatakan, dengan jujur, berkontrak secara bebas dan setara dengan para kaum yang mengeksploitasi mereka. Ini jelas merupakan kasus pemerasan!
Dan apa saja syarat-syarat dari pemerasan ini? Para kaum yang tereksploitasi secara terpaksa harus menjual waktu dan hidup mereka kepada para kaum yang mengeksploitasi sebagai imbalan untuk keberlangsungan hidup. Dan inilah tragedi nyata dari dunia kerja. Tatanan sosial dunia kerja didasarkan pada oposisi yang dipaksakan antara kehidupan dan keberlangsungan hidup. Pertanyaan tentang bagaimana cara bertahan hidup menekan pertanyaan tentang bagaimana seseorang ingin hidup, dan seiring waktu, semua ini tampak alami dan seseorang mempersempit mimpi dan keinginan mereka pada hal-hal yang bisa dibeli dengan uang.
Namun, kondisi dunia kerja tidak hanya berlaku bagi mereka yang memiliki pekerjaan. Kita bisa dengan mudah 35 melihat bagaimana pengangguran yang mencari pekerjaan karena takut akan kehilangan tempat tinggal dan kelaparan terjebak dalam dunia kerja. Hal yang sama berlaku juga untuk penerima bantuan negara yang keberlangsungan hidupnya bergantung pada keberadaan birokrasi bantuan tersebut... dan bahkan bagi mereka yang menghindari mendapatkan pekerjaan sehingga keputusan mereka berfokus pada penipuan, pencurian di toko, dan “menyelam di tempat sampah”―semua cara yang asing di mata ‘pekerja tetap’ untuk bertahan hidup tanpa pekerjaan tetap. Dengan kata lain, aktivitas yang seharusnya bisa menjadi sarana untuk mendukung proyek hidup, kini menjadi tujuan itu sendiri, menjadikan keberlangsungan hidup semata sebagai proyek hidup seseorang. Lalu, di mana letak perbedaan tersebut dengan sebuah “pekerjaan tetap”?
Namun, apa dasar sebenarnya dari kekuasaan di balik pemerasan yang merupakan inti dunia kerja ini? Tentu saja, ada undang-undang dan pengadilan, polisi dan kekuatan militer, denda dan penjara, serta ketakutan akan kelaparan dan kehilangan tempat tinggal—semua adalah aspek dominasi yang sangat nyata dan signifikan. Tetapi bahkan kekuatan senjata negara pun hanya dapat berhasil menjalankan tugasnya karena orang-orang memilih untuk tunduk dan patuh. Dan di sinilah dasar sebenarnya dari semua dominasi—penundukan para budak, keputusan mereka untuk menerima keamanan dari kesengsaraan dan perbudakan yang sudah dikenal ketimbang mengambil risiko kebebasan yang tidak diketahui, kesiapan mereka untuk menerima keberlangsungan hidup yang dijamin namun tidak berwarna, sebagai imbalan atas kemungkinan hidup yang sebenarnya tidak memberikan jaminan.
Jadi, untuk mengakhiri perbudakan seseorang, untuk melampaui batasan sekadar bertahan hidup, seseorang perlu membuat keputusan untuk menolak tunduk; mereka secara mendesak perlu mulai merebut kembali kehidupan mereka di sini dan saat ini juga. Proyek semacam ini secara tak terhindarkan akan menempatkan seseorang dalam konflik dengan seluruh tatanan sosial kerja; jadi proyek merebut kembali eksistensi seseorang juga harus menjadi proyek untuk menghancurkan kerja. Untuk memperjelas, ketika saya mengatakan “kerja,” saya tidak merujuk pada aktivitas di mana seseorang menciptakan sarana kehidupannya secara mandiri dan sesuai kehendaknya, tetapi lebih pada hubungan sosial yang mengubah aktivitas ini menjadi ranah yang terpisah dari kehidupan seseorang dan menempatkannya di bawah pelayanan tatanan yang berkuasa. Sehingga aktivitas tersebut, pada kenyataannya, berhenti memiliki hubungan langsung dengan penciptaan eksistensi seseorang, melainkan hanya mempertahankannya dalam ranah sekadar bertahan hidup (pada tingkat konsumsi apa pun) melalui serangkaian mediasi yang meliputi kepemilikan, uang, dan pertukaran barang. Inilah dunia yang harus kita hancurkan dalam proses merebut kembali kehidupan kita, dan kebutuhan untuk penghancuran ini membuat proyek merebut kembali kehidupan kita menjadi satu dengan proyek-proyek pemberontakan dan perang sosial.